INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 27 April 2011

Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim


(Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)
HTI-Press. Masih banyak orang yang menganggap bahwa penerapan hukum Islam atas non-Muslim hanya berujung pada kerusuhan, pertumpahan darah, dan perpecahan. Ada ketakutan di kalangan non-Muslim, seolah-olah hidup di bawah naungan hukum Islam akan menjadi awal kehancuran kehidupan mereka. Di Dunia Islam, ketakutan ini dimanfaatkan untuk menjustifikasi diambilnya langkah-langkah keras untuk menangani aktivis Muslim yang menyerukan penerapan hukum syariat dengan menegakkan Negara Khilafah.

Negara-negara Barat imperialis, bersama-sama dengan media dan para penguasa di Dunia Islam yang menjadi antek-antek mereka, dibarengi dengan pengawasan ketat terhadap para pengemban dakwah, memanfaatkan isu-isu seperti penerapan hukum syariat untuk mengolok-olok dan menyerang gagasan penerapan Islam. Mereka masih khawatir jika hukum syariat Islam diterapkan secara benar, hal ini akan melahirkan negara yang keadidayaannya tidak pernah tersaingi oleh negara manapun. Bersatunya begitu banyak orang, dengan latar belakang yang sangat beragam tidak pernah terjadi kecuali di era Khilafah.

Karena itu, kita paham, mengapa negara-negara Barat imperialis memiliki agenda untuk merusak citra Islam, (yaitu) supaya Islam tidak dipandang sebagai alternatif bagi ideologi Kapitalis. Untuk memperoleh gambaran yang jernih perihal nasib orang-orang non-Muslim dalam Negara Khilafah, harus dijelaskan kepada kaum Muslim maupun non Muslim, bagaimana Negara Khilafah memperlakukan orang-orang non Muslim yang ada di wilayah kekuasaan Negara Khilafah Islam. Ini diperlukan, agar kekhawatiran dan kesalahpahaman berbagai pihak bisa hilang dengan sendirinya, sekaligus dapat meng-counter berbagai tuduhan keji dari musuh-musuh Islam yang tidak suka dengan kembali diterapkannya syariat Islam.

Non-Muslim adalah Ahlu Dzimmah
Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)

Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan melihat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah. Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis dakwah Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih baik bagi non-Muslim untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup berdasarkan sistem Islam itu sendiri, dan mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Swt?

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.
Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

“Barangsiapa membunuh seorang mu’ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun”. (HR.Ahmad)

Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, “Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”

T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen”.

Arnold kemudian menjelaskan; “Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”

Kategori non-Muslim
Syariat Islam berlaku untuk semua ahlu dzimmah. Ahlu dzimmah mencakup seluruh mu’ahid (orang-orang yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah) dan musta’min (individu yang memasuki wilayah Negara Khilafah dengan ijin), selain dari para diplomat yang diperlakukan berdasarkan perjanjian bersama dengan negara lain.
Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori kedua adalah umat-umat agama lainnya. Ahli Kitab terdiri atas umat Yahudi dan Kristen. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat agama lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Bukti untuk hal ini ialah:

Non-Muslim Berhak Menjalankan Kepercayaan Mereka
Allah Swt menyatakan:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Namun umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

Kita melihat penerapan peraturan ini secara praktis selama masa pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara. Hal ini justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.

Non-Muslim Mengikuti Aturan Agama Mereka dalam Hal Makanan dan Pakaian
Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik.
Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat.”

Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam.

Urusan Pernikahan dan Perceraian Antar Non-Muslim Dilakukan Menurut Aturan Agama Mereka
Umat non-Islam diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka.
Syariat membolehkan seorang lelaki Muslim untuk menikahi perempuan Ahli Kitab. Al-Qur’an menyatakan:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (TQS. al-Maidah [5]: 5 )

Dengan demikian, maka masalah pernikahan, perceraian, dan masalah-masalah keluarga lainnya, termasuk anak-anak, harus diurus berdasarkan syariat Islam.
Non-Muslim Wajib Mengikuti Syariat Islam dalam Masalah Hubungan Sosial Kemasyarakatan
Masalah lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh Negara Islam pada semua orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.

Sistem Sanksi
Muslim dan non-Muslim wajib dikenakan hukuman karena kejahatan yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Beberapa contoh di bawah ini jelas menunjukkan hal tersebut.
•Nabi Muhammad saw bersabda: “Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan kupotong tangannya.”
•Umar bin Khaththab ra menghukum puteranya sendiri ketika ia menjabat sebagai Khalifah.
•Ibnu Umar meriwayatkan: “Dua orang Yahudi didakwa karena berzina dan dibawa ke hadapan Nabi saw, beliau kemudian memerintahkan agar mereka dirajam.”
•Anas meriwayatkan: “Seorang Yahudi membunuh seorang gadis dengan batu, Rasulullah saw pun kemudian membunuhnya.”
•Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: “Bila seorang Muslim membunuh siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia wajib dihukum dengan dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan maupun lelaki.”

Sistem Peradilan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 8 )
Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dengan Muslim. Hakim (qadli) wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut syariat semata, bukan menurut aturan lain. Ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana non-Muslim dapat mengalahkan seorang Muslim di pengadilan.
Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sejumlah Muslim menyerobot tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Umar kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.
Dalam kasus lainnya, pada masa pemerintahan Imam Ali, seorang Yahudi mencuri baju zirah milik Khalifah. Ali kemudian mengadukan Yahudi tersebut ke pengadilan dan membawa puteranya sebagai saksi. Hakim menolak gugatan sang Khalifah, dan menyatakan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan saksi dalam perkara yang melibatkan ayahnya di pengadilan. Setelah menyaksikan keadilan tersebut, si Yahudi kemudian mengaku bahwa ia memang mencuri baju tersebut dan kemudian memeluk Islam.

Sistem Ekonomi

قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ ﴿٢٩﴾

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at Taubah [9]: 29)

Non-Muslim wajib membayar pungutan tahunan yang disebut jizyah. Sebagai balasannya, Negara Khilafah berkewajiban melindungi mereka. Ali menyatakan, “Dengan dibayarkannya jizyah, maka harta mereka sama nilainya dengan harta kita, dan darah mereka pun seperti darah kita.”

Jizyah diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya. Jizyah tidak dikenakan pada anak kecil, orang gila, atau wanita. Besaran jizyah tidak diatur secara pasti, namun diserahkan pada opini dan ijtihad Khalifah. Khalifah wajib mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan dan kemiskinan, sehingga tidak memberatkan kaum dzimmi.
Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Arqam untuk mengurusi masalah jizyah para ahlu dzimmah, dan kala beliau hendak beranjak pergi, Nabi saw memanggilnya kembali dan menyatakan, “Siapapun yang menindas seseorang yang terikat perjanjian (mu’ahid), atau membebaninya melebihi kemampuannya dan menyakitinya, atau mengambil apapun yang menjadi haknya tanpa keikhlasan darinya, maka aku akan menuntut orang (penindas) tersebut pada Hari Perhitungan.” (HR. Abu Dawud)

Sebagai contoh, jizyah pada masa Umar bin Khaththab adalah sebagai berikut:
• 4 dinar untuk golongan kaya (setara £108,00)
• 2 dinar untuk golongan menengah (setara £54,00)
• 1 dinar untuk golongan miskin (setara £27,00)

Pungutan ini tidak sama dengan pajak, seperti sistem perpajakan yang amat menindas saat ini. Secara finansial, kesejahteraan ahlu dzimmah terjaga di bawah Negara Islam, dan mereka pun berhak menggarap berbagai bisnis dan melakukan perdagangan.

Cecil Roth, dalam bukunya The House of Nasi: Dona Gracia, menyatakan bahwa perlakuan pada kaum Yahudi di bawah pemerintahan Ottoman telah menarik perhatian kaum Yahudi dari berbagai negeri Eropa Barat. Wilayah Islam pun menjadi lahan emas. Dokter-dokter Yahudi dari Akademi Salanca dipekerjakan untuk mengurusi Sultan dan para Wazir. Di berbagai tempat, industri pembuatan gelas dan penempaan logam menjadi bidang-bidang yang dimonopoli kaum Yahudi, dengan pengetahuan mereka dalam penguasaan bahasa asing, mereka merupakan kompetitor utama bagi para pedagang Venesia.

Hukum syariat menyatakan: “Non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab memiliki hak yang sama dengan Muslim untuk apapun yang berasal dari Baitul Mal.” Maka, kaum miskin ahlu dzimmah pun berhak mendapatkan bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).
Kondisi ini jelas tidak sama dengan dunia Barat maupun Timur saat ini, yang membatasi imigran dalam hal perekonomian, bersikap rasis pada mereka, serta membuat aturan ketat yang mencegah masuknya kaum imigran. Negara Islam tidak menerapkan kebijakan macam itu. Siapapun yang ingin menjadi warga dari Negara Islam memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warganegara lainnya. Sultan Bayazid II menyikapi masalah pengusiran kaum Yahudi yang dilakukan oleh Ferdinand, Raja Katolik Spanyol, dengan mengeluarkan pernyataan, “Bagaimana mungkin Ferdinand dapat disebut ‘bijak’, dia telah memiskinkan wilayah kekuasaannya guna memperkaya dirinya.” Sultan kemudian menerima pengungsi Yahudi dengan tangan terbuka. Sama halnya dengan diterimanya kaum Yahudi di Turki setelah Konstantinopel dibebaskan oleh Islam di bawah Muhammad Sang Penakluk (Muhammad al-Fatih)

Non-Muslim Tidak Berhak Memegang Posisi Pengambil Kebijakan

الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِن كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّهِ قَالُواْ أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ وَإِن كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُواْ أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً ﴿١٤١﴾

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 141)

Ayat ini mengekspresikan larangan bagi non-Muslim (orang kafir) untuk memegang pos-pos kekuasaan atas umat Islam. Selain itu, kaum non Muslim tidak berhak berpartisipasi dalam pemilihan Khalifah.

Majelis Umat
Siapapun yang memiliki kewarganegaraan, bila ia dewasa dan berakal sehat, memiliki hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Dalam hal ini, dia memiliki hak untuk memilih anggota-anggota Majelis, baik perempuan maupun lelaki, baik Muslim maupun non Muslim.

Kaum non Muslim berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam atas diri mereka. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. berbincang dengan seorang Yahudi bernama Finhas yang diajaknya untuk masuk Islam. Finhas kemudian menjawab, “Demi Allah Abu Bakar, kita tidak memerlukan Allah sebagaimana Ia membutuhkan kita, dan kita tak perlu meminta bantuan-Nya sebagaimana Ia meminta bantuan pada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, sementara Dia memerlukan kita. Bila Dia benar-benar Maha Kaya, Dia tak akan meminta pinjaman uang pada kita sebagaimana yang dikatakan oleh temanmu. Dia (Rasulullah saw) melarangmu melakukan riba, namun membolehkan kami (Yahudi) melakukannya, dan bila Dia benar-benar Maha Kaya, Dia tak akan membolehkan kami melakukannya.” Dalam hal ini, Finhas mengomentari firman Allah:

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (TQS. al-Baqarah [2]: 245)

Abu Bakar tidak terima dengan pelecehan tersebut. Ia memukul wajah Finhas dengan keras sambil berkata, “Demi Allah, bila tidak ada ikatan perjanjian antara engkau dan kami (umat Islam), aku akan membunuhmu, engkau adalah musuh Allah!” Finhas kemudian pergi dan mengadukan pemukulan yang dilakukan Abu Bakar kepada Nabi saw. Nabi saw mendengarkan pengaduannya, lalu menanyai Abu Bakar tentang insiden tersebut. Abu Bakar menceritakan pada Nabi saw tentang apa yang terjadi, namun Finhas kemudian membantah bahwa dia telah melakukan pelecehan. Segera setelah itu, Allah Swt menurunkan wahyu:

لَّقَدْ سَمِعَ اللّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاء سَنَكْتُبُ مَا قَالُواْ وَقَتْلَهُمُ الأَنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُواْ عَذَابَ الْحَرِيقِ

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan; ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’. Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh Nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka); ‘Rasakanlah olehmu azab yang membakar’. (TQS. Ali Imran [3]: 181)

Abu Bakar adalah salah seorang pembantu Rasulullah saw pada saat insiden tersebut terjadi, dan Finhas adalah seorang dzimmi. Rasulullah saw mendengarkan pengaduan Finhas atas Abu Bakar, sekalipun yang diadukannya adalah dusta. Karena itu, bila pengaduan diajukan oleh seseorang yang terikat perjanjian dengan negara, maka pengaduan tersebut perlu didengarkan, karena dia terikat perjanjian sebagai ahlu dzimmah.

Namun, non-Muslim tidak berhak menyuarakan opini mereka atas hal-hal yang berkenaan dengan hukum, karena hukum Islam merupakan turunan dari akidah Islam. Kaum non-Muslim meyakini doktrin yang asing dan bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, opini mereka tidak dibutuhkan dalam masalah hukum.

Anggota Majelis dari kalangan non-Muslim tidak memiliki hak untuk mengkaji pengadopsian yang dilakukan Khalifah dalam hal hukum dan peraturan Islam, karena mereka tidak mengimani ajaran Islam. Hak mereka hanyalah untuk menyuarakan opini mereka atas ketidakadilan penguasa terhadap mereka, bukan dalam mengekspresikan opini atas hukum dan peraturan Islam.

T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan: “Kala Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.”

Militer
Perlindungan pada ahlu dzimmah merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam. Ahlu Dzimmah tidak diwajibkan bergabung dalam kemiliteran dan berperang untuk membela Negara Islam.

Ibnu Hazm menyatakan, “Salah satu hak yang dimiliki oleh ahlu dzimmah adalah bilamana Negara Islam diserang dan mereka tinggal di wilayah Islam, maka umat Islam wajib melindungi mereka mati-matian. Dalam hal ini, perlakuan lemah lembut adalah hak para ahlu dzimmah.”

Namun bila mereka mau, mereka dapat menjadi bagian dari tentara Islam dan berhak mendapat gaji atas kerja mereka. Namun mereka tidak diizinkan untuk memegang posisi pemimpin pasukan dalam kemiliteran.

Pegawai Negeri Sipil
Siapa pun yang memiliki kewarganegaraan dan memiliki kemampuan, lelaki ataupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim, dapat dipilih sebagai direktur atau pegawai departemen administratif. Ini diambil dari aturan tentang pekerja (ijarah), yang membolehkan mempekerjakan orang, terlepas dari apa pun agamanya. Riwayat-riwayat tentang pengupahan tidak mengatur kelompok-kelompok tertentu secara spesifik:
Rasulullah saw sendiri pernah mempekerjakan seorang lelaki non-Muslim dari Bani ad-Dail. Ini menunjukkan bahwa mempekerjakan seorang non-Muslim diperbolehkan, sebagaimana mempekerjakan seorang Muslim.

Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Metode yang ditempuh adalah melakukan jihad pada negara lain. Tujuannya adalah untuk melenyapkan penghalang yang merintangi penerapan aturan Islam dan menunjukkan pesan Islam pada seluruh rakyatnya.

Motivasi penaklukkan negeri-negeri lain semata-mata digerakkan oleh keinginan untuk mencari keridlaan Allah Swt. Penaklukkan tidak boleh dilakukan demi perolehan materi. Karena itu, bila Negara Islam menaklukkan negara lainnya, Negara Islam tidak akan menindas rakyatnya dengan mencuri kekayaan alamnya.

Dalam bukunya, al-Kharaj, Abu Yusuf (yang kepala Qadli di masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid) memberikan laporan sebagai berikut: “Setelah ditandatanganinya perjanjian dengan rakyat Suriah dan mengumpulkan jizyah dan kharaj, Abu Ubaidah menerima berita bahwa pasukan Byzantium telah menyiapkan pasukan untuk menyerang. Berita ini memberikan efek yang dahsyat pada Abu Ubaidah dan umat Islam. Dia mengirimkan pesan pada para penguasa kota-kota yang telah membuat perjanjian, meminta mereka mengembalikan pembayaran jizyah dan kharaj, dengan satu perintah pada mereka, ‘Kami kembalikan pada kalian uang kalian yang telah dibayarkan pada kami, karena adanya berita yang menyebutkan pasukan musuh hendak menyerang kami, namun, bila Allah memberikan kemenangan pada kami atas musuh, kami akan menaati janji kami dengan mereka yang terikat perjanjian dengan kami.’ Ketika hal ini disampaikan pada kaum ahlu dzimmah dan uang mereka dikembalikan, mereka berkata pada umat Islam, “Semoga Tuhan mengembalikan kalian pada kami, dan memberikan kemenangan pada kalian atas mereka!”

Wilayah-wilayah yang Tak Boleh Ditempati Non-Muslim
Non-Muslim tidak diperbolehkan tinggal di Jazirah Arab, karena Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Aku akan mengusir kaum Yahudi dan Kristen dari Semenanjung Arabia, dan tidak boleh ada yang tinggal di sini kecuali umat Islam” (HR. Muslim)

Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibnu Shihab, bahwa Rasulullah saw bersabda, ‘Tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab.’ (al-Muwaththa). Selain itu, Yahudi tidak boleh tinggal di al-Quds, karena Ijma para sahabat ketika penandatanganan perjanjian antara Umar bin Khaththab dengan umat Kristen Iliya (al-Quds) saat dia menyatakan, “Tak seorang Yahudi pun boleh tinggal di Iliya.”

Integrasi Kaum Non-Muslim ke dalam Khilafah
Atas dasar hal ini, jelas bahwa kaum non-Muslim dapat terintegrasikan dengan baik dalam masyarakat Islam. Agama-agama Yahudi, Kristen, dan lainnya hanya memiliki aturan yang membahas masalah manusia dengan Tuhan dan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam dua jenis hubungan tersebut, hukum Islam memungkinkan non-Muslim untuk mengikuti keyakinan mereka sendiri; maka, tak ada konflik dengan non-Muslim.

Dalam hubungan sesama manusia, misalnya dalam hubungan kemayarakatan, kaum non-Muslim tidak memiliki aturan yang mengatur masalah ini. Karena itu, mereka harus mengadopsi sebuah sistem untuk kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat. Sistem Islam, bilamana diterapkan, sejauh ini merupakan sistem yang paling berhasil dalam mengintegrasikan non-Muslim ke dalam masyarakat Islam. Berbagai pemberontakan dan perpecahan yang dilakukan kaum non-Muslim yang hidup di Negara Islam pada zaman dahulu, seperti kaum Kristen di Yunani dan Libanon, terjadi karena adanya campur tangan Inggris dan Perancis yang mendukung pemberontakan tersebut sebagai salah satu upaya menghancurkan Negara Khilafah.

Dengan melakukan kajian atas peraturan Islam terhadap kaum non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam.
Perlakuan Khilafah pada kaum non-Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Jumlah orang yang pindah agama sangat besar sekali hingga akhirnya seluruh suku di Jazirah Arab memeluk Islam. Para penguasa negara pada masa lalu pun banyak yang menulis surat kepada Khalifah agar menerapkan Islam atas mereka. Inilah sebabnya mengapa orang Kristen Ashsham berperang di sisi umat Islam dalam menghadapi serangan Tentara Salib Eropa yang hendak menyerang negara mereka. Di India pada 1920, bahkan banyak umat Hindu yang bergabung dengan gerakan Khilafah yang mencoba mengembalikan tegaknya Negara Khilafah!

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجاً ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً ﴿٣﴾

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)

Rabu, 20 April 2011

IDE KKG DAN PROYEK MELANGGENGKAN HEGEMONI KAPITALISME

Oleh : Siti Nafidah Anshory

Demikianlah, kami jadikan untuk setiap nabi ada musuh. Yaitu setan dari jenis manusia dan jin yag menyebarkan perkataan-perkataan indah dengan tujuan untuk menipu. (TQS. Al-an’am : 112)

Mengurai Nasib Perempuan Hari Ini

Proporsi jumlah perempuan sebenarnya lebih dari setengah populasi dunia. Namun di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, kondisi kaum perempuan masih belum bisa dikatakan sejahtera. Berbagai persoalan terus membelit kehidupan mereka hingga membuat kondisi mereka terpuruk dan jauh dari kemuliaan.

Secara ekonomi, kehidupan sebagian besar kaum perempuan, demikian lekat dengan kemiskinan. Inilah yang memaksa mereka harus tampil sebagai super woman yang siap menanggung beban ganda; menjadi ibu dan isteri di satu sisi dan pencari nafkah di sisi yang lain. Mirisnya, kemiskinan yang selama ini mereka alami membuat mereka sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan bermutu, hingga kualitas SDM perempuan pun menjadi sangat rendah. Wajar jika pekerjaan yang bisa mereka akses hanyalah pekerjaan stereotype yang tak menjanjikan, dengan tingkat upah rendah dan rawan diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi.

Berbondong-bondongnya jutaan TKI perempuan ke luar negeri dan jutaan buruh perempuan yang menghabiskan waktu harian bahkan separuh umurnya di pabrik-pabrik atau di jalan-jalan adalah bukti nyata betapa kehidupan perempuan jauh dari ideal. Kemiskinan memaksa mereka rela berlelah-lelah mencari nafkah dengan segala resiko berat yang harus dihadapi, termasuk mengorbankan nyawa dan harga diri. Merekapun harus rela meninggalkan peran fitrah sebagai perempuan; kehilangan peluang membina keluarga ideal berikut kesempatan emas menikmati keajaiban fase tumbuh kembang anak secara sempurna.

Fakta ini kemudian diperburuk dengan kondisi sosial budaya yang mereduksi kesadaran ruhiyah kaum perempuan yang sebagian besar diantaranya berstatus muslimah. Kehidupan sekularistik dan meterialistik sedikit demi sedikit memupus rasa bersalah dan rasa tidak nyaman tatkala mereka mengabaikan kewajiban dan di saat sama ‘menjerumuskan’ diri dalam kemaksiatan. Tak heran jika ada sebagian muslimah yang gelap mata. Menterjemahkan sedikitnya harta sebagai penderitaan. Sehingga demi rupiah, mereka lantas bersengaja terlibat dalam bisnis gelap bernama pornografi-pornoaksi dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mengeksploitasi seksualitas perempuan. Wajar jika jumlah PSK terus bertambah. Dan praktek perdagangan perempuan pun terus merebak. Alhasil, penyebaran penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS pun terus berlangsung tanpa terkendali. Dan korbannya, lagi-lagi yang terbanyak adalah perempuan.

Perempuan di Tengah Jebakan Ide KKG

Atas carut-marutnya kondisi perempuan, kalangan feminis tetap bersikukuh dengan teori, bahwa biang keladi persoalan ini adalah ketimpangan gender yang dikonstruksi oleh budaya dan agama. Karena itu mereka gencar menawarkan gagasan perubahan budaya dan agama demi mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sebagai solusi masalah mereka. Dengan gagasan ini, kaum perempuan didoktrin untuk berpikir, bahwa budaya dan agamalah yang bertanggungjawab atas penderitaan mereka. Dan karenanya mereka harus membebaskan diri dari kungkungan keduanya dan mengalihkan loyalitas pada sekularisme yang mengharamkan keterlibatan agama dalam mengatur kehidupan dan memberi kebebasan untuk melakukan dan meraih apa saja tanpa harus terhalang batasan-batasan syariat.

Lantas, atasnama pemberdayaan politik dan ekonomi, kaum perempuanpun didorong membuka lebar-lebar dinding sekat rumah mereka yang mereka pandang hanya menjadi penghalang kemajuan. Harga diri mereka merasa lebih terangkat ketika bisa lebih banyak berkiprah di ranah publik dan bisa menghasilkan materi sebanyak mungkin. Sebaliknya, kebanggaan sebagai ibu sedikit demi sedikit terhapus sejalan dengan kian jauhnya mereka dari cara pandang dan sistem hidup yang dipenuhi nilai-nilai Ilahiyyah.

Ironisnya, tak sedikit muslimah yang tergiur dengan gagasan KKG ini. Terlebih gagasan ini telah diangkat sebagai isu global dan diaruskan penerapannya di level negara melalui berbagai konferensi Internasional atas inisiatif badan dunia PBB. Tahun 1975, diselenggarakan Konferensi Wanita di Meksiko. Dan saat itu dicanangkan sebagai Tahun Perempuan Internasional demi “Kesetaraan, Pembangunan dan Perdamaian” untuk menandai bangkitnya ‘kesadaran’ dunia akan pentingnya posisi perempuan dengan fokus pada upaya meningkatkan produktivitas kerja mereka. Lima tahun berikutnya, diselenggarakan Konferensi wanita di Kopenhagen (1980) yang difokuskan pada upaya meningkatkan peran dan kontribusi perempuan sebagai subjek pembangunan. Pada konferensi ini juga disepakati sebuah konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW) yang dianggap fenomenal dan menjadi semacam ‘kitab suci’ bagi kalangan feminis hingga hari ini.

Di tahun 1985, diselenggarakan Konferensi Wanita di Nairobi yang memantapkan tujuan ditetapkannya Tahun Internasional Perempuan seraya memperluas lingkup implementasinya melalui pembahasan strategi memajukan perempuan. Pada Konferensi Wanita di Viena (1990) dibentuklah Komisi PBB untuk Kedudukan Perempuan (commission on status of women) yang secara khusus bertugas memantau, mengevaluasi dan membuat program peningkatan status perempuan. Adapun dalam Konferensi Kependudukan di Kairo (1994) dibahas mengenai peran perempuan dalam menyelesaikan masalah kependudukan. Lahirlah konsep kesehatan reproduksi yang menekankan soal hak perempuan atas kehidupan seksual dan kehamilan yang ‘aman’ dan ‘diinginkan’. Selanjutnya pada Konferensi Wanita di Beijing (1995), isu-isu perempuan dibahas secara lebih spesifik, mencakup 12 bidang kritis menyangkut perempuan, yakni masalah kemiskinan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan, kekerasan, konflik bersenjata, masalah ekonomi, kekuasaan dan pengambilan keputusan, mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, hak asasi perempuan, media, masalah lingkungan serta soal anak perempuan. Sebagai hasilnya, lahirlah Beijing Plattform for Action (BPFA) yang berisi komitmen negara-negara peserta untuk bersama-sama melakukan upaya memperbaiki nasib perempuan terkait 12 bidang kritis tersebut dengan standar pencapaian tertentu yang disepakati bersama.

Yang paling mutakhir, KTT Millenium di New York City (2000) juga mengangkat isu KKG, sekalipun yang menjadi isu sentral adalah eliminasi kemiskinan. Pada KTT ini, 189 negara peserta menandatangani deklarasi yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015. Di antaranya, penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrim (dengan standar penghasilan di bawah 1,25 USD/hari), pemerataan pendidikan dasar, persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, perlawanan terhadap penyakit khususnya HIV AIDS dan malaria, penurunan angka kematian anak, dan peningkatan kesehatan ibu. Hasil deklarasi ini kemudiaN menjadi acuan negara peserta di dunia dalam melaksanakan berbagai program pembangunan, dimana kaum perempuan bukan hanya diposisikan sebagai objek pembangunan saja, melainkan diajak menjadi subjek dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pembangunan di seluruh dunia.

Seperti inilah, ide KKG terus massif diarus-utamakan, hingga masyarakat dunia pun percaya bahwa kebebasan dan kemandirian perempuan yang menjadi ikon perjuangan para pengusung KKG akan mampu membawa mereka pada kemajuan. Padahal faktanya, gagasan inilah yang nyata-nyata bertanggungjawab atas kerusakan masyarakat Barat akibat hilangnya harmoni kehidupan dan rusaknya pola relasi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Gagasan ini pula yang menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan sarat dengan rasa dendam dan persaingan, hingga perempuan begitu iri dengan apapun yang bisa dilakukan dan dicapai laki-laki, dan begitu terobsesi untuk ‘merebut’ semua lahan termasuk lahan-lahan yang telah Allah tetapkan hanya untuk laki-laki.

Kondisi ini tentu saja membuat kita miris. Karena tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib umat ini nanti, jika saat ini kaum muslimah merasa jijik dengan ajaran agamanya dan justru bangga menjadi pengusung ide-ide kufur yang bertentangan dengan Islam? Bagaimana pula wajah generasi umat ini ke depan, jika hari ini para muslimah merasa alergi dengan peran keibuan, lembaga perkawinan dan aturan-aturan Islam yang memuliakan? Hari ini saja, berbagai kerusakan akibat merebaknya pemikiran-pemikiran kufur tadi sudah sedemikian mengerikan. Di negeri-negeri pengusung KKG, pergaulan bebas nyaris menjadi budaya. Praktek aborsi, MBA, perceraian dan single parentpun menjadi hal biasa. Tingkat kriminalitas, termasuk pelecehan dan kekerasan seksual meningkat sedemikian rupa, hingga tercatat di Amerika 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dan tiap menit terjadi kasus perkosaan. Begitupun anak dan remaja mereka sudah akrab dengan hedonisme, seks bebas dan narkoba hingga dunia Barat kini terancam kehilangan generasi masa depan berkualitas.

Di negeri-negeri Muslim yang bangga dengan hobi mengekor Barat, kondisinya pun tak jauh beda. Bahkan yang lebih mengerikan, gagasan-gagasan semacam ini telah mengarah pada deideologisasi Islam yang tidak hanya berbahaya dari sisi aqidah karena berarti kian mengukuhkan aqidah sekularisme yang kufur, tapi juga berbahaya karena akan menjauhkan umat dari kemuliaan hidup yang secara pasti hanya akan diperoleh manakala Islam diterapkan dalam kehidupan secara purna dan utuh. Jika demikian halnya, lantas apa yang sebenarnya dicari oleh para Muslimah dan umat di negeri-negeri kaum muslimin? Kenapa masih percaya bahwa KKG-lah solusi permasalahan mereka?

Kapitalisme : Penyebab Perempuan Tak Sejahtera

Jika mau jujur berpikir, apa yang disebut sebagai persoalan perempuan sebenarnya adalah persoalan kita semua, masyarakat dunia secara keseluruhan. Terkait kemiskinan, hari ini saja, angka kemiskinan ekstrim di tingkat dunia masih 25% dari populasi yang mencapai 6,88 milyar jiwa. Sementara di Indonesia jumlah penduduk miskin masih ada sekitar 13,33% versi BPS (standar Rp. 211.000/kap/bln) dan 47% versi Bank Dunia (standar 2USD/kap/hari). Di saat yang sama, jumlah orang yang kelaparan dan pengidap gizi buruk di level dunia justru makin besar, mendekati angka 1 milyar orang atau rata-rata 16% penduduk di negara-negara berkembang.

Dua per tiga jumlah orang kelaparan itu terdapat di tujuh negara: Bangladesh, Cina, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia dan Pakistan, sementara 40%-nya terdapat di Cina dan India. Bahkan catatan UNESCAP pada pertemuan MDGs September 2010 lalu menyebut, bahwa angka kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan penduduk yang kesulitan akan akses sanitasi yang baik di Asia Pasifik dengan penduduk lebih dari separuh populasi dunia (baca: laki-laki dan perempuan), diprediksi akan terus bertambah pada 2015 mendatang, menyusul ancaman krisis pangan akibat pemanasan global yang melanda dunia. Bayangkan, catatan ini belum menyebut bagaimana nasib masyarakat di luar Asia Pasifik yang tentunya tak semua bisa lolos dari jebakan kemiskinan.

Sejalan dengan kemiskinan, berbagai ketimpangan, baik di bidang ekonomi maupun sosial yang berdampak pada merebaknya praktek diskriminasi, marginalisasi dan kekerasan juga terjadi dimana-mana. Dan korbannya ternyata bukan hanya kaum perempuan tapi juga laki-laki. Faktanya, hanya segelintir orang yang bisa mengakses faktor-faktor ekonomi yang dibutuhkan untuk memperoleh taraf kehidupan yang layak. Hanya sedikit pula masyarakat dunia yang bisa mengakses layanan pendidikan dan kesehatan bermutu yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup yang memungkinkan bagi mereka berkontribusi maksimal dalam membangun peradaban.

Realitas ini merupakan hal yang wajar jika dikaitkan dengan situasi global yang tengah didominasi sistem kapitalisme. Sistem yang tegak diatas asas sekularisme-liberalisme ini memang memiliki watak imperialistic dan eksploitatif. Dan ini tercermin dalam berbagai aturan hidup bebas yang dilahirkannya. Di bidang politik, kapitalisme menciptakan situasi dimana yang kuat akan menindas yang lemah. Paradigma hubungan rakyat-penguasa yang dibangun olehnya tak lebih sebagai hubungan penjual dengan pembeli, dan negara diminimalisir perannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Begitupun di bidang sosial dan budaya, kapitalisme telah menjadikan kemanfaatan dan kebebasan sebagai “agama yang dipuja”.

Di bidang ekonomi, lahir perilaku menghalalkan segala cara, watak culas dan mementingkan diri sendiri. Hal ini terwujud dalam berbagai paket kebijakan neoliberal yang memunculkan ketidakadilan di berbagai level. Muncullah ketimpangan yang terus melebar antara negara kaya dan negara miskin di level dunia. Bahkan kapitalisme berhasil mendistribusikan kemiskinan hampir ke seluruh negara di dunia. Di level Indonesia, penerapan sistem inipun telah berhasil menciptakan gap sosial yang lebar antara si kaya dan si miskin dan memelihara kemiskinan itu sendiri tanpa memandang apakah korbannya laki-laki ataupun perempuan.

Berbagai data perkembangan dunia sepuluh tahun terakhir memang menunjukkan bahwa penerapan sistem kapitalisme-neoliberal oleh negara-negara adidaya atas ‘bantuan’ lembaga-lembaga internasional telah berhasil mengglobalkan kemiskinan daripada kemakmuran. Dan ini tentu bertolakbelakang dengan target berbagai perjanjian internasional maupun deklarasi semisal MDGs dan KKG yang digembar-gemborkan negara-negara adidaya melalui badan dunia PBB untuk mengentaskan kemiskinan dunia, termasuk kemiskinan dan peningkatan status perempuan.

Tengok saja! Kebijakan pasar bebas yang menjadi senjata andalan sistem kapitalisme yang diterapkan sejak pertemuan Bretton Woods 1944 dan terus dikukuhkan hingga sekarang melalui berbagai perjanjian internasional, nyatanya telah menjadi alat imperialisme baru negara-negara kapitalis. Ironisnya negara-negara inilah yang justru menjadi penggagas dan motor program-program PBB terkait perempuan dan upaya pengentasan kemiskinan dunia ala MDGs. Hasilnya, kekayaan negara-negara dunia ketiga dikuras habis dan kedaulatan mereka dirampas, hingga milyaran rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, hidup di bawah garis kemiskinan dan di saat sama, mereka berhasil membuat 54% pendapatan dunia justru masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negara-negara mereka.

Begitupun, jebakan krisis ekonomi yang ‘dikelola’ AS dan resep debt swap/jebakan utang yang mematikan ala IMF juga telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawi yang luar biasa besar. Sementara di saat yang sama, sumber-sumber alam dan berbagai asset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat resep IMF yang mewajibkan pasiennya melakukan program-program anti rakyat semacam privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi dan liberalisasi. Ironisnya, pendonor lembaga rentenir IMF juga adalah negara-negara kapitalis yang menggagas dan menjadi motor program-program PBB semacam MDGs dan pengarusutamaan ide KKG.

Untuk kasus Indonesia, kebijakan ekonomi kapitalistik yang pro neoliberalisme dan di setir kepentingan asing semacam IMF pun jelas tidak bisa diharapkan akan mampu mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan yang digembar-gemborkan PBB melalui program pengarusutamaan KKG dan proyek MDGs. Bagaimana bisa angka kemiskinan dan kelaparan diturunkan jika pembangunan ekonomi sektor ril mandeg akibat kebijakan pasar bebas dan privatisasi asset-aset strategis milik rakyat? Bagaimana bisa, kualitas pendidikan, kesehatan dan daya dukung lingkungan bagi rakyat termasuk kaum perempuan ditingkatkan, sementara akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan kian mahal akibat program privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk bidang farmasi? Bagaimana bisa semua itu diwujudkan, sementara tanggungjawab sosial negara kian hilang akibat kebijakan anti rakyat semacam penghapusan subsidi? Bagaimana bisa, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan karenanya kemiskinan –termasuk yang menimpa kaum perempuan-- dihapuskan jika sumber pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dari rakyat dan hutang luar negeri sementara kekayaan yang melimpah ruah habis dihadiahkan kepada asing melalui berbagai perjanjian yang dilegalisasi undang-undang? Jika demikian halnya, memberantas kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan laki-laki dan perempuan dengan berbagai deklarasi, termasuk melalui program-program KKG dan MDGs, memang cuma mimpi.

KKG dan Proyek Melanggengkan Kapitalisme

Atas realita bahwa sistem kapitalistik dan neoliberal ini disetir dan dijalankan secara global oleh pemerintah negara-negara adidaya dengan menggunakan alat lembaga-lembaga internasional semacam PBB (yang justru menggagas berbagai perjanjian iternasional dan deklarasi semacam KKG dan MDGs) dan diinisiasi oleh lembaga-lembaga finansial global semacam World Bank, IMF, ADB (yang justru menjadi donatur program-program implementasi program-program PBB termasuk KKG dan MDGs), wajar jika muncul kecurigaan bahwa berbagai perjanjian, deklarasi dan program aksi semacam KKG dan MDGs sejatinya hanyalah “mantel ideologi bagi kepentingan neoliberalisme”. Pengarus utamaan KKG misalnya, ditengarai mejadi alat penghancuran masyarakat Islam yang –diakui atau tidak—masih potensial menjadi tantangan bagi langgengnya hegemoni Barat di masa depan. Sedangkan proyek MDGs ditengarai hanya menjadi alat negara adidaya untuk melempar tanggungjawab atas dampak busuk kapitalisme yang mereka ekspor ke seluruh dunia sekaligus menjadi alat untuk membuai negara-negara kaya tapi lemah dengan apa yang disebut “keberhasilan pencapaian target pembangunan millennium” dengan membuat standar-standar yang sangat minimalis yang membuat mereka mabuk dan lupa atas penjajahan terselubung yang tengah menimpa dan menghinakan mereka selama ini.

Sebagai ideologi, kapitalisme tentu berkepentigan menjaga eksistensi hegemoninya atas dunia. Itulah kenapa, negara penganut kapitalisme semacam Amerika dan negara adidaya lainnya menerapkan khiththah/strategi politik luar negeri yang bersifat agresif dan imperialistik. Pasalnya, pasca runtuhnya kekuatan ideologi sosialisme di tahun 90-an, Islam –sekalipun belum diusung oleh negara-- menjadi satu-satunya penghalang atas obsesi mereka. Itulah kenapa mereka terus berupaya menghalangi kebangkitan Islam dalam wujud institusi negara dengan berbagai cara, termasuk penjajahan lewat perempuan.

Secara fakta, banyak hal yang bisa membuktikan betapa imperialis kapitalis telah secara sengaja 'memanfaatkan' kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka menghancurkan Islam melalui penghancuran institusi masyarakat Islam. Mereka sadar betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan, karena perempuan merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Disisi lain, merekapun melihat bahwa upaya menjauhkan umat dari ideologi Islam masih belum berhasil sepenuhnya.

Selama ini, mereka memang telah berhasil menjauhkan umat dari aturan-aturan Islam menyangkut masalah politik, ekonomi, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Akan tetapi masih ada sisa-sisa pemikiran Islam yang hingga kini tetap dikukuhi masyarakat, tetapi dianggap mengandung potensi bahaya bagi hegemoni mereka di masa depan. Yakni hukum-hukum yang menyangkut keluarga, yang pada saat ini menjadi satu-satunya benteng terakhir pertahanan umat Islam setelah benteng utamanya, yakni Daulah Khilafah Islam dihancur-leburkan.

Dalam kerangka penghancuran keluarga muslim inilah perempuan muslim dimanfaatkan. Dimana seperti dahulu mereka menghancurkan Daulah Khilafah Islam, merekapun menggunakan upaya peracunan pemikiran untuk menanamkan aqidah sekuler di benak-benak perempuan muslim sebagai strategi utamanya (seperti ide kebebasan, HAM, dll). Targetnya adalah, ’membebaskan’ mereka dari ’kungkungan’ peran-peran keibuan, atau setidaknya menghilangkan aspek strategis-politis peran keibuan, dengan cara menggambarkan peran tersebut sebagai peran tidak penting, menjijikkan dan merupakan simbol ketertindasan yang layak disingkirkan. Dalam konteks keluarga, target mereka adalah merobohkan pola interaksi islami yang ada di dalamnya, sehingga keluarga tidak bisa lagi berfungsi sebagai pemelihara ikatan aqidah umat sekaligus camp ideal bagi berlangsungnya pendidikan generasi, sehingga akhirnya harapan bangkitnya kembali peradaban Islam yang gemilang di masa depan bisa dihapuskan.

Adapun cara yang mereka tempuh adalah dengan memanfaatkan banyaknya kenyataan buruk yang menimpa perempuan (muslim) hari ini, seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya sebagai alat untuk masuk ke jantung perhatian umat. Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, mereka jual paket 'kemajuan perempuan Barat' dengan ide KKGnya yang rusak dan asumtif itu untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim, sekaligus pada saat yang sama melakukan berbagai ’uji kritis’ terhadap aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan, seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, nafkah dan sebagainya. Tak lupa pula mereka tawarkan paket-paket tambahan berupa 'program bantuan', berikut kucuran dana yang sangat besar untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia ketiga itu (baca : dunia Islam) dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia semacam PBB sebagai event organizernya, serta forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka. Selanjutnya, atasnama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan, dan program-program ’bermadu’ lainnya, mereka suntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jatidirinya sebagai muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi. Sehingga kemudian, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Baratpun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan.

’Prestasi’ ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari peran ’agen misi’ dari kalangan gerakan-gerakan perempuan (feminis) muslim yang berjejaring dengan berbagai LSM komprador lain, yang sengaja disponsori foundation kapitalis untuk 'berjuang' pada tataran praktis dengan mindframe dan jobdes yang mereka inginkan. Yakni mindframe dan jobdes feministik dan liberalis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam! Itulah kenapa, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis muslim dan kaum liberalis yang tergabung dalam LSM-LSM tadi –-baik secara lembaga, maupun melalui individu-individu yang mereka blow-up ketokohannya-- sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atasnama pembebasan perempuan, yang hakekatnya menyerukan pembebasan dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam. Disamping itu, merekapun intens melakukan mainstreaming (pengarus utamaan) opini feministik dan liberalis ini di semua lini hingga ke level bawah --termasuk melalui kurikulum pendidikan maupun melalui berbagai kebijakan publik seperti Undang-Undang berperspektif gender dan anti syari’at-- untuk kian menguatkan opini bahwa ide KKG adalah solusi, sementara Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan atau dipeti-eskan. Dalam konteks Indonesia, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting KHI yang sempat memicu kontroversi, disahkannya UU No. 23/2004 tentang KDRT, disahkannya UU Kewarganegaraan dan Perlindungan Anak yang memuat materi kontradiktif dengan syari’at, serta Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional --termasuk rencana pengesahan UU Kesehatan Reproduksi dalam waktu dekat yang salah satu itemnya memuat isu legalisasi aborsi dan UU gender lainnya-- merupakan bukti 'keberhasilan' upaya mereka meraih target ini.

Hanya saja, jika dicermati serangan imperialis kapitalis ini sebenarnya tidak hanya memiliki satu target. Selain target politis-ideologis berupa pencegahan tampilnya kekuatan Islam ideologi, serangan AS ini juga memiliki target ekonomi sebagaimana watak aslinya sebagai negara pengemban kapitalisme. Dalam hal ini kaum perempuan muslim yang telah --dimiskinkan lahir batin-- sengaja dimanfaatkan sebagai objek eksploitasi kapitalisme global, dimana dengan peracunan pemikiran tadi plus melalui serangan budaya yang dilancarkan secara intens lewat majalah-majalah, koran-koran, televisi, internet, film-film hingga penyelenggaraan event ratu-ratuan, yang senyatanya memang mereka (para kapitalis) monopoli, kaum muslimah digiring untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme. Dengan cara ini pula, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Yang padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan dan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketing produk-produk mereka dimana perempuan-perempuan muslimah menjadi sasarannya.
Sayangnya, sebagian muslimahpun terjebak dalam kebahagiaan dan kesejahteraan semu yang disuguhkan kapitalisme, yang sejatinya dibuat untuk menutup penderitaan dan kemiskinan hakiki yang diciptakannya.

Kaum Perempuan dan Umat Islam Seharusnya Bisa Sejahtera

Sebagai umat pinilih, tak semestinya umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia menjadi umat yang miskin, terjajah dan hidup jauh dari kesejahteraan. Umat Islam memiliki potensi ideologis, yakni ajaran Islam yang sempurna dan siap menjawab tantangan jaman. Umat Islam pun memiliki modal untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain potensi sumberdaya manusia yang melimpah dan berkualitas, umat Islampun dianugerahi sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, baik berupa hutan, laut, sungai dengan segala isinya, bahan tambang berupa mineral, minyak, gas bumi, dll. Hal ini diperkuat dengan kondisi geografis yang sangat strategis dan berpotensi untuk membangun bargaining kuat di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Untuk Indonesia saja, di tahun 2009 Badan Geologi merilis data, bahwa masih terdapat cadangan batubara 104.760 juta ton, emas 4.250 ton, tembaga 68.960 ribu ton, timah 650.135 ton dan nikel 1.878 juta ton dalam perut buminya. Sayangnya, amanah Allah berupa kekayaan alam milik rakyat ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Konsistensi mereka pada kebijakan ekonomi liberal kapitalistik telah menyebabkan sebagian besar kekayaan itu jatuh ke tangan asing. Jebakan kesepakatan internasional, hutang luar negeri dan rekayasa krisis ekonomi ala Yahudi berikut penyelesaian masalah mereka pada resep IMF telah membuat pemerintah kita tunduk pada kemauan asing.

Akibatnya? Ladang minyak bumi Indonesia hampir 90 persen dikuasai asing. Begitupun SDA yang lain. Salah satunya, PT. Freeport-McMoRan pengelola tambang emas asal Amerika mendapat izin gratis untuk mengeksploitasi pertambangan emas di Ertsberg dan Grasberg Papua melalui perjanjian Kontrak Karya yang sejak tahun 1967 terus diperpanjang hingga saat ini. Tiap hari, perusahaan ini ditengarai berhasil menambang 102.000 gr emas (bayangkan, harga emas 24 karat sekitar Rp. 400 ribu/gr) berikut ‘bonus’ berupa tembaga dan uranium. Jika dihitung, emas kita yang sudah mereka rampok berjumlah 102.000grX43thX365 hari. Padahal emas yang mereka keruk ini bisa menjadikan kita memiliki cadangan devisa yang berlimpah tanpa harus mengorbankan rakyat terutama kaum perempuan mereka untuk jadi TKI. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing lainnya, yang dengan cara sama mereka mendapat legalisasi merampok kekayaan kita. Ada Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Total S.A., Chevron Corp. dll yang di tahun 2009, semuanya diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 17.000 triliun/tahun = 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai rp 1.037 triliun.

Tentu saja semua kekayaan ini, seharusnya bisa menjadi modal penguasa untuk membangun negara adidaya dan mesejahterakan rakyatnya, dengan memenuhi hak dasar mereka, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll secara mudah, murah bahkan gratis. Dengan demikian, keluarga-keluarga di negeri muslim termasuk Indonesia, akan menikmati hidup dengan mudah dan merasakan ketentraman yang sesungguhnya. Para bapak, beroleh kemudahan mencari nafkah karena lapangan pekerjaan tersedia dengan mudah. Kebutuhan para Ibu dan anak-anakpun akan terjamin, sehingga tugas mulia mencetak generasi berkualitas akan berlangsung secara sempurna.

Sayangnya, ini tak terjadi. Perselingkuhan para penguasa dengan pihak asing dan kapitalis, membuat mereka lebih rela menjadi kacung asing dan menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti program liberalisasi, privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan membuat berbagai regulasi yang menguntungkan asing/kapitalis ketimbang rakyat banyak, semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, UU Migas, dll. Dan sayangnya, hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia saja, tapi juga di negeri-negeri kaum muslimin yang lainnya.

Islam Satu-Satunya Harapan Perempuan & Umat Keseluruhan

Mempertahankan kapitalisme sebagai sistem hidup dan membiarkan para penjaganya tetap berkuasa tentu bukanlah pilihan logis. Jika ini terjadi, jangan harap berbagai permasalahan perempuan yang akarnya adalah kemiskinan ini bisa diselesaikan dengan tuntas. Kaum perempuanpun akan tetap terhinakan dan menjadi korban kebusukan kapitalisme sebagaimana juga laki-laki. Mereka akan selalu berada dalam kondisi dilematis dalam menjalankan peran-peran mereka. Padahal, Allah SWT telah tetapkan kedudukan mereka dalam posisi yang mulia sebagai ummu wa Rabbatul Bait, ibu dan pengatur rumahtangga, penyangga kemuliaan generasi umat dan arsitek peradaban Islam di masa depan.

Terlebih persoalan yang diklaim sebagai persoala perempuan hanyalah sebagian kecil dari dampak penerapan sistem kapitalisme ini. Di dalam negeri, jutaan buruh menjerit karena upah yang tak sepadan dengan kebutuhan hidup mereka. Uang rakyat, malah digunakan foya-foya oleh para pejabat korup mereka, sementara itu, para penguasa berasyik masyuk dengan pemimpin para penjajah dan berkonspirasi menambah penderitaan rakyat dengan menandatangani berbagai nota kesepakatan yang mengokohkan penjajahan kapitalisme atas negeri mereka. Pada saat yang sama, para penguasa itupun membiarkan rakyatnya berjalan sendirian, menderita dan menangis sendirian dan meninabobokan mereka dengan janji-janji kosong yang tak lebih hanya untuk pencitraan semata.

Sudah saatnya umat negeri ini sadar, bahwa jalan terbaik adalah kembali ke jalan Islam. Jalan yang menjanjikan kemuliaan manusia sebagai individu maupun umat, melalui penerapan aturan Islam secara kaffah dalam wadah Khilafah Islamiyah. Aturan-aturan Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia secara adil dan menyeluruh, termasuk masalah kemiskinan berikut dampak turunannya. Dalam sistem ini, para penguasa dan rakyat akan saling menjaga dan mengukuhkan dalam melaksanakan ketaatan demi meraih keridhaan Allah. Tak ada pihak yang dirugikan, termasuk kaum perempuan.[]SNA[]

Selasa, 19 April 2011

BERSYUKURLAH .....

Sahabat hati,
Betapa indah hidup yang Allah ciptakan untuk para pejuang.
Allah beri nikmat di balik rasa lelah;
Allah beri harap di balik duka cita;
Allah beri hiburan di balik sakit yang mendera;
Allah beri kekuatan di saat lemah;
Allah lapangkan disaat sempit;
Dan Allah cukupkan saat kita butuh akan banyak hal.

Sahabat hati,
Alangkah naif jika kita tak bersyukur atas pilihan hidup sebagai pejuang.
Karena pilihan inilah yang kan menghantarkan pada kemuliaan hakiki dan abadi sebagaimana syuhada dan para Nabi.
Adapun rasa lelah, rasa sakit, rasa lemah, rasa sempit dan banyaknya kebutuhan yang ditemui saat berjuang adalah tak seberapa jika dibading kebaikan yang Allah janjikan bagi para pejuang.

Sahabat hati,
Tak ada salah jika saat kita futur atau diuji rasa malas dan tidak ikhlas, kita flashback ke belakang;
Memutar video perjalanan hidup kita;
Menyisir dosa-dosa yang pasti telah menumpuk begitu banyak, hingga kita temukan cahaya kebaikan saat kita putuskan untuk ikut barisan pejuanG.
Dengan cara ini, niscaya kita tak akan pernah brpikir untuk mundur ke belakang dan menghabiskan sisa hidup untuk kesia-siaan yang melenakan.
Semoga Allah kokohkan azzam ini hingga nyawa tercabut dari badan. [SNA-HK]

Rabu, 06 April 2011

Piagam Madinah Sebagai Konstitusi Negara Islam Pertama


Oleh : Siti Nafidah Anshory (Ditulis, 7 Desember 2009)

Pengantar
Piagam Madinah (Madinah Charter/Al-Ahd bi Al-Madinat/Ash-Shahifah) sering dianggap sebagai dasar dari pembentukan negara Islam pertama di Madinah. Dan Nabi Muhammad dipercayai sebagai peletak dasar negara itu.

Memang, tidak semua sepakat tentang konklusi ini. Ada sebagian kalangan justru tidak memandang Piagam Madinah sebagai dokumen politik. Dan lebih jauh, mereka pun tidak memandang Nabi Muhammad sebagai figure politik, karena menurut mereka, Islam memang tidak berbicara soal politik, termasuk berbicara tentang konsep negara. Pendapat semacam ini salah satunya digagas oleh Ali Abdur Raziq melalui bukunya yang kontroversial “al-Islam wa al-Ushul al-Hukmi: Bahstun Fi al-Khilafati wa al-Hukumati fi al-Islam”. Dalam bukunya tersebut dia menyimpulkan beberapa hal penting, di antaranya bahwa Nabi tidak membangun negara dalam otoritas spiritualnya. Pendapat ini kemudian diadopsi oleh kalangan Islam Liberal dan kaum sekularis lainnya di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Hanya saja, pendapat demikian banyak mendapat tentangan dari mayoritas umat, khususnya kalangan ulama dan cendikiawan muslim. Bahkan para peneliti dari dunia Barat pun tak sedikit yang berpendapat, bahwa Islam adalah agama (ruhiyah) dan politik (siyasiyah/siyasah), dan bahwa Muhammad adalah figure politik. Salah satu buktinya adalah keberadaan Piagam Madinah yang klausul-klausulnya sarat dengan statemen dan kebijakan politik.

Di antara yang berpendapat demikian adalah Muhammad Husain Haikal yang menyebut, bahwa kehadiran Muhammad di Madinah merupakan fase politik dimana beliau telah meletakkan dasar kesatuan politik dengan Islam sebagai landasannya. Begitupun beliau menyebut Piagam Madinah sebagai sebuah dokumen politik. Senada dengan itu, Ismail R Al-Faruqi dan Lois Lamya Al-Faruqi menyebut bahwa Muhammad adalah pemimpin negara dan pemakluman Piagam Madinah yang mereka sebut sebagai konstitusi pertama dalam sejarah manusia ini sebagai awal berdirinya negara Islam pertama. Bahkan Dalam Al-Watsâ’iq as-Siyâsiyyah li al-’Ahdi an-Nabawi wa al-Khilâfah ar-Rasyîdah (Dokumen Politik era Nabi dan Khilafah Rasyidah) yang ditulis oleh Muhammad Hamidullah dan dalam kitab Fiqh as-Sîrah karya Dr. Said Ramadhan al-Buthi piagam tersebut jelas-jelas dinyatakan sebagai konstitusi negara.

Adapun sarjana Barat yang mengakui Piagam Madinah sebagai dokumen politik diantaranya H.R. Gibb dan Montgomery Watt. H.R. Gibb dalam komentarnya menyatakan bahwa isi Piagam Madinah pada prinsipnya telah meletakkan dasar-dasar sosial politik bagi masyarakat Madinah yang juga berfungsi sebagai undang-undang, dan merupakan hasil pemikiran serta inisiatif Muhammad sendiri. Sementara itu, Montgomery Watt lebih tepat lagi menyatakan: bahwa Piagam Madinah tidak lain adalah suatu konstitusi yang menggambarkan bahwa warga Madinah saat itu bisa dianggap telah membentuk satu kesatuan politik dan satu persekutuan yang diikat oleh perjanjian yang luhur diantara para warganya.

Piagam Madinah Sebagai Dasar Kesatuan Politik
Sebagaimana diketahui, ketika Rasul saw mendirikan negara Madinah, masyarakat madinah terdiri dari beberapa kelompok. Pertama, kelompok kaum muslim dari kalangan kaum muhajirin dan anshar, dan ini adalah kelompok mayoritas. Kedua, kelompok musyrik yang berasal dari kabilah-kabilah yang ada di Madinah. Mereka sudah terwarnai oleh opini Islam dan tidak lagi nampak sebagai masyarakat tersendiri. Ketiga, kelompok Yahudi dari berbagai kabilah yang tinggal di wilayah Kota Madinah, termasuk Yahuni Bani Qainuqa, dan kelompok yahudi yang tinggal di luar kota madinah yaitu Yahudi Bani Nadhir dan Bani Quraidzah. Kelompok Yahudi ini merupakan komunitas yang terpisah dengan komunitas kaum muslim, pemikiran dan perasaan mereka berbeda dengan kaum muslim. Begitu pula metode pemecahan masalah diantara mereka. Sehingga mereka merupakan kelompok masyarakat tersendiri yang terpisah dari masyarakat Madinah.

Yahudi sejak lama telah mengintimidasi masyarakat Madinah. Oleh karenanya mereka merupakan masalah yang mungkin muncul paling awal ketika negara Madinah baru berdiri. Masalah ini memerlukan solusi. Maka segera setelah Rasulullah Saw hijrah dan melakukan peleburan dan penyatuan seluruh kaum Muslimin hingga kondisinya stabil dan kokoh, baik melalui strategi muakho (mempersaudarakan kaum Muslim dengan persaudaraan yang kuat dan berimplikasi pada aspek mu’amalah, harta dan urusan mereka) maupun pembangunan mesjid yang berpengaruh pada pembinaan ruhiyah mereka, pada tahun 622 M Rasulullah saw menyusun teks perjanjian yang mengatur interaksi antar kaum muslim dan sesama warga negara, hak dan kewajiban warga negara dan hubungan luar negeri. Piagam ini juga secara khusus mengatur dan membatasi secara tegas posisi kaum Muslim dan kaum Yahudi, mengatur interaksi di antara mereka dan merumuskan kewajiban-kewajiban yang harus mereka pikul dengan kebijakan khusus. Dengan kata lain, sebagaimana disebutkan oleh Jaih Mubarak , Piagam Madinah telah menjadi dasar persatuan penduduk Yatstrib yang terdiri atas Muhajirin, Anshar dan Yahudi.

Dengan piagam inilah, kewibawaan negara Islam dan supremasi hukumnya bisa tegak. Dan ini merupakan modal awal bagi negara yang baru berdiri untuk menjaga stabilitas dalam negerinya dan fokus pada upaya membangun berbagai aspek yang menjadi jalan bagi terealisasinya pengaturan berbagai urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri. Melaui Piagam Madinah, semua warga Madinah saat itu meskipun mereka berasal dari berbagai suku (plural/heterogen) dipersatukan sebagai satu komunitas (ummah). Hubungan antara sesama warga yang muslim dan yang non muslim didasarkan atas prinsip-prinsip bertetangga yang baik, saling membantu dalam menghadapi agresi dari luar dan menghormati kebebasan beragama. Melalui perjanjian ini pula seluruh warganegara (baik muslim maupun non muslim), maupun negara bertetangga yang terikat dengan perjanjian terjamin hak dan kewajiban politiknya secara adil dan merata.

Dari semua penjelasan di atas, jelas, bahwa persyaratan sebuah negara, walaupun masih sederhana, telah terpenuhi di Madinah, yakni ada wilayah, pemerintahan, negara, rakyat, kedaulatan dan ada konstitusi. Hal ini sekaligus menampik pendapat-pendapat yang menolak adanya hubungan antara agama Islam dengan politik kenegaraan.

Klausul Politik Dalam Piagam Madinah
Teks Piagam Madinah dapat kita rujuk dalam buku-buku sirah dan tarikh karya para ulama terdahulu. Piagam ini secara lengkap diriwayatkan oleh Ibn Hisyam (w. 213 H) dan Ibn Ishaq (w. 151 H), dua penulis muslim yang mempunyai nama besar dalam bidangnya. Menurut penelitian Ahmad Ibrahim al-Syarif, tidak ada periwayat lain sebelumnya selain kedua penulis di atas yang meriwayatkan dan menuliskannya secara sistematis dan lengkap. Meskipun demikian, tidak diragukan lagi kebenaran dan keotentikan piagam tersebut, mengingat gaya bahasa dan penyusunan redaksi yang digunakan dalam Piagam Madinah ini setaraf dan sejajar dengan gaya bahasa yang dipergunakan pada masanya. Demikian pula kandungan dan semangat piagam tersebut sesuai dengan kondisi sosiologis dan historis zaman itu. Keotentikan Piagam Madinah ini diakui pula oleh William Montgomery Watt, yang menyatakan bahwa dokumen piagam tersebut, yang secara umum diakui keotentikannya, tidak mungkin dipalsukan dan ditulis pada masa Umayyah dan Abbasiyah yang dalam kandungannya memasukkan orang non muslim ke dalam kesatuan ummah.

Menurut Muhammad Hamidullah yang telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis yang memuat Piagam Madinah, bahwa ada sebanyak 294 penulis dari berbagai bahasa. Yang terbanyak adalah dalam bahasa Arab, kemudian bahasa-bahasa Eropa. Hal ini menunjukkan betapa antusiasnya mereka dalam mengkaji dan melakukan studi terhadap piagam peninggalan Nabi.

Dalam teks aslinya, Piagam Madinah ini semula tidak terdapat pasal-pasal. Pemberian pasal-pasal sebanyak 47 itu baru kemudian dilakukan oleh A.J. Winsick dalam karyanya Mohammed en de joden te Madina, tahun 1928 M yang ditulis untuk mencapai gelar doktornya dalam sastra semit. Melalui karyanya itu, Winsick mempunyai andil besar dalam memasyarakatkan Piagam Madinah ke kalangan sarjana Barat yang menekuni studi Islam. Sedangkan pemberian bab-bab dari 47 pasal itu dilakukan oleh Zainal Abidin Ahmad yang membaginya menjadi 10 bab.

Berikut petikan lengkap terjemahan Piagam Madinah yang terdiri dari 47 pasal:

I. PREAMBULE

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini adalah piagam dari Muhammad, Rasulullah SAW, di kalangan mukminin dan muslimin (yang berasal) dari Quraisy dan Yatsrib (Madinah), dan yang mengikuti mereka, menggabungkan diri dan berjuang bersama mereka.


II. PEMBENTUKAN UMAT

Pasal 1: Sesungguhnya mereka satu umat, lain dari (komunitas) manusia lain.

Pasal 2: Kaum Muhajirin (pendatang) dari Quraisy sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka dan mereka membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 3: Banu ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka seperti semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 4: Banu Sa’idah, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 5: Banu al-Hars, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 6: Banu Jusyam, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 7: Banu al-Najjar, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 8: Banu ‘Amr Ibn ‘Awf, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 9: Banu al-Nabit, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.

Pasal 10: Banu al-’Aws, sesuai keadaan (kebiasaan) mereka, bahu-membahu membayar diat di antara mereka (seperti) semula, dan setiap suku membayar tebusan tawanan dengan cara yang baik dan adil di antara mukminin.


III. PERSATUAN SEAGAMA

Pasal 11: Sesungguhnya mukminin tidak boleh membiarkan orang yang berat menanggung utang di antara mereka, tetapi membantunya dengan baik dalam pembayaran tebusan atau diat.

Pasal 12: Seorang mukmin tidak dibolehkan membuat persekutuan dengan sekutu mukmin lainnya, tanpa persetujuan dari padanya.

Pasal 13: Orang-orang mukmin yang takwa harus menentang orang yang di antara mereka mencari atau menuntut sesuatu secara zalim, jahat, melakukan permusuhan atau kerusakan di kalangan mukminin. Kekuatan mereka bersatu dalam menentangnya, sekalipun ia anak dari salah seorang di antara mereka.

Pasal 14: Seorang mukmin tidak boleh membunuh orang beriman lainnya lantaran (membunuh) orang kafir. Tidak boleh pula orang mukmin membantu orang kafir untuk (membunuh) orang beriman.

Pasal 15: Jaminan Allah satu. Jaminan (perlindungan) diberikan oleh mereka yang dekat. Sesungguhnya mukminin itu saling membantu, tidak tergantung pada golongan lain.


IV. PERSATUAN SEGENAP WARGA NEGARA

Pasal 16: Sesungguhnya orang Yahudi yang mengikuti kita berhak atas pertolongan dan santunan, sepanjang (mukminin) tidak terzalimi dan ditentang (olehnya).

Pasal 17: Perdamaian mukminin adalah satu. Seorang mukmin tidak boleh membuat perdamaian tanpa ikut serta mukmin lainnya di dalam suatu peperangan di jalan Allah Allah, kecuali atas dasar kesamaan dan keadilan di antara mereka.

Pasal 18: Setiap pasukan yang berperang bersama kita harus bahu-membahu satu sama lain.

Pasal 19: Orang-orang mukmin itu membalas pembunuh mukmin lainnya dalam peperangan di jalan Allah. Orang-orang beriman dan bertakwa berada pada petunjuk yang terbaik dan lurus.

Pasal 20: Orang musyrik (Yatsrib) dilarang melindungi harta dan jiwa orang (musyrik) Quraisy, dan tidak boleh bercampur tangan melawan orang beriman.

Pasal 21: Barang siapa yang membunuh orang beriman dan cukup bukti atas perbuatannya, harus dihukum bunuh, kecuali wali si terbunuh rela (menerima diat). Segenap orang beriman harus bersatu dalam menghukumnya.

Pasal 22: Tidak dibenarkan bagi orang mukmin yang mengakui piagam ini, percaya pada Allah dan Hari Akhir, untuk membantu pembunuh dan memberi tempat kediaman kepadanya. Siapa yang memberi bantuan atau menyediakan tempat tinggal bagi pelanggar itu, akan mendapat kutukan dan kemurkaan Allah di hari kiamat, dan tidak diterima daripadanya penyesalan dan tebusan.

Pasal 23: Apabila kamu berselisih tentang sesuatu, penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla dan (keputusan) Muhammad SAW.


V. GOLONGAN MINORITAS

Pasal 24: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.

Pasal 25: Kaum Yahudi dari Bani ‘Awf adalah satu umat dengan mukminin. Bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum muslimin agama mereka. Juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya.

Pasal 26: Kaum Yahudi Banu Najjar diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 27: Kaum Yahudi Banu Hars diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 28: Kaum Yahudi Banu Sa’idah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 29: Kaum Yahudi Banu Jusyam diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 30: Kaum Yahudi Banu al-’Aws diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf.

Pasal 31: Kaum Yahudi Banu Sa’labah diperlakukan sama seperti Yahudi Banu ‘Awf, kecuali orang zalim atau khianat. Hukumannya hanya menimpa diri dan keluarganya.

Pasal 32: Suku Jafnah dari Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

Pasal 33: Banu Syutaybah (diperlakukan) sama seperti Yahudi Banu ‘Awf. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu lain dari kejahatan (khianat).

Pasal 34: Sekutu-sekutu Sa’labah (diperlakukan) sama seperti mereka (Banu Sa’labah).

Pasal 35: Kerabat Yahudi (di luar kota Madinah) sama seperti mereka (Yahudi).


VI. TUGAS WARGA NEGARA

Pasal 36: Tidak seorang pun dibenarkan (untuk perang), kecuali seizin Muhammad SAW. Ia tidak boleh dihalangi (menuntut pembalasan) luka (yang dibuat orang lain). Siapa berbuat jahat (membunuh), maka balasan kejahatan itu akan menimpa diri dan keluarganya, kecuali ia teraniaya. Sesungguhnya Allah sangat membenarkan (ketentuan) ini.

Pasal 37: Bagi kaum Yahudi ada kewajiban biaya, dan bagi kaum muslimin ada kewajiban biaya. Mereka (Yahudi dan muslimin) bantu-membantu dalam menghadapi musuh Piagam ini. Mereka saling memberi saran dan nasihat. Memenuhi janji lawan dari khianat. Seseorang tidak menanggung hukuman akibat (kesalahan) sekutunya. Pembelaan diberikan kepada pihak yang teraniaya.

Pasal 38: Kaum Yahudi memikul biaya bersama mukminin selama dalam peperangan.


VII. MELINDUNGI NEGARA

Pasal 39: Sesungguhnya Yatsrib itu tanahnya “haram” (suci) bagi warga Piagam ini.

Pasal 40: Orang yang mendapat jaminan (diperlakukan) seperti diri penjamin, sepanjang tidak bertindak merugikan dan tidak khianat.

Pasal 41: Tidak boleh jaminan diberikan, kecuali seizin ahlinya.


VIII. PIMPINAN NEGARA

Pasal 42: Bila terjadi suatu peristiwa atau perselisihan di antara pendukung Piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan bahaya, diserahkan penyelesaiannya menurut (ketentuan) Allah ‘azza wa jalla, dan (keputusan) Muhammad SAW. Sesungguhnya Allah paling memelihara dan memandang baik isi Piagam ini.

Pasal 43: Sungguh tidak ada perlindungan bagi Quraisy (Mekkah) dan juga bagi pendukung mereka.

Pasal 44: Mereka (pendukung Piagam) bahu-membahu dalam menghadapi penyerang kota Yatsrib.


IX. POLITIK PERDAMAIAN

Pasal 45: Apabila mereka (pendukung piagam) diajak berdamai dan mereka (pihak lawan) memenuhi perdamaian serta melaksanakan perdamaian itu, maka perdamaian itu harus dipatuhi. Jika mereka diajak berdamai seperti itu, kaum mukminin wajib memenuhi ajakan dan melaksanakan perdamaian itu, kecuali terhadap orang yang menyerang agama. Setiap orang wajib melaksanakan (kewajiban) masing-masing sesuai tugasnya.

Pasal 46: Kaum yahudi al-’Aws, sekutu dan diri mereka memiliki hak dan kewajiban seperti kelompok lain pendukung Piagam ini, dengan perlakuan yang baik dan penuh dari semua pendukung Piagam ini. Sesungguhnya kebaikan (kesetiaan) itu berbeda dari kejahatan (pengkhianatan). Setiap orang bwertanggungjawab atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah paling membenarkan dan memandang baik isi Piagam ini.


X. PENUTUP

Pasal 47: Sesungguhnya Piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (bepergian) aman, dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa. Dan Muhammad Rasulullah SAW.



Jika disimpulkan, secara garis besar Piagam Madinah ini mengatur :

Pertama, interaksi antar kaum mukmin (klausul no. 1-15 dan 17-24)

Kedua, Interaksi kaum mukmin (muslim) dengan warga negara non muslim (Yahudi) yang tunduk kepada hukum Islam sebagai seorang kafir dzimmi. Antara lain :

• “dan bahwa orang-orang Yahudi yang mengikuti langkah kami, maka mereka memperoleh perlindungan dan hak yang sama, mereka tidak akan dimusuhi dan tidak pula dianiaya”(klausul 16);

• “dan bahwa orang Yahudi akan mendapat pembagian harta bersama kaum mukmin selama mereka ikut berperang (bersama kaum mukmin)” (klausul 25)

Ketiga, hukum yang diterapkan adalah hukum Islam, dimana jika terjadi perselisihan maka solusi dan hukumnya dikembalikan kepada hukum Islam. “dan bahwa kalian, apapun yang kalian berselisih tentang sesuatu maka tempat kembalinya adalah kepada Muhammad saw”.(klausul 24)

Keempat, interaksi kaum muslim dengan komunitas yahudi yang ikut menandatangani Piagam Madinah (Yahudi Bani ‘Awf, Bani an-Najjâr, al-Hârits, Sâ’adah, al-Aws, Tsa’labah, Jusyam, Jufnah Buthn min Tsa’labah, Bani asy-Syatîbah, Sekutu Tsa’labah dan teman-teman dekat mereka). Diantaranya :

• Kedekatan dan Kekerabatan Yahudi berlaku antar mereka (klausul 35, 36)

• “Tidak seorangpun dari mereka boleh keluar (dari Madinah) kecuali dengan izin Muhammad saw” (Klausul 37)

• Mereka tidak boleh bekerja sama dengan dan atau memberi bantuan kepada kafir Quraisy (klausul 45-47)

• Kota Madinah harus menjadi kota suci (harus dijaga) oleh semua orang yang menandatangai Piagam Madinah, (kalusul 41-43).

• “Bahwa peristiwa atau perselisihan yang terjadi diantara orang-orang yang menandatangai piagam ini, yang dikhawatirkan menimbulkan kerusakan, maka tempat kembalinya kepada Allah ‘Ajja wa Jalla dan kepada Muhammad Rasulullah saw, dan bahwa Allah menjaga dan berbuat baik kepada orang-orang yang menandatangani piagam ini.” (Klausul no. 44)


Dalam piagam ini belum disebutkan Yahudi Bani Qainuqa’, Bani Nadhir dan Bani Quraidzah. Hal itu karena pada awalnya mereka menolak menandatangani perjanjian Piagam Madinah itu. Namun tidak lama kemudian mereka ikut menyetujui dan menandatanganinya, dan dibuat perjanjian khusus dengan mereka semisal perjanjian Piagam Madinah ini.

Penutup
Dari paparan singkat ini, jelas bahwa dari sisi komposisi masyarakat Madinah yang diakui dalam Piagam Madinah itu memang terdiri dari beberapa kelompok komunitas (plural). Namun semua kelompok itu tunduk kepada sistem dan hukum Islam . Dalam masalah mu’amalah dan uqubat, orang-orang musyrik dan komunitas Yahudi, semuanya tunduk kepada sistem dan hukum Islam, sebagaimana juga warga negara Muslim. Setiap persengketaan terkait masalah-masalah mu’amalah dan uqubat yang terjadi di antara mereka, baik yang seagama maupun antar agama, seluruhnya dikembalikan pada hukum-hukum Islam (Lihat klausus 42). Sementara dalam masalah aqidah, ibadah dan ahwal asy-syakhsiyah, mereka dibiarkan dengan keyakinan masing-masing dan tidak dipaksa untuk memeluk Islam.

Seluruh warga negara, Muslim maupun Non Muslim berkedudukan sama di hadapan hukum, memiliki hak dan kewajiban yang sama dan adil tanpa ada diskriminasi. Mereka juga berkewajiban menjaga stabilitas negara secara bersama-sama, tidak bebas membentuk kelompok atau bekerjasama/berkonspirasi dengan komunitas lain, tanpa perkenan dari Rasul saw sebagai kepala negara. Merekapun tidak boleh keluar dari Madinah tanpa ijin Rasulullah saw. Menurut piagam Madinah itu, kekuasaan ada ditangan Rasul dan kaum muslim. Karena komunitas kaum musyrik dan komunitas kaum Yahudi justru tunduk kepada Rasulullah saw sebagai kepala Negara Islam Madinah.[SNA]

------------

DAFTAR PUSTAKA

Al-Faruqi, Ismail R dan Lois Lamya Al-Faruqi. 2000. Atlas Budaya Islam (Terj.). Bandung : Mizan. Jaringan Islam Liberal. 2002. Seri Islam Liberal, Wajah Liberal Islam di Indonesia. Jakarta : JIL.

An-Nabhani, Syaikh Taqiyuddin. 2002. Ad-Dawlah Al-Islamiyah. Beirut : Dar al-Ummah. Edisi Mu’tamadah.

Haekal, Muhammad Husain. 2003. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta : Lentera Antar Nusa.Cet. Ke-2.

Ibnu Hisyam, Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam Al-Muafiri. 2000. Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam, edisi terjemah. Jakarta : Darul Falah.

Mubarak, Jaih. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Bandung : Pustaka Islamika.

Eickelman, Dale F. & James Piscatori. 1998. Ekspresi Politik Muslim. Bandung : Mizan.

Qol’ahji, Muh. Rawwas. 2004. Sirah Nabawiyah, Mengungkap Maksud Politis Perilaku Rasulullah Saw ( Qira’ah Siyasiyah li Sirah Nabawiyah). Bangil : Al-Izzah.

Abdurrahman, Hafidz. Piagam Madinah: Konstitusi Negara atau Bukan?, www.hizbut-tahrir.or.id (online Resource), diakses tanggal 6 Nopember,2009.

Sholahuddin, Menggagas Sekularisasi Islam, Membincang Pmikiran Ali Abdurraziq Dalam Konteks KeIndonesiaan, www.islamlib.com (Online Resaurce), diakses tanggal 6 Nopember 2009.

http://daruttaqwa.wordpress.com/2008/09/24/piagam-madinah-sebagai-rujukan-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara (Online Resource), diakses tanggal 6 Nopember 2009.

http://id.wikisource.org/wiki/Piagam_Madinah.

Revolusi Timur Tengah dan Refleksi Dakwah Syariah Khilafah


Oleh : Siti Nafidah Anshory
(Edisi editan, ditulis 17 Maret 2011)


Pengantar
Jelang tahun 2011 menjadi momen bersejarah bagi perubahan eskalasi politik Timur Tengah yang sejak dulu dikenal ‘mapan’ oleh penerapan sistem diktatorisme. Rakyat yang selama ini diam tak berdaya karena terkekang oleh kebijakan otoriter rezim penguasa, tiba-tiba berontak menyerukan perubahan. Fakta ini cukup menghentak pandangan masyarakat dunia, bahwa seberapapun besarnya kekuatan yang dibangun penguasa untuk mempertahankan hegemoninya, tak akan pernah mampu menghalangi kekuatan rakyat ketika mereka menghendaki perubahan.

Adalah rakyat Tunisia yang awalnya meradang. Aksi bakar diri seorang sarjana muda penjual sayur bernama Muhammad Bouazizi yang frustrasi akibat gerobaknya disita polisi, menjadi pemicu kemarahan rakyat yang sudah lama terpendam. Bouazizi seolah mewakili perasaan mereka yang sangat menderita akibat kedzaliman dan sikap arogan penguasa sekuler Tunisia. Apa yang dilakukannya rupanya cukup menginspirasi rakyat untuk melakukan aksi perlawanan. Revolusi rakyatpun meletus tanpa bisa dibendung. Jutaan rakyat turun ke jalan-jalan, hingga tepat 10 hari pasca tewasnya Bouazizi, kekuasaan despotik Presiden Zine el-Abidine Ben Ali yang sudah berlangsung sepanjang 23 tahun itu akhirnya tumbang. Ben Ali dan keluarganya terpaksa lari dengan membawa kehinaan beserta puluhan koper berisi emas dan uang milik rakyat. Mereka bersembunyi di ketiak raja Arab Saudi setelah Pemerintah Prancis sang sekutu lamanya ternyata emoh memberikan perlindungan.

Apa yang terjadi di Tunisia –negeri di Afrika Utara yang oleh Barat dipandang ‘paling aman’-- kemudian menginspirasi rakyat Mesir untuk melakukan revolusi serupa. Di bawah pemerintahan Mubarak dan para pejabatnya, rakyat Mesir memang tak kalah menderita di banding rakyat Tunisia, bukan hanya secara ekonomi, tetapi juga secara politik. Secara ekonomi, rakyat Mesir telah lama didera kemiskinan yang sangat parah. Pengangguran dan melambungnya harga pangan yang terjadi akhir-akhir ini kian menambah penderitaan mereka. Secara politik pun, kehidupan mereka begitu tertekan, karena sebagaimana pendahulunya, Mubarak yang didukung AS ini sangat konsisten menerapkan kebijakan represif. Tak sedikit dari lawan politik Mubarak, terutama kalangan Islamis, yang tewas dibunuh atau terpaksa menghabiskan usia di penjara-penjara bawah tanah Mesir yang terkenal mengerikan itu. Kondisi pelik inilah yang menjadi semacam tungku minyak revolusi. Hingga saat api revolusi Tunis memercik ke arahnya, tungku itupun dengan cepat terbakar dan mengobarkan semangat perlawanan rakyat sedemikian rupa hingga mampu menembus pertahanan militer Mubarak dan akhirnya berhasil menumbangkan singgasana kebesaran yang berpuluh tahun dipertahankannya.

Tak hanya Mesir yang tertular semangat revolusi Tunis. Libanon, Aljazair, Sudan, Bahrain, Yaman, Oman dan Libya pun turut bergolak. Seolah dikomando, mayoritas rakyat di negeri-negeri Tiran tersebut bergerak dengan suara sama; menuntut perubahan rezim dengan harapan bisa mengubah keadaan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Di Libya, pergolakan rakyat bahkan berakhir dengan perang saudara. Pemerintahan Muammar Gaddafi dan pedukungnya hingga kini terus berusaha mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk menggunakan kekuatan senjata untuk menumpas gerakan perlawanan yang menginginkan ketumbangannya.

Sumirnya Arah Perubahan
Saat pemberitaan mengenai panasnya situasi Timur Tengah ini mencuat ke seantero jagad, tak sedikit yang berharap peristiwa ini akan menjadi momentum terjadinya perubahan mendasar yang bisa mengubah konstelasi politik dunia, mengingat Timur Tengah dikenal sebagai jantungnya dunia. Namun jika menyimak perkembangan yang terjadi, nampak bahwa perubahan yang diinginkan masyarakat Arab ternyata tak memiliki landasan kuat dan visi jelas. Yang penting bagi mereka, rezim lama tumbang digantikan dengan yang baru. Atau setidaknya kebutuhan naluriyah mereka terpenuhi dengan segera.

Kenyataan inilah yang menyebabkan semangat perubahan dengan mudah dibajak oleh berbagai kepentingan. Baik kepentingan rezim lama yang berupaya melanggengkan dinastinya dengan cara berganti wajah dari otoriter tiba-tiba menjadi (seolah) pro rakyat (demokratis), maupun oleh kepentingan asing, dalam hal ini negara-negara besar, yang berkehendak merevitalisasi dominasi ideologi dan ekonominya dengan cara mendukung rezim baru yang loyalitasnya tak diragukan.

Apa yang terjadi di Tunis dan Mesir jelas menggambarkan hal ini. Naiknya Mohammed Gannouchi menggantikan Ben Ali maupun Omar Sulaeman yang menggantikan Mubarak adalah bentuk pembajakan yang telanjang atas arah perubahan. Pasalnya Gannouchi dan rezim baru yang dibentuknya sama-sama dikenal sebagai loyalis Ben Ali dan pemerintah sekutunya, Perancis. Bahkan berbagai analisis menyebutkan, bahwa dia sengaja dipasang oleh Perancis untuk mengamankan kepentingannya setelah Ben Ali ditumbangkan.

Begitupun dengan Omar. Selama masa kekuasaan Mubarak dia dikenal sebagai tangan kanannya. Sebagai kepala badan intelejen Mesir, dialah yang bertugas memberangus lawan-lawan politik Mubarak, terutama dari kelompok Islam. Omar pun –-sebagaimana Mubarak-- dikenal memiliki hubungan khusus dengan CIA (AS) dan Israel. Bisa dipahami jika saat terjadi gelombang demonstrasi besar-besaran menuntut Mubarak mundur, AS –sebagaimana diungkap Wikileaks-- buru-buru menyiapkan Omar sebagai pengganti Mubarak untuk memastikan Mesir tetap dalam genggamannya. Ini mengingat posisi Mesir adalah penjaga utama kepentingan dan kompas keamanan AS di Timur Tengah, termasuk menjadi penjaga utama proses normalisasi hubungan Arab-Israel yang dimotori AS.

Adapun di luar Tunis dan Mesir, pembajakan justru lebih banyak dilakukan penguasanya sendiri, dengan cara segera memberi rakyat ‘obat sementara’ untuk melemahkan semangat revolusi/perlawanan mereka. Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh yang diprotes karena sudah berkuasa selama 32 tahun misalnya, segera berjanji akan turun di tahun 2013. Raja Yordania, Abdullah II, merespon aksi rakyat dengan segera merombak kabinetnya seraya memasukkan beberapa tokoh oposisi dan media ke dalamnya. Presiden Aljazair Abdel Aziz Bouteflika memilih cara meraih simpati rakyat dengan mengambil kebijakan mencabut UU Darurat yang telah berjalan hampir 20 tahun. Presiden Suriah Bashar al-Assad berancang-ancang melakukan reformasi. Sementara Penguasa Arab Saudi dan Bahrain mencoba membungkam rakyat dengan segera mengumumkan rencana pemberian uang tunai kepada rakyat dalam jumlah besar. Ironisnya, dengan cara ‘sederhana’ ini, para penguasa tiran akhirnya berhasil meredam benih revolusi hingga tak berkembang menjadi kekuatan yang mendorong sebuah perubahan besar.

Seruan Khilafah di Kancah Revolusi
Kian sumirnya arah perubahan sebenarnya tak bisa dilepaskan dari peran media (milik) Barat yang berhasil membangun opini dan mengerdilkan agenda revolusi menjadi sekedar soal perubahan rezim dan soal perut. Media Barat –yang kemudian dijadikan referensi oleh media-media lokal— memang intens mengopinikan bahwa masalah utama rakyat adalah kemiskinan dan rezim otoriter. Merekapun mengopinikan, bahwa rakyat semua negara yang dilanda gelombang demonstrasi itu hanyalah menginginkan pekerjaan dan kesempatan, menentang harga makanan yang tinggi dan korupsi serta menginginkan sistem politik yang tidak dicengkram keras oleh tangan besi pemerintah yang otoriter (lihat tulisan Frank Gardner, Wartawan BBC urusan keamanan pada artikel Revolusi Dunia Arab Terhenti di Libya?, dirilis www.bbc.co.uk/ indonesia, 5 Maret 2011). Itulah yang mereka sebut sebagai perjuangan demokrasi mewujudkan pemerintahan sipil melawan otokrasi dan otoritarianisme. Tapi benarkah demikian?

Dengan cara seperti ini, Media Barat sebenarnya sedang berupaya membelokkan kesadaran masyarakat dunia dari arah perubahan yang benar. Mereka pun sedang berupaya menutupi realitas tentang sedang tumbuhnya kesadaran ideologis di tengah-tengah umat, yakni munculnya gerakan yang menginginkan perubahan sistem secara mendasar melalui penegakkan khilafah yang mendunia.

Faktanya, di tengah gelombang revolusi Arab itu, seruan khilafah memang cukup nyaring terdengar. Di tengah revolusi Melati Tunisia misalnya, masîrah (long march) berlangsung di jalan-jalan seraya menyerukan slogan “lâ syarqiyyah wa lâ gharbiyyah … lâ dimoqrâthiyyah wa wathaniyyah … bal khilâfah Islâmiyyah”. Di Mesir suara-suara lantang pun muncul dalam khotbah-khotbah Jum’at, channel-channel TV keagamaan, dan kelompok massa yang menyerukan penerapan Islam di Lapangan Tahrir, di berbagai pusat diskusi di kota Alexandria, dan wilayah-wilayah Mesir lainnya. Bahkan di Libya, seruan-seruan untuk penerapan Islam juga berlangsung, meskipun Gaddafi melancarkan kampanye untuk merusak citra Negara Islam, dan selalu mengaitkannya dengan berbagai aksi kekerasan. Terkait hal ini, para pemimpin entitas Yahudi bahkan mengatakan bahwa karakter revolusi di Libya adalah karakter Islam. Adapun di Yaman, berlangsung pula seruan-seruan para ulama yang menyampaikan kabar gembira akan kembalinya Khilafah. Bahkan ada beberapa kota yang telah diwarnai dengan kibaran bendera al-Uqab, yaitu al-Liwa’ dan ar-Rayah sehingga media-media lokal dan Arab terdorong menerbitkan headline: “Yaman berada di pinggiran Khilafah Islam”, dan “ar-Rayah telah berkibar di atas sekolah-sekolah di Aden” (www.hizbut-tahrir.or.id).

Namun hampir seluruh media besar milik Barat justru memboikot dan menihilkan adanya seruan perubahan ke arah Islam di kancah revolusi tersebut. Bahkan mereka berupaya menutupnya dengan karakter sekuler seperti dengan menonjolkan isu demokratisasi dan semangat melawan penindasan. Hal ini dikarenakan para pemimpin Barat, khususnya Amerika, Eropa dan Yahudi sangat ketakutan akan bahaya yang mengancam mereka. Yakni berupa kemungkinan berdirinya negara Islam pasca revolusi yang akan mengganggu keseimbangan kekuasaan dan mengubah bandul sejarah yang hari ini ada di pihak mereka ke tangan Islam.

Pernyataan tentang ketakutan ini senyatanya telah disampaikan oleh Clinton, Cameron, Ashkenazi, Netanyahu dan Berlusconi. Bahkan situs HTI menyebut, bahwa media-media besar Barat seperti Fox News dan The Independent, semuanya telah membicarakan tentang ketakutan para politisi Barat terhadap revolusi ini dan isu pendirian Khilafah, serta implikasinya bagi Barat dan dunia. Pemberitaan inilah yang memaksa Sekretaris Jenderal Liga Arab, Amr Moussa mengeluarkan pernyataan untuk menenangkan kecemasan Barat dan meredakan badai ketakutan pada diri mereka.

Revolusi Arab dan Refleksi Dakwah Syariah Khilafah
Fakta-fakta mengenai adanya seruan khilafah dalam revolusi Arab tentu tak bisa dilepaskan dari peran kelompok dakwah yang tetap konsisten menyerukan urgensi dan kewajiban menegakkan syariah dalam wadah khilafah. Hanya saja, sejauhmana gagasan ini terkristal di tengah umat memang butuh penelaahan, mengingat faktanya api revolusi Arab kini nyaris padam, dan suaranya pun nyaris tak terdengar ke permukaan sejalan dengan terpenuhinya tuntutan-tuntutan rakyat yang bersifat parsial.

Kita tentu berharap bahwa apa yang dikatakan Frank Gardner, bahwa revolusi dunia Arab akan berakhir di Libya tidaklah benar. Kita juga berharap, melemahnya pemberitaan soal revolusi Arab hanyalah soal keberhasilan media Barat melakukan pemboikotan, bukan karena semangat revolusi itu benar-benar padam. Namun kita tak bisa menutup mata, bahwa kita pernah beberapa kali kehilangan momentum perubahan hakiki dalam beberapa peristiwa sejarah, termasuk reformasi Indonesia di tahun 1998. Fakta ini setidaknya bisa menjadi bahan untuk mengukur sejauhmana keberhasilan dakwah mengembalikan Islam di tengah-tengah kancah kehidupan umat.

Dalam salah satu kitabnya, Al-‘Alamah Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani menyebutkan, bahwa keberhasilan sebuah gerakan sesungguhnya diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan hawa nafsu penguasa. Sementara terkait keberhasilan tujuan dakwah, yakni tegaknya syariah dalam wadah khilafah hanya bisa dilakukan setelah terbentuknya opini publik yang lahir dari kesadaran umum terhadap ideologi Islam.

Hal ini tentu hanya bisa diwujudkan manakala aktivitas peleburan ideologi yang dilakukan kelompok dakwah dan para pengembannya di tengah-tengah masyarakat melalui kontak-kontak produktif berjalan sempurna. Sehingga ideologi Islam yang diemban kelompok dakwah dan para pengembannya tadi diimani dan diemban pula oleh umat. Kesadaran ideologi seperti inilah yang akan mendorong umat untuk siap turut serta berjuang bersama kelompok dakwah tadi mewujudkan Islam di kancah kehidupan, menembus setiap penghalang, baik yang datang dari penguasa maupun dari pihak asing yang tak menghendaki umat Islam bangkit, termasuk penghalang yang mengancam nyawa mereka.

Pada kasus revolusi Arab dan revolusi-revolusi di negeri Islam sebelumnya, arus kesadaran ideologis seperti ini nampaknya belum terbentuk secara massif di tengah-tengah masyarakat. Sehingga, alih-alih mampu mewujudkan kekuasaan yang berlandaskan Islam, malah dengan mudah arus perubahan dibelokkan ke arah yang justru menjauhkan mereka dari hakekat kebangkitan. Nampak pula, bahwa mayoritas umat bahkan belum mampu membaca akar persoalan mereka secara sempurna berikut solusi yang harus ditempuhnya, yakni masalah ketiadaan sistem Islam dan keharusan kembali menerapkan sistem ini dalam kehidupan. Mereka bahkan bisa dikatakan masih berada pada taraf pemikiran dan perasaan yang rendah, sehingga sekalipun mereka menyadari akan buruknya kondisi mereka dan menyadari kebutuhan akan kepemimpinan yang sahih dan ikhlas, penuh kesadaran dan bisa merasakan keadaan mereka, namun kesadaran dan perasaan tersebut masih kabur dan tak mampu mendorong ke arah perubahan sebenarnya selain sekedar asal berubah saja.

Menciptakan Peluang Revolusi Hakiki di Indonesia
Meski tak jelas akhir ceritanya, namun ada beberapa hal yang bisa diambil dari peristiwa Revolusi Arab. Revolusi ini setidaknya memberi pelajaran, bahwa perubahan hakiki memang tak bisa instan, apalagi spontan. Meski perubahan merupakan hal fitrah dan alami, namun Allah SWT lewat suri tauladan Rasulullah Saw telah mengajarkan bahwa perubahan adalah “diciptakan”. Ternyata, ada peran aktif yang dituntut untuk sebuah perubahan, mulai dari membuat peta masalah, menetapkan landasan, mendisain target dan menghitung langkah, memproses, hingga mewujudkan. Tanpa itu semua, perubahan hanya akan berarti pemborosan (waktu, energi, biaya, nyawa) yang berujung pada kesia-siaan, bahkan kehinaan berupa kian kuatnya cengkraman kekufuran.

Sesungguhnya perubahan yang kita inginkan hanya satu, yakni perubahan ke arah Islam dan hanya dengan landasan Islam. Perubahan seperti ini mengharuskan kelompok dakwah dan para pengembannya menjalani tahap demi tahap perubahan masyarakat tapi tetap fokus pada aktivitas mewujudkan kekuasaan Islam tanpa kekerasan. Dan untuk itu dibutuhkan tekad yang dipenuhi kesadaran dari seluruh aktivis dakwah secara majmu’ (akumulatif) untuk melangkah dengan serius, shabar, sungguh-sungguh melakukan peleburan di tengah umat, dan terus-menerus menghantam berbagai bentuk interaksi yang berlangsung di tengah kehidupan mereka, termasuk apa yang tengah berlangsung antara mereka dan penguasa, atau antara penguasa itu dengan negara-negara lain, dan dengan berbagai uslub dan wasilah membangun kepemimpinan umat agar suatu saat bisa berhasil mewujudkan tujuan perjuangan apapun resikonya.

Aktivitas dakwah di Indonesia sesungguhnya memiliki peluang besar membawa masyarakat ke arah Islam. Potensi SDM dan SDA yang besar, suasana dakwah yang kondusif dan relative aman, benturan yang relative kecil, perasaan Islam yang masih kuat, adalah aspek-aspek pendukung dakwah yang ada di negeri ini. Tak mengherankan jika ada yang memprediksi tumbuhnya benih khilafah di Indonesia. Karenanya jangan sampai kesempatan emas menjadi jalan datangnya nashrullah ini ‘direbut’ orang lain, dengan hanya berharap dan menunggu orang lain yang bergerak dan kita yang menikmati hasilnya. Justru kitalah yang seharusnya menjadi subjek perubahan dan eksekutor kemenangan di tahap akhir perjuangan ini sekalipun untuk meraihnya kita harus kehilangan banyak kesempatan menikmati dunia.

Khotimah

Meski hingga hari ini upaya para pengemban dakwah syariah dan khilafah belum berhasil mewujudkan tujuannya, namun sekali lagi, tetap bisa dikatakan bahwa posisi mereka sudah berada di akhir tahap kedua menuju tahap akhir perjuangan. Kesadaran ini mengharuskan seluruh komponen yang ada bergerak dalam dakwah dimanapun adanya, merevitalisasi diri dan perjuangannya dengan cara sesegera mungkin menyempurnakan niat dan kerja, serius menutup apa yang kurang, bersungguh-sungguh menciptakan peluang dan berlomba meraih posisi tertinggi dalam kebaikan.

Cukuplah bagi kita, bergemanya seruan khilafah di berbagai belahan dunia dan munculnya sikap ketakutan para pemimpin musuh termasuk dalam revolusi Arab sebagai bukti bahwa apa yang diperjuangkan selama ini tidaklah sia-sia sekalipun hasilnya belum sempurna. Bahkan masing-masing dari kita harus terus berupaya menguatkan keyakinan, bahwa khilafah benar-benar akan kembali dalam waktu dekat melalui tangan-tangan kecil kita. Insya Allah.[SNA]