INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Senin, 24 Agustus 2009

Waktu ......

Kadang kita lupa,bahwa hidup itu seperti kumpulan titik yang membentuk garis lurus. Ada awal&ada akhir...
Hari ini,posisi kita entah di titik mana.Dan titik akhir pun kita tak pernah tahu...
Alangkah berharganya waktu. Satu jam = 60 menit... Dan satu menit adalah 60 detik..Sama dengan 60 ketukan.
Satu ketuk...kadang kita anggap tak berarti...
Padahal 1 ketuk itu setara dengan 1 kali detak jantung kita, atau sama dengan 1 tarikan nafas kita...
Bayangkan jika jantung kita kehilangan 1 detak saja atau 1 tarikan nafas saja....
Apa yang terjadi?

Alangkah benar jika Allah ingatkan manusia tentang waktu..
Karena hidup memang berpacu dengan waktu...

Rabu, 19 Agustus 2009

INSPIRING MOMENT : INDEPENDENT DAY?

PARADOKS NEGERI TERCINTA SETELAH 64 TAHUN (KATANYA) ‘MERDEKA’:

1. (KATANYA) KITA NEGARA SUPERKAYA :

a) Potensi kekayaan alam Indonesia antara lain kekayaan hutan, lautan, BBM, emas dan barang-barang tambang lainnya. Kawasan hutan Indonesia termasuk yang paling luas di dunia, tanahnya subur, dan alamnya indah (Pokoknya ‘menjual’, dech!). Menurut laporan Walhi yang diterbitkan tahun 1993, rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya ketika itu adalah 2,5 miliar dolar AS. Kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Kekayaan minyak Indonesia juga sangat banyak. Menurut cacatan Waspada (12-11-2005), Indonesia memiliki 60 ladang minyak (basins), 38 di antaranya telah dieksplorasi, dengan cadangan sekitar 77 miliar barel minyak dan 332 triliun kaki kubik (TCF) gas. Kapasitas produksinya hingga tahun 2000 baru sekitar 0,48 miliar barrel minyak dan 2,26 triliun TCF. Ini menunjukkan bahwa volume dan kapasitas BBM sebenarnya cukup besar dan jelas sangat mampu mencukupi kebutuhan rakyat di dalam negeri. Indonesia juga adalah negeri yang memiliki potensi kekayaan laut luar biasa. Potensi produksi perikanan budidayanya terbesar di dunia yakni sekitar 57,7 juta ton per tahun. dan baru berhasil diproduksi sebesar 0,6 juta ton pada tahun 1998 dan 1,6 juta ton pada tahun 2003. Wilayah perairannya sangat luas, belum lagi kandungan mutiara, minyak, dan kandungan mineral lainnya, serta keindahan alam bawah lautan. Sebagai negara bahari dan kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki perairan laut, yang sesuai (potensial) untuk usaha budidaya laut terluas di dunia (FAO, 2002). Berdasarkan pada perhitungan sekitar 5 Km dari garis pantai ke arah laut, potensi luas perairan laut Indonesia yang sesuai untuk kegiatan marikulture diperkirakan 24,5 juta ha. Luasan potensi kegiatan budidaya laut tersebut terbentang dari ujung barat sampai ke ujung timur wilayah Indonesia (Ismail.Yusanto, 2004) Dari potensi ikan saja, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, bisa didapat devisa lebih dari 8 miliar dolar AS setiap tahunnya. Sementara itu, di daratan terdapat berbagai bentuk barang tambang berupa emas, nikel, timah, tembaga, batubara, dan sebagainya. Di bawah perut bumi sendiri tersimpan gas dan minyak cukup besar. Dalam bidang pertambangan, Indonesia juga dikenal sebagai negara kaya. Tahun 1967, PT Freeport Indonesia (FI) memulai Kontrak Karya generasi I (KK I) untuk konsesi selama 30 tahun. Pada tahun 1988, secara tak terduga, FI menemukan deposit emas yang sangat besar di Grasberg, diperkirakan mencapai 72 juta ton. Dengan demikian, kandungan emas di bumi Papua yang kini dikelola PT Freeport Indonesia, termasuk yang terbesar di dunia. Tidak aneh bila McMoran Gold and Coper, induk dari PT Freeport, berani membenamkan investasi yang sangat besar untuk mengeruk emas dari bumi Papua itu sebanyak-banyaknya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. (www.pelita.or.id/cetakartikel.php?id=29001)

b) Cadangan gas Indonesia saat ini diperhitungkan mencapai 170-180 triliun kaki kubik (TCF), dengan rata-rata produksi 3,16 TCF (2003). Ekspor LNG mencapai 25,2 juta ton metrik (MT) (2004). Produksi tersebut menjadikan Indonesia penghasil gas nomor 8 terbesar di dunia dan eksportir LNG terbesar di dunia (memenuhi 19 persen kebutuhan dunia). Pada 2005 produksi emas Indonesia 167 ton (nomor 5 dunia). Produksi batubara Indonesia 140 juta ton (penghasil batubara nomor 7 dunia) (suarapembaruan.com/News/2007/06/21).

KAYA BANGET, BUKAN? …………… TAPI ………….

2. (NYATANYA) KEKAYAAN ITU HAMPIR SEMUANYA DINIKMATI ASING DAN SEGELINTIR KAPITALIS BANGSA INI :

a) Mayoritas kontrak karya pengelolaan tambang yang sejatinya milik rakyat DIKUASAI ASING & 65% struktur kepemilikan saham perbankan JUGA dikuasai asing (Kompas, 6/9/07 dalam www.lp3es.or.id));

b) Data dari Bursa Efek Indonesia (BEI) yang dirilis belum lama ini, dari 14 BUMN yang tercatat di BEI, pihak asing telah menguasai saham 31%, setara dengan Rp 137 triliun. Asing menguasai sektor-sektor strategis seperti telekomunikasi, perbankkan, pertambangan dan migas, semen, serta farmasi. Pada beberapa BUMN kategori blue chips, kepemilikan asing bahkan menyundul angka 40%. PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, misalnya, 39,5% sahamnya kini dalam genggaman pihak asing. Demikian pula PT Semen Gresik Tbk sebanyak 39,21% dikuasai asing. Pun, Bank Rakyat Indonesia (BRI) - yang selama ini menjadi andalan para petani dan rakyat kecil - sahamnya telah dikuasi asing sebesar 35,39% padahal berdasarkan analisis Lembaga Keuangan Morgan Stanley, 10 tahun mendatang BUMN-lah yang akan memegang kendali perekonomian suatu negara. Nah, bagaimana nasib Indonesia ke depan bila BUMN kian dicengkeram asing? (www.detiknews.com/read/2009/06/21)

c) Di Indonesia terdapat sekitar 60 perusahaan kontraktor dengan 160 area kerja, namun cadangan dan tingkat produksi migas sebagian besar dikuasai kontraktor asing yang terdiri dari kontraktor supermajors (ExxonMobil, Chevron, TotalFina Elf. BP Amoco Arco), kontraktor majors (Conocophillips, Repsol, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, Japex), dan perusahaan independen. Produksi minyak yang dikuasai perusahaan nasional saat ini hanya 3,8 persen, dengan produksi gas hanya 12,7 persen (suarapembaruan.com/News/2007/06/21)

d) Rata-rata hasil hutan di Indonesia setiap tahunnya adalah 2,5 miliar dolar AS dan kini diperkirakan mencapai sekitar 7-8 miliar dolar AS. Dari hasil sejumlah itu, yang masuk ke dalam kas negara hanya 17 persen, sedangkan sisanya yaitu sebesar 83 persen masuk ke kantong pengusaha HPH (Sembiring, 1994). Padahal negara (rakyat)lah yang harus menanggung dampak kerusakan lingkungan yang begitu besar.


3. WALHASIL, WAJAR BILA KEKAYAAN TERBESAR (SEBENARNYA) NEGERI INI ADALAH KEMISKINAN :

a) Jumlah penduduk miskin di indonesia versi BANK DUNIA = 45,2% (dari 232,9 jt jiwa = 105,3 jt jiwa) atau 16,58 % ( 37,17 juta) versi BPS. (www.rakyatmerdeka.co.id/indexframe.php?url=situsberita) --> DAMPAK IKUTAN : kualitas kesehatan dan pendidikan rendah --> KUALITAS SDM RENDAH --> KULI.

b) Tim Indonesia Bangkit (TIB) mencatat utang Indonesia dalam 5 tahun terakhir justru mengalami peningkatan sebesar 31 persen menjadi Rp 1.667 triliun. Utang sebesar ini merupakan utang terbesar Indonesia sepanjang sejarah.(detik.com & kapanlagi.com); Sumber lain mnyebut : utang pemerintah sampai Januari 2009 meningkat 31% dalam lima tahun terakhir. Posisi utang pada Desember 2003 sebesar Rp 1.275 triliun. Adapun posisi utang Januari 2009 sebesar Rp 1.667 triliun atau naik Rp 392 triliun Apabila pada 2004, utang per kapita Indonesia Rp 5,8 juta per kepala, pada Februari 2009 utang per kapita menjadi Rp 7,7 juta per kepala (inilah.com). --> DAMPAK IKUTAN : MENTAL KACUNG/KOMPRADOR, LEMAH DI HADAPAN DONOR = RENTAN INTERVENSI.

(INI, BARU SEBAGIAN PARADOKS SAJA ….. KARENA NEGERI INI MEMANG NEGERI PENUH DENGAN PARADOKS…BAIK DARI SISI BUDAYA, POLITIK, SOSIAL DSB)

4. LANTAS, APA YANG TERSISA BAGI RAKYAT NEGERI INI SETELAH (KATANYA) 64 TAHUN MERDEKA? KIRA2 MERDEKA DARI APA, YA??


---husnul--

Minggu, 16 Agustus 2009

UMMAHAT : IBU TANGGUH


IBU TANGGUH, ARSITEK GENERASI UNGGUL
Oleh : Siti Nafidah Anshory


Wanita adalah tiang negara. Ungkapan ini demikian akrab dalam ingatan kita, sehingga saking akrabnya, kita terkadang lupa untuk mengingat kedalaman makna yang dikandungnya.

Sebagaimana layaknya sebuah tiang, wanita diibaratkan sebagai penyangga bagi tegaknya sebuah masyarakat/negara. Ini berarti keberadaan kaum wanita baik dan buruknya, sangat menentukan eksis tidaknya sebuah masyarakat atau negara, mengingat bahwa wanita, terutama dalam kedudukannya sebagai ibu berperan sangat penting dalam membentuk dan membangun sosok suatu generasi. Wajar jika dalam pandangan Islam, sosok Ibu diposisikan sebagai figur sentral pendidikan dengan menjadikannya sebagai madrasah pertama (madrâsat al-ûlâ) bagi anak.


Generasi Ideal Cerminan Ibu Ideal

Jika kita tengok gambaran masyarakat Islam masa dahulu, akan kita dapati bahwa pada masa-masa itu telah lahir sosok generasi berkepribadian Islam mumpuni, yang rata-rata memiliki mentalitas mujahid sekaligus intelektualitas mujtahid. Pada diri mereka tertanam keyakinan yang kuat, bahwa mereka ada semata-mata demi dan untuk Islam. Sehingga dengan ghirah yang demikian, umat Islam saat itu mampu bangkit menjadi “khoiru ummah” yang memimpin umat-umat lain dalam seluruh aspek kehidupan mereka, menjadi mercusuar peradaban luhur manusia yang eksis hingga belasan abad lamanya.

Keberadaan generasi yang demikian sekaligus menunjukkan keberhasilan para ibu terdahulu dalam mendidik anak-anak mereka, hingga mereka benar-benar menjadi generasi rabbani yang unggul, yang mengerti tentang arti dan hakekat hidup, makna kebahagiaan hakiki dan semangat pengabdian pada Islam. Hal ini niscaya, mengingat dalam sosok para ibu terdahulu juga tertanam keyakinan yang kuat, bahwa anak adalah amanah Allah yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Yakni di hari dimana semua amal perbuatan manusia, baik dan buruk, akan ditampakkan dan dihisab untuk kemudian diberi balasan yang setimpal. Para ibu ini juga mengerti, bahwa tidak ada satupun yang bisa memberikan kebahagiaan hakiki pada anak-anak mereka selain iman dan ketaqwaan. Sehingga tak ada harta yang mereka wariskan kepada anak-anak mereka, selain keimanan yang kuat, kecintaan akan ilmu dan amal shaleh serta semangat berkorban demi kemuliaan umat dan Islam semata. Sampai-sampai tak jarang kita dapati kenyataan, bagaimana para ibu dimasa itu rela melepas anak-anak kesayangan mereka untuk menjemput maut atau meraih kemuliaan yang mungkin diperoleh di medan-medan jihad fi sabilillah.


Bagaimana dengan Sekarang ?

Jika kita refleksikan ke masa sekarang, keprihatinanlah yang justru muncul. Bagaimana tidak? Saat ini kita tidak bisa lagi menemukan gambaran generasi rabbani dalam wadah masyarakat yang Islami. Yang ada justru masyarakat "tanpa bentuk" dengan anak-anak yang mayoritas terdidik oleh para ibu yang hedonis dan materialistis. Yakni para ibu, yang sekalipun tak sedikit dari mereka sempat mengenyam pendidikan tinggi, tapi tak cukup cerdas untuk mengerti makna hidup dan tujuan sesungguhnya dari keberadaan mereka di dunia ini. Mereka juga tak mampu memahami apa yang dipahami para ibu terdahulu, bahwa anak adalah amanah yang harus mereka didik sesuai dengan kehendak pemberi amanah, yakni Allah SWT sebagai al-Khaliq al-Mudabbir. Yang justru mereka pahami hanyalah, bahwa anak adalah semata aset ekonomi yang harus mereka didik demi dan untuk tujuan-tujuan materi, hingga tak sedikit dari mereka yang dengan ringan hati menyerahkan peran dan tanggungjawab keibuannya kepada orang lain, pembantu rumah tangga, lembaga-lembaga pendidikan, bahkan televisi!

Dari sini nampak, betapa para ibu kita, sebagaimana gambaran masyarakat kaum muslim pada umumnya, lebih suka mengadopsi pemikiran-pemikiran yang bersumber dari paham kapitalis sekuler daripada menjadikan Islam sebagai standar berpikir dan berperilaku. Dan hal ini diperparah oleh fakta, bahwa sistem hidup yang mengungkung kaum muslimin saat ini adalah sistem hidup kapitalistik yang sama sekali tidak Islami, yang mensandarkan pengaturan hidupnya pada akal manusia yang serba lemah dan terbatas.

Dengan kondisi yang demikian, wajar jika kepribadian generasi muda Islam saat inipun cenderung menjadi sangat rancu dan jauh dari nilai-nilai Islam. Mereka bahkan tersibghah gaya hidup serba permissive/bebas yang lahir akibat proses sekularisasi pemikiran dan sekularisasi gaya hidup yang berjalan secara perlahan melalui berbagai cara dan bentuk. Wajar pula jika mereka tumbuh menjadi generasi yang berkepribadian ganda, ambivalen dan lebih suka menjadi pengekor dan pembebek daripada berusaha bangkit berjuang untuk kembali memimpin umat-umat lain di dunia.

Sebagian dari mereka bahkan lebih akrab dengan alkohol, narkoba, pergaulan bebas, dan kriminalitas. Mereka menganngap bahwa gaya hidup seperti itu merupakan ekspresi kehidupan modern yang harus mereka tiru dan mereka junjung tinggi. Padahal dengan cara ini mereka justru sedang menunjukkan karakter inferior mereka di hadapan kaum kafir yang jelas-jelas memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Mereka sama sekali tidak menyadari, bahwa saat ini, mereka sedang terjebak dalam perangkap yang dipasang oleh musuh-musuh Islam yang tidak pernah menghendaki agar Islam tegak kembali di tengah-tengah kancah politik dunia.

Dengan kata lain, kondisi ini sekaligus menunjukkan, bahwa untuk dan hingga saat ini, kaum kafir telah cukup banyak menuai hasil dari skenario jahat (makar) mereka dalam upaya menjauhkan kaum muslimin (terutama anak-anak dan generasi muda) dari aqidah Islam dan aturan-aturannya yang sempurna. Salah satunya adalah dengan menggiring para muslimah ke kancah kehidupan materialistis dan individualis seperti yang gencar diserukan oleh para feminis melalui ide-ide emansipasi dan ide kesetaraan dan keadilan gender (KKG). Dan hasilnya, banyak di antara muslimah yang terkecoh, sehingga mereka lebih suka menanggalkan kebanggaan menjadi seorang ibu, daripada harus kehilangan kesempatan untuk meraih karir yang setinggi-tingginya. Peran ibu, kini dianggap tak lagi menjanjikan dan menjadi simbol kemuliaan seorang wanita, melainkan justru menjadi simbol keterbelakangan, keterkungkungan dan keterjajahan para wanita oleh pria. Akibatnya, anak-anak yang mereka lahirkanpun tumbuh tanpa asuhan dan didikan, sehingga sebagian besar dari mereka tak lebih dari anak-anak tanpa masa depan, yang tidak bermanfaat, meski bagi dirinya sendiri sekalipun !. Lantas, bagaimana mungkin kita gantungkan harapan masa depan ummat pada pundak-pundak yang rapuh seperti ini ?


Pentingnya Mengoptimalkan Peran Ibu

Menghadapi kondisi buruk yang terjadi, kita diperintah untuk tidak berpasrah diri. Laa yughoyyiru maa bi qoumin hattaa yughoyyiru maa bi anfusihim. Apalagi masa depan ummat ini mau tidak mau menjadi salah satu tanggungjawab kita, termasuk upaya untuk mengembalikan kemuliaan ummat dengan membangun kembali sosok generasi mumpuni sebagaimana generasi-generasi terdahulu. Caranya tidak lain dengan membimbing dan membina para ibu ummat saat ini agar juga memiliki kualitas sebagaimana para ibu terdahulu. Tentu saja hanya dengan merujuk pada standar Islam.

Islam, sebagai din yang lengkap dan sempurna telah menempatkan sosok Ibu dalam posisi yang sangat tinggi dan tidak kalah penting dari peran kaum pria. Bahkan fungsi ibu, bukan hanya bersifat BIOLOGIS, melainkan juga bersifat STRATEGIS dan POLITIS. Oleh karenanya Islam juga menuntut agar para wanita benar-benar menjalankan fungsi keibuan ini dengan sebaik-baiknya dan optimal. Sehingga, sekalipun Islam mengatur tugas dan peran kaum wanita sebagai anggota masyarakat, namun tugas dan peran tersebut tidak boleh mengalahkan peran dan fungsi utamanya sebagai ummun wa rabbat al-bayt (ibu dan pengatur rumahtangga). Banyak nash yang bisa kita renungkan mengenai hal ini, antara lain :

Tatkala Asma’ ra bertanya kepada Rasulullah SAW; “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mengutamakan laki-laki dari wanita, maka kami mengimanimu dan mengikutimu. Dan kami para wanita serba terbatas dan kurang (dalam amaliyah). Tugas kami hanyalah menjaga rumah dan melayani laki-laki. Kami mengandung anak-anak mereka, sedangkan kaum laki-laki memiliki keutamaan dengan berjamaah, menyaksikan mayat dan berjihad. Apabila mereka keluar untuk berjihad, kami menjaga mereka dan memelihara anak mereka. Apakah kami dapat menyamai mereka dalam pahala, wahai Rasulullah ?”. Lalu Rasul SAW bersabda : “Pernahkah kalian mendengar dari wanita pertanyaan yang lebih baik dari pertanyaan ini? Kalau semua itu kalian lakukan dengan sebaik-baiknya, niscaya kalian akan mendapatkan pahala yang didapatkan suami-suami kalian”.

Kemudian diterima dari Aisyah ra, dia berkata : “Seorang perempuan menemuiku. Ia membawa dua anak perempuan. Aku memberikan tiga butir kurma kepadanya. Lalu wanita itu memberikan dua butir kurma kepada anaknya, dan bermaksud untuk memakan sisanya. Akan tetapi kedua anaknya berusaha merebutnya, sehingga kurma tadi jatuh dari tangannya. Akhirnya perempuan itu tidak makan satu butirpun. Aku terpesona dengan perilaku perempuan itu, dan menceritakan peristiwa itu kepada Rasulullah SAW.
Beliau bersabda : “Barangsiapa yang mendapat ujian atau menderita karena mengurus anak-anaknya, kemudian ia berbuat baik kepada mereka, maka anak-anaknya akan menjadi penghalang baginya dari siksa neraka””
(HR. Bukhari-Muslim dan Turmudzi)

Merujuk pada beberapa nash dan sekian banyak tauladan yang ditunjukkan dalam peri hidup para shahabiyat ra., setidaknya dapat diungkap beberapa criteria yang harus dimiliki oleh setiap Ibu sehingga bisa mengoptimalkan peran dan fungsinya dalam mempersiapkan generasi unggul, antara lain :

1) Memiliki ketaqwaan yang tinggi yang dimanifestasikan dalam pola pikir dan pola sikap yang senantiasa bersandar pada Islam. Dengan demikian, figur ibu tampil sebagai qudwah bagi anak-anak mereka, yakni dengan mewariskan ketaqwaan yang mereka miliki ini melalui proses pengasuhan dan pendidikan sesuai tuntunan syariat.

2) Memiliki sifat penyayang, karena kasih sayang ibu merupakan jaminan awal bagi anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik dan aman. Ibu penyayang akan memelihara anaknya dengan curahan kasih sayang sejak dalam kandungan hingga anak mampu mandiri, memiliki karakter penyayang, penuh empati dan bertanggungjawab, dimana karakter-karakter seperti ini mutlak dimiliki calon-calon pemimpin masa depan.

3) Memiliki tutur bahasa yang baik (halus, fasih dan baligh), dimana ketika kita ingin menanamkan kecintaan anak kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tentu tidak bisa dilakukan dengan bahasa yang kasar atau kabur, melainkan harus dengan bahasa yang halus, lembut dan jelas (baligh). Selain itu, dalam menyampaikan ajaran Islam yang ada dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits yang nota bene berbahasa Arab, maka seorang ibu selayaknya menguasai bahasa Al-Qur’an ini.

4) Memiliki kepekaan (ihsas) yang tinggi terhadap lingkungan. Hal ini mengingat, lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap tumbuh kembang anak. Sehingga setiap ibu harus bisa memastikan anak-anaknya tumbuh dalam lingkungan yang baik dengan cara terlibat aktif dalam upaya mengubah suasana lingkungan yang buruk menuju kehidupan yang Islami.

5) Memiliki wawasan (keilmuan) yang luas, terutama yang berkaitan dengan target pendidikan anak, perkembangan kondisi anak, kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan atas anak (yang sekaligus menjadi hak anak), dan sebagainya, termasuk ilmu-ilmu dan pengetahuan yang akan menjadi bekal anak mengarungi kancah kehidupan (cerdas politik). Hal-hal inilah yang akan membantu terpenuhinya hak anak secara kualitatif dan kuantitatif, sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang ke arah yang ideal, terutama dalam kepribadiannya sebagai calon pemimpin masa depan.

6) Memiliki rasa pengorbanan yang tinggi, mengingat peran ibu lebih dominan ‘memberi’ daripada ‘menerima’. Dengan demikian, jika tumbuhnya rasa pengorbanan ini semata-mata karena ingin menggapai ‘ridha Allah’, maka hak-hak anak tetap akan terpenuhi secara pasti bagaimanapun kondisi ibunya. Manakala (misalnya) seorang ibu menghadapi dua pilihan antara yang wajib (tugas utamanya) dan yang mubah (pekerjaan lainnya), maka tentu si ibu akan memilih yang wajib karena adanya dorongan ketaqwaannya kepada Allah SWT dan demi masa depan anak yang diharapkan. Lebih dari itu, generasi masa depan yang ingin diwujudkan adalah generasi yang jiwa pengorbanannya tinggi untuk memperjuangkan ketinggian dan kemuliaan umat dan Islam. Oleh karena itu, sudah pasti mereka membutuhkan para pembina yang membina mereka ke arah sana. Dalam hal ini ibulah orang yang paling tepat sebagai pembina mereka sejak dini.


Tanggungjawab Masyarakat dan Negara Dalam Upaya Otimalisasi Peran Ibu

Kondisi ibu yang minus criteria ibu tangguh sebagaimana yang ada sekarang tentu tidak bisa diharapkan dapat melahirkan generasi unggul. Masalahnya, sosok ibu tangguh tersebut tak bisa terbentuk dengan sendirinya. Demikian pula proses mempersiapkan generasi pemimpin masa depan tak bisa hanya bertumpu pada peran ibu. Selain factor individu yang menyangkut pemahaman mereka akan Islam, peran masyarakat dan negara pun sesungguhnya tak bisa diabaikan.

Banyak fakta yang menunjukkan bahwa lingkungan/masyarakat sangat berpengaruh terhadap tumbuh-kembang dan kepribadian anak. Tak jarang anak yang berasal dari keluarga ideal, taat beragama, tumbuh menjadi anak bermasalah. Masyarakat yang rusak dan sakit, sulit melahirkan generasi yang berkualitas sekalipun bukan berarti tidak mungkin. Setidaknya, para orang tua akan merasa berat dan harus bekerja ekstra keras mendidik anak di tengah gelombang kemaksiatan dan krisis multidimensi yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, kerusakan masyarakat berlangsung secara terbuka dan dijaja secara terus-menerus oleh media (televise, radio, handphone, internet, Koran, dll) tanpa bisa dibendung.

Adapun Negara, faktanya seolah tak bisa berbuat banyak. Negara cenderung berlepas diri terhadap persoalan ini akibat krisis multidimensi yang harus ditangani. Bahkan Penerapan aturan-aturan hidup sekuler yang jauh dari nilai-nilai Islam, mulai dari system ekonomi yang melanggengkan kemiskinan, system pendidikan sekuler yang hanya mencetak anak didik yang cerdas tapi kering iman, system hokum yang menguntungkan para koruptor dan penjahat, aturan social yang menumbuhsuburkan pornografi-pornoaksi dan dekadensi moral serta aturan-aturan rusak lainnya justru menyulitkan para ibu untuk mengoptimalkan perannya mempersiapkan generasi mumpuni.

Selama ibu masih harus disibukkan dengan mencari nafkah akibat tuntutan ekonomi, selama ibu masih tidak memahami pendidikan anak akibat para ibu terdidik dengan pendidikan sekuler, selama itu pula generasi unggul tidak akan lahir. Bangsa kita akan terus terpuruk tidak mampu bangkit. Tugas pemerintah adalah menerapkan aturan/system hidup yang menjamin terlaksananya peran keibuan secara sempurna, baik di bidang ekonomi, politik, social, budaya dan keamanan, termasuk system pendidikan yang mampu mendidik calon-calon ibu tangguh berkualitas di masa depan.

Disinilah pentingnya kita merenung, apakah masih tersisa ghirah dan tanggungjawab kita akan masa depan Islam dan kaum muslimin ?. Jika ya, maka sepatutnyalah kita pertanyakan tentang peran kita dalam mengubah keadaan ini. Apakah kita akan berbuat sesuatu, atau memilih diam dan bertindak sebagai penonton, hanya karena kita berhitung, bahwa pengorbanan yang dituntut terlalu banyak ? Jika demikian halnya, barangkali cukup jika hawa nafsu dan kebebalan akal kita ini ditundukkan dengan satu peringatan saja, bahwa siapapun kita, suatu saat akan dikembalikan kepada Allah Azza wa Jalla, bersama seluruh catatan amal yang kita lakukan selama kita hidup di bumi milik-Nya.

Pada akhirnya, semoga para muslimah kembali menyadari akan besarnya tanggungjawab mereka terhadap masa depan Islam dan kaum muslimin, sehingga mereka akan terpacu untuk berlomba meraih kembali kemuliaan sebagaimana para ibu di masa Islam terdahulu, yakni dengan membina diri mereka dan masyarakat dengan pemikiran-pemikiran Islam dan membentuk pola sikap mereka dengan aturan-aturan Islam. Dengan demikian, mereka akan siap menjadi pendidik dan pencetak generasi mumpuni yang akan membawa ummat ini kepada kebangkitan hakiki seperti yang diinginkan. Insya Allah.


------------------------------------

Kamis, 06 Agustus 2009

MUSLIMAH, SAATNYA BERPIKIR BESAR!

(Sumber foto: tribunnews.com)

Oleh : Siti Nafidah Anshory


Pengantar

Isu globalisasi senyatanya bukan cuma menghasilkan transformasi tata ruang dan lokal saja sehingga dunia seolah menjadi jauh 'lebih kecil' dari sebelumnya. Yang lebih esensial, isu ini justru telah membawa implikasi pada perubahan tatanan politik dunia yang kian terkutubkan; Barat Kapitalis di satu sisi, dan dunia Islam di sisi yang lain. Polarisasi di sini, tentu tak sebagaimana gambaran ketika dunia pernah terbagi ke dalam 2 kutub; blok Barat Kapitalis (diwakili AS) versus Blok Timur Sosialis (diwakili Uni Sovyet), dimana pada orde ini, masing-masing blok memiliki posisi tawar yang sama kuat sebagai pesaing bagi satu sama lain. Sedangkan polarisasi yang terjadi saat ini, jelas sangat timpang. Amerika tampil sebagai sang Super Power, sementara dunia Islam hanya berperan sebagai objek jajahan dan budak pelayan kepentingan AS. Super Power melawan Inferior Power!

Sejak keruntuhan Sovyet, AS melalui think-tanknya dari jajaran Council for Foreign Relation (CFR, sebuah lembaga kajian kebijakan luar negeri AS) memang telah mensetting perubahan lingkungan strategis yang baru tersebut dengan memposisikan AS sebagai the single fighter. Hanya saja, mereka sadar, bahwa ---mengutip pernyataan Charles E. Carlson (1), seorang the Warmakers di dalam CFR--- sesudah runtuhnya imperium Uni Sovyet "...selected the far-flung nations of Islam as a replacement for the old Marxist-Leninist ... The Red Peril has 'greatly abated' to be replaced by a new Green Peril". Oleh karena itulah, untuk meredam potensi bahaya hijau (Islam) menggantikan bahaya merah (Soskom) ini, mereka segera menyusun grand strategy yang akan mengarahkan semua potensi musuh (terutama Islam) tercengkram dalam genggaman AS. Taktik yang mereka gunakan adalah dengan melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan secara total dan universal --di samping sesekali menggunakan serangan militer-- dengan target menjauhkan umat Islam dari potensi kekuatan mereka yang tidak lain terletak pada ideologinya.

Apa yang getol dilakukan AS di dunia Islam hingga hari ini, seperti kampanye anti terorisme dengan sequel terbarunya bertajuk 'war on evil ideology' (baca : kampanye anti ideologi Islam), gelombang infiltrasi pemikiran dan budaya sekuler (terutama isu demokratisasi, liberalisasi dan budaya permissif) di negeri-negeri Islam dengan memanfaatkan jasa para antek lokal dari kalangan liberalis sekuler yang mereka danai dan mereka mediasi secara besar-besaran dan kontinyu, politik adu domba yang mereka rancang di negeri-negeri Islam, menjadi bukti betapa AS yang kampiun kapitalisme ini terobsesi dengan impiannya menjadi penguasa tunggal dalam Tata Dunia Barunya. Dan untuk memuluskan serangan total peradaban kapitalis sekuler inilah, isu globalisasi mereka blow up sedemikian rupa, sehingga menjadi sarana efektif untuk tidak hanya mematikan kekuatan perekonomian kaum muslimin dengan senjata modal mereka, tapi lebih jauh ditujukan untuk merusak seluruh sendi-sendi kehidupan kaum muslimin sejak dari asasnya, yakni kekuatan ideologis yang dimiliki Islam.


Perempuan di Tengah Isu Globalisasi

Sayangnya, serangan yang begitu dahsyat dan mematikan atas nama globalisasi ini seolah terjadi tanpa perlawanan. Para penguasa Muslim dan kaum intelektual mereka justru seringkali bertindak sebagai pengukuh atas terjadinya kejahatan ini. Di sisi lain, mayoritas masyarakat --yang senyatanya telah terbodohkan secara sistematis melalui pendidikan sekuler yang mereka dapati-- tak memiliki kepekaan untuk membaca bahaya apa yang ada di balik slogan manis dan propaganda modernisme dan globalisasi yang ditawarkan Barat. Pada kondisi inilah kaum perempuan (muslim) saat ini berada. Perempuan (muslim) bahkan ikut terjebak pada pola pikir dan pola sikap yang sama. Sebagian sama-sama menjadi pembebek, sebagian sama-sama menjadi antek, dan sebagian lagi sama-sama cuek.

Secara fakta, banyak hal yang bisa membuktikan betapa imperialis telah secara sengaja 'memanfaatkan' kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka, lagi-lagi dengan memanfaatkan isu globalisasi. Nampaknya mereka menyadari betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan yang memang merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Sehingga, ketika mereka mendapati begitu banyak kenyataan buruk yang dihadapi perempuan (muslim), mereka segera ekspor paket 'kemajuan perempuan Barat' dengan isu gendernya untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim, seraya tak lupa mereka tawarkan paket-paket 'program bantuan' untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia ketiga (dunia Islam) itu dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia dan forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka. Sejalan dengan itu, di dunia Islam sendiri menjamur pula gerakan-gerakan perempuan (feminis) muslim dan berbagai LSM lain yang sengaja disponsori pihak kapitalis, untuk 'berjuang' pada tataran praktis dengan mindframe dan jobdes yang mereka inginkan. Yakni mindframe dan jobdes feministik dan liberalis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam!

Karena itulah, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis muslim dan kaum liberalis sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atasnama pembebasan perempuan, yang hakekatnya menyerukan pembebasan dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam. Disamping itu, mereka juga intens melakukan mainstreaming opini feministik dan liberalis ini di semua lini --termasuk dalam berbagai kebijakan publik hingga sosialisasinya ke level bawah-- untuk kian menguatkan opini bahwa Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan atau dipeti-eskan. Dalam konteks Indonesia, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting KHI yang sempat memicu kontroversi, disahkannya UU No. 23/2004 tentang KDRT dan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, dan lain-lain --termasuk rencana pengesahan UU Kesehatan Reproduksi dalam waktu dekat yang salah satu itemnya memuat isu legalisasi aborsi-- merupakan bukti 'keberhasilan' upaya mereka meraih target ini.

Di samping upaya-upaya tersebut, penghancuran juga dilakukan dengan cara bersengaja memanfaatkan perempuan muslim sebagai objek eksploitasi bagi kepentingan kapitalisme global mereka. Caranya antara lain dengan menggiring kaum perempuan muslim untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme, melalui serangan budaya yang mereka lancarkan secara intens lewat majalah-majalah, koran-koran, televisi, internet, film-film hingga penyelenggaraan event ratu-ratuan, yang senyatanya memang mereka monopoli. Dengan cara ini, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Yang padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan dan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketing produk-produk mereka. Adapun cara eksploitasi lain yang lebih mengerikan lagi dan juga ditengarai melibatkan simpul-simpul kapitalis global adalah child and women trafficking dan sex tourism industry, yang disadari atau tidak telah menyeret kaum perempuan muslim menjadi objek/korban perdagangan manusia di bursa-bursa seks internasional. Sekalipun masih tergolong kriminalitas, tapi dalam konteks kapitalisme kegiatan ini dianggap sebagai hal niscaya dan dianggap sebagai bagian dari 'kegiatan ekonomi bayangan' (shadow economy) yang menjanjikan keuntungan luar biasa besar.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa isu globalisasi sesungguhnya memiliki multi target. Selain target yang bersifat ideologis, juga memiliki target ekonomi sebagai watak genial kapitalisme, yang kesemuanya pasti bermuara pada satu target politis. Yakni, mencegah sejak dini bangkitnya kekuatan super power baru yang akan mengalahkan hegemoni mereka atas dunia (2). Bahkan untuk meraih target-target strategis ini, mereka rela melakukan apapun, termasuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Tentang hal ini, Republika (17/10/2003) pernah melansir berita bagaimana upaya AS memsekulerkan Arab, yang berarti jaminan negeri-negeri itu tetap berada di bawah pengaruhnya. Dalam hal ini, Departemen Luar Negeri AS sangat memahami betul peran sentral media massa, baik cetak maupun elektronik untuk kegiatan propaganda. Untuk itulah Kongres AS menyetujui kucuran dana sebesar 62 juta dolar AS untuk membangun jaringan televisi Timur Tengah, setelah sebelumnya mendanai penerbitan majalah Hi dengan anggaran 6,2 juta dolar. Adapun targetnya adalah untuk memperkenalkan kebudayaan global 'baru' yang jauh dari budaya 'kekerasan' melalui penayangan berita-berita mengenai perkembangan fashion, tren musik, film, budaya, kehidupan selebritis Amrik, dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi target politisnya adalah menampilkan citra 'lebih lembut' bangsa Amerika di mata bangsa Arab, sehingga lambat laun bisa meredam rasa kebencian orang-orang Arab terhadap Amerika yang selama ini terbangun terutama setelah operasi-operasi militer AS di Timur Tengah. Ironisnya, rencana AS ini segera diamini oleh para penguasa dan pengusaha di negeri-negeri Arab itu. Bahkan sebagai gambaran betapa antusiasnya sambutan mereka, seorang Kapitalis asal Mesir menyatakan siap mendanai pembuatan film Baywatch versi Mesir yang dibintangi artis lokal setipe David Hasselhoff dan Pamela Anderson!!!


Urgensi Membangun Kesadaran Politik Internasional

Sebenarnya, respon negatif (perlawanan) atas propaganda destruktif dan imperialisme gaya baru AS dan sekutu-sekutunya ini bukan tidak ada sama sekali. Bahkan saat ini, kesadaran akan pentingnya perubahan mulai menggeliat sejalan dengan kian nampaknya berbagai kebobrokan ideology dan sistem hidup yang mereka paksakan ke tengah umat. Arus kesadaran identitas yang dipelopori gerakan-gerakan Islam ideologis --pelan tapi pasti-- juga mulai menyelusup sedemikian rupa, mengetuk akal-akal dan nurani sebagian kaum muslim, melewati batas-batas politik dan sekat-sekat imajiner bernama Negara, serta pada akhirnya membentuk koneksi 'semangat dan kesadaran yang sama' untuk melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh dengan ideology Islam.

Sayangnya, kesadaran dan ghirah akan perubahan fundamental seperti ini masih menjadi milik sebagian kecil umat Islam saja, yang sebagian kecil di antaranya adalah kaum perempuan. Tentu saja hal ini belum sebanding dengan jumlah kaum muslimin yang sedemikian besar dan belum sebanding pula dengan begitu beratnya persoalan yang harus diselesaikan, termasuk dengan arus opini yang 'dibentuk' oleh Barat tentang Islam dan umat Islam. Umat dalam hal ini, masih begitu asyik dengan euphoria 'kebebasan' dan demokratisasi yang ditawarkan Barat. Sebagian lagi asyik berkutat dengan persoalan-persoalan cabang dan perseteruan murahan. Sementara itu, kaum perempuan asyik pula dengan dunianya sendiri, persoalannya sendiri. Seolah-olah ada jarak yang lebar antara perempuan, kesadaran politik --apalagi politik global--, dan kontribusi atas perubahan, betapapun fakta-fakta rusaknya masyarakat sudah ada di depan mata atau bahkan menimpa mereka.

Dengan demikian, setidaknya ada dua pekerjaan yang harus kita selesaikan dalam waktu yang bersamaan. Yakni mengcounter serangan-serangan konspiratif dan makar dari luar berikut membongkar 'wajah busuk' para penguasa muslim yang menjadi penjaga kepentingan kaum imperialis di negeri mereka sendiri, sekaligus mempercepat tumbuhnya kesadaran di kalangan umat, termasuk di kalangan perempuan, bahwa kondisi buruk yang mereka hadapi saat ini sebenarnya bukan merupakan kondisi alamiah mereka sebagai khoyru ummah, bahwa akar permasalahan semua problematika yang mereka hadapi ada pada tatanan hidup yang rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka oleh para penguasa antek imperialis, bahwa memproses perubahan yang revolusioner (menyeluruh dan mendasar) ke arah Islam bukan cuma penting tapi juga wajib, serta bahwa mereka punya tanggungjawab yang sama untuk berproses dalam gerakan perubahan ini. Artinya, umat --termasuk kaum perempuan-- harus disadarkan untuk siap dan bersegera memposisikan diri sebagai agen perubahan, dan bukan obyek perubahan seperti yang selama ini terjadi. Untuk itu, di kalangan umat secara keseluruhan harus dibangun kesadaran politik dengan kesadaran politik yang benar dan menyeluruh pula. Kesadaran politik yang benar berarti kesadaran politik yang dilandasi pemahaman terhadap aqidah Islam, bahwa keimanannya terhadap Islam membawa konsekuensi keharusan menyelesaikan seluruh persoalan hidupnya (baik secara pribadi, kelompok, keluarga, masyarakat, maupun negara; baik yang menyangkut urusan dalam maupun luar negeri) hanya dengan aturan-aturan Islam saja. Karena hakekat politik Islam adalah bagaimana mengatur seluruh urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri hanya dengan Islam saja. Adapun kesadaran politik yang menyeluruh artinya kesadaran politik yang berdasarkan pada cara pandang yang universal/mendunia, yakni kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari umat yang satu tak terpilah, yakni umat Islam, dan menjadi bagian dari umat manusia secara keseluruhan.

Disinilah umat --termasuk kalangan perempuan-- tidak hanya diharuskan untuk mengetahui dan menguasai persoalan-persoalan yang menyangkut diri (personal) dan masyarakat di negerinya saja (politik regional), tetapi juga harus mengetahui dan memahami keterkaitan persoalan-persoalan yang melingkupi dirinya --baik secara personal maupun regional-- dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada skala dunia, di samping memahami bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap permasalahan tersebut. Karena, sebagaimana fakta-fakta yang telah diurai sebelumnya, termasuk mengenai isu globalisasi, justru nampak bahwa seluruh persoalan yang menimpa umat hari ini sesungguhnya merupakan ekses dari tipu daya dan konspirasi internasional yang berlangsung sejak lama dalam upaya menghambat kebangkitan kembali umat. Dengan demikian, kesemuanya itu juga membuktikan tentang urgensitas pembinaan dan peningkatan wawasan dan kesadaran politik internasional pada tiap diri individu umat, termasuk di kalangan perempuan, sekaligus mengarahkannya pada target/kepentingan membangun sebuah kekuatan politis umat dalam bentuk institusi politik ril yang bersifat internasional pula. Yakni kekuatan adidaya baru, yang tegak di atas landasan yang benar dan akan membangun kehidupan dengan tatanan yang benar pula. Karena jika tidak, sampai kapanpun umat akan berkutat pada persoalan-persoalan yang sama, menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir barat, serta menjadi budak jajahan mereka, yang satu saat akan dihancurkan dan tidak akan pernah kembali bangkit menjadi khoyru ummah sebagaimana seharusnya.


Kesadaran Politik Internasional, Bukan Cuma Urgen Tapi Juga Wajib

Jika dari fakta-fakta tadi jelas bahwa ada urgensitas bagi umat termasuk kalangan perempuan untuk memahami dan melibatkan diri dalam kancah politik global/internasional, maka secara normatif, Islam juga telah menempatkan persoalan ini sebagai salah satu kewajiban utama. Dalam kitab Hadits ash-Shiyam (3) dijelaskan bahwa aktivitas menyibukkan diri dengan politik regional dan internasional adalah wajib atas kaum muslimin, sebagaimana wajibnya jihad. Dalam hal ini tidak dibedakan antara kaum laki-laki dan perempuan. Adapun dalilnya adalah :

Firman Allah SWT :"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang beriman" (TQS. ar-Rum : 1-3).

Diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda :"Barangsiapa yang dipagi hari (bangun) dan tidak terbersit (dalam benaknya) kepedulian terhadap urusan kaum muslimin, maka ia bukan termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Umamah, bahwa ada seorang laki-laki pada saat ia melontarkan jumrah yang pertama mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw, seraya berkata : "Wahai Rasulullah, jihad apa yang paling utama?" Rasulullah diam. Pada saat lontaran jumrah yang kedua, laki-laki itu mengulang pertanyaannya lagi, tetapi Rasulullah tetap diam. Setelah lontaran jumrah 'aqabah (yang ketiga), kaki Rasulullah menginjak sanggurdi hendak menaiki tunggangannya sambil berkata : " Dimana penanya tadi?" Dijawab : "Saya, wahai Rasulullah" Sabda Rasul : "Yaitu melontarkan kalimat hak di hadapan penguasa yang dzalim atau amir yang dzalim".

Dalam riwayat Abu Daud, dari Abi Sa'id dengan sanad marfu' :"Jihad yang paling utama adalah (melontarkan) kalimat yang hak di hadapan penguasa yang dzalim".

Adapun tentang ayat di atas, Ibnu Abi Hathim dari Ibnu Syihab, dia berkata: "Telah sampai berita kepada kami bahwa orang-orang musyrik berdebat dengan kaum muslimin pada saat di Makah sebelum Rasulullah hijrah. Orang-orang musyrik berkata, orang Romawi bersaksi bahwa mereka adalah ahli kitab, dan mereka telah dikalahkan oleh orang-orang majusi. Dan kalian mengira bahwa kalian kalian akan mengalahkan kami dengan senjata kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Bagaimana bisa majusi dikalahkan Romawi yang ahli kitab. Maka kami (kaum muslimin) akan mengalahkanmua, sebagaimana Romawi mengalahkan Persia". Maka Allah menurunkan ayat : "Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi" (TQS. ar_Rum:1-2). Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di kota Mekkah sebelum berdirinya negara Islam (di Medinah), mereka telah berpolemik dengan orang-orang kafir mengenai berbagai berita internasional dan informasi tentang hubungan internasional.

Diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar ra. melakukan taruhan dengan orang-orang musyrik bahwa Romawi akan mengalahkan Persia. Berita ini kemudian sampai kepada Rasulullah saw dan beliau pun menyetujuinya (dengan taqrir), seraya menegaskan bahwa dirinyapun turut andil di pihak Abu Bakar dalam taruhan tersebut. Peristiwa ini juga merupakan petunjuk lain bahwa mengetahui kondisi berbagai negara serta hubungan mereka satu dengan yang lainnya adalah perkara yang biasa dibicarakan oleh kaum muslimin (saat itu). Dan Rasulullah saw kemudian menegaskannya.

Terlebih lagi, ketika umat mengemban dakwah ke seluruh dunia yang sudah jelas kewajibannya, tentu tidak akan mudah dilakukan kecuali dengan mengetahui politik pemerintahan negeri-negeri tersebut, yakni politik internasional yang sedang berlangsung, makar dan tipudaya mereka, terutama strategi politik negara-negara besar beserta berbagai uslub penerapannya, dan lain-lain. Bahkan wajib atas kaum muslimin untuk memahami hakekat dari konstelasi politik dunia Islam yang menjadi bagian dari konstelasi politik internasional, sehingga mereka mampu menyusun dan menjelaskan langkah-langkah praktis penegakkan negara mereka di tengah-tengah hiruk-pikuk politik internasional. Berkaitan dengan hal ini, terdapat kaidah syara' "Suatu kewajiban jika tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan (menjalankan) sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib".

Berdasarkan beberapa nash dan kaidah ushul di atas, jelas bahwa menyibukkan diri dengan urusan politik internasional hukumnya fardu (kifayah). Jika umat –siapapun mereka, laki-laki atau perempuan-- melalaikan diri dari perhatiannya dalam politik internasional --disamping politik regional--, maka mereka semuanya berdosa sebagaimana halnya jika mereka seluruhnya melalaikan jihad.


Bagaimana Membangun Kesadaran Politik Internasional

Menurut Syaikh Abdul Qodim Zallum (4) , kesadaran politik --termasuk kesadaran politik internasional-- sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sulit diperoleh. Siapapun, baik para ulama dan cendikia maupun kalangan buta huruf dan orang awam, mereka mampu mendapatkan kesadaran politik ini dengan mudah. Karena kesadaran politik hakekatnya adalah bagaimana memandang dunia secara keseluruhan dengan sudut pandang tertentu (dalam hal ini aqidah Islam) sebagai landasannya. Adapun kekuatan dan kelemahan kesadaran politik ini memang akan berbeda-beda tergantung pada tingkat pengetahuan seseorang mengenai dunia dan berbagai peristiwa politik serta pengetahuannya tentang sudut pandang tertentu yang digunakannya tadi (yaitu pemahaman tentang aqidah Islam). Hanya saja, hal itu tetap merupakan kesadaran politik yang memberikan hasil sama, yaitu menghindari kedangkalan dalam berpolitik dan dalam memandang berbagai hal di dunia.

Persoalannya adalah, saat ini kesadaran politik umat Islam --terutama yang menyangkut wawasan politik global-- masih sangat lemah. Ketikapun ada kesadaran politik, maka kesadaran itu terbangun di atas mindframe yang salah, rusak dan dangkal. Sehingga tak heran jika, ada sebagian umat yang memaknai politik, kesadaran politik dan aktivitas politik sebatas persoalan kekuasaan dan partisipasi dalam PEMILU saja, atau dalam konteks politik global, muncul pendapat-pendapat yang menolak teori konspirasi dan bersikap apologetis terhadap Barat. Yang lebih parah sebagian umat justru bersikap anti politik karena memandang politik sebagai sesuatu yang kotor, licik dan menakutkan.

Kondisi ini merupakan hal yang niscaya mengingat selama ini umat 'dibesarkan' diantara pemikiran-pemikiran Barat yang rusak yang diantaranya memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah dua hal yang berbeda serta tidak ada keterkaitan sama sekali. Disisi lain, dangkalnya pemahaman umat terhadap aqidah Islam, baik karena kelemahan internal umat Islam sendiri setelah memisahkan potensi bahasa Arab dengan Islam, maupun akibat upaya peracunan sistematis yang dilancarkan Barat untuk merusak pemikiran-pemikiran Islam dan menjauhkan umat dari pemikiran-pemikiran Islam yang utuh dan jernih, juga menguatkan kian teralienasinya umat dari politik, kesadaran politik dan aktivitas politik yang benar. Seolah-olah, ada jarak yang jauh antara umat dengan politik, apalagi politik internasional. Wajar jika akhirnya umat termarjinalkan dari kancah politik internasional, senantiasa menjadi bulan-bulanan politik Barat, tidak berdaya dan bahkan terjajah. Umat kini, telah kehilangan power dan kewibawaannya setelah mereka mencampakkan kesadaran politik Islam yang sahih dan menjauhkan diri dari aktivitas politik Islam yang agung. Terutama ketika mereka meninggalkan aktivitas politik terbesar dengan rela mencampakkan keberadaan institusi politik Islam --yakni Daulah Khilafah Islamiyah-- yang dengannya seluruh urusan dalam dan luar negeri mereka diatur dengan sistem Islam dan dengannya kemuliaan mereka terjaga.

Pada kondisi ini, membangun kesadaran politik yang benar dan menyeluruh di kalangan umat memang menjadi hal yang tidak mudah. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa! Dalam hal ini, metoda yang harus ditempuh adalah dengan melakukan pembinaan politik umat secara maksimal dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam (ideology Islam) secara kaaffah, seraya mendorong mereka untuk membuka cakrawala berpikirnya seluas mungkin, tidak hanya berpikir dan peduli pada persoalan-persoalan pada skala pribadi atau keluarga, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap seluruh peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga didorong untuk senantiasa mengikuti peristiwa-peristiwa politik secara detil, cermat dan kontinyu, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri, dengan sikap sebagai seorang politisi yang mengamati peristiwa-peristiwa tersebut dari sudut pandang Islam, untuk selanjutnya menilai (menganalisis) dan mengkaitkannya dengan peristiwa, gagasan dan aksi-aksi politik yang lainnya dengan sudut pandang Islam tadi. Dengan cara ini, umat akan mampu membaca dan mensikapi secara benar (integral dan utuh) konstelasi politik yang sedang terjadi di dunia dan berpengaruh negatif terhadap kehidupan mereka –pribadi/keluarga sekalipun-- serta terhadap kemuliaan agama mereka dimanapun. Umat juga akan terdorong untuk bersegera mengubah konstelasi politik dunia ini ke arah konstelasi politik dunia yang menempatkan Islam dan umat Islam menjadi mulia, sehingga mampu memberi keadilan dan rahmat bagi seluruh alam.

Pada tataran praktis, upaya ini harus dilakukan secara sinergis dan terus-menerus, baik melalui pembinaan intensif maupun pembinaan umum, dengan melibatkan seluruh komponen umat yang sudah memiliki kesadaran politik yang benar. Artinya tugas berat ini tidak mungkin bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan harus menjadi agenda bersama umat yang dikoordinasikan dalam sebuah gerakan kolektif yang bersifat ideologis dan memiliki wawasan internasional pula. Gerakan inilah yang secara intens akan membina umat dengan pola pembinaan yang terarah dan nantinya akan memimpin mereka melakukan perubahan ideologis kea arah Islam.


Khotimah

Berangkat dari kesadaran akan pentingnya perubahan, dan bahwa seluruh umat termasuk kalangan perempuan bertanggungjawab secara syar'i memproses perubahan itu, maka tidak ada sikap lain yang layak diambil oleh setiap muslimah --sebagai konsekuensi keimanannya kepada Islam-- selain bersegera mengambil posisi siap berjuang bersama gerakan Islam ideologis membina diri dan umatnya dengan kesadaran politik yang benar, seraya berupaya secara bersama menentang dan menghancurkan hegemoni Barat, membongkar kebusukan dan makar mereka, sehingga pada akhirnya mereka akan mampu membangun masyarakat baru yang tegak di atas landasan Islam.

Perempuan muslim juga harus menyadari posisi strategisnya sebagai separuh masyarakat dan sekaligus sebagai pilar penyangganya dimana di tangan mereka wajah generasi masa depan umat akan ditentukan. Posisi strategis inilah yang mengharuskan mereka memiliki kualitas kepribadian Islam yang tinggi, sekaligus kecerdasan politik mumpuni --termasuk kesadaran politik internasional-- sehingga dengan modal itu mereka akan mencetak generasi muda Islam yang berkepribadian Islam dan memiliki kecerdasan politik mumpuni pula. Dengan cara ini, harapan kejayaan umat di masa yang akan datang akan kian terbuka lebar, dengan izin Allah. [][]

----------


FOOTNOTE :

(1) Dalam "Mengapa Barat Memfitnah Islam", Z.A Maulani, Penerbit Daseta, Jakarta 2002, hal 2.
(2) Seperti isi laporan yang dirilis oleh salahsatu lembaga intelijen di AS, National Intelligence Council's (NIC) dengan judul Mapping the Global Future pada bulan Desember 2004 tentang adanya 4 skenario dunia tahun 2020, salah satunya mengenai kemungkinan munculnya kekhalifahan yang baru (a new chalipate) berupa pemerintahan Islam global yang akan memberi tantangan pada norma-norma global Barat. Dimuat dalam Jurnal Al-Wa'ie no 56, Hizbut Tahrir Indonesia.
(3) Hadits ash-Shiyam, Anonim, Penerbit Hizbut Tahrir.
(4) Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Al-Izzah, Bangil 2001 hal 96.

Selasa, 04 Agustus 2009

MMEWASPADAI KONSEP PEMBERDAYAAN PEREMPUAN GLOBAL

By : Siti Nafidah Anshory (HK)


Pengantar
Isu tentang perempuan selalu menjadi agenda yang menarik untuk diangkat. Betapa tidak? Di tengah-tengah gencarnya upaya kebangkitan dan seruan pembebasan perempuan, kehidupan kaum perempuan --termasuk di negeri-negeri Islam-- ternyata masih belum beranjak dari keterpurukan. Kemiskinan, kekerasan, diskriminasi, stereotype dan persoalan-persoalan lain yang selama ini diklaim sebagai persoalan perempuan tetap saja lekat dalam kehidupan kaum perempuan, bahkan umat Islam secara keseluruhan. Ironisnya, masih banyak yang percaya bahwa gagasan feminisme adalah jawaban final bagi masalah perempuan. Jika benar demikian, lantas dengan obat apa penyakit umat secara keseluruhan dapat disembuhkan?

Muslimah di Tengah Mainstream Feminisme
Sekalipun sering memunculkan pro dan kontra, gagasan feminisme senyatanya telah lama berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin di dunia Islam. Bahkan bisa dikatakan bahwa kini perspektif ini telah menjadi mainstream berpikir umat, termasuk bagi hampir seluruh gerakan pembebasan perempuan --yang berlabel Islam sekalipun-- dalam berkiprah melakukan transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Salah satu bukti yang menguatkan konklusi ini adalah betapa di Indonesia, perspektif jender telah terformalisasi sebagai hukum positif dengan dikeluarkannya Inpres no 9 tahun 2001 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) yang mengharuskan dimasukkannya isu jender dalam setiap kebijakan pembangunan.

Sesungguhnya, penerimaan kaum muslim terhadap gagasan semacam ini merupakan hal yang niscaya, mengingat, di satu sisi, sistem kehidupan sekularistik yang mendominasi kehidupan mereka --dengan ide-ide turunannya semisal demokratisasi, liberalisme, materialisme dan egalitarisme-- serta lemahnya pemahaman mereka terhadap gagasan Islam ideologi, memang telah memberi ruang yang kondusif bagi perkembangan ide semacam ini. Dan di sisi lain, kompleksitas persoalan di seputar isu disparitas (ketimpangan) jender yang juga dialami perempuan Muslim, serta adanya kejenuhan yang luar biasa terhadap sistem nilai yang dianggap tak mampu mengadopsi kepentingan perempuan, juga telah menjadikan kehadiran ide –yang disuguhkan dengan gaya ‘ilmiah’ dan dikemas dengan jargon-jargon yang memikat-- ini sebagai ‘angin segar’ dan sekaligus harapan bagi upaya perbaikan nasib perempuan di dunia Islam.

Sebagaimana diketahui, kondisi perempuan di negeri-negeri Islam --termasuk Indonesia-- memang sedang berada dalam kondisi terpuruk. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam (Barat-Kapitalis) untuk menyerang Islam dan menjauhkan umat dari Islam. Melalui berbagai upaya politik dan mediasi pers yang nyaris seluruhnya mereka kuasai, serta dengan memanfaatkan jasa agen-agen mereka dari kalangan muslim yang sudah merasa 'tercerahkan' dengan aqidah sekulerisme-liberal, mereka bangun imej buruk tentang Islam. Antara lain dengan cara memberikan stereotype kepada ‘profil perempuan Muslim’ dengan Islamnya, sebagai ‘profil manusia paling tertindas dan terpinggirkan’. Kehidupan perempuan Muslim yang ‘terkurung di balik burdah dan tembok-tembok rumah batu’ di bawah rezim penguasa yang mengklaim diri sebagai negara Islam, seperti Arab dan Afghanistan, mereka blow-up sedemikian rupa, untuk memperlihatkan betapa tidak bahagianya menjadi seorang perempuan Muslim. Sementara itu disisi lain, aturan Islam yang mereka anggap mengandung potensi 'bias jender' seperti halnya aturan hijab, aurat dan jilbab, waris, kesaksian, perwalian dan nashab, thalaq, nusyuz dan poligami, maupun pengutamaan fungsi perempuan sebagai ummu wa rabbat al-bayt serta konsep qawwamah laki-laki atas perempuan dalam rumahtangga dan kekuasaan, kemudian mereka giring secara halus kearah diskursus (ghazwu al-fikr) mengenai persoalan ada-tidaknya pemihakan syari'at Islam terhadap perempuan.

Pada tahap inilah gagasan feminisme yang di negeri kelahirannya diklaim sebagai spirit bagi 'bangkitnya kesadaran eksistensial' kaum perempuan ini kemudian mendapat tempat dan lantas diadopsi mentah-mentah oleh sebagian kalangan muslim/ah yang kadung kecewa dengan (apa yang mereka sebut) 'kekolotan' agamanya. Begitu kentalnya pengaruh perspektif ini, hingga mereka sampai pada taraf menjadikan gagasan ini sebagai standar dalam menakar kelayakan syari'ah menjawab setiap persoalan kekinian yang dihadapi. Dalam konteks Indonesia misalnya, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) atau KHI Perempuan oleh Tim Pengarus Utamaan Gender (PUG) Departemen Agama dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) beberapa waktu lalu bisa diambil sebagai contoh. Sekalipun untuk sementara dianulir, namun inti gagasan CLD KHI yang dianggap banyak pihak 'sangat --atau bahkan terlalu-- berani' ini kadung menggelinding sedemikian rupa menjadi wacana di tengah-tengah umat. Setidaknya, ada sebagian umat yang terinspirasi untuk berpikir, bahwa ada yang salah dengan syariat. Apalagi para penggagasnya berasal dari institusi yang --selama ini-- dianggap mewakili entitas Islam. Demikian pula dengan kasus pengesahan UU PKDRT yang selain dinilai sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai keluarga, juga mengandung pasal-pasal rusak yang melegalkan perzinahan dan penyimpangan seksual. Sekalipun demikian, bagi kalangan feminis dan liberalis, kedua kasus ini tentu dianggap sebuah kemenangan.

Memang diakui bahwa, secara fakta feminisme dengan gagasan pembebasan dan pemberdayaan perempuannya telah memberi sisi positif bagi kalangan perempuan. Tetapi persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdampak secara individual seperti terjadinya disorientasi kaum perempuan terhadap peran-peran keibuan dan lembaga perkawinan, tetapi lebih dari itu ternyata berdampak pada terjadinya disfungsi keluarga yang mengarah pada goyahnya struktur masyarakat secara keseluruhan. Di dunia Islam, ide-ide semacam ini bahkan telah mengarah pada deideologisasi Islam yang tidak hanya berbahaya dari sisi aqidah karena berarti kian mengukuhkan aqidah sekularisme yang kufur, tapi juga berbahaya karena akan menjauhkan umat dari kemuliaan hidup yang secara pasti hanya akan diperoleh manakala Islam diterapkan dalam kehidupan secara purna dan utuh. Oleh karena itu, saatnya umat mempertimbangkan kembali pemihakan mereka terhadap gagasan batil ini dengan cara mendalami hakekat pemikiran-pemikirannya.


Menimbang Perspektif Feminisme
Perlu ditekankan, bahwa kritik atas perspektif feminisme yang menjadi nafas gerakan perempuan saat ini harus dilandaskan pada penelaahan objektif atas konsep dan realita penerapan praktisnya di lapangan. Dan yang paling penting, harus ada tolok ukur yang pasti (benar) untuk menstandarisasi keabsahannya hingga layak diperjuangkan dan direalisasikan dalam kehidupan ataukah tidak. Sebagai seorang Muslim, sepatutnyalah jika kita hanya menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai asas penilaian atas setiap pemikiran, sehingga hanya dengan standar ini kita memutuskan untuk menerima atau menolaknya.

Berdasarkan hal ini, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk menimbang keabsahan perspektif feminisme, yakni (1) pendekatan faktual dan (2) pendekatan ideologis. Pendekatan faktual dilakukan dengan cara mencermati bagaimana kerangka berfikir feminisme dalam membangun pola hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat; sejauhmana kesesuaian paradigma feministik --termasuk logika pemberdayaannya-- dengan fakta aktual; dan sejauhmana pula feminisme mampu melakukan perubahan realitas ke arah yang diinginkan, berupa perbaikan nasib perempuan. Sementara, pendekatan ideologis dilakukan dengan cara menimbang perspektif feminisme dan seluruh ide turunannya dari kacamata kerangka berpikir Islam.

Secara faktual, banyak hal yang bisa dikritisi dari gagasan feminisme, antara lain:
Pertama, dari sisi pemikiran bahwa yang menjadi akar persoalan perempuan adalah ketidakadilan jender yang melembaga secara universal dalam struktur masyarakat yang patriarkhis. Sesungguhnya pemikiran ini terbantah oleh kenyataan bahwa berbagai fakta yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum muslimin, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan sebagai implikasi dari penerapan sistem yang bobrok, yakni sistem kapitalis-sekuler yang sejatinya memang tidak akan pernah mungkin bisa memberi jaminan keadilan bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan.

Kedua, feminisme menganggap bahwa adanya perbedaan seks tidak boleh menjadi alasan untuk membedakan peran-peran sosialnya. Padahal secara fakta, adanya perbedaan jenis laki-laki dan perempuan bagaimanapun akan berimplikasi pada perbedaan fungsi dan peran; perempuan dengan peran keibuannya dan laki-laki dengan peran kebapakannya. Yang penting dipahami bahwa adanya perbedaan fungsi dan peran ini, tidak lantas berarti menunjukkan perbedaan derajat dan kedudukan di antara laki-laki dan perempuan, karena kedua jenis peran itu diperlukan ‘sama penting’ dalam mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat yang senyatanya terdiri dari laki-laki dan perempuan.

Ketiga, cara pandang feminisme yang cenderung individualistik dan emosional telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan. Cara pandang seperti ini terkait dengan gagasan (rusak) demokrasi yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka dengan komunitas laki-laki di satu sisi dan komunitas perempuan di sisi yang lain. Tatkala muncul persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, maka itu harus dianggap sebagai permasalahan internal kaum perempuan, yang memunculkan anggapan, bahwa ‘hanya perempuan yang mampu menyelesaikan persoalan perempuan’. Cara pandang seperti ini tentu hanya akan melahirkan solusi yang parsial dan tak akan pernah tuntas.

Keempat, ketika berbicara tentang arah pemberdayaan perempuan, maka gagasan ini tegak di atas asumsi yang salah tentang nilai peran domestik perempuan. Mereka berasumsi bahwa peran domestik merupakan peran yang tidak strategis (baca: tidak bernilai ekonomis) dan menjadi penjara bagi perempuan untuk maju. Karenanya, agar perempuan bisa maju dan sejajar dengan laki-laki, mereka harus dibebaskan dari peran ini dan didorong sekuat-kuatnya untuk meningkatkan peran publiknya, berkiprah secara aktif dan luas di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang ekonomi dan politik. Hal ini sesuai dengan pandangan mereka yang rusak tentang konsep masyarakat yang berorientasi pada individu, serta konsep kebahagiaan dan standar prestise yang tegak di atas prinsip materialisme. Karenanya, wajar jika arah pemberdayaan yang mereka gagas justru terkesan kian tanpa arah dan tanpa batas.

Kelima, tatkala mereka berbicara tentang gagasan pemberdayaan peran politik perempuan sebagai solusi tuntas atas masalah perempuan, feminisme membatasi pengertian politik hanya pada tataran kekuasaan dan legislasi saja, sehingga arah pemberdayaan politik melulu diartikan sebagai upaya melibatkan perempuan dalam kedua ranah tersebut. Padahal, fakta politik tidak demikian, dan bahwa keberadaan perempuan di ranah tersebut sama sekali tidak berkorelasi positif dengan tuntasnya masalah perempuan. Yang menentukan justru adalah ada tidaknya perspektif yang seragam dan benar di seluruh ranah kehidupan masyarakat, sehingga masing-masing individu di dalamnya, apapun status dan kedudukannya, mengetahui secara pasti tujuan-tujuan luhur apa yang harus diperjuangkan secara bersama dan untuk kepentingan bersama.

Keenam, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian persoalan perempuan merupakan anggapan yang lemah, sebab demokrasi dan demokratisasi sendiri, baik dari sisi teori maupun prakteknya mengandung banyak sekali ambivalensi. Gagasan kedaulatan di tangan rakyat, teori representasi, adanya prinsip liberalisme individualis dan pluralisme hanya merupakan gagasan absurd yang menempatkan perspektif perempuan hanya sebagai salah satu bagian saja dari sekian banyak perspektif yang ada, yang keberadaannya wajib dipertahankan.

Adapun dilihat dari aspek ideologi, senyatanya feminisme merupakan gagasan yang rusak, karena gagasan ini tegak di atas aqidah yang rusak pula, yakni paham sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan (fashl ad dîn ‘an al-hayâh). Hal ini bisa dimengerti jika dikaitkan dengan fakta bahwa feminisme sesungguhnya terlahir sebagai reaksi atas kondisi real masyarakat Barat abad pertengahan yang secara ekstrem memang telah membunuh potensi dan kemampuan kaum perempuan di bawah legitimasi agama (kristen).

Dari kenyataan bahwa yang menjadi asas perspektif feminisme adalah paham sekuler yang rusak, maka wajar jika cara pandang feminisme terhadap fakta yang dihadapi sebagai bentuk pemikiran cabangnya, akan rusak dan lemah pula. Ini karena gagasan-gagasan feminisme mengenai bagaimana mengatur hidup dan kehidupan terkait dengan pola relasi laki-laki dan perempuan hanya dilandaskan pada asas rasionalitas manusia yang lemah dan terbatas. Hal ini nampak dari gagasan-gagasannya yang berbicara mengenai persoalan perempuan, hakekat sosok perempuan, peran dan fungsinya dalam kehidupan, serta kiprah politik mereka dalam tataran kekuasaan dan legislasi yang akhirnya cenderung serba tidak jelas, serba pragmatis dan dilematis, tidak solutif dan kadang irrasional.

Berbeda halnya dengan Islam, dimana sebagai din yang sempurna, Islam tegak diatas keyakinan bahwa Allah SWT adalah Pencipta dan sekaligus sebagai Pengatur Kehidupan. Oleh karenanya, dari aspek syari’at bagi pengaturan kehidupan, termasuk tentang relasi perempuan dan laki-laki dan pembagian peran dan fungsi di antara keduanya, Islam dipastikan memiliki konsep yang ideal, lurus dan komprehensif, karena berasal dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna dan Maha Adil. Dan hal ini terbukti dari fakta keberadaan masyarakat Islam yang senantiasa muncul sebagai masyarakat ideal dan gemilang, dimana salah satunya, perempuan mendapat tempat yang sempurna dan selayaknya. Banyak bukti sejarah yang menunjukkan bagaimana kiprah kaum perempuan, termasuk kiprah politik mereka di masa keemasan Islam yang membuktikan terjaminnya kesetaraan hakiki yang diberikan Islam atas mereka.


Feminisme atau Islam Saja?

Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelaslah bahwa secara fakta, ide-ide feminisme --dengan gagasan pemberdayaan perempuan sebagai isu sentralnya-- sangatlah rusak dan tidak bisa diharapkan. Sedangkan dari sisi ideologi, maka kerusakan dan bahayanya lebih jelas lagi, karena feminisme dan ide-ide turunannya tegak di atas asas yang batil, yakni aqidah sekularisme yang menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan; dan sebaliknya menetapkan manusia yang senyatanya sangat lemah dan terbatas sebagai Rabb al-‘Ālamîn. Tentu saja, ideologi seperti ini sangat bertentangan dengan idiologi Islam yang tegak di atas aqidah yang benar, yakni berupa keyakinan bahwa Allah Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, dan bahwa aturan Islam merupakan aturan yang sahih dan unik, serta menjamin keadilan bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini aturan Islam tegak di atas pandangan bahwa tatkala Allah SWT menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan dengan tujuan tertentu (yakni beribadah kepaaNya), maka Allah telah memberikan seperangkat potensi yang sama kepada keduanya, berupa potensi akal yang berfungsi mamahami (bukan menghukumi) serta potensi hidup yang membuatnya bergelora (naluri dan kebutuhan jasmani), sekaligus memberikan solusi bagaimana cara pemenuhannya dalam bentuk aturan-aturan kehidupan (din al-Islam).

Perangkat aturan-aturan inilah yang sebenarnya mengarahkan manusia di manapun dan di jaman apapun --baik pria maupun wanita-- agar keduanya dapat terjun ke kancah kehidupan secara harmonis, penuh ketenangan dan ketentraman dalam kerangka ibadah tadi, karena aturan tersebut dibuat oleh yang Maha Menciptakan Manusia dan kehidupan ini seluruhnya. Oleh karena itu, ketika kita melihat, bahwa adakalanya Allah SWT menetapkan aturan yang sama antara pria dan wanita seperti kewajiban beribadah, menghiasi diri dengan akhlaq mulia, menuntut ilmu, berda’wah dan sebagainya, dan disaat lain Allah juga kadang membedakan hukum diantara keduanya, semisal waris, kepemimpinan, perwalian dan sebagainya, maka semua itu harus dipandang sebagai solusi atas permasalahan manusia secara keseluruhan. Dan persamaan ataupun perbedaan ini, sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan ada dan tidak adanya emansipasi dalam Islam, melainkan hanya terkait dengan pandangan Islam yang manusiawi terhadap keberadaan sisi insaniah dan sisi kondrat jenis diantara keduanya. Dengan kata lain, pada saat berkaitan dengan sisi insaniah manusia, maka Allah menyamakan peran dan tanggungjawab diantara keduanya. Namun jika menyangkut aspek jenis (tabiat fitri), maka Allah SWT memberikan aturan yang berbeda. Dan kesemuanya harus dipahami dalam konteks bahwa aturan syara’ adalah solusi bagi problematika manusia seluruhnya.

Selain itu, Islam juga memandang, bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan yang utuh, yang tidak mungkin dipilah menjadi komunitas pria dan wanita, dimana satu sama lainnya saling berebut peran dan posisi masing-masing. Justru adanya pembagian peran dan fungsi yang landasannya aturan-aturan Allah SWT itulah yang menyebabkan pria dan wanita dapat saling bekerja sama untuk meraih tujuan-tujuan luhur masyarakat secara bersama. Apalagi yang terpenting, dalam Islam, penilaian prestasi tidak didasarkan pada jenis peran yang dimainkan, dan seberapa banyak materi yang dihasilkan, melainkan diukur oleh tingkat ketaatan manusia, baik pria maupun wanita, terhadap aturan-aturan yang sudah Allah tetapkan, apapun jenisnya. Dengan demikian, kedua-duanya memiliki peluang yang sama untuk meraih ketinggian derajat orang-orang taqwa di sisi Allah SWT. Inilah makna kesetaraan hakiki yang sesungguhnya ditawarkan oleh Islam.

Tentu saja hal ini menyangkut aspek yang paling mendasar, yakni masalah aqidah. Namun sebenarnya hanya dengan kerangka mendasar inilah kita bisa mulai melacak, dimana sebenarnya letak akar permasalahan munculnya disharmoni hubungan antara pria dan wanita di dalam masyarakat sekarang. Kenapa pula kaum wanita yang banyak menjadi korban ? Apakah benar bahwa biang keladinya adalah ajaran Islam ?
Jika kita mau sedikit jujur, maka kita akan melihat, bahwa pangkal kekacauan ini sebenarnya terkait dengan ketidakmampuan sistem yang ada --yakni sistem kapitalisme sekuler-- dalam memecahkan persoalan-persoalan manusia secara mendasar dan gradual. Padahal kita tahu, bahwa prinsip sekularisme adalah menyerahkan pengaturan kehidupan kepada asas rasionalitas manusia. Sementara, bagaimanapun jeniusnya, manusia tidak akan mampu membuat aturan yang sempurna dengan memberi jaminan keadilan bagi semua orang, baik laki-laki maupun wanita tanpa kecuali, karena akal manusia sangat terbatas.

Jadi masalahnya bukan karena adanya pembedaan fungsi dan peran wanita dan pria dalam masyarakat, apalagi dikait-kaitkan dengan keberadaan struktur masyarakat patriarkhi yang salah satunya memberi peluang penuh kepada laki-laki untuk memegang tampuk kekuasaan. Karena sebenarnya apapun peran dan fungsinya menjadi tidak lagi penting, selama pembagiannya dilandaskan pada aturan-aturan main yang sahih, yakni yang berasal dari Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur.

Oleh harena itu, sangat tidak layak jika kemudian ajaran Islam dipersalahkan atas kondisi miris yang menimpa kaum perempuan saat ini. Karena faktanya aturan Islam kini tidak dipakai sebagai aturan kehidupan. Justru aturan kapitalisme lah yang sedang mendominasi kehidupan ini yang kemudian terbukti hanya melahirkan berbagai persoalan krusial di berbagai bidang kehidupan. Sehingga kaum muslimin seharusnya kembali meyakini, bahwa hanya Islamlah yang bisa menjadi solusi atas seluruh persoalan manusia dengan jalan yang sangat manusiawi dan memuliakan manusia (baik pria maupun wanita). Hanya saja, ajaran Islam hanya bisa tegak secara purna dalam habitatnya yang alami, yakni di dalam sebuah masyarakat Islam yang di dalamnya seluruh interaksi yang terjadi diatur oleh aturan-aturan Islam.

Dalam konteks pembentukan masyarakat Islami inilah sebenarnya isu kebangkitan perempuan dan arah pemberdayaan perempuan (muslimah) menjadi relevan untuk dibahas, yakni bagaimana kaum perempuan mengoptimalkan seluruh peran-perannya (baik peran domestik maupun publik) sesuai dengan Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam. Dengan demikian, arah pemberdayaan perempuan dalam Islam akan menjadi bagian dari arah pemberdayaan umat secara keseluruhan, karena dalam Islam perjuangan mewujudkan masyarakan Islam adalah tugas laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari komponen umat. Jadi tidak layak jika mereka malah berbondong-bondong mengadopsi pemikiran feminisme yang batil. Apalagi jika ditinjau lebih jauh, pemikiran dan dampak dari perspektif feminisme ini sangat berbahaya dilihat dari sudut pandang Islam; Pertama, Ide ini lahir dalam konteks sosio-historis khas di Barat, yang dilatarbelakangi pertarungan ide teologi-feodalistik (kristen) dengan sekularisme. Sehingga, upaya mentransformasikan ide-ide ini ke tengah-tengah umat Islam, berarti juga mentransformasikan sekularisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Kedua, Keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslimin untuk meridhai ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya sekalipun itu berarti mereka harus mengikis keyakinan akan kesempurnaan aturan Islam atau melakukan sinkretisme dengan dalih kemanfaatan yang dia lihat berdasarkan akalnya. Ketiga, Ide ini telah memunculkan keguncangan struktur keluarga dan masyarakat, akibat kian tidak jelasnya patron pembagian fungsi dan peran laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Feminismelah yang dianggap bertanggungjawab terhadap maraknya kasus perceraian, fenomena wanita karir, fenomena unwed, dekadensi moral seperti free sex, aborsi, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain, yang jika dilihat dari konteks kepentingan umat dan masa depan mereka, tentu hal ini sangat berbahaya. Keempat, keberadaan ide ini menjadi bagian dari perang pemikiran (ghazwu al-fikr) yang secara sistematis dan terencana dilancarkan kaum kafir agar kaum muslimin kian terjauhkan dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat Islam dengan aturan hubungan sosialnya yang manusiawi, sekaligus memadamkan cita-cita mereka untuk hidup dalam masyarakat Islam, yang tidak hanya memuliakan kaum perempuan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Hal ini nampak dari target isu-isu global tentang perempuan yang awalnya hanya mengarah pada perubahan orientasi individu, seperti disorientasi terhadap peran ibu dan lembaga perkawinan, kini sudah mengarah pada target penghancuran keluarga muslim sebagai satu-satunya benteng terakhir yang memberi harapan lahirnya generasi umat di masa depan.


Khotimah
Memang tidak mudah membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian. Apalagi hingga saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler, sementara pemahaman ummat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Tak heran jika, pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat.

Jika kita tengok kembali ke belakang, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang dialami kaum muslim generasi awal. Mereka --para aktivis gerakan Islam yang terdiri dari kalangan shahabat dan shahabiyat ra-- dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Akan tetapi dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan ‘kekufuran’, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam.

Oleh karenanya, dari merekalah sepatutnya hari ini kita mengambil teladan, apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang dipenuhi dengan semangat ruhiyyah dan nilai-nilai Ilahiyyah. Mereka radiyallahu ‘anhum, adalah generasi terbaik yang dikader dan dibina langsung oleh Rasulullah Saw, suri tauladan terbaik. Sehingga kita melihat bahwa kehidupan mereka juga senafas dengan kehidupan Rasulullah Saw, nafas perjuangan li 'ilaa-i kalimatillah. [HK]
-------5/5/2005

COUNTER GENDER : TRAFFICKING

PERDAGANGAN PEREMPUAN, AKANKAH BERAKHIR??
Oleh : Husnul Khotimah
(Ditulis 22/4/2008


Pendahuluan
Membaca buku Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika yang ditulis Sulityowati Irianto dkk ( Penerbit: Buku Obor, Jakarta 2005) Cukup membuat kita miris. Betapa tidak? Fakta-fakta yang diangkat dalam buku tersebut setidaknya bisa menggambarkan bahwa kasus komoditisasi perempuan ternyata sudah sampai pada taraf yang mengerikan. Perempuan tidak hanya dijadikan objek (baca : korban) perdagangan, tetapi pada saat yang sama mereka diseret untuk dimanfaatkan dalam jaringan pengedaran narkoba berskala internasional.

Fakta-fakta ini memang disebut-sebut sebagai modus operandi baru. Sebelumnya, kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak (children and women trafficking) lebih banyak terkait dengan tujuan-tujuan eksploitasi seksual (seperti dijadikan pelacur, korban para pedophil, pengantin pesanan laki-laki asing /mail order bride, industri pornografi-pornoaksi, dan lain-lain), untuk tujuan eksploitasi ekonomi (seperti dijadikan buruh migran legal maupun ilegal, PRT dengan jam kerja panjang, sebagai pekerja jermal/penangkapan ikan di laut lepas, pengemis dan lain-lain), serta untuk tujuan adopsi dan pemindahan organ tubuh. Adanya unsur rekrutmen melalui tipudaya dan pemanfaatan posisi kerentanan, penyekapan dan atau pembatasan gerak, migrasi, memberi pekerjaan yang berbahaya, kekerasan dan perendahan yang ditemukan pada beberapa kasus perempuan yang terlibat peredaran narkoba yang diteliti, dianggap cukup membuktikan bahwa mereka sebenarnya merupakan korban perdagangan perempuan.

Ada beberapa faktor resiko yang mengemuka dalam laporan penelitian tersebut sebagai penyebab terjadinya trafficking dalam pengedaran narkotika, antara lain (1) faktor ekonomi berupa kemiskinan yang berimplikasi pada rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat pengangguran, (2) faktor budaya yang menempatkan perempuan sebagai ‘survivor’ untuk mengatasi kemiskinan keluarga, disamping adanya hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan yang membuat perempuan dalam posisi tertekan secara fisik dan psikologis sehingga mudah dimanfaatkan (budaya patriarkhi), serta (3) faktor struktur dan sistem penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas dan inkonsisten.

Lebih jauh, tim penulis banyak menyoroti aspek penegakkan hukum terhadap perempuan-perempuan pelaku pengedaran narkotika yang tertangkap, yang dianggap tidak berperspektif jender. Akibatnya, kenyataan bahwa para perempuan tersebut merupakan korban perdagangan yang sengaja dimanfaatkan untuk tujuan pengedaran narkotika, menjadikan mereka harus mengalami kekerasan ganda, yakni sebagai korban perdagangan manusia, sekaligus sebagai korban ketidakadilan hukum, karena merekalah yang umumnya harus menanggung hukuman berat atau menjadi tumbal atas perbuatan yang ‘terpaksa’ mereka lakukan –-yakni dengan menerima hukuman seumur hidup hingga mati—, sementara pada saat yang sama, hukum tidak mampu menjerat pelaku yang sesungguhnya.


Perdagangan Perempuan, Persoalan Sistem!
Maraknya perdagangan perempuan, termasuk yang terkait dengan pengedaran narkotika, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari carut-marutnya sistem kehidupan yang kini sedang dijalankan. Sistem dimaksud adalah sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan. Dengan asas yang rusak ini, wajar jika kapitalisme sejatinya melahirkan berbagai kerusakan pula.

Beberapa hal yang disebut-sebut sebagai faktor resiko terjadinya trafiking tadi sebenarnya hanya merupakan sebagian kecil saja dari bukti kebobrokan sistem ini. Masalah kemiskinan misalnya, justru menjadi hal lumrah dalam masyarakat yang menerapkan sistem kapitalisme. Betul bahwa, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan alamiah, biasanya terkait dengan kondisi alami seseorang yang menyebabkannya tidak mampu bekerja, seperti cacat, jompo, dan lain-lain. Kemiskinan kultural diakibatkan rendahnya kualitas SDM sebagai hasil kultur tertentu, seperti kebiasaan malas, tergantung pada warisan, dan lain-lain. Dan kemiskinan struktural terjadi akibat kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat. Apa yang menggejala saat ini, jelas bukan kemiskinan alamiah dan kultural, melainkan lebih bersifat struktural yakni akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang rusak.

Sebagaimana diketahui, sistem ekonomi kapitalistik tegak di atas beberapa prinsip/ paradigma yang salah, antara lain (1) prinsip mengenai kebebasan hak milik yang memungkinkan para pemilik modal kuat menguasai aset-aset dan akses/peluang ekonomi, termasuk aset-aset yang seharusnya menjadi milik rakyat dan dimanfaatkan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Konsep ini telah memunculkan ketimpangan sosial yang sangat lebar di tengah-tengah masyarakat, bahkan di negara-negara yang kaya sumberdaya alam sekalipun. Sebagai gambaran, 14 konglomerat terbesar di Indonesia (Salim Grup, Sinar Mas Grup, dll) menguasai asset senilai Rp.47,2 Trilyun yang setara dengan 83% nilai APBN Indonesia pada tahun 1993.

(2) Tolok ukur pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, dimana keberhasilan pembangunan melulu dinilai dari tingkat produktivitas masyarakat/negara tiap tahun (GNP/GDP) secara rata-rata, yang tentu tidak bisa mencerminkan pemerataan kesejahteraan, bahkan telah menjadikan kemiskinan tersembunyi di balik angka rata-rata tersebut. (3) prinsip meminimalisir peran negara di bidang sosial ekonomi dan membatasinya dalam peran pengawasan dan penegakan hukum semata. Peran ini telah menghilangkan fungsi dan tanggungjawab negara sebagai pemelihara urusan rakyat dan menyerahkannya kepada masyarakat dan pihak swasta. Akibatnya, dalam bidang ekonomi terjadi liberalisasi yang menafikan realitas adanya orang kuat dan lemah, dan di bidang sosial bermunculan LSM-LSM/yayasan-yayasan yang menangani berbagai persoalan yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Sementara itu, peran pegawasan dan penegakan hukumpun, pada kenyataannya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, karena dalam sistem ini negara lebih banyak merepresentasikan kepentingan para kapitalis –termasuk negara-negara kapitalis melalui berbagai tekanan dan intervensi politik-- dibandingkan mayoritas rakyatnya.

Dalam tataran kebijakan, prinsip-prinsip di atas juga telah membawa efek buruk langsung kepada masyarakat. Kebijakan ekonomi yang diterapkan misalnya, lebih banyak bertumpu pada pertumbuhan sektor non ril (seperti sektor perbankan dan keuangan ribawi) yang bukan saja tidak bisa mendorong peningkatan lapangan kerja, tapi malah berresiko tinggi --seperti terjadinya krisis moneter beberapa waktu lalu, diikuti krisis ekonomi yang mengganggu pertumbuhan sektor ril dengan banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan menyebabkan PHK besar-besaran--, serta berupa pengelolaan sumberdaya alam yang salah yang menguntungkan sebagian kecil kelompok saja. Akibatnya mayoritas masyarakatlah yang harus menanggung resikonya; terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan tak berujung pangkal:

Pendidikan dan jaminan sosial rendah --> kualitas SDM rendah --> bargaining rendah --> tingkat upah rendah --> pendapatan keluarga rendah/miskin --> pendidikan rendah, dst.

Kondisi inilah yang akhirnya banyak mendorong masuknya anak-anak dan perempuan ke bursa tenaga kerja dengan tingkat kompetisi yang sangat tinggi dan rentan terhadap komoditisasi, termasuk menjadi korban perdagangan manusia. Hal ini diperkuat dengan merebaknya pemikiran-pemikiran sekuler seperti materialisme dan manfaatisme yang meniscayakan berkembangnya berbagai bisnis haram semacam prostitusi, pornografisme dan narkotika, yang oleh sebahagian pihak dijadikan sebagai jalan pintas untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya, sementara dalam konteks makro tetap ‘dihitung’ sebagai sumber ekonomi bayangan yang memberi keuntungan dan kontribusi luar biasa besar terhadap pertumbuhan ekonomi.

Adapun faktor budaya, jika ditelusuri sistem pulalah yang telah membentuknya dalam rentang waktu yang sangat panjang. Artinya, banyaknya perempuan yang menjadi korban bukan semata-mata karena mereka perempuan, tetapi sistemlah yang mengkondisikan demikian. Terlebih jika dicermati, apa yang menimpa perempuan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, dan lain-lain justru menjadi potret bersama mayoritas masyarakat dimanapun. Sehingga, kalaupun ketimpangan jender memang ada, maka hal tersebut hanya menjadi salah satu faktor saja yang senyatanya –lagi-lagi—merupakan ekses dari penerapan sistem yang salah, bukan semata budaya, apalagi agama (baca: Islam).

Tak bisa dipungkiri, bahwa praktek kolonialisme yang dilakukan negara-negara kapitalis atas negeri-negeri kaya sumber daya --baik yang dilakukan secara fisik di masa lalu, maupun kolonialisme gaya baru seperti yang terjadi saat ini berupa dominasi sistem yang berasal dari ideologi kapitalisme-- bukan hanya telah menyebabkan kemiskinan struktural luar biasa, tetapi pada saat yang sama, berhasil membentuk budaya rusak seperti mental inferior, submissif, apatis dan fatalis, disamping juga berhasil membentuk mental srigala --memanfaatkan yang lemah--, individualistis, materialistis, hedonis, berpikir dan bertindak atas asas manfaat, dan lain-lain. Budaya-budaya rusak inilah yang kental mewarnai praktek-praktek interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat hingga kini, termasuk yang mewarnai kasus-kasus perdagangan perempuan. Dimana sebagian pihak (baik personal maupun sindikasi) sengaja ‘memanfaatkan’ kondisi sulit yang --antara lain-- dialami kaum perempuan akibat kesalahan sistem tadi, untuk kepentingan bisnis pribadi/kelompok mereka. Dengan demikian, jika dalam kasus-kasus ini perempuan yang banyak dijadikan korban, tidak lain karena pada konteks ini ‘perempuan’lah yang dianggap bisa ‘dimanfaatkan’ untuk mencari keuntungan. Sementara pada kasus lain, tak sedikit laki-laki yang dikorbankan.

Persoalan ini penting ditekankan, mengingat penggunaan sudut pandang jenderis dalam menganalisis akar berbagai pemasalahan yang selama ini diklaim sebagai masalah perempuan seringkali membuat persoalan justru menjadi bias. Alih-alih mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas dan mendasar, yang terjadi malah muncul permasalahan-permasalahan baru akibat kian tajamnya dikotomi laki-laki-perempuan dan polemik seputar kepentingan laki-laki dan perempuan. Padahal jelas, bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan masyarakat secara keseluruhan dan seharusnya dipandang sebagai permasalahan masyarakat secara keseluruhan, dimana akarnya adalah akibat penerapan sistem kapitalisme, yang dengan asasnya yang rusak, sejatinya tidak akan mampu memberi solusi atas persoalan yang dihadapi, bahkan justru menjadi biang kerok merebaknya berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat.

Adapun mengenai faktor penegakkan hukum, persoalannya juga jelas bukan terkait dengan masalah ada atau tidaknya keberpihakan hukum dan para penegaknya terhadap kaum perempuan (berperspektif jender atau tidak), melainkan pada masalah bisa atau tidaknya sistem hukum yang lahir dari kapitalisme memberi jaminan kepastian dan keadilan hukum kepada masyarakat secara keseluruhan. Faktanya, berbagai instrumen hukum yang ada, terlebih sistem penegakkannya, tak ubah seperti macan ompong. Sementara berbagai komitmen politis untuk memerangi segala bentuk ketidakadilan seolah hanya retorika di atas kertas atau panggung (sandiwara) politik belaka.

Sebagian pihak memang percaya bahwa instrumen hukum yang telah ada sudah memadai untuk mencegah dan menuntaskan kasus-kasus kriminal semacam perdagangan perempuan dan pengedaran narkotika. Menurut mereka, persoalannya tinggal masalah goodwill para penegak hukumnya saja (aspek penegakkannya). KUHP misalnya, sudah memuat pasal-pasal mengenai masalah kekerasan, yang sekalipun dianggap banyak mengandung kekurangan dan kelemahan, masih bisa di back-up dengan menggunakan instrumen hukum yang lain, seperti berbagai konvensi hukum internasional yang telah diratifikasi, yang terkait masalah perdagangan manusia (termasuk perempuan dan anak) dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta berbagai undang-undang atau peraturan di bawahnya yang dibuat untuk mencegah kasus-kasus yang sama seperti UU KDRT, dan lain-lain. Pertanyaannya, benarkah kian merebaknya berbagai kejahatan adalah semata persoalan goodwill yang senyatanya memang bermasalah, sementara banyaknya instrumen hukum yang dibuat dari waktu ke waktu menunjukkan betapa lemahnya produk hukum yang dibuat dalam menuntaskan berbagai persoalan?

Sebenarnya ada hal paradigmatik yang harus diselesaikan dalam sistem hukum kita, baik yang terkait dengan produk hukum, penegak hukum maupun sistem peradilan dan sanksinya. Karena sebagaimana aspek yang lainnya, sistem hukum kitapun lahir sebagai derivasi sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang rusak. Karena asas ini menolak campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan, maka dalam sistem ini, hukum diserahkan pembuatannya kepada manusia dengan akalnya yang serba lemah dan terbatas. Terlebih sejak awal, pembuatannyapun memang hanya ditujukan untuk mengukuhkan terlaksananya aturan main kehidupan ala kapitalisme, yang sekalipun secara konsep mengenal prinsip keadilan, kesetaraan di hadapan hukum, dan lain sebagainya, tetapi tetap mendefinisikan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks keadilan dan kesetaraan versi kapitalisme yang –lagi-lagi—sejatinya memihak pada kepentingan para kapitalis. Wajar jika yang terjadi adalah ketidakadilan-ketidakadilan dan hegemoni minoritas (kapitalis) atas mayoritas, dengan bukti –antara lain—maraknya mafia peradilan, vonis tanpa dasar dan lain-lain. Dalam konteks perdagangan perempuan dan pengedaran narkobapun, berbagai ketidakadilan terjadi dimana-mana. Sebagian divonis dengan berat, sementara yang lain dibiarkan bebas berkeliaran (unthouchable).

Walhasil, maraknya perdagangan perempuan dalam pengedaran narkoba sebenarnya bukan hanya terkait dengan masalah kemiskinan, budaya dan hukum semata, melainkan lebih bersifat sistemik, yakni akibat penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini tidak hanya bertanggungjawab terhadap ketiga hal tadi, bahkan terhadap seluruh kerusakan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian satu-satunya solusi untuk keluar dari permasalahan-permasalahan ini hanyalah dengan mencampakkan sistem kapitalisme sekuler dari pegaturan kehidupan dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang sempurna, yakni sistem Islam.


Islam, Solusi Tuntas
Berbeda dengan kapitalisme, Islam tegak di atas paradigma yang shohih (benar dan rasional), yakni pemikiran mendasar/akidah yang meyakini bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan yang luar biasa ini ada Allah SWT, Sang Maha Pencipta, Yang Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Segalanya; Dan bahwa hakekat kehidupan manusia terkait dengan misi penciptaan sebagai khalifatullah fil-ardh, yang satu saat di kehidupan akhirat akan dimintai pertanggungjawaban sekaligus diberi balasan setimpal atas apa yang telah dilakukan. Akidah inilah yang menguatkan keyakinan, bahwa kehidupan manusia di dunia wajib terikat dengan aturan Allah SWT, Sang Pemilik Kehidupan, yakni Syariat Islam.

Karena syariat Islam diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia sejalan dengan misi penciptaannya, maka syariat Islam hakekatnya merupakan solusi atas seluruh aspek kehidupan, dengan solusi yang sempurna dan menyeluruh. Syariat Islam bersifat universal (berlaku kapanpun di manapun), lengkap (mencakup berbagai aspek kehidupan) dan terpadu (hukum yang satu saling berkaitan dengan hukum yang lainnya). Sehingga jika syariat ini diterapkan secara utuh (kaffah), maka dipastikan manusia akan bisa meraih kebahagiaan hakiki yang secara fitrah diinginkannya, baik di kehidupan dunia dengan diraihnya kesejahteraan dan jaminan keadilan, maupun di kehidupan akhirat berupa diperolehnya keridhoan Allah SWT.

Hal-hal di atas terkait dengan fakta bahwa syariat Islam berfungsi menjaga hal-hal mendasar dan urgen bagi manusia tanpa kecuali (muslim-non muslim, laki-laki-perempuan), seperti menjaga jiwa, keturunan, akal, kehormatan, agama, harta, menjaga keamanan dan negara . Sebagai contoh, Islam mengharamkan pembunuhan dan kekerasan, perzinahan dan hal-hal yang bisa menjadi washilah terjadinya perzinahan –termasuk porografi-pornoaksi, mengharamkan khamr/minuman yang memabukkan dan merusak akal (termasuk narkoba), mendorong manusia menuntut ilmu, melarang menuduh zina –apalagi menyuruh berzina seperti pada kasus trafiking--, mengghibah, melakukan fitnah, melarang murtad meski non muslim tidak dipaksa menjadi muslim, melarang mencuri dan membelanjakan harta di jalan haram, menyuruh amar ma’ruf dan nahi mukar, melarang tindakan yang mengganggu keamanan, melarang bughot/pemberontakan dan lain-lain. Dan sebagai jaminan bagi tegaknya hukum-hukum tersebut, Islam menetapkan sistem sanksi yang sangat tegas, adil dan konsisten, disamping menetapkan berbagai hukum yang bersifat strategis seperti politik ekonomi Islam, aturan pemerintahan Islam, politik dalam dan luar negeri Islam, politik pendidikan Islam, sistem pergaulan Islam, dan lain-lain, yang satu sama lain saling mengukuhkan dan secara praktis diterapkan oleh negara.

Dengan gambaran di atas, bisa dipastikan bahwa masyarakat yang menerapkan syariat Islam secara utuh akan menjadi masyarakat yang bersih, sehat dan sejahtera. Kalaupun ada kemaksiatan, maka hanya akan bersifat kasuistik saja dan bukan menjadi potret buram seperti saat ini. Setiap orang, tanpa kecuali, akan terlindungi hak-haknya. Begitupun kaum perempuan akan terjaga kehormatannya. Sehingga, kasus-kasus komoditisasi perempuan yang merebak saat ini pun, termasuk perdagangan perempuan dalam pengedaran narkotika, akan tercegah dengan sendirinya. Hal ini karena apa yang tadi disebut-sebut sebagai faktor resiko terjadinya trafiking dalam pengedaran narkotika juga tidak akan muncul dalam sistem masyarakat yang menerapkan Islam yakni Daulah Khilafah Islamiyah, sebagaimana telah terbukti di masa lalu.

Sebagai gambaran, tatkala negara menerapkan sistem politik ekonomi Islam, maka kebutuhan dasar setiap warga negara, baik yang bersifat primer seperti pangan, sandang dan papan, maupun yang bersifat sekunder seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan akan terpenuhi dengan baik. Hal ini karena sistem politik ekonomi Islam tegak di atas beberapa prinsip yang benar, seperti (1) adanya konsep kepemilikan yang jelas, memisahkan mana pemilikan individu, umum dan negara, sehingga aset-aset sumber daya yang menjadi milik umum dan harus digunakan untuk kepentingan umum tidak akan jatuh pada pihak swasta. Dengan demikian, akan banyak sumber-sumber pemasukan keuangan negara yang dapat digunakan untuk menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk penyediaan fasilitas-fasilitas sosial yang murah. (2) bahwa problem ekonomi bukan terletak pada masalah kelangkaan barang/sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagaimana pandangan kapitalis (sehingga akhirnya mereka fokus pada upaya meningkatkan produktivitas), melainkan terletak pada masalah buruknya distribusi akibat kapitalisasi (3) Optimalisasi peran negara sebagai penanggungjawab pengurusan umat baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun dalam fungsi pengawasan dan penegakkan sistem hukumnya. Negara dalam hal ini berkewajiban menerapkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada kepentingan rakyat berdasarkan hukum syara, seperti menerapkan kebijakan yang mendorong investasi di sektor ril yang halal sehingga tersedia lapangan kerja yang cukup, menerapkan sistem distribusi kekayaan yang adil dan canggih, termasuk bagi kelompok masyarakat yang secara alamiah termiskinkan, menerapkan kebijakan moneter yang kokoh berdasarkan mata uang emas dan perak, melarang praktek kotor seperti monopoli, riba dan suap meyuap, mencegah ketergantungan kepada pihak asing, menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan SDM berkualitas dan terjangkau oleh semua, menerapkan sistem sosial yang bersih, dan lain-lain. Dan untuk menjamin penegakkannya, negara juga wajib menerapkan sistem hukum Islam (sistem uqubat) yang tegas, adil dan konsisten berlandaskan ketaatan kepada Allah SWT sebagai Al-Hakim dan Al-Adil.

Terkait dengan sistem hukum Islam, tak sedikit orang yang meragukan kemampuannya dalam mengentaskan berbagai kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Pandangan ini ‘wajar’, mengingat sistem hukum positif yang kini diterapkan dimanapun tak ada yang mampu memberi solusi atas merebaknya kriminalitas.

Yang perlu dipahami adalah, ada perbedaan mendasar antara sistem hukum positif dengan sistem hukum Islam. (1) Sistem hukum Islam bersumber dari Allah SWT, Dzat Yang Maha Tahu hakekat kebaikan dan keburukan, Dzat Yang Menciptakan Manusia secara keseluruhan, Dzat Yang Maha Adil dan Bijaksana, bukan berasal dari hasil daya pikir manusia yang lemah. Karenanya, dipastikan bahwa sistem hukum ini bisa menjadi solusi atas seluruh permasalahan –termasuk perdagangan perempuan dan pengedaran narkotika--, bersifat tetap dan pasti, serta memiliki perspektif yang menjamin keadilan bagi siapapun, bukan hanya untuk laki-laki atau perempuan. (2) Sistem hukum Islam hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan, karena pelaksanaannya tegak di atas landasan taqwa, bukan kepentingan pihak bermodal. (3) Hukum Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah merebaknya kejahatan karena sanksi yang sangat berat ) dan jawabir (penebus dosa, sehingga tercegah dari siksa akhirat), sementara sistem hukum positif –secara teoritis-- hanya berfungsi sebagai pencegah saja, meski faktanya telah gagal mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran.


Khotimah
Dari paparan diatas, jelas bahwa solusi tuntas atas merebaknya kasus perdagangan perempuan termasuk yang terkait dengan pengedaran narkotika, bahkan atas berbagai krisis yang dialami umat manusia secara keseluruhan hanyalah dengan kembali kepada sistem Islam, yakni dengan menerapkan seluruh aturan Islam secara kaafah dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Hanya saja agar seluruh hukum Islam ini bisa dilaksanakan secara utuh, setidaknya ada tiga pilar penerapan hukum Islam yang harus terwujud dalam kehidupan umat, yakni (1) ketaqwaan individu, yang mendorongnya selalu terikat kepada hukum syara, (2) Kontrol masyarakat, yakni adanya tradisi amar ma’ruf nahi munkar baik antar sesama umat maupun kepada penguasa, sehingga kemaksiatan tidak akan merajalela, dan (3) Kendali negara sebagai penerap dan pelaksana hukum, yang dengan cara itu aqidah dan perilaku seluruh warga akan terjaga, dan seluruh hak-hak warga negara akan terpenuhi secara adil dan menyeluruh.

Ketiga pilar ini harus ada secara bersama. Sebab jika ada individu atau masyarakat yang bertaqwa, begitu pula ada kontrol masyarakat, namun tidak ada negara yang menerapkan hukum Islam tentu mustahil hukum Islam tersebut dapat diterapkan. Begitu pula apabila ada negara yang menerapkan Islam, tetapi tidak dikawal dengan adanya kontrol masyarakat dan ketakwaan individu, maka sedikit demi sedikit
penerapan Islam yang dilakukan oleh negara tersebut akan diselewengkan.

Mengembalikan sistem Islam inilah yang seharusnya menjadi titik fokus perjuangan umat saat ini. Yakni dengan cara membangkitkan pemikiran mereka dengan Ideologi Islam, sebuah ideologi yang selama berabad-abad mampu menjadikan umat Islam sebagai sebaik-baik umat. Dimana pada saat itu seluruh masyarakat, laki-laki dan perempuan, hidup dalam jaminan keadilan dan kesejahteraan, di bawah sistem negara yang bersih dan mendapat ampunan Allah SWT. Sistem negara dimaksud adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.

"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada Ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran[3]:132-133) [][][]