INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Senin, 30 Juli 2012

Al-qur’an, nasibmu kini …….

By : Siti Nafidah Anshory

Sahabat hati ….
Sesungguhnya, ramadhan punya banyak nama.
Salah satunya adalah syahrul qur’an atau bulan alqur’an
Di bulan inilah alqur’an diturunkan
Di bulan ini pula alquran menjadi kitab yang paling banyak dibaca dan diperdengarkan
Di rumah2, surau2, mesjid2, sekolah2, tempat kerja bahkan di angkutan2 kota
Semua didasari keyakinan bahwa, kemuliaan ramadhan menjadikan bacaan alqur’an akan membawa berkah dan pahala berlipat ganda

Namun ada hal yang menarik direnungkan
Dari ramadhan ke ramadhan, fenomena seperti ini nyaris  berlangsung tak ada beda
Alqur’an dibaca tapi tak mampu menjadi cahaya
Alqur’an diperdengarkan tapi hanya seperti lantun siulan
Apa yang dibaca tak dipahami  maknanya apa
Apa yang diperdengarkan ternyata tak berpengaruh dalam realitas kehidupan mereka

Banyak kaum muslimin yang meyakini akan kesucian al qur’an dan bersikap takzim di hadapannya
Tapi sayang, bagi sebagian mereka, al qur’an tak lebih dari kitab mujarobat dan mantra2
Yang dianggap sakti untuk  mengobati penyakit, mengusir setan dan pemancing rezeki semata
Ada pula sebagian dari mereka yang berkhidmat menjadi penghafalnya,
Namun sayang, mereka tak terdorong menjadi penjaga dan pembelanya
Padahal mereka melihat saat mushaf alqur’an berulang dinodai dan dihinakan musuh2 islam
Bahkan merekapun tahu, bahwa saat ini isi alqur;an dicampakkan
Dan hukum2nya sengaja direka ulang karna dianggap usang tak relevan dengan peradaban masa sekarang

 Sejatinya alquran adalah tuntunan bagi kita umat islam bahkan manusia secara keseluruhan
Yang dengannya kita tahu, bagaimana hidup dijalankan dan setiap masalah dipecahkan
Yang dengannya pula kita beroleh jaminan, akan teraihnya keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia hingga di keabadian
Allah subhaanahu wata’ala berfirman :
A’uudzubillaahiminassyaithaanirrajiim
Syahru ramadhaanalladzii unzila fiihil qur’aan
Hudallinnaas wa bayyinatim minal hudaa wal furqaan
Bulan ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan alqur’an
Sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan2 mengenai petunjuk itu
Serta pembeda antara yang hak dan yang bathil

Keimanan terhadap alqur’an seharusnya diwujudkan dalam ketaatan
Kecintaan terhadapnya semestinya dibuktikan dengan ketundukan
Ini berarti, merealisasikan isinya sebagai jalan hidup dan undang-undang menjadi kemestian … dan memperjuangkannya merupakan keniscayaan
Momen ramadhanlah  saat yang tepat untuk merevisi keimanan sekaligus membangun semangat  perjuangan membumikan alqur’an
Karena di bulan inilah, dia diturunkan sebagai mata air kehidupan..

------------------ 0712



MHTI JABAR : DISTAS INSAN MEDIA, MUBALLIGHOH, INTELEKTUAL DAN AKTIVIS ORGANISASI MUSLIMAH




REPORTASE

 Pada hari Ahad 29 Juli 2012, MHTI Jabar berhasil menyelenggarakan acara Dialog Terbatas dengan tema ‘PERAN STRATEGIS MEDIA DAN URGENSI MEMBANGUN SINERGI ANTAR INSAN MEDIA, MUBALLIGHOH, INTELEKTUAL DAN AKTIVIS ORGANISASI MUSLIMAH DALAM UPAYA PENYELAMATAN GENERASI’.  Acara yang berlangsung di Kantor DPD I HTI Jabar ini bertujuan untuk menggagas solusi penyelamatan generasi yang saat ini terbelenggu berbagai macam kerusakan, yang antara lain dikukuhkan oleh media.

 Diskusi ini dihadiri oleh puluhan tokoh dari kalangan media, intelektual, muballighoh dan aktivis organisasi muslimah Jawa Barat. Tokoh yang hadir antara lain intelektual dari UIN Bandung, UPI, ITENAS, utusan PW Wanita PUI, BKMM, ICMI, PWS Mesjid Salman ITB, aktivis Aisyiyah, aktivis Persistri,  FUUI, Pesantren Ulul Albab, dan para aktivis MHTI Jabar. Dari kalangan media hadir Ketua Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Jawa Barat Ibu Neng Athia dan Anggota Dewan Pengawas PRSSNI Jawa Barat, Ibu Hj. Indra Subagyo.

 Acara ini berjalan dengan hangat dan penuh keakraban, dipandu oleh Ibu Vetiana Halim, SE dari Lajnah Fa’aliyah MHTI Jabar. Adapun pengantar diskusi disampaikan oleh Ketua MHTI Jabar, Ibu Siti Nafidah, SP, M.Ag. Beliau memaparkan pembacaan MHTI mengenai akar masalah kerusakan generasi yang tidak lain dikarenakan oleh penerapan sistem sekular kapitalistik yang menjauhkan umat dari Islam dan tak mendukung lahirnya generasi terbaik. Juga akibat konspirasi asing berupa serangan pemikiran dan budaya yang berhasil menciptakan individu dan lingkungan yang rusak dan merusak.

Beliau juga menjelaskan, bahwa akibat sekularisme dan konspirasi ini, 3 pilar pembangun generasi telah rusak, yakni keluarga, lingkungan/masyarakat dan negara. Keluarga kian mengalami disfungsi dan para orangtua tak mampu menjalankan perannya secara optimal. Lingkungan masyarakatpun sama sekali “tak ramah generasi”, penuh dengan kemaksiatan termasuk berkembangnya media yang memapar kerusakan, menjauhkan dari suasana ta’awun, dan melemahkan tradisi amar ma’ruf nahi munkar. Di sisi lain, Negara yang berparadigma sekuler kapitalistik ini juga sangat lemah menghadapi konspirasi dan tak mampu menjadi ra’in (pengurus) sekaligus  junnah (pelindung) bagi umat dan generasi.

Oleh karenanya, MHTI menyampaikan tawaran solusi bagi penyelamatan generasi. Yakni dengan mencampakkan system sekuler kapitalisme dan kembali kepada aturan ilahi, melalui dakwah yang fokus pada upaya mengokohkan fungsi keluarga dengan landasan aqidah dan pemahaman akan syariat islam, memperbaiki kondisi dan fungsi masyarakat sebagai “kapal bersama”, yang siap saling menjaga dan menyelamatkan dengan menghidupkan tradisi amar ma’ruf nahi munkar semata karena Allah, dan mewujudkan negara bertauhid yang berfungsi sebagai pelaksana syariat sehingga bisa menjadi “rain” dan “junnah”.

Untuk mewujudkannya, MHTI menekankan tentang peran dan tanggungjawab yang dipikul oleh setiap Muslim, apapun profesi dan latar belakang benderanya, untuk menjadi corong penyampaian ide-ide Islam kaaffah di tengah-tengah umat. Hanya saja secara khusus, peran strategis media dan insan media dibahas dalam diskusi, mengingat media pada hari ini memiliki peluang dan daya jangkau paling luas serta paling efektif menjadi alat propaganda/pengopinian di tengah-tengah masyarakat. Bahkan media dipandang memiliki andil besar dalam pembentukkan karakter masyarakat, karena sifat “dakwah”nya yang massif, menarik dan atraktif. Ibarat serangan udara, media bisa menembus berbagai sekat penghalang mengungguli serangan darat yang dilakukan para pendidik, muballighah, dan lembaga ormas di tengah-tengah masyarakat.

Itulah kenapa, MHTI merasa penting sesegera mungkin menggalang sinergi antar media, insan media dan tokoh muslimah. Harapannya, ide-ide Islam yang merupakan obat penyelamat bagi generasi bisa cepat menyebar di tengah umat, mengcounter propaganda sekularisme-liberalisme dan islamophobia.

Pada sessi diskusi, para peserta yang hadir merespon positif apa yang digagas ketua MHTI dan mengapresiasi upaya MHTI menggalang sinergi antar tokoh umat termasuk media. Mereka aktif memberikan pandangan mengenai upaya yang telah ditempuh dalam penyelamatan generasi ini, sekaligus menyampaikan saran terhadap insan media dan harapan ke depannya. Pada sessi ini, Ketua KPID Jabar –Ibu Neng Athia- secara khusus menyampaikan apa upaya praktis yang sudah dilakukan KPID hari ini terhadap  keberadaan tayangan rusak media, peran serta masyarakat yang diharapkan, berikut kendala-kendala yang dihadapi akibat kapitalisasi media yang demikian kental seperti saat ini.

Para peserta berharap diskusi sinergis seperti ini akan terus berlangsung sehingga upaya penyelamatan generasi dengan tampilnya system Islam akan segera terwujud. Diskusi diakhiri dengan kesimpulan, bahwa pengarusan Islam kaaffah menjadi urgen, sehingga harus ada penyamaan persepsi tentang apa itu Islam dan bagaimana menegakkannya. Terkait dengan hal tersebut, dalam closing statementnya, Ketua MHTI Jabar menyampaikan gagasan mengenai  Forum Diskusi Strategis untuk Muslimah Jabar yang di dalamnya akan dibahas isu-isu strategis tentang Perempuan, Keluarga dan Generasi dengan sudut pandang dan solusi Islam dan hasilnya menjadi bahan opini di jejaring masing-masing sehingga akan menjadi trending topics di tengah umat. Dengan demikian, umat akan meyakini kemampuan Islam sebagai solusi bagi seluruh persoalan hidup mereka dan sebagai rahmatan lil ‘alamin yang mereka rindukan tegaknya di muka bumi ini. Gagasan inipun mendapat sambutan positif dari para peserta diskusi.

Acara berakhir menjelang dzuhur dan ditutup dengan muhasabah serta foto bersama yang diselingi perbincangan mengenai sinergitas yang akan dibangun selanjutnya. Subhanallaah, walhamdulillaah.[][][]
-------------
















Senin, 16 Juli 2012

MELIHAT SABIT MENJELANG RAMADHAN (RU'YATUL HILAL)


Antara Hisab, Rukyat, Rukyat Lokal dan Rukyat Global
(Tulisan daur ulang)

Pendahuluan

Sebagaimana biasa, dari tahun ke tahun kedatangan bulan Ramadhan sebagai bulan yang penuh berkah, senantiasa disambut hangat oleh kaum muslimin di seluruh dunia. Di bulan ini, Allah SWT menjanjikan pahala yang berlipat ganda bagi setiap amal sholeh yang dikerjakan. Di bulan ini pula terdapat malam ‘lailatul qadar’ yang nilainya setara dengan seribu bulan. Subhanallah !

Namun sayang, di samping kegembiraan itu, kedatangan Ramadhan sampai saat ini masih saja menyisakan keprihatinan, mengingat ‘kebiasaan’ kaum muslimin untuk berbeda dalam mengawali dan mengakhiri Ramadhan seolah tak pernah terselesaikan. Yang lebih menyedihkan, sebagian umat Islam, termasuk para ulama dan penguasa, seakan-akan tidak peduli akan kepentingan menyelesaikan permasalahan ini. Bahkan mereka menganggapnya sebagai hal yang biasa dan mustahil diselesaikan. Padahal, pelaksanaan Ramadhan serta pelaksanaan ‘Ied memiliki akibat-akibat hukum yang tidak dapat disepelekan begitu saja, seperti keharaman mendahului Ramadhan dengan shaum, masalah batas akhir waktu zakat fitrah ataupun masalah keharaman shaum pada hari Raya.

Lalu apa sebenarnya penyebab munculnya perbedaan-perbedaan itu, bagaimana cara menyelesaikannya agar kaum muslimin tidak lagi berada dalam kebingungan setiap kali menyongsong Ramadhan ?


Membuka Kembali Petunjuk Syar’iy

Bahwa dijadikannya hukum-hukum Syar’iy sebagai pangkal seluruh perbuatan, ibadah maupun mu’amalah adalah sesuatu perkara yang tidak perlu didiskusikan, apalagi diperselisihkan. Berdasarkan nash-nash yang terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, para Ahli Ushul telah menggariskan komitmen ini dalam sebuah kesepakatan kaidah :

“Asal suatu perbuatan terikat dengan hukum Syar’iy”

Kaidah inilah yang memberikan pemahaman bagi kita, bahwa seluruh perbuatan manusia akan senantiasa terikat dengan hukum syara’, dimana dengan standar hukum syara’ tersebut perbuatan-perbuatan manusia akan dinilai dan diberi balasan. Demikian pula dalam masalah shaum Ramadhan dan ‘Iedul Fitri ini, sesungguhnya syara’ telah menetapkan hukum dan tatacara pelaksanaannya secara jelas dan terperinci. Dengan kata lain, kedua perkara tersebut sudah termasuk bagian dari ibadah yang secara tauqifiy (baku) wajib kita lakukan sesuai dengan ketentuan Rasulullah SAW. Sehingga, tatkala kaum muslimin menghendaki ibadah shaum yang dilaksanakannya dinilai sebagai amal shaleh, maka selain harus didasari keikhlasan, mau tidak mau mereka juga harus mensandarkannya pada aturan-aturan yang telah Allah SWT tetapkan bagi mereka.

Hal mendasar inilah yang terlebih dahulu harus dipahami oleh kaum muslimin, sehingga tatkala jelas bagi mereka tentang kekuatan hujjah dari suatu pendapat, sekalipun itu bertentangan dengan pendapatnya semula atau bahkan bertentangan dengan hawa nafsunya, maka dengan serta merta mereka tunduk dan patuh mengikuti kebenaran yang diperolehnya.


Ketetapan Syara’ Mengenai Awal dan Akhir Ramadhan

Ada beberapa analisis terhadap penyebab adanya perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Di antaranya :

 Tidak adanya kesepakatan dalam landasan syar’iy mengenai penggunaan metoda penentuan kalender, seperti ru’yat mutlak, hisab mutlak, atau ruyat yang di dukung hisab/hisab yang disahkan ru’yat;

 Akibat ketidaksepakatan dalam teknis ru’yat, seperti dalam hal penentuan lokasi dan waktu pengamatan, penggunaan alat bantu, serta syarat-syarat kesaksian yang bisa diterima;

 Akibat ketidak sepakatan dalam teknis hisab, seperti metoda perhitungan astronomi (ijtima’, irtifa’), kriteria masuknya bulan baru (wujudul hilal, imkanur ru’yat);

 Serta akibat tidak adanya kesepakatan dalam pemberlakukan hasil ru’yat/hisab (lokal atau global). Lebih dari itu, tidak adanya lembaga pemersatu yang memiliki otoritas terpercaya di tengah-tengah kaum muslimin makin memperparah keterpecahbelahan kaum muslimin, termasuk dalam permasalahan shaum dan ‘Iedul Fitri ini.

Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap ?

Tentu saja, sebagaimana yang Allah SWT perintahkan, persoalan ini harus kita kembalikan kepada ketentuan syara' semata, yakni dengan melakukan penelaahan secara mendalam terhadap berbagai pendapat
beserta dalil yang dikemukakannya. Berkenaan dengan hal ini, mari kita perhatikan nash-nash berikut ini :

“Bulan Ramadlan yang padanya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan akan petunjuk dan pembeda yang haq (dari kebathilan).
Bagi siapa di antaramu yang bersua saat Ramadhan itu, maka shaumlah ….. “

(QS. Al-Baqarah : 185)

Dalam HR. Bukhari Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul SAW bersabda :

“Janganlah kamu sekalian shaum hingga kalian melihat bulan,
dan jangan pula berbuka hingga kalian melihat bulan.
(Tetapi) bila mendung menghalangi (penglihatanmu), maka genapkanlah (ia menjadi) 30 hari Bulan Sya’ban”.


Kemudian dalam riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar, dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Satu bulan adalah 29 hari. Maka, janganlah kamu sekalian menjalankan shaum sampai kalian melihatnya. Sekiranya mendung menutupimu, maka genapkanlah (ia menjadi) 30 hari Bulan Sya’ban”.

(Hadist serupa diriwayatkan juga oleh Muslim dengan redaksi yang agak berbeda).

Selain hadits-hadits di atas, diterima juga dari Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda :

"Shaumlah kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah kalian ketika melihat hilal. Maka jika mendung menghalangi penglihatan kalian dari melihat hilal, sempurnakanlah 30 hari bulan Sya’ban”.

Hadits-hadits di atas demikian gamblang menjelaskan, bahwa penentu awal dan akhir Ramadhan adalah dengan melihat hilal (ru’yatul hilal). Dengan kata lain, berdasarkan ketetapan hukum syara’, penyebab sah untuk memulai shaum Ramadhan dan ‘Iedul Fitri tidak lain adalah dengan melihat hilal. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa perintah shaum dan berbuka (‘Iedul Fitri) dengan meru’yat hilal adalah WAJIB, dimana hukum wajib ini dilihat dari adanya qarinah (isyarat) yang secara tegas menuntut setiap kaum muslimin untuk melaksanakannya dengan seksama. Hal ini bahkan ditunjukka secara fi’liyah oleh baginda Rasulullah SAW, berdasarkan kesaksian Siti Aisyah ra. : “Adalah Rasulullah SAW sangat mencermati keadaan hilal pada bulan Sya’ban melebihi perhatian beliau akan bulan selain Sya’ban. Beliaupun melakukan shaum Ramadhan karena terlihatnya hilal. Maka apabila hilal terhalang awan, beliau menghitung 30 hari, kemudian beliau shaum” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Daruquthni).


Lantas bagaimana dengan Hisab ?

Sesungguhnya Islam tidak pernah melarang ummatnya untuk mempelajari Ilmu Hisab dan menggunakan ilmu tersebut untuk suatu kegunaan, seperti untuk kepentingan navigasi, pemetaan dan sebagainya. Dengan kata lain, hukum mempelajari dan menggunakannya adalah MUBAH. Akan tetapi dalam masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, tidak ditemukan satu nashpun yang membenarkan digunakannya hisab sebagai penentu satu-satunya. Bahkan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum syara’ yang diperintahkan untuk diamalkan dalam hal ini adalah ru’yat yang jelas-jelas nyata sebagai tuntunan. Adapun mengenai kebolehan dipergunakannya hisab sebagai perangkat bantu dalam meru’yat hilal, yakni dalam memperkirakan waktu yang tepat untuk melakukan ru’yat, tetap tidak mengubah kedudukan ru’yat yang WAJIB sebagai ketentuan hukum syar’iy secara mutlak. Apalagi, bagaimanapun meru’yat adalah aktivitas yang ril, yakni melihat/mengamati hilal (bulan sabit) dengan menggunakan penglihatan (mata). Dan selain itu, syara’ juga memberikan ketetapan lain, yakni keharusan menggenapkan bulan sebelumnya menjadi 30 hari jika pengamatan tadi terhalang oleh awan.

Adapun mengenai sabda Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra :
Sesungguhnya kita adalah ummat yang ummi. Kami tidak dapat menulis dan menghitung. Satu bulan adalah begini, begini, begini (menyodorkan kesepuluh jari tangan tiga kali, dengan menekuk jari jempol pada sodoran yang ketiga). Dan satu bulan adalah begini, begini, begini (dengan membuka seluruh jari-jari pada ketiga sodoran)”. (dalam Syarah Shahih Muslim, karya Imam Nawawi, Jilid VII/192 dan Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Jilid IV/126-127).

Sesungguhnya hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengklaim keabsahan penggunaan hisab dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Bahkan jika dicermati, hadits tersebut justru menerangkan hakekat ru’yat sebagai penentu perputaran (siklus) bulan. Dan berkenaan dengan hadits tersebut Ibnu Hajar Al-Asyqalaniy berkomentar sebagai berikut :

Yang dimaksud dengan hisab dalam hadits ini adalah hisabun-nujum (perhitungan ilmu falak/astronomi) dan peredarannya. Dan bahwa orang-orang dahulu belum mengetahui ilmu itu kecuali sedikit pengetahuan yang sederhana.Dan dikaitkannya puasa dan lain-lain dengan ru’yat adalah untuk menghilangkan kesukaran dari mereka dalam menggunakan hisab peredaran bulan”.

Lalu beliau menambahkan :
“Syara’ telah melarang penggunaan ilmu astronomi, sebab ilmu itu bersifat perkiraan dan taksiran. Ilmu tersebut tidak menghasilkan kepastian, bahkan tidak menghasilkan dugaan yang kuat. Di samping itu, kalau masalah shaum dan lain-lain harus dikaitkan dengan ilmu astronomi, niscaya akan menyulitkan. Sebab hanya sedikit orang yang mengetahui ilmu itu”.

Dari penjelasan di atas, nampak bahwa Ibnu Hajar hanya menggunakan ru’yat, tidak menggunakan hisab. Pendapat ini juga merupakan pendapat jumhur fuqaha pada saat itu, termasuk para imam madzhab yang melarang penggunaan hisab. Namun pendapat ini sebenarnya di dasarkan pada suatu illat (sebab penetapan hukum) tertentu, yakni ketidakakuratan hasil hisab akibat langkanya orang yang mengetahui ilmu hisab. Karena mengandung illat, maka konsekuensinya adalah jika illat hukum itu telah lenyap (misalnya dengan makin majunya ilmu astronomi dan makin banyaknya ahli hisab), maka penentuan awal dan akhir Ramadhan dengan hisab tidak dilarang lagi, artinya hukumnya menjadi MUBAH (boleh), dengan syarat hisab tersebut dilakukan oleh ahli hisab yang tsiqah (terpercaya). Tapi sekali lagi, kebolehan menggunakan hisab ini tetap tidak dapat menggantikan kedudukan ru'yat yang hukumnya WAJIB menurut syara’.

Akan tetapi, dalam hal ini, kita tetap tidak boleh meremehkan pemahaman yang mengatakan, bahwa hanya dengan metode hisabpun dapat ditentukan awal dan akhir Ramadhan, selama pemahaman tersebut diperoleh melalui proses ijtihad yang sah. Hanya saja, kita tetap berkewajiban menunjukkan kelemahan hujjah yang digunakan. Apalagi, dari sisi fakta, sekalipun saat ini sudah dapat ditemukan metode-metode hisab yang memiliki akurasi sangat tinggi, yang salah satunya dibuktikan dengan tepatnya perhitungan waktu gerhana sampai digit detik sekalipun, akan tetapi metode yang digunakan oleh kaum muslimin di seluruh dunia ternyata masih jauh tertinggal, sehingga memiliki banyak kelemahan dan ketidak pastian. Buktinya, tak jarang hasil metoda hisab yang satu berbeda dengan hasil metoda hisab yang lainnya. Padahal secara aqliy, hasil hisab yang benar akan sama dengan hasil ru’yat. Hal ini tentu bisa dimengerti, bila mengingat teori yang digunakan dalam metoda hisab tersebut bukanlah hitungan metematika murni yang pasti, melainkan hitungan-hitungan yang didasarkan pada beberapa asumsi, seperti bahwa bumi ini berbentuk bulat seperti bola yang terbagi menjadi 360 derajat, dengan 1 derajatnya sama dengan 4 menit. Padahal faktanya tidak sesederhana demikian.

Oleh karena itu, dengan penjelasan-penjelasan yang disandarkan pada nash syara’ di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan wajib dilakukan dengan rukyat saja. Sementara penggunaan hisab tidak mengubah kewajiban menggunakan metoda ru’yat tadi, sehingga kalaupun ingin digunakan, maka fungsinya hanya untuk memperkirakan kapan waktu yang tepat untuk melakukan ru’yat tadi.


Antara Ru’yat Lokal dan Ru’yat Global


Setelah kita memahami bahwa penyebab sah untuk memulai dan mengakhiri shaum Ramadhan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal/bulan sabit), maka persoalan yang muncul adalah mengenai pemberlakuan hasil ru’yat tersebut, apakah bersifat lokal atau global. Dengan kata lain, apakah ru’yat harus dilakukan dengan memperhatikan perbedaan mathla’ (tempat munculnya bulan) di permukaan bumi atau tidak.

Mengenai hal ini, Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal berpendapat bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan ditetapkan berdasarkan ru’yat global dengan tidak mempertimbangkan lagi perbedaan mathla’. Artinya hasil ru’yat hilal di suatu negeri berlaku untuk semua penduduk negeri yang lainnya (Lih. Tafsir Al-Qurthubi Jilid II/296, kitab ad-Darul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid II hal. 131-132 dari Imam Al-Hasfaky, kitab Mughniyul Muhtaj, jilid II/223-224). Pendapat ketiga imam madzhab inilah yang kemudian dipilih oleh Imam Asy-Syaukaniy seperti yang tercantum dalam kitab Nailul Authar Jilid II/218.

Sementara itu, para pengikut Imam Syafi’iy memiliki pendapat lain, yakni bahwa awal dan akhir Ramadhan ditetapkan berdasarkan pada ru’yat yang bersifat lokal serta dengan mengikuti perbedaan mathla’, sehingga menurut beliau apabila telah terbukti ru’yat di suatu tempat, maka daerah-daerah yang berdekatan dengan tempat tersebut wajib shaum berdasarkan hasil ru’yat tersebut. Adapun jarak yang berdekatan itu dapat diukur/ditentukan dengan mathla’ yang satu, yakni jarak yang terletak antara dua mathla’ (+ 24 farsakh atau + 120). Sedangkan penduduk yang berada di wilayah yang jauh (di luar radius 120 km), maka tidak wajib shaum berdasarkan ru’yat tersebut, karena berbeda mathlanya. (Lih. Al-Fiqh ‘ala al-Madzaahib al-‘Arba’ah, Jilid I/550). Hanya saja, penetapan kesatuan mathla’ pada daerah radius 120 km (24 farsakh) dari pusat mathla’ tadi ditentukan oleh para tokoh madzhab Syafi’iy TANPA disandarkan pada satu nash pun, melainkan hanya mengqiyaskannya pada jarak safar untuk shalat qashar.

Adapun bagi orang-orang yang sering mengkaji masalah ini akan mendapati, bahwa pendapat 3 Imam Madzhablah yang lebih tepat dibandingkan dengan pendapat pengikut Imam Syafi’iy. Setidaknya ada tiga alasan, yakni :

1. Dari sisi lafadz, ternyata nash-nash yang berkaitan dengan masalah tersebut bersifat umum, sehingga seruannyapun tertuju pada seluruh kaum muslimin dimanapun mereka berada. Kata ganti berupa wawu jama’ (dhamir jama’ah) yang terdapat dalam kalimat d dan , semuanya tertuju pada kaum muslimin seluruhnya, tanpa membedakan wilayah domisili. Demikian juga dalam penggunaan kata ru’yat, dimana Rasulullah SAW mengucapkannya dalam bentuk umum, seperti . Dan menurut para ahli bahasa, Ismil jinsil mudhaf adalah termasuk lafadz umum, sebagai-mana kata ru’yat dalam hadits ( ). Demikian pula dhamir yang kembali kepada isim yang menunjukkan bentuk jamak seperti kata dan kata d yang mengandung isim dhamir semuanya menunjukkan makna umum. Dalam hal ini, keumuman dalil-dalil di atas bersifat tetap, karena tidak ada dalil lain yang mengkhususkannya. Dengan demikian, perintah shaum dan berbuka dengan adanya ru’yat adalah perintah untuk seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dimana hasil ru’yat sebagian kaum muslimin berlaku atas kaum muslimin dimanapun mereka berada.

Selain itu, hal ini diperkuat oleh perbuatan para shahabat di zaman Rasulullah, yakni mereka shaum dan berbuka (iedul fitri) pada hari yang sama, sekalipun berada pada daerah yang berbeda. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah menerima berita hilal Ramadhan dari seorang Baduwi yang datang kepada beliau, sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Ikrimah dari Ibnu Abbas ra yang berkata :
“Seorang Arab Baduwi telah datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, ‘bahwasannya saya telah melihat hilal Ramadhan’. Maka bertanya Rasulullah SAW :’Apakah kamu mengakui bahwasannya tiada Tuhan melainkan Allah?’. Baduwi itu menjawab : ‘Benar’. Rasulullah bertanya lagi : ‘Apakah engkau mengakui, bahwa Muhammad itu Rasulullah ?’. Baduwi itu menjawab: ‘Benar’. Maka bersabdalah Rasulullah SAW :’Wahai Bilal, beritahukan kepada manusia supaya mereka berpuasa esok hari !’”.

2. Pendapat Imam Syafi’iy dan pengikutnya ternyata disandarkan pada hadits Ibnu Abbas yang tidak marfu (tidak sampai pada Rasulullah SAW). Hadits tersebut adalah : “Diriwayatkan dari Kuraib, bahwasannya Ummu Fadl telah mengutusnya menemui Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata : ‘Lalu aku pergi ke Syam dan menyelesaikan urusan Ummu Fadl. Ternyata bulan Ramadhan telah tiba, sedangkan aku masih berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku kembali ke kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu Abbas lalu bertanya kepadaku : ‘Kapan kamu melihat bulan?’. Aku menjawab : ‘Kami melihatnya pada malam Jum’at’. Dia bertanya lagi : ‘Apakah kamu melihat sendiri ?’. Aku menjawab : ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya, lalu mereka berpuasa, begitu pula Mu’awiyyah’. Dia (Ibnu Abbas) berkata lagi : ‘Tapi kami di Medinah melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus berpuasa hingga sempurna bilangan 30 hari, atau hingga kami melihatnya’. Aku (Kuraib) bertanya : Tidak cukupkah kita berpedoman kepada ru’yat dan puasanya Mu’awiyyah?’. Dia menjawab : ‘Tidak, (sebab) demikianlah Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami’”. (HR. Jamaah, kecuali Imam Bukhari dan Ibnu Majah).

Tentang hadits ini Imam Asy-Syaukaniy dalam kitab Nailul Authar Jilid IV hal 125 berkomentar demikian : “Ketahuilah, bahwa yang layak menjadi hujjah tidak lain adalah riwayat yang marfu dari Ibnu Abbas, dan bukan ijtihad Ibnu Abbas sendiri”. Dengan kata lain, beliau mengatakan, bahwa mengenai shaumnya penduduk Madinah yang tidak diharuskan mengacu pada ru’yat dan shaumnya Muaawiyyah (yang ada di Syam) seperti tersebut pada hadits di atas, itu hanyalah pendapat (pemahaman/ijtihad) Ibnu Abbas sendiri terhadap perintah Rasulullah SAW agar bershaum dan berbuka ketika melihat bulan. Hal ini terlihat dari ucapan Ibnu Abbas sendiri yang tidak mengatakan “demikianlah yang diriwayatkan/yang dikatakan Rasulullah kepada kami” melainkan “demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kami”. Sementara itu, ijtihad sahabat tidak dapat dipakai sebagai hujjah, karena ijtihad sahabat bukan merupakan dalil syar’iy serta tidak dapat mentakhsish (mengkhususkan) keumuman hadits.

Selanjutnya Imam Asy-Syaukaniy mengatakan : “Kenyataan sebenarnya, bahwa yang berasal dari Rasulullah adalah sabdanya yang diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari-Muslim) serta yang lainnya dengan lafadz :’Janganlah kalian shaum hingga kalian melihat bulan (hilal). Dan janganlah kalian berbuka (‘Ied) hingga kalian melihatnya. Maka jika pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan (bulan) sebanyak 30 hari’. Sabda beliau ini tidak dikhususkan untuk penduduk satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda beliau ini merupakan khithab (seruan) yang tertuju pada siapapun di antara kaum muslimin yang seruan itu telah sampai kepadanya”.

Kemudian belaiau menutup uraiannya dengan menyimpulkan : “Pendapat yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri telah melihat bulan (ru’yatul hilal), maka ru’yat itu berlaku pula untuk seluruh negeri-negeri yang lain”. Pendapat senada juga dilontarkan oleh Syeikh Abdurrahman al-Jazairi seperti tercantum dalam kitab al-Fiqh ‘ala al-Madzaahibil ‘Arba’ah, Jilid I, hal 55.

3. Alasan ketiga berkaitan dengan belum jelasnya manathul hukmi (fakta yang menjadi obyek penerapan hukum) pada jaman itu, yakni pemahaman mengenai fakta mathla’-mathla’ (tempat-tempat terbitnya hilal). Sementara, pada saat ini kita dapat mengetahui secara meyakinkan, bahwa lahirnya bulan sabit (di luar angkasa) ternyata terjadi satu kali dan pada saat yang sama di seluruh permukaan bumi. Hanya saja memang terjadi perbedaan melihat bulan dari bumi tergantung perbedaan letak masing-masing negeri. Terhadap fakta tersebut, kecanggihan teknologi saat ini sebenarnya bisa memungkinkan bagi penduduk bumi menyaksikannya secara serentak sebagaimana peristiwa gerhana. Dan selain itu, sekarang telah juga diketahui, bahwa jarak terjauh perbedaan penetapan awal dan akhir shaum paling lama adalah sekitar 12 jam. Sementara, kebanyakan kaum muslimin tinggal di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara yang perbedaan waktunya paling lama adalah 4-5 jam. Dalam interval waktu ini amat memungkinkan saudara kita kita belahan Barat –yang mungkin melihat hilal terlebih dahulu- untuk menyampaikan informasi (melalui telepon, faks, internet, dsb) kepada kaum muslimin yang ada di sebelah Timur. Sebab terdapat jeda waktu yang cukup antara saat maghrib (yakni saat ru’yatul hilal) dengan waktu sahur untuk mencari dan memperoleh informasi tentang hasil ru’yat dari negeri-negeri lain yang melihatnya terlebih dahulu. Dengan demikian, perbedaan mathla’ tidak dapat lagi menjadi alasan bagi adanya perbedaan waktu awal dan akhir Ramadhan.


Khatimah

Munculnya keragaman dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan sesungguhnya hanya merupakan salah satu dari berbagai masalah yang dihadapi kaum muslimin. Hal ini terjadi terutama setelah lenyapnya institusi khilafah yang menaungi dan melindungi kaum muslimin dari keterpecahbelahan dan kehinaan melalui penerapan hukum-hukum Islam secara total.


Oleh karena itu, untuk mengembalikan kemuliaan kaum muslimin dan mempersatukan kembali mereka, termasuk dalam perkara-perkaran yang sulit dipersatukan akibat keragaman pendapat di kalangan mereka, maka sudah saatnya kaum muslimin berupaya menegakkan kembali institusi pemersatu yang hakiki. Yakni institusi Khilafah Islam yang bisa diwujudkan melalui aktivitas da’wah di tengah2 umat.

Semoga di tahun ini umat Islam bisa mengikis rasa nasionalisme (ashabiyah-qaumiyah) dan ananiyah dan kembali pada tuntunan syari'at untuk mengawali dan mengakhiri Ramadhan secara serentak pada hari yang sama, Insya Allah ini akan menjadi awal yang baik bagi tumbuhnya ghirah memperjuangkan tegaknya kembali kalimatullah di muka bumi.
Aamiin yaa Rabbal ‘aalaamiin.

--------------------SNA, dari berbagai Sumber.