Antara Hisab, Rukyat, Rukyat Lokal dan Rukyat Global
(Tulisan daur ulang)
Pendahuluan
Sebagaimana
biasa, dari tahun ke tahun kedatangan bulan Ramadhan sebagai bulan yang
penuh berkah, senantiasa disambut hangat oleh kaum muslimin di seluruh
dunia. Di bulan ini, Allah SWT menjanjikan pahala yang berlipat ganda
bagi setiap amal sholeh yang dikerjakan. Di bulan ini pula terdapat
malam ‘lailatul qadar’ yang nilainya setara dengan seribu bulan.
Subhanallah !
Namun sayang, di samping kegembiraan itu,
kedatangan Ramadhan sampai saat ini masih saja menyisakan
keprihatinan, mengingat ‘kebiasaan’ kaum muslimin untuk berbeda dalam
mengawali dan mengakhiri Ramadhan seolah tak pernah terselesaikan. Yang
lebih menyedihkan, sebagian umat Islam, termasuk para ulama dan
penguasa, seakan-akan tidak peduli akan kepentingan menyelesaikan
permasalahan ini. Bahkan mereka menganggapnya sebagai hal yang biasa dan
mustahil diselesaikan. Padahal, pelaksanaan Ramadhan serta pelaksanaan
‘Ied memiliki akibat-akibat hukum yang tidak dapat disepelekan begitu
saja, seperti keharaman mendahului Ramadhan dengan shaum, masalah batas
akhir waktu zakat fitrah ataupun masalah keharaman shaum pada hari
Raya.
Lalu apa sebenarnya penyebab munculnya
perbedaan-perbedaan itu, bagaimana cara menyelesaikannya agar kaum
muslimin tidak lagi berada dalam kebingungan setiap kali menyongsong
Ramadhan ?
Membuka Kembali Petunjuk Syar’iy
Bahwa
dijadikannya hukum-hukum Syar’iy sebagai pangkal seluruh perbuatan,
ibadah maupun mu’amalah adalah sesuatu perkara yang tidak perlu
didiskusikan, apalagi diperselisihkan. Berdasarkan nash-nash yang
terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, para Ahli Ushul telah
menggariskan komitmen ini dalam sebuah kesepakatan kaidah :
“Asal suatu perbuatan terikat dengan hukum Syar’iy”
Kaidah
inilah yang memberikan pemahaman bagi kita, bahwa seluruh perbuatan
manusia akan senantiasa terikat dengan hukum syara’, dimana dengan
standar hukum syara’ tersebut perbuatan-perbuatan manusia akan dinilai
dan diberi balasan. Demikian pula dalam masalah shaum Ramadhan dan
‘Iedul Fitri ini, sesungguhnya syara’ telah menetapkan hukum dan
tatacara pelaksanaannya secara jelas dan terperinci. Dengan kata lain,
kedua perkara tersebut sudah termasuk bagian dari ibadah yang secara
tauqifiy (baku) wajib kita lakukan sesuai dengan ketentuan Rasulullah
SAW. Sehingga, tatkala kaum muslimin menghendaki ibadah shaum yang
dilaksanakannya dinilai sebagai amal shaleh, maka selain harus didasari
keikhlasan, mau tidak mau mereka juga harus mensandarkannya pada
aturan-aturan yang telah Allah SWT tetapkan bagi mereka.
Hal
mendasar inilah yang terlebih dahulu harus dipahami oleh kaum muslimin,
sehingga tatkala jelas bagi mereka tentang kekuatan hujjah dari suatu
pendapat, sekalipun itu bertentangan dengan pendapatnya semula atau
bahkan bertentangan dengan hawa nafsunya, maka dengan serta merta mereka
tunduk dan patuh mengikuti kebenaran yang diperolehnya.
Ketetapan Syara’ Mengenai Awal dan Akhir Ramadhan
Ada beberapa analisis terhadap penyebab adanya perbedaan penetapan awal dan akhir Ramadhan. Di antaranya :
Tidak adanya kesepakatan dalam landasan syar’iy mengenai penggunaan
metoda penentuan kalender, seperti ru’yat mutlak, hisab mutlak, atau
ruyat yang di dukung hisab/hisab yang disahkan ru’yat;
Akibat ketidaksepakatan dalam teknis ru’yat, seperti dalam hal
penentuan lokasi dan waktu pengamatan, penggunaan alat bantu, serta
syarat-syarat kesaksian yang bisa diterima;
Akibat
ketidak sepakatan dalam teknis hisab, seperti metoda perhitungan
astronomi (ijtima’, irtifa’), kriteria masuknya bulan baru (wujudul
hilal, imkanur ru’yat);
Serta akibat tidak adanya
kesepakatan dalam pemberlakukan hasil ru’yat/hisab (lokal atau global).
Lebih dari itu, tidak adanya lembaga pemersatu yang memiliki otoritas
terpercaya di tengah-tengah kaum muslimin makin memperparah
keterpecahbelahan kaum muslimin, termasuk dalam permasalahan shaum dan
‘Iedul Fitri ini.
Lantas, bagaimana seharusnya kita bersikap ?
Tentu
saja, sebagaimana yang Allah SWT perintahkan, persoalan ini harus
kita kembalikan kepada ketentuan syara' semata, yakni dengan melakukan
penelaahan secara mendalam terhadap berbagai pendapat
beserta dalil yang dikemukakannya. Berkenaan dengan hal ini, mari kita perhatikan nash-nash berikut ini :
“Bulan Ramadlan yang padanya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan akan petunjuk dan pembeda yang haq (dari kebathilan).
Bagi siapa di antaramu yang bersua saat Ramadhan itu, maka shaumlah ….. “
(QS. Al-Baqarah : 185)
Dalam HR. Bukhari Muslim, diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasul SAW bersabda :
“Janganlah kamu sekalian shaum hingga kalian melihat bulan,
dan jangan pula berbuka hingga kalian melihat bulan.
(Tetapi) bila mendung menghalangi (penglihatanmu), maka genapkanlah (ia menjadi) 30 hari Bulan Sya’ban”.
Kemudian dalam riwayat Imam Bukhari dari Abdullah bin Umar, dikatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Satu
bulan adalah 29 hari. Maka, janganlah kamu sekalian menjalankan shaum
sampai kalian melihatnya. Sekiranya mendung menutupimu, maka
genapkanlah (ia menjadi) 30 hari Bulan Sya’ban”.
(Hadist serupa diriwayatkan juga oleh Muslim dengan redaksi yang agak berbeda).
Selain hadits-hadits di atas, diterima juga dari Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
"Shaumlah
kalian karena melihat hilal, dan berhari rayalah kalian ketika melihat
hilal. Maka jika mendung menghalangi penglihatan kalian dari melihat
hilal, sempurnakanlah 30 hari bulan Sya’ban”.
Hadits-hadits
di atas demikian gamblang menjelaskan, bahwa penentu awal dan akhir
Ramadhan adalah dengan melihat hilal (ru’yatul hilal). Dengan kata
lain, berdasarkan ketetapan hukum syara’,
penyebab sah untuk
memulai shaum Ramadhan dan ‘Iedul Fitri tidak lain adalah dengan
melihat hilal. Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa perintah shaum
dan berbuka (‘Iedul Fitri) dengan meru’yat hilal adalah WAJIB, dimana
hukum wajib ini dilihat dari adanya qarinah (isyarat) yang secara tegas
menuntut setiap kaum muslimin untuk melaksanakannya dengan seksama. Hal
ini bahkan ditunjukka secara fi’liyah oleh baginda Rasulullah SAW,
berdasarkan kesaksian Siti Aisyah ra. :
“Adalah
Rasulullah SAW sangat mencermati keadaan hilal pada bulan
Sya’ban melebihi perhatian beliau akan bulan selain Sya’ban.
Beliaupun melakukan shaum Ramadhan karena terlihatnya hilal. Maka
apabila hilal terhalang awan, beliau menghitung 30 hari, kemudian beliau
shaum” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Daruquthni).
Lantas bagaimana dengan Hisab ?
Sesungguhnya
Islam tidak pernah melarang ummatnya untuk mempelajari Ilmu Hisab dan
menggunakan ilmu tersebut untuk suatu kegunaan, seperti untuk
kepentingan navigasi, pemetaan dan sebagainya. Dengan kata lain,
hukum mempelajari dan menggunakannya adalah MUBAH. Akan tetapi dalam
masalah penentuan awal dan akhir Ramadhan, tidak ditemukan satu nashpun
yang membenarkan digunakannya hisab sebagai penentu satu-satunya.
Bahkan seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, hukum syara’ yang
diperintahkan untuk diamalkan dalam hal ini adalah ru’yat yang
jelas-jelas nyata sebagai tuntunan. Adapun mengenai kebolehan
dipergunakannya hisab sebagai perangkat bantu dalam meru’yat hilal,
yakni dalam memperkirakan waktu yang tepat untuk melakukan ru’yat,
tetap tidak mengubah kedudukan ru’yat yang WAJIB sebagai ketentuan hukum
syar’iy secara mutlak. Apalagi, bagaimanapun meru’yat adalah aktivitas
yang ril, yakni melihat/mengamati hilal (bulan sabit) dengan
menggunakan penglihatan (mata). Dan selain itu, syara’ juga memberikan
ketetapan lain, yakni keharusan menggenapkan bulan sebelumnya menjadi
30 hari jika pengamatan tadi terhalang oleh awan.
Adapun mengenai sabda Rasullullah SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar ra :
“
Sesungguhnya
kita adalah ummat yang ummi. Kami tidak dapat menulis dan menghitung.
Satu bulan adalah begini, begini, begini (menyodorkan kesepuluh jari
tangan tiga kali, dengan menekuk jari jempol pada sodoran yang ketiga).
Dan satu bulan adalah begini, begini, begini (dengan membuka seluruh
jari-jari pada ketiga sodoran)”. (dalam Syarah Shahih Muslim, karya
Imam Nawawi, Jilid VII/192 dan Fathul Bari Bi Syarhi Shahih Al-Bukhari
karya Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani, Jilid IV/126-127).
Sesungguhnya
hadits tersebut tidak dapat dijadikan hujjah untuk mengklaim keabsahan
penggunaan hisab dalam menetapkan awal dan akhir Ramadhan. Bahkan jika
dicermati, hadits tersebut justru menerangkan hakekat ru’yat sebagai
penentu perputaran (siklus) bulan. Dan berkenaan dengan hadits tersebut
Ibnu Hajar Al-Asyqalaniy berkomentar sebagai berikut :
“
Yang
dimaksud dengan hisab dalam hadits ini adalah hisabun-nujum
(perhitungan ilmu falak/astronomi) dan peredarannya. Dan bahwa
orang-orang dahulu belum mengetahui ilmu itu kecuali sedikit pengetahuan
yang sederhana.Dan dikaitkannya puasa dan lain-lain dengan ru’yat
adalah untuk menghilangkan kesukaran dari mereka dalam menggunakan
hisab peredaran bulan”.
Lalu beliau menambahkan :
“Syara’
telah melarang penggunaan ilmu astronomi, sebab ilmu itu bersifat
perkiraan dan taksiran. Ilmu tersebut tidak menghasilkan kepastian,
bahkan tidak menghasilkan dugaan yang kuat. Di samping itu, kalau
masalah shaum dan lain-lain harus dikaitkan dengan ilmu astronomi,
niscaya akan menyulitkan. Sebab hanya sedikit orang yang mengetahui
ilmu itu”.
Dari penjelasan di atas, nampak bahwa
Ibnu Hajar hanya menggunakan ru’yat, tidak menggunakan hisab. Pendapat
ini juga merupakan pendapat jumhur fuqaha pada saat itu, termasuk para
imam madzhab yang melarang penggunaan hisab. Namun pendapat ini
sebenarnya di dasarkan pada suatu illat (sebab penetapan hukum)
tertentu, yakni ketidakakuratan hasil hisab akibat langkanya orang yang
mengetahui ilmu hisab. Karena mengandung illat, maka konsekuensinya
adalah jika illat hukum itu telah lenyap (misalnya dengan makin majunya
ilmu astronomi dan makin banyaknya ahli hisab), maka penentuan awal dan
akhir Ramadhan dengan hisab tidak dilarang lagi, artinya hukumnya
menjadi MUBAH (boleh), dengan syarat hisab tersebut dilakukan oleh ahli
hisab yang tsiqah (terpercaya). Tapi sekali lagi, kebolehan menggunakan
hisab ini tetap tidak dapat menggantikan kedudukan ru'yat yang hukumnya
WAJIB menurut syara’.
Akan tetapi, dalam hal ini, kita
tetap tidak boleh meremehkan pemahaman yang mengatakan, bahwa hanya
dengan metode hisabpun dapat ditentukan awal dan akhir Ramadhan, selama
pemahaman tersebut diperoleh melalui proses ijtihad yang sah. Hanya
saja, kita tetap berkewajiban menunjukkan kelemahan hujjah yang
digunakan. Apalagi, dari sisi fakta, sekalipun saat ini sudah dapat
ditemukan metode-metode hisab yang memiliki akurasi sangat tinggi, yang
salah satunya dibuktikan dengan tepatnya perhitungan waktu gerhana
sampai digit detik sekalipun, akan tetapi metode yang digunakan oleh
kaum muslimin di seluruh dunia ternyata masih jauh tertinggal, sehingga
memiliki banyak kelemahan dan ketidak pastian. Buktinya, tak jarang
hasil metoda hisab yang satu berbeda dengan hasil metoda hisab yang
lainnya. Padahal secara aqliy, hasil hisab yang benar akan sama dengan
hasil ru’yat. Hal ini tentu bisa dimengerti, bila mengingat teori yang
digunakan dalam metoda hisab tersebut bukanlah hitungan metematika murni
yang pasti, melainkan hitungan-hitungan yang didasarkan pada beberapa
asumsi, seperti bahwa bumi ini berbentuk bulat seperti bola yang terbagi
menjadi 360 derajat, dengan 1 derajatnya sama dengan 4 menit. Padahal
faktanya tidak sesederhana demikian.
Oleh karena itu,
dengan penjelasan-penjelasan yang disandarkan pada nash syara’ di atas,
maka dapat disimpulkan, bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan wajib
dilakukan dengan rukyat saja. Sementara penggunaan hisab tidak mengubah
kewajiban menggunakan metoda ru’yat tadi, sehingga kalaupun ingin
digunakan, maka fungsinya hanya untuk memperkirakan kapan waktu yang
tepat untuk melakukan ru’yat tadi.
Antara Ru’yat Lokal dan Ru’yat Global
Setelah
kita memahami bahwa penyebab sah untuk memulai dan mengakhiri shaum
Ramadhan adalah dengan ru’yatul hilal (melihat hilal/bulan sabit), maka
persoalan yang muncul adalah mengenai pemberlakuan hasil ru’yat
tersebut, apakah bersifat lokal atau global. Dengan kata lain, apakah
ru’yat harus dilakukan dengan memperhatikan perbedaan mathla’ (tempat
munculnya bulan) di permukaan bumi atau tidak.
Mengenai
hal ini, Imam Abu Hanifah, Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal
berpendapat bahwa penetapan awal dan akhir Ramadhan ditetapkan
berdasarkan ru’yat global dengan tidak mempertimbangkan lagi perbedaan
mathla’. Artinya hasil ru’yat hilal di suatu negeri berlaku untuk semua
penduduk negeri yang lainnya (Lih. Tafsir Al-Qurthubi Jilid II/296,
kitab ad-Darul Mukhtar wa Raddul Mukhtar jilid II hal. 131-132 dari Imam
Al-Hasfaky, kitab Mughniyul Muhtaj, jilid II/223-224). Pendapat ketiga
imam madzhab inilah yang kemudian dipilih oleh Imam Asy-Syaukaniy
seperti yang tercantum dalam kitab Nailul Authar Jilid II/218.
Sementara
itu, para pengikut Imam Syafi’iy memiliki pendapat lain, yakni bahwa
awal dan akhir Ramadhan ditetapkan berdasarkan pada ru’yat yang bersifat
lokal serta dengan mengikuti perbedaan mathla’, sehingga menurut beliau
apabila telah terbukti ru’yat di suatu tempat, maka daerah-daerah yang
berdekatan dengan tempat tersebut wajib shaum berdasarkan hasil ru’yat
tersebut. Adapun jarak yang berdekatan itu dapat diukur/ditentukan
dengan mathla’ yang satu, yakni jarak yang terletak antara dua mathla’
(+ 24 farsakh atau + 120). Sedangkan penduduk yang berada di wilayah
yang jauh (di luar radius 120 km), maka tidak wajib shaum berdasarkan
ru’yat tersebut, karena berbeda mathlanya. (Lih. Al-Fiqh ‘ala
al-Madzaahib al-‘Arba’ah, Jilid I/550). Hanya saja, penetapan kesatuan
mathla’ pada daerah radius 120 km (24 farsakh) dari pusat mathla’ tadi
ditentukan oleh para tokoh madzhab Syafi’iy TANPA disandarkan pada satu
nash pun, melainkan hanya mengqiyaskannya pada jarak safar untuk shalat
qashar.
Adapun bagi orang-orang yang sering mengkaji
masalah ini akan mendapati, bahwa pendapat 3 Imam Madzhablah yang lebih
tepat dibandingkan dengan pendapat pengikut Imam Syafi’iy. Setidaknya
ada tiga alasan, yakni :
1. Dari sisi lafadz, ternyata
nash-nash yang berkaitan dengan masalah tersebut bersifat umum, sehingga
seruannyapun tertuju pada seluruh kaum muslimin dimanapun mereka
berada. Kata ganti berupa wawu jama’ (dhamir jama’ah) yang terdapat
dalam kalimat d dan
, semuanya tertuju pada kaum muslimin
seluruhnya, tanpa membedakan wilayah domisili. Demikian juga dalam
penggunaan kata ru’yat, dimana Rasulullah SAW mengucapkannya dalam
bentuk umum, seperti . Dan menurut para ahli bahasa,
Ismil jinsil mudhaf adalah termasuk lafadz umum, sebagai-mana kata
ru’yat dalam hadits ( ). Demikian pula dhamir yang
kembali kepada isim yang menunjukkan bentuk jamak seperti kata
dan kata d
yang mengandung isim dhamir semuanya menunjukkan
makna umum. Dalam hal ini, keumuman dalil-dalil di atas bersifat
tetap, karena tidak ada dalil lain yang mengkhususkannya. Dengan
demikian, perintah shaum dan berbuka dengan adanya ru’yat adalah
perintah untuk seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia, dimana
hasil ru’yat sebagian kaum muslimin berlaku atas kaum muslimin dimanapun
mereka berada.
Selain itu, hal ini diperkuat oleh
perbuatan para shahabat di zaman Rasulullah, yakni mereka shaum dan
berbuka (iedul fitri) pada hari yang sama, sekalipun berada pada daerah
yang berbeda. Bahkan Rasulullah SAW sendiri pernah menerima berita
hilal Ramadhan dari seorang Baduwi yang datang kepada beliau,
sebagaimana tersebut dalam hadits yang diriwayatkan dari Ikrimah dari
Ibnu Abbas ra yang berkata :
“Seorang Arab Baduwi telah datang kepada Rasulullah SAW, lalu berkata, ‘bahwasannya saya telah melihat hilal Ramadhan’. Maka bertanya Rasulullah SAW :
’Apakah kamu mengakui bahwasannya tiada Tuhan melainkan Allah?’. Baduwi itu menjawab :
‘Benar’. Rasulullah bertanya lagi :
‘Apakah engkau mengakui, bahwa Muhammad itu Rasulullah ?’. Baduwi itu menjawab:
‘Benar’. Maka bersabdalah Rasulullah SAW :
’Wahai Bilal, beritahukan kepada manusia supaya mereka berpuasa esok hari !’”.
2.
Pendapat Imam Syafi’iy dan pengikutnya ternyata disandarkan pada
hadits Ibnu Abbas yang tidak marfu (tidak sampai pada Rasulullah
SAW). Hadits tersebut adalah : “
Diriwayatkan dari Kuraib,
bahwasannya Ummu Fadl telah mengutusnya menemui Muawiyyah di Syam.
Kuraib berkata : ‘Lalu aku pergi ke Syam dan menyelesaikan urusan Ummu
Fadl. Ternyata bulan Ramadhan telah tiba, sedangkan aku masih
berada di Syam. Aku melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku
kembali ke kota Madinah pada akhir bulan Ramadhan. Ibnu Abbas lalu
bertanya kepadaku : ‘Kapan kamu melihat bulan?’. Aku menjawab : ‘Kami
melihatnya pada malam Jum’at’. Dia bertanya lagi : ‘Apakah kamu melihat
sendiri ?’. Aku menjawab : ‘Ya, dan orang-orang juga melihatnya, lalu
mereka berpuasa, begitu pula Mu’awiyyah’. Dia (Ibnu Abbas) berkata lagi
: ‘Tapi kami di Medinah melihatnya pada malam Sabtu. Maka kami terus
berpuasa hingga sempurna bilangan 30 hari, atau hingga kami melihatnya’.
Aku (Kuraib) bertanya : Tidak cukupkah kita berpedoman kepada ru’yat
dan puasanya Mu’awiyyah?’. Dia menjawab : ‘Tidak, (sebab) demikianlah
Rasulullah SAW memerintahkan kepada kami’”. (HR. Jamaah, kecuali Imam Bukhari dan Ibnu Majah).
Tentang hadits ini Imam Asy-Syaukaniy dalam kitab Nailul Authar Jilid IV hal 125 berkomentar demikian :
“Ketahuilah,
bahwa yang layak menjadi hujjah tidak lain adalah riwayat yang marfu
dari Ibnu Abbas, dan bukan ijtihad Ibnu Abbas sendiri”. Dengan kata
lain, beliau mengatakan, bahwa mengenai shaumnya penduduk Madinah yang
tidak diharuskan mengacu pada ru’yat dan shaumnya Muaawiyyah (yang ada
di Syam) seperti tersebut pada hadits di atas, itu hanyalah pendapat
(pemahaman/ijtihad) Ibnu Abbas sendiri terhadap perintah Rasulullah SAW
agar bershaum dan berbuka ketika melihat bulan. Hal ini terlihat dari
ucapan Ibnu Abbas sendiri yang tidak mengatakan “demikianlah yang
diriwayatkan/yang dikatakan Rasulullah kepada kami” melainkan
“demikianlah Rasulullah memerintahkan kepada kami”. Sementara itu,
ijtihad sahabat tidak dapat dipakai sebagai hujjah, karena ijtihad
sahabat bukan merupakan dalil syar’iy serta tidak dapat mentakhsish
(mengkhususkan) keumuman hadits.
Selanjutnya Imam Asy-Syaukaniy mengatakan :
“Kenyataan
sebenarnya, bahwa yang berasal dari Rasulullah adalah sabdanya yang
diriwayatkan oleh Syaikhan (Bukhari-Muslim) serta yang lainnya dengan
lafadz :’Janganlah kalian shaum hingga kalian melihat bulan (hilal).
Dan janganlah kalian berbuka (‘Ied) hingga kalian melihatnya. Maka
jika pandangan kalian terhalang, sempurnakanlah bilangan (bulan)
sebanyak 30 hari’. Sabda beliau ini tidak dikhususkan untuk penduduk
satu daerah tertentu tanpa menyertakan daerah yang lain. Bahkan sabda
beliau ini merupakan khithab (seruan) yang tertuju pada siapapun di
antara kaum muslimin yang seruan itu telah sampai kepadanya”.
Kemudian belaiau menutup uraiannya dengan menyimpulkan : “
Pendapat
yang layak dijadikan pegangan adalah, apabila penduduk suatu negeri
telah melihat bulan (ru’yatul hilal), maka ru’yat itu berlaku pula untuk
seluruh negeri-negeri yang lain”. Pendapat senada juga dilontarkan
oleh Syeikh Abdurrahman al-Jazairi seperti tercantum dalam kitab
al-Fiqh ‘ala al-Madzaahibil ‘Arba’ah, Jilid I, hal 55.
3.
Alasan ketiga berkaitan dengan belum jelasnya manathul hukmi (fakta
yang menjadi obyek penerapan hukum) pada jaman itu, yakni pemahaman
mengenai fakta mathla’-mathla’ (tempat-tempat terbitnya hilal).
Sementara, pada saat ini kita dapat mengetahui secara meyakinkan, bahwa
lahirnya bulan sabit (di luar angkasa) ternyata terjadi satu kali dan
pada saat yang sama di seluruh permukaan bumi. Hanya saja memang
terjadi perbedaan melihat bulan dari bumi tergantung perbedaan letak
masing-masing negeri. Terhadap fakta tersebut, kecanggihan teknologi
saat ini sebenarnya bisa memungkinkan bagi penduduk bumi menyaksikannya
secara serentak sebagaimana peristiwa gerhana. Dan selain itu, sekarang
telah juga diketahui, bahwa jarak terjauh perbedaan penetapan awal dan
akhir shaum paling lama adalah sekitar 12 jam. Sementara, kebanyakan
kaum muslimin tinggal di kawasan Timur Tengah dan Asia Tenggara yang
perbedaan waktunya paling lama adalah 4-5 jam. Dalam interval waktu ini
amat memungkinkan saudara kita kita belahan Barat –yang mungkin melihat
hilal terlebih dahulu- untuk menyampaikan informasi (melalui telepon,
faks, internet, dsb) kepada kaum muslimin yang ada di sebelah Timur.
Sebab terdapat jeda waktu yang cukup antara saat maghrib (yakni saat
ru’yatul hilal) dengan waktu sahur untuk mencari dan memperoleh
informasi tentang hasil ru’yat dari negeri-negeri lain yang melihatnya
terlebih dahulu. Dengan demikian, perbedaan mathla’ tidak dapat lagi
menjadi alasan bagi adanya perbedaan waktu awal dan akhir Ramadhan.
Khatimah
Munculnya
keragaman dalam penetapan awal dan akhir Ramadhan sesungguhnya hanya
merupakan salah satu dari berbagai masalah yang dihadapi kaum muslimin.
Hal ini terjadi terutama setelah lenyapnya institusi khilafah yang
menaungi dan melindungi kaum muslimin dari keterpecahbelahan dan
kehinaan melalui penerapan hukum-hukum Islam secara total.
Oleh
karena itu, untuk mengembalikan kemuliaan kaum muslimin dan
mempersatukan kembali mereka, termasuk dalam perkara-perkaran yang sulit
dipersatukan akibat keragaman pendapat di kalangan mereka, maka sudah
saatnya kaum muslimin berupaya menegakkan kembali institusi pemersatu
yang hakiki. Yakni institusi Khilafah Islam yang bisa diwujudkan melalui
aktivitas da’wah di tengah2 umat.
Semoga di tahun ini
umat Islam bisa mengikis rasa nasionalisme (ashabiyah-qaumiyah) dan
ananiyah dan kembali pada tuntunan syari'at untuk mengawali dan
mengakhiri Ramadhan secara serentak pada hari yang sama, Insya Allah ini
akan menjadi awal yang baik bagi tumbuhnya ghirah memperjuangkan
tegaknya kembali kalimatullah di muka bumi.
Aamiin yaa Rabbal ‘aalaamiin.
--------------------SNA, dari berbagai Sumber.