INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Jumat, 29 Januari 2010

MEMBERANGUS PORNOGRAFI-PORNOAKSI, MUNGKINKAH ?

MEMBERANGUS PORNOGRAFI-PORNOAKSI, MUNGKINKAH ?
Oleh : Husnul Khotimah


Saat ini, ada kecenderungan pada sebagian besar masyarakat kita untuk senantiasa menjadikan fakta/realita sebagai penentu nilai perbuatan; baik-buruk, boleh dan tidak boleh. Sehingga tak heran bila ‘status hukum’ suatu perbuatan bisa berubah-ubah, tergantung pada realita yang ada serta interpretasi mereka terhadap realita tadi. Contoh mudah, kasus suap-menyuap. Pada dasarnya, masyarakat sepakat, bahwa suap-menyuap merupakan aktivitas yang sangat buruk. Akan tetapi, ketika suap-menyuap sudah menjadi budaya dan sebagian dari mereka memandang ada ‘sisi baik’ dari perilaku ini, maka dengan serta merta masyarakat memandangnya sebagai sebuah keniscayaan yang diperkenankan.

Untuk kasus pornografi dan pornoaksipun ternyata tak jauh berbeda. Meski pandangan umum masyarakat masih menempatkan pornografi-pornoaksi sebagai sebuah penyimpangan yang membahayakan, akan tetapi fakta pula yang menunjukkan bahwa keduanya begitu sulit diberantas. Bahkan tak sedikit yang percaya bahwa keduanya tak mungkin diberantas karena sudah dianggap menjadi bagian dari sejarah manusia.

Pada kasus ini, nampak bahwa banyaknya perbenturan kepentingan telah membuat masyarakat hanya berkutat di tataran definisi. Sehingga, ketikapun (sebetulnya) secara normatif pornografi-pornoaksi (atau setidaknya kasus-kasus pelanggaran kesusilaan) dianggap sebagai tindak kriminal yang diancam sanksi hukum, muncul ketidakberdayaan yang amat sangat dari hukum tersebut untuk menjerat para pelaku kasus pornografi-pornoaksi hanya karena begitu multi interpretatifnya kedua istilah tersebut. Seorang seniman yang membuat gambar atau patung wanita setengah telanjang atau telanjang sekalipun, atau seorang artis yang berpenampilan erotis di panggung-panggung atau media massa bisa berdalih bahwa itu hanyalah manifestasi rasa seni yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pornografi-pornoaksi. Artis-artis ‘kacangan’ tabloid biru, bahkan dengan bangga memperagakan gaya-gaya erotis mereka seraya terang-terangan membeberkan (maaf) ukuran dada dan panggulnya tanpa sedikitpun merasa takut akan terjerat delik pornografi, karena mereka tahu betapa multi interpretatifnya istilah tersebut. Apalagi mereka bisa berdalih bahwa kebebasan berperilaku dijamin oleh konsep HAM. Dan sejauh ini, delik pornografi tidak bisa apa-apa di hadapan alasan HAM !

‘Ala kulli hal, kita bisa melihat betapa sakitnya masyarakat ini, sehingga mereka senantiasa memandang segala sesuatu sebagai buah simalakama. Buntutnya, kehidupan menjadi begitu serba dilematis dan sekaligus dramatis. Seolah, tak ada yang bisa dilakukan selain menampung dan membuang air dari atap yang bocor, gali lobang tutup lobang, tambal sulam, dan aktivitas-aktivitas tak mendasar lainnya. Dan ini terjadi dalam seluruh aspek kehidupan; sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, budaya, hankam, dan sebagainya.


Pornografi, sebuah bom waktu


Ada benarnya jika dikatakan, bahwa saat ini pornografi bukan lagi sekedar bumbu, tapi sudah menjadi menu. Karena, kalau dulu pembuat film ‘barangkali’ masih menempatkan pornografi pada posisi ‘selingan’ atau sekedar ‘penambah rasa’ bagi karya filmnya, maka kini, pornografi justru menjadi produk utama yang mereka jual. Dulu pun, tampilan wanita molek hanya menjadi pelengkap bagi penayangan iklan suatu produk, tapi kini tak jarang produk tertentu yang justru mengiklankan kemolekan wanita dan pornografisme lainnya. Padahal, jelas bahwa antara moleknya tubuh wanita atau pornografisme yang ditampilkan dalam iklan tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk yang diiklankan. Aneh memang !

Sayangnya, masyarakat kita rupanya sudah kadung kebal dan, lagi-lagi kehilangan sense of crisis. Sehingga pornografi yang nyata-nyata ada di hadapan tidak lagi dianggap sebagai sebuah ancaman yang membahayakan. Apalagi banyaknya persoalan yang mengungkung telah mengalihkan perhatian mereka untuk memperdulikan permasalahan ini. Seolah, saat ini tak ada yang lebih penting selain bagaimana menyelesaikan masalah politik dan ekonomi, tok. Sementara kerusakan akhlak dan kegoncangan struktur sosial menjadi agenda yang ke sekian untuk mendapat perhatian dan mereka pecahkan. Toh, seperti yang dikatakan di awal tadi, kebanyakan berpendapat, bahwa memberangus pornografi adalah sebuah utopia, karena faktanya pornografi dan erotisme memang inhern dengan sejarah kehidupan manusia.

Jelas, ada kerancuan berpikir di sini. Sekaligus tergambar keputus asaan yang mendalam pada diri masyarakat, sehingga akhirnya memilih untuk bersikap fatalis seraya ‘menerima’ pornografi sebagai sebuah kewajaran. Padahal banyak fakta yang menunjukkan, betapa besar bahayanya jika kita membiarkan hal ini berlarut-larut. Bukankah pornografi yang bertanggungjawab atas terjadinya dekadensi moral di tengah-tengah masyarakat kita ? Merebaknya seks bebas di kalangan remaja yang secara otomatis meningkatkan angka kasus aborsi dan MBA yang rentan perceraian, prostitusi di kalangan ABG, serta meningkatnya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual terbukti banyak diilhami oleh tayangan-tayangan yang sarat pornografis di media-media cetak maupun elektronik.

Beberapa hasil survey menunjukkan angka yang cukup mencengangkan bagi orang-orang yang masih memiliki kebersihan jiwa dan kejernihan akal. Pada tahun 2000, di Jakarta misalnya, sekitar 42 % dari 117 responden remaja yang disurvey secara acak (usia antara 13-20 tahun) mengaku pernah berhubungan seks dan 52 % di antaranya masih aktif. Sementara, pada tahun yang sama, Khofifah Indarparawangsa (sebagai Menteri Peranan Wanita saat itu) pernah mengungkap bahwa 6 dari 10 remaja di Surabaya sudah tidak perawan lagi ! (Republika, 16 Pebruari 2000). Angka yang fantastis juga terlihat dari data yang dimuat Republika tanggal 27 Pebruari 2000, bahwa kasus aborsi di Indonesia tercatat kurang lebih 2 juta kasus tiap tahunnya, dimana 750 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja.

Kasus-kasus seperti ini, ternyata tidak hanya terjadi di kota metropolitan saja. Hasil survey yang relatif sama ternyata terjadi pula di daerah, seperti halnya Bandung dan Minang. Padahal, Minang misalnya selama ini dikenal sebagai prototipe masyarakat bersendikan adat yang sangat kuat. Sementara itu, kasus-kasus kejahatan seksual yang dilatarbelakangi pornografisme juga tak terhitung banyaknya. Satu di antaranya adalah kasus pemerkosaan yang berujung pembunuhan atas seorang mahasiswi IPB yang terjadi tahun 1994 lalu. Adalah Sofyan (20 th), sang pelaku, mengakui bahwa niat bejat itu muncul setelah dia menonton Gigolo in Murder yang bisa diduga isinya sarat dengan pornografisme.


Apa Yang Salah ?


Ada yang penting dicermati dari catatan analisa hasil survey tadi. Rata-rata mereka menyebut peran media massa sebagai penyebabnya. Betapa tidak, media massa-lah yang secara simultan dan demonstratif menstimulus naluri seksual masyarakat (terutama remajanya) melalui tayangan-tayangan mereka, sehingga mau tidak mau naluri seksual tadi mudah terbangkitkan menuntut pemenuhan. Sementara di sisi lain, lemahnya pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran agama (baca : ketaqwaan individu) sudah demikian menipis sejalan dengan derasnya arus sekularisasi yang -sadar atau tidak- justru mulai diadopsi menjadi ‘agama baru’ oleh mayoritas masyarakat kita sekaligus menjadi landasan pengaturan kehidupan mereka yang jelas-jelas sangat kapitalistik ini. Akibatnya, wajar jika mereka tidak lagi memiliki standar yang jelas tentang nilai kebenaran, karena sekularisme kapitalistik hanya menjadikan nilai manfaat sebagai standar baik-buruk. Sementara kita tahu, bahwa pandangan manusia tentang nilai manfaat itu sendiri juga sangat relatif.


Adapun dalam konteks pornografi, kondisi ini menyebabkan tidak adanya barrier dan pengendali yang ampuh bagi kemunculan dorongan stimulan seksual yang datang bertubi-tubi, sehingga merekapun lantas melampiaskannya dengan cara-cara yang miskin dari aturan dan norma, laiknya binatang; menghalalkan segala cara ! Hal ini membuktikan, bahwa sekularisme adalah biang segala kerusakan, karena sekularismelah yang telah melahirkan banyak paham dan gaya hidup ‘miring’, seperti halnya permisifisme, liberalisme, materialisme dan hedonisme.

Inilah fakta yang terjadi hingga saat ini yang semestinya segera diantisipasi secepat mungkin. Tentu saja dengan solusi yang mengarah pada penyelesaian menyeluruh dan mendasar, bukan hanya sekedar solusi praktis yang tak lebih dari cara tambal sulam seperti yang selama ini banyak disodorkan. Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa memandang persoalan pornografi ini sekedar sebagai persoalan sosial yang terpisah dari aspek kehidupan lainnya seperti persoalan politik, hukum dan ekonomi. Bahkan harus dipahami bahwa kesemua aspek tadi saling kait-mengkait, sehingga penyelesaiannya pun harus kembali kepada sistem. Dalam hal ini, yang paling mendasar adalah melakukan kaji ulang terhadap ‘kelayakan’ sistem yang sedang diterapkan saat ini, baik dari aspek pemikiran-pemikiran mendasarnya maupun realitas fakta penerapan dan hasil-hasilnya. Setelah itu, baru kita akan bisa menentukan langkah apa yang harus dilakukan mulai saat ini ke depan.


Pornografisme, Produk Masyarakat Sekuler


Kalau kita cermati, maka tidak bisa dipungkiri, bahwa kehidupan kita saat ini sedang di dominasi oleh sistem kapitalisme yang tegak di atas pemikiran sekularisme (fashl ad-diin ‘an al-hayat, pemisahan agama dari urusan-urusan kehidupan). Berdasarkan pemikiran ini manusia dianggap memiliki wewenang mutlak untuk membuat aturan-aturan kehidupan sesuai dengan interpretasi mereka terhadap makna hidup dan makna kebahagiaan yang ingin diraihnya. Sehingga, dari sini saja sebenarnya sudah nampak, betapa rusaknya asas kehidupan kita saat ini, dan betapa rapuhnya sistem hidup yang dibangunnya. Serapuh pemaknaan hakekat kehidupan dan kebahagiaan oleh rasionalistas manusia yang pasti sangat relatif itu ! Wajarlah jika pada faktanya kapitalisme hanya melahirkan bentuk kehidupan yang carut marut, dimana bentuk-bentuk dan aturan main interaksi di antara manusia hanya disandarkan pada asas manfaat yang memang menjadi standar baku penilaian baik-buruknya amaliyah mereka.

Oleh karena itu, tatkala kita kembali melihat fakta ‘merajalelanya’ pornografi, sebenarnya tidak pas kalau kita hanya menunjuk media massa sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab. Karena liberalisasi media massa hanyalah salah satu produk bermasalah saja dari segudang produk bermasalah yang dihasilkan dari sistem hidup yang rusak. Dengan kata lain, ternyata sistem dan perangkat hukum yang adalah yang memungkinkan untuk tumbuh suburnya praktek-praktek seperti itu, bahkan untuk kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, tanpa ada kekuatan untuk mencegah apalagi memberangusnya.

Di sisi lain, sense of crisis masyarakatpun sudah demikian memudar akibat menguatnya paham individualisme (budaya elu-elu gue-gue) yang menjadi derivasi dari paham sekularisme tadi. Sehingga dengan fakta-fakta seperti ini, layakkah kita tetap berharap agar masalah pornografi ini terselesaikan dengan tuntas, sementara sistem dan perangkat hukum yang terlahir dari sekularisme yang rapuh ini masih kita pertahankan ?


Islam Punya Solusi

Jika kita tengok sejarah, maka kita akan melihat, bahwa ketika sistem Islam diterapkan secara purna dan konsisten, masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang sangat ‘bersih’ dan maju. Ketinggian peradaban dan kemajuan yang pesat di bidang iptek menjadi ciri yang melekat yang menjadikan masyarakat ini menjadi berbeda dengan umat-umat lain pada masa itu. Sementara itu, sejarah juga mencatat, bahwa selama 13 abad sistem Islam tegak, hanya sedikit kasus-kasus kriminal yang terjadi. Untuk kasus pencurian yang berakhir dengan penerapan sanksi potong tangan misalnya, dalam kurun waktu 13 abad itu tercatat hanya terjadi 200 kasus saja (Lihat Islam, Politik dan Spiritual karangan Hafidz Abdurrahman, hal. 23). Hal ini niscaya, jika mengingat Islam saat itu benar-benar tampil dengan jati dirinya yang asli sebagai sebuah IDEOLOGI (mabda’), dimana dia tegak di atas asas yang kuat yakni aqidah yang keabsahannya dapat dibuktikan secara akal, dan terpancar dari aqidah itu aturan kehidupan (nidzham al-hayat) yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan hakiki karena berasal dari Dzat Yang Maha Menciptakan dan Maha Adil, yakni Allah SWT.

Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur seluruh bentuk interaksi yang terjadi di antara manusia, baik yang berkaitan dengan aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, hankam, dan sebagainya. Aturan-aturan inilah yang sekaligus berfungsi sebagai metoda meraih tujuan tertinggi masyarakat berupa terjaganya jenis manusia, akal, kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamananan serta terjaganya kewibawaan dan eksistensi negara. Aturan ini pula yang menjadi standar baku baik-buruk, benci-ridha bagi seluruh masyarakatnya. Hanya saja, tujuan-tujuan tersebut akan bisa diraih manakala seluruh aturan tadi diterapkan, mengingat sifat aturan Islam yang sistemik dan holistik.

Dalam sistem sosial Islam misalnya, ada beberapa prinsip yang harus dipahami oleh setiap individu masyarakat, seperti aturan tentang batasan aurat, keharusan menjaga pandangan, larangan mendekati zina (apalagi berzinanya), larangan adanya percampurbauran antara kehidupan laki-laki dan wanita, dan lain-lain. Adapun secara praktis, jaminan pelaksanaan aturan tersebut diatur dengan diterapkannya sanksi (uqubat) yang tegas dan tidak pandang bulu atas pelaku pelanggaran oleh pihak negara. Dimana dalam pandangan Islam, sanksi tersebut berfungsi sebagai pencegah dan sekaligus penebus. Sebagai pencegah, karena beratnya ancaman hukuman akan membuat orang berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan. Sebagai penebus, karena seseorang yang bersalah dan kemudian dihukumi dengan hukum Islam sesuai dengan jenis kesalahannya, maka hukumannya itu akan menjadi penebus dosa bagi dirinya di akhirat kelak. Sebagai contoh, perzinahan maupun faktor-faktor yang bisa mengarah pada terjadinya praktek perzinahan (termasuk pornografi dan erotisme) di dalam Islam sama sekali tidak diberi peluang untuk tumbuh subur, yakni dengan ditetapkannya sanksi yang sangat berat bagi para pelakunya. Dalam kasus perzinahan ini misalnya, pelaku yang belum pernah menikah akan dihukum dengan hukuman jilid (dicambuk) dengan 100 kali cambukan, sementara pelaku yang pernah menikah dihukum rajam hingga mati.

Beratnya ancaman hukum Islam seperti itulah yang akan menjadi pencegah bagi merebaknya praktek perzinahan di dalam masyarakat, sekaligus dipastikan akan menjadi penebus dosa bagi para pelakunya. Sehingga wajar jika terjadi dalam sejarah Islam pelaku perzinahan (seperti Al-Ghamidiyah dan Ma’iz) justru dengan suka rela meminta diberlakukan hukuman rajam atas diri mereka sendiri oleh Rasulullah SAW selaku qodli dan kepala negara pada saat itu. Padahal, jika saja mereka tidak mengakui, maka mereka tidak akan dihukum, karena dalam Islam hukuman zina akan diterapkan jika tuduhan yang disampaikan dipersaksikan kebenarannya oleh empat orang saksi atau didasarkan pada pengakuan si pelaku itu sendiri.

Dengan demikian, nampak bahwa dalam konsepsi Islam negara memiliki peran penting dalam menjaga masyarakat melalui penerapan seluruh aturan Islam tanpa kecuali atas seluruh warga negaranya. Sehingga negara sebenarnya merupakan pilar penting bagi tegaknya sistem Islam. Hanya saja, negara bukanlah satu-satunya pilar penentu yang menjamin (keberlangsungan) tegaknya sistem syari’at Islam, akan tetapi juga harus ditopang oleh terwujudnya ketaqwaan pada individu-individu masyarakat plus butuh adanya kontrol yang kuat dari masyarakat tersebut sebagai pilar penting lainnya.

Hal ini karena, sekalipun diyakini bahwa sistem Islam adalah sistem yang sempurna, maka aspek penerapannya akan menjadi tidak sederhana, apalagi jika kita refleksikan pada konteks masyarakat sekarang, mengingat lagi-lagi masalahnya tertumpu pada masalah minimnya kesadaran ummat ini akan ajaran Islam. Bahkan upaya perang pemikiran (ghazwu al-fikri) yang dilancarkan Barat pasca Perang Salib telah menularkan virus Islamophobia di kalangan umat Islam sendiri, sehingga membuat upaya-upaya penegakkan syari’at Islam justru selalu kandas di kaki mereka.

Oleh karena itu, proses penyadaran umat dengan Islam sebagai sebuah ideologi sebenarnya harus menjadi agenda bersama seluruh kaum muslimin. Dalam hal ini aktivitas da’wah dan budaya amar ma’ruf nahi munkar harus dihidupkan kembali, agar masyarakat senantiasa terjaga kebersihannya. Tentu hasil yang maksimal hanya akan diraih manakala kita menempuh jalan yang sama yang ditempuh oleh Rasulullah SAW ketika beliau mengubah kondisi masyarakat Arab jahili menjadi masyarakat yang Islami. Dengan cara itu,Insya Allah, seluruh permasalahan yang dihadapi kaum muslimin saat ini dan manusia secara keseluruhan akan segera terselesaikan, termasuk di dalamnya masalah pornografi. Sehingga dengan demikian, memberangus pornografi jelas bukan utopi !

---------------------------

KEBOHONGAN-KEBOHONGAN DI BALIK ISU JENDER

KEBOHONGAN-KEBOHONGAN DI BALIK ISU JENDER
Oleh : Husnul Khotimah



Merebaknya gagasan feminisme di dunia Islam tak boleh disikapi secara abai oleh kaum muslim dimanapun, mengingat kehadiran feminisme telah membawa perubahan mendasar dalam kehidupan masyarakat dan lebih menguatkan proses sekularisasi di dunia Islam. Digulirkannya Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam dan UU KDRT beberapa waktu lalu, berikut gagasan-gagasan kontroversial yang dibawanya, menjadi salah satu bukti atas hal ini. Yakni bahwa, isu jender telah masuk dalam seluruh sendi kehidupan; tidak lagi sekedar dalam wacana, tetapi sudah terformalisasi dalam bentuk berbagai kebijakan publik. Berkenaan dengan hal ini, pemerintah Indonesia bahkan telah mengeluarkan Inpres no. 9 tahun 2001 tentang Pengarus-Utamaan Gender (PUG), yang menyatakan bahwa seluruh program kegiatan pemerintah harus mengikutsertakan PUG dengan tujuan untuk menjamin penerapan kebijakan yang berperspektif jender.

Isu jender memang telah memberikan efek bius yang kuat. Apalagi pada faktanya, begitu banyak persoalan perempuan yang hingga saat ini sulit diselesaikan yang ditengarai terkait dengan isu ini. Persoalannya adalah, banyak argumentasi dari gagasan-gagasan feministik seputar jender ini yang jika dicermati ternyata mengandung banyak kerancuan (ambivalensi). Hal ini wajar karena gagasan ini terbangun di atas asumsi-asumsi yang rancu dan tidak sesuai dengan realitas. Sementara itu, dipandang dari sisi ideologis, maka gagasan ini jelas bertentangan dengan Islam. Selain karena tegak di atas landasan (akidah) sekulerisme yang menafikan hak prerogatif al-Khaliq dalam mengatur kehidupan, juga karena pemikiran-pemikiran cabang yang terlahir daripadanya pun bertentangan dengan Islam. Di antara gagasan-gagasan tersebut adalah :


(1) Bahwa laki-laki dan perempuan sama


Salah satu ide dasar pemikiran feminisme adalah konsep mengenai kesetaraan jender; bahwa secara jender, laki-laki dan perempuan sama. Menurut mereka, sekalipun secara biologis laki-laki dan perempuan berbeda, akan tetapi perbedaan tersebut tidak boleh berimplikasi pada perbedaan jender, karena perbedaan jender hanya akan memunculkan ketidakadilan sistemik atas kaum perempuan.

Dalam terminologi feminis, jender sendiri didefinisikan sebagai perbedaan perilaku (behavioral differences) atau sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan kultural, sehingga jender juga sering disebut sebagai jenis kelamin sosial. Dari definisi ini terlihat bahwa dalam persepsi feminisme, jender hanya merupakan produk budaya (nurture) bukan alami (nature). Yakni sekedar 'hasil persepsi' suatu masyarakat --atau bahkan bisa jadi hanya mitos-- atas apa yang disebut dengan sifat paten (kodrat) laki-laki dan sifat paten (kodrat) perempuan. Dan karena merupakan produk budaya, maka --menurut mereka-- jender dapat dipertukarkan dan bersifat tidak permanen. Yakni dapat berubah sejalan dengan perubahan paradigma berpikir yang menjadi landasan budaya masyarakat tersebut .

Berdasarkan kerangka berpikir ini mereka kemudian menolak konsep pembagian peran sosial yang dikaitkan dengan perbedaan biologis. Yakni, tidak boleh misalnya hanya karena secara biologis perempuan punya rahim dan payudara, kemudian dipersepsikan bahwa hanya perempuan yang memiliki sifat-sifat keperempuanan (feminitas) --seperti sifat lembut, keibuan dan emosional--, sehingga kodratinya perempuan lahir untuk menjalani fungsi-fungsi keibuan dan kerumahtanggaan. Sementara di sisi lain, laki-laki terlahir dengan sifat-sifat maskulinitas, yang secara kodrati mengarahkannya untuk menjadi pemimpin atas kaum perempuan.

Bagi mereka, persepsi-persepsi seperti ini muncul lebih dikarenakan faktor budaya yang berpengaruh pada pembentukan konsep jender itu sendiri di tengah-tengah masyarakat. "Kebetulan", saat ini budaya masyarakat --dalam pandangan mereka-- sedang didominasi kultur patriarkat yang menempatkan posisi laki-laki lebih superior dibandingkan perempuan. Budaya seperti ini kemudian dianggap bertanggungjawab melahirkan 'mitos-mitos peran jender yang merugikan kaum perempuan', termasuk peran perempuan sebagai ibu yang mereka pandang 'tidak strategis' dan 'tidak produktif'.

Karena dianggap merugikan, maka mereka berobsesi untuk mengubah masyarakat yang patriarki ini menjadi masyarakat berkesetaraan, baik melalui perubahan secara kultural (seperti melalui perubahan pola pendidikan dan pengasuhan anak, perubahan 'persepsi' keagamaan yang dianggap bias jender, dan lain-lain) maupun secara struktural (melalui perubahan kebijakan). Mereka berharap, ketika suatu saat masyarakat bisa memandang perempuan sebagai manusia (bukan atas dasar kelamin), maka pembagian peran sosial (domestik vis a vis publik) akan cair dengan sendirinya. Artinya semua orang akan mampu berkiprah dalam bidang apapun yang diinginkannya tanpa harus khawatir dianggap menyalahi kodrat.

Jika kita cermati, secara konsep dan praktis ide kesetaraan seperti ini sangat absurd dan utopis. Ini karena mereka seolah tak bisa menerima mengapa manusia harus lahir dengan membawa kodrat maskulinitas dan feminitas, sementara pada saat yang sama mereka tak mungkin mengabaikan fakta bahwa manusia memang terdiri dari dua jenis yang berbeda. Lantas logika apa yang bisa dipakai untuk menjelaskan mengapa di dunia harus ada laki-laki dan perempuan dengan 'bentuk' dan 'jenis' yang berbeda, jika bukan karena keduanya memang memiliki peran dan fungsi yang berbeda? Bukankah ketika perempuan punya rahim dan payudara --sementara laki-laki tidak-- memungkinkan hanya perempuan yang bisa hamil, melahirkan dan menyusui? Bukankah fungsi kehamilan, melahirkan dan menyusui ini merupakan fungsi yang tak bisa digantikan laki-laki? Bukankah 'aneh' jika setelah melahirkan kaum perempuan bisa melepas fungsi dan peran keibuannya dengan alasan perempuan pada dasarnya tidak harus menjadi ibu sehingga peran ini bisa dipertukarkan dengan laki-laki?

Dari sini saja kita sebenarnya bisa melihat adanya ketidakcermatan dalam memahami dan mensikapi realitas. Kesan emosional justru dominan tatkala mensikapi 'perbedaan' tersebut sebagai sebuah ketidakadilan. Padahal realitasnya, tidak setiap perbedaan berarti ketidakadilan manakala perbedaan peran dan fungsi ini difahami justru akan memungkinkan direalisasikannya tuuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan, tanpa memandang apakah dia laki-laki ataukah perempuan.

Jika dilihat dari kacamata Islam, perspektif feminisme seperti ini tentu sangat bertentangan. Sebagai din yang sempurna, Islam memiliki cara pandang yang sangat khas, adil dan objektif terhadap persoalan keberadaan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan paradigma Islam berkaitan dengan tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah yang harus beribadah kepadaNya dan tujuan penciptaan jenis laki-laki dan perempuan untuk melestarikan keturunan dalam kerangka pandang penghambaan tadi.

Dalam konteks inilah Islam memandang bahwa posisi laki-laki dan perempuan adalah sama/setara, sekalipun dalam prakteknya Islam kadang memberikan aturan yang sama dan kadang memberikan aturan yang berbeda diantara keduanya. Sama, ketika laki-laki dan perempuan dilihat dari sisi insaniyahnya yang secara realitas memang sama, yakni sebagai sosok manusia yang memiliki seperangkat potensi berupa akal, naluri (untuk beragama, melestarikan keturunan dan mempertahankan diri), dan kebutuhan jasmani. Berbeda, tatkala keduanya dilihat realitasnya sebagai 'jenis' yang berbeda dengan kekhasan masing-masing yang memang mengharuskannya diberi aturan-aturan yang berbeda pula.

Adanya perbedaan ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sebuah ketidak adilan, karena semua ini ditetapkan oleh Allah sebagai Pencipta manusia semata-mata demi kemaslahatan, kelestarian dan kesucian hidup manusia dengan cara saling melengkapi dan bekerjasama sesuai aturanNya, bukan demi kemaslahatan laki-laki saja atau perempuan saja. Apalagi dalam pandangan Islam kemuliaan tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang, melainkan diukur oleh derajat ketakwaannya, yakni ketaatan mereka terhadap seluruh aturan-aturan Allah, baik yang menyangkut keberadaan mereka sebagai manusia maupun keberadaan mereka sebagai laki-laki atau perempuan.

Oleh karenanya ide kesetaraan jender yang memaksakan penyamaan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan dalam kancah kehidupan sesungguhnya merupakan bentuk pengingkaran terhadap realitas yang ada, sekaligus merupakan pengingkaran terhadap ke-Maha Adilan dan ke-Maha Sempurnaan Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur manusia. Sehingga tidak layak para muslimah dan kaum muslimin meyakini kebohongan ide ini, apalagi mengembannya.


(2) Ketidaksetaraan jender merugikan perempuan


Dalam perspektif feminisme, adanya ketidaksetaraan (disparitas) jender dianggap sangat merugikan perempuan, karena ketidaksetaraan inilah yang menyebabkan munculnya berbagai ketidak adilan sistemik atas perempuan, seperti terjadinya praktek subordinasi dan marginalisasi di berbagai bidang (politik, ekonomi, sosial dan budaya), pelabelan negatif, maraknya kasus-kasus tindak kekerasan, dan lain-lain. Mereka melihat, bahwa selama ini kesalahan persepsi tentang jender yang dipengaruhi budaya patriarki ini telah begitu berpengaruh tidak hanya dalam membangun, tetapi juga dalam mengontrol berbagai bentuk interaksi antara laki-laki dan perempuan secara tidak seimbang, terutama menyangkut peran mereka di dalam masyarakat; Laki-laki diposisikan lebih, punya power dan bargaining yang tinggi dihadapan perempuan. Sementara pada saat yang sama, kaum perempuan terpuruk di posisi-posisi rendah yang tak menjanjikan, serba dilematis, serba lemah dan bahkan 'terpaksa' hidup dengan tingkat ketergantungan yang tinggi pada laki-laki sehingga layak diperlakukan secara semena-mena dan layak menjadi pihak yang dikorbankan.

Munculnya cara berpikir seperti ini sesungguhnya dipengaruhi oleh prinsip individualisme yang inhern dalam pemikiran demokrasi yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka, dengan laki-laki di satu sisi dan perempuan disisi yang lain. Prinsip ini telah menempatkan diri, ego, jenis dan kelompok sebagai sumber orientasi. Salah satu contohnya, ketika muncul persoalan-persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, mereka lantas memandang persoalan tersebut secara parsial dan dikotomik, yakni sebagai persoalan internal kaum perempuan yang harus diselesaikan oleh perempuan. Akibatnya, pemecahan yang dimunculkan pun menjadi parsial dan tidak memberi penyelesaian tuntas karena hanya dilihat dari satu perspektif saja, yakni perspektif perempuan.

Secara faktual, klaim ini terbantah oleh kenyataan bahwa apa yang disebut-sebut oleh kalangan feminis sebagai 'persoalan perempuan' ternyata tidak hanya menjadi 'milik' kaum perempuan. Tidak sedikit kaum laki-laki yang juga mengalami subordinasi, marginalisasi, tindak kekerasan dan lain-lain. Bahkan di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum muslim, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, submission, kesehatan yang buruk, malnutrisi dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan.

Islam sendiri memandang, bahwa persoalan yang muncul pada sebagian individu –baik komunitas laki-laki maupun perempuan; apakah menyangkut persoalan ekonomi, politik, sosial dan bahkan persoalan yang memang menyangkut aspek keperempuanan (seperti masalah kehamilan, kelahiran, penyusuan, pengasuhan dan seterusnya)-- tidak bisa dipandang sebagai persoalan laki-laki saja atau perempuan saja, melainkan harus dipandang sebagai persoalan manusia/masyarakat secara keseluruhan dengan pandangan yang holistik dan sistemik. Dengan begitu, solusi yang dihasilkannyapun akan menyelesaikan persoalan secara tuntas dan menyeluruh. Hal ini sesuai dengan realita bahwa masyarakat bukan hanya sekedar terbentuk dari individu saja, tetapi juga dari kesamaan pemikiran, perasaan dan aturan yang diterapkan disertai dengan adanya interaksi yang terus-menerus diantara anggota-anggotanya yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Dalam perspektif yang benar inilah syariat Islam datang sebagai solusi/pemecah atas persoalan kehidupan manusia, sehingga manusia –yang realitasnya terdiri dari jenis laki-laki dan perempuan—dapat meraih kebahagiaan hakiki sesuai dengan kemuliaan martabat manusia yang telah dianugerahkan Allah SWT.


(3) Liberalisasi perempuan akan memajukan perempuan.


Kalangan feminis meyakini, bahwa liberalisasi/pembebasan perempuan merupakan pondasi untuk mencapai kemajuan, karena tatkala kaum perempuan berhasil memperoleh kebebasan dan independensinya, berarti mereka telah keluar dari status inferior yang mereka miliki selama ini, sekaligus berkesempatan secara ekspresif mengejar 'ketertinggalan' tanpa harus khawatir dengan pembatasan-pembatasan kultural dan struktural yang dianggap menghambat kehidupan mereka. Isu liberalisasi ini kemudian menjadi salah satui isu sentral bagi perjuangan mereka. Dan sebagai penguat bagi kebenaran konklusinya, mereka menjadikan 'kemajuan' perempuan Barat sebagai model.

Diakui memang, bahwa di belahan dunia manapun, liberalisasi perempuan telah membawa banyak perubahan; Kaum perempuan bebas mengekspresikan dirinya, bekerja di bidang apapun yang diinginkannya, berbuat apapun yang disukainya, tanpa harus merasa takut dengan berbagai tabu (termasuk konsep kodrat) yang selama ini dianggap mengekang mereka. Di AS, tercatat jumlah persentase perempuan bekerja meningkat dari tahun ke tahun hingga lebih dari 75 % pada tahun 2000, pun di Indonesia. Begitu pula, meningkatnya jumlah perempuan terdidik di banding laki-laki dan meningkatnya partisipasi politik formal perempuan, termasuk kian banyaknya perempuan yang berkiprah di bidang pemerintahan di negeri-negeri tersebut, dianggap sebagai ‘prestasi’ atas keberhasilan perjuangan pembebasan perempuan di manapun.

Persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan. Runtuhnya struktur keluarga, meningkatnya angka perceraian, fenomena un-wed dan no-mar, merebaknya free sex, meningkatnya kasus-kasus aborsi, dilema wanita karir, sindrom cinderella complex, eksploitasi perempuan, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain ditengarai kuat menjadi efek langsung dari isu ‘kebebasan perempuan’. Wajar jika, pada perkembangan selanjutnya, muncul sikap penentangan dari sebagian masyarakat yang ‘masih sadar’ atas bahaya racun yang tersembunyi di balik tawaran manis feminisme ini, sehingga mereka balik menuduh feminisme sebagai gerakan anti-family, anti-children dan anti-future. Di Amerika sendiri, gerakan anti feminisme ini tergabung dalam beberapa organisasi seperti Gerakan Kanan Baru (The Right Movement), Feminine Anti Feminist League, dan lain-lain.

Berkenaan dengan fenomena arus balik ini, ada sebuah buku berjudul What Our Mothers Didn’t Tell Us : Why Happiness Eludes The Modern Women yang ditulis oleh Danielle Crittenden (1999) yang menggambarkan ‘kegalauan tersembunyi’ yang dialami kaum perempuan Amerika dibalik berbagai sukses dan ‘kenyamanan’ yang diperoleh melalui jargon kebebasan perempuan. Buku ini merupakan hasil penelitian penulisnya selama 10 tahun tentang fakta kehidupan perempuan modern yang ternyata tidak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang tak lebih dari sekedar mitos itu. Karena itulah mengapa Danielle justru menyerukan agar kaum perempuan kembali merangkul keperempuanan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan manusiawi mereka, seraya mencampakkan khayalan kaum feminis yang justru telah menghianati mereka. Disamping Danielle, masih banyak ilmuwan dan antropolog Barat yang juga mengecam gagasan feminisme seperti ini. Mereka menggugat ‘keabsahan’ dan keilmiahan pemikiran feministik dan sekaligus mempertanyakan kelayakan teori-teorinya untuk diterapkan dalam kehidupan. Sayangnya, semangat penolakan terhadap ide feminisme ini kalah gencar dibandingkan dengan janji-janji manis yang ditawarkannya.

Dengan mencermati fakta-fakta tersebut, jelas bahwa liberalisasi perempuan hanyalah jargon kosong yang tak layak diemban apalagi diperjuangkan. Karena ide ini, berangkat dari landasan yang salah yakni landasan sekularisme yang menafikan peran Pencipta Alam dalam pengaturan kehidupan, serta berangkat dari asumsi-asumsi yang salah yang tidak sesuai dengan realita tatkala memandang permasalahan-permasalahan yang muncul dalam kehidupan dan tatkala memandang apa yang seharusnya menjadi ukuran kemajuan/kebangkitan yang hakiki.

Adapun Islam memandang bahwa yang dimaksud dengan kemajuan/kebangkitan yang hakiki adalah kebangkitan berpikir di atas landasan ideology Islam, bukan semata-mata kemajuan ekonomi, teknologi, dan lain-lain. Oleh karenanya untuk memajukan kaum perempuan, dan bahkan umat secara keseluruhan, maka kuncinya adalah dengan meningkatkan taraf berpikir mereka dengan ideology Islam. Dengan cara ini, mereka akan memiliki landasan pemikiran (qaidah fikriyah) yang menjadi tolok ukur bagi segala bentuk pemikiran dan sekaligus menjadi dasar terbentuknya pemikiran-pemikiran yang lain yang dapat memecahkan problema kehidupan, sekaligus merupakan tuntunan berpikir (qiyadah fikriyah) yang menuntun manusia dalam menghadapi segala problema kehidupan tersebut setiap saat dengan pemecahan yang benar. Ini karena ideology Islam tegak di atas keyakinan bahwa seluruh alam ini, termasuk manusia di dalamnya diciptakan oleh Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Mengatur yaitu Allah SWT, sehingga aturan-aturan yang disampaikan melalui RasulNya (Syari'at Islam) dipastikan akan menjadi pemecah bagi seluruh persoalan manusia secara sempurna dan menyeluruh. Dengan begitu, umat akan mampu bangkit menjadi pionir peradaban sebagaimana yang telah terbukti dimasa lalu tatkala Islam dijadikan sebagai landasan kehidupan umat dan syariatnya diterapkan.


(4) Syariat Islam merendahkan kaum perempuan


Isu ini berangkat dari pemahaman bahwa salah satu faktor yang menyebabkan tetap langgengnya ketidakadilan jender adalah budaya patriarki yang diantaranya dilegitimasi oleh keberadaan pandangan keagamaan yang dianggap bias jender (sexist) dan misoginis. Dalam hal ini Islam menjadi sasaran bidik utama kalangan feminis, termasuk feminis muslim, karena dalam Islam terdapat teks-teks pandangan keagamaan yang 'terkesan' mengukuhkan terjadinya 'rezimisasi budaya Islam laki-laki' dan sekaligus merendahkan kaum perempuan, seperti aturan tentang jilbab/hijab, perbedaan hak waris, poligami, hak talak pada suami, konsep nusyuz, perwalian, persaksian, kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan kekuasaan dan lain-lain.

Sebagian dari mereka memang tidak berani secara langsung menuduh bahwa ajaran bias jender ini merupakan watak asli ajaran Islam. Mereka menyatakan pemahaman masyarakat terhadap Islamlah yang salah yang –menurut mereka— terlanjur tersosialisasi oleh kitab-kitab tafsir dan fiqih yang tidak mustahil dipengaruhi oleh tradisi dan kultur yang berlaku saat penafsiran tersebut dilakukan. Tradisi dan kultur dimaksud adalah tradisi Arab 'masa lalu' yang cenderung 'laki-laki sentris' dan 'tidak menganggap penting keberadaan perempuan'. Berbeda dengan sekarang.

Menurut mereka zaman sudah menuntut kesetaraan. Karenanya, merekapun menggagas keharusan adanya penafsiran-penafsiran baru yang 'senafas dengan tuntutan jaman', yakni dengan melakukan reinterpretasi dan rekonstruksi nash-nash syariat sehingga lebih memihak pada kaum perempuan. Gagasan ini kemudian mereka klaim sebagai upaya pembaharuan (tajdid), sekalipun metoda dan pendekatan tajjdid yang mereka kembangkan ternyata sangat berbeda dengan tradisi tajdid yang selama ini dikenal dalam Islam.

Ada beberapa ciri menonjol dari logika berpikir yang mereka gunakan dalam pembaharuannya, antara lain : Pertama, mereka menjadikan rasionalitas sebagai asas ijtihad dan tafsirnya. Kedua, mereka menggunakan pendekatan ilmiah termasuk sosio-kultural dan hermeunetika dalam memahami nash sehingga yang berlaku dari nash hanya spiritnya saja. Ketiga, mereka menjadikan fakta sebagai rujukan dan sumber kebenaran bagi diterima/tidaknya sebuah teks hukum. Keempat, kerangka berpikir mereka dipengaruhi oleh persepsi relativis yang menganggap keberadaan al-Qur'an dan Sunnah sebagai teks yang 'belum tentu mutlak benar'karena dia hanya rekaman atau bahkan 'produk sejarah' yang 'belum final dan tidak boleh final' sehingga teks-teks tersebut 'harus terbuka atas kritik'!

Jika dicermati, munculnya gagasan seperti ini sesungguhnya dilatar belakangi oleh semangat liberalisasi dan sekularisasi wajah Islam yang –menurut para pengusungnya (di Indonesia antara lain diusung oleh JIL)—bertujuan "membebaskan Islam dari ortodoksi dan menjadikan Islam sebagai agama yang kompatibel dengan perubahan jaman". Padahal, senyatanya gagasan mereka tak lebih dari bentuk ekspresi keputusasaan dan sikap apologia atas tudingan dan serangan opini Barat yang memang berkepentingan untuk mengcaunter munculnya gagasan penegakkan syariat Islam yang kini justru kian mencuat ke permukaan dan secara pasti mengancam eksistensi ideologi mereka di dunia.

Oleh karena itu, munculnya isu bahwa syariat Islam merendahkan kaum perempuan harus disikapi dengan benar. Jika dalih yang mereka gunakan adalah fakta bahwa kaum perempuan di dunia Islam berada dalam kondisi terpuruk, maka harus dilihat bahwa pada kenyataannya saat ini tidak ada satupun negeri Islam yang menerapkan syar'iat Islam sebagai aturan kehidupan yang utuh dan menyeluruh (kaaffah). Justru berbagai kerusakan dan ketidak adilan yang terjadi saat ini –termasuk di antaranya yang menimpa perempuan-- adalah akibat diterapkannya sistem yang salah dan rusak di tengah-tengah kaum muslimin, yakni sistem kapitalisme yang tegak diatas akidah sekulerisme yang telah memberi kewenangan secara mutlak kepada manusia dengan akalnya yang lemah dan terbatas untuk membuat berbagai aturan/sistem kehidupan.

Adapun jika yang mereka lihat adalah adanya perbedaan hukum yang dianggap merugikan perempuan, maka sekali lagi harus dipahami bahwa hal ini hanya terkait dengan kekhususan dalam hukum saja yang tidak ada kaitannya dengan perbedaan derajat antara laki-laki dan perempuan, melainkan terkait dengan pemecahan atas problema kehidupan manusia yang senyatanya terdiri atas laki-laki dan perempuan. Bahkan jika dicermati secara objektif, maka akan terbukti bahwa syariat Islam justru memuliakan kaum perempuan. Kalaupun realitasnya banyak terjadi ketimpangan dalam penerapan hukum-hukum tersebut dalam kehidupan kaum muslim saat ini, seperti poligami yang salah kaprah, kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga dan sebagainya, maka hal tersebut tidak boleh dipandang sebagai dalih untuk menyatakan bahwa syariat Islam merugikan perempuan, melainkan harus dilihat sebagai kesalahan penerapan saja yang dalam kondisi tidakadanya sistem Islam, hal ini memang sangat dimungkinkan.

Akar persoalan inilah yang seharusnya dipahami oleh kaum muslim dimanapun, agar mereka tahu apa yang seharusnya diperjuangkan untuk mengubah kondisi mereka yang terpuruk menjadi bangkit. Yakni dengan berupaya mencerabut sistem rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka, kemudian mengupayakan terwujudnya sebuah sistem yang bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan hakiki bagi semua manusia tanpa kecuali. Sistem seperti ini tidak mungkin berasal dari manusia yang nyata lemah dan terbatas, melainkan harus bersumber dari Dzat Yang MahaTahu dan Maha Adil. Sistem dimaksud tidak lain adalah sistem Islam yang secara akal bisa dibuktikan kebenarannya dan secara empirik telah terbukti kepurnaannya.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa kemuliaan kaum perempuan, sesungguhnya tidak ada kaitannya dengan konsep kesetaraan beserta isu-isu jender lain seperti yang selama ini diyakini kaum feminis dan nyaris menjadi mainstream berpikir kaum muslim. Keberadaan ide-ide seperti ini justru malah akan kian memundurkan kaum perempuan karena mereka kian terjauhkan dari akar persoalan yang sesungguhnya dan terjauhkan dari solusi tuntas atas permasalahan tersebut.

Wallaahu a'lam [][]

BEBERAPA KRITIK ATAS UU No. 23/2004 TENTANG PKDRT


 
 By Siti Nafidah Anshory


Pengantar

Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah bagi kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya, satu dari sekian banyak agenda perjuangan mereka yang terkait dengan isu perempuan –yakni upaya pencegahan dan penghapusan (isu) Kekerasan Dalam Rumah Tangga -- akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat untuk mengesahkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau dikenal dengan UU KDRT.

Hanya saja, seperti yang sudah diduga sebelumnya, pengesahan undang-undang ini akhirnya memang banyak menuai kontroversi. Selain banyak kalangan yang merasa ‘kecolongan’, mereka juga menilai keberadaan UU yang disebut-sebut berharga 6 milyar rupiah dan disponsori penuh oleh The Asia Foundation ini terbangun di atas paradigma yang salah, sehingga wajar jika materi hukumnya pun sarat dengan pasal-pasal bermasalah.


Latar Belakang dan Tujuan disahkannya UU KDRT


Sebagaimana tercantum dalam isi Laporan Organisasi Non Pemerintah tentang Pelaksanaan Aksi Beijing 1995-2005 yang disusun oleh FORUM NGO Indonesia untuk BPFA+10 (Pebruari 2005), sejak tahun 1997-an, kalangan feminis yang tergabung dalam berbagai LSM/NGO memang telah intens melakukan berbagai upaya sosialisasi (baca: propaganda dan tekanan) mengenai urgensitas persoalan KDRT dan keharusan adanya proses legislasi yang mengarah pada upaya pencegahan dan perlindungan terpadu atas kasus-kasus tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh kian maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang terjadi di lingkup rumahtangga, yang –dalam pandangan mereka-- seringkali disikapi secara salah oleh masyarakat dan kaum perempuan sendiri sebagai kelompok yang rentan menjadi korban. Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat –termasuk perempuan yang menjadi korban— ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat yang selalu mengsub-ordinasi dan memberi pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang ‘layak’ dikorbankan dan dipandang sebatas “alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam”.

Disisi lain, kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang sementara ini ada –-semisal KUHP dan rancangan perubahannya, UU Perkawinan dan rancangan amandemennya, RUU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain— sejak awal memang tidak diset untuk mengakomodir kepentingan perempuan, melainkan hanya diset untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai contoh, sampai saat ini ketentuan hukum yang ada masih memasukkan kasus kekerasan terhadap perempuan –seperti kasus perkosaan, perdagangan perempuan dan kasus pornografisme-- sebagai persoalan kesusilaan, bukan dalam kerangka melindungi intergritas tubuh perempuan yang justru seringkali menjadi korban. Implikasinya, selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam hukum, juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi korban sebagai pelaku kejahatan atau memberi celah untuk mengalami kekerasan berlipat ganda. Wajar jika pada tataran tertentu, hukum-hukum tersebut justru dianggap sebagai pengukuh atas marjinalisasi perempuan, yang meniscayakan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT terus berlangsung tanpa bisa ‘tersentuh’ oleh hukum.

Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga merasa perlu melakukan pembaruan institusional dan hukum yang lebih memihak pada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan sistematis. Pembaruan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma dan tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Sementara pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan, pencegahan dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melalui legalisasi produk hukum yang lebih berperspektif jender. Dalam hal ini, upaya strategis yang pertamakali mereka lakukan adalah mendesak pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, dimana upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Kepres No. 181 tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Selanjutnya, Komnas bersama LSM lain menyusun berbagai rencana aksi nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk penghapusan kekerasan dalam rumahtangga, melalui penyusunan undang-undang terkait dengan isu-isu tersebut sekaligus melakukan advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat di berbagai lini, hingga salah satunya yakni RUU KDRT akhirnyal gol menjadi sebuah undang-undang.


Persoalan Paradigmatik di Balik UU KDRT

Jika dipandang sepintas lalu, keberadaan UU KDRT ini memang seolah memberi harapan baru bagi penyelesaian sebagian persoalan perempuan. Disamping karena undang-undang ini memuat berbagai aturan yang mengatur ihwal pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumahtangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumahtangga, seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual dengan unsur-unsur tindak pidana khususnya yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan seperti yang ada dalam KUHP. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk melindungi korban kekerasan agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan terciptanya keutuhan dan kerukunan rumahtangga sebagaimana yang diharapkan.

Persoalannya adalah jika dicermati secara mendalam, maka kita akan dapati berbagai celah hukum yang alih-alih memungkinkan undang-undang ini bisa memberi solusi atas persoalan masyarakat, malah keberadaannya bisa jadi akan memunculkan permasalahan baru, bahkan menjadi pelegitimasi atas penyimpangan-penyimpangan moral di tengah masyarakat. Hal ini terkait dengan lemahnya paradigma berpikir/perspektif yang mendasarinya beserta asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang digunakan dalam membangun materi hukumnya.

Sebagaimana diketahui, sejak awal pihak yang paling antusias untuk menggolkan undang-undang ini adalah kalangan feminis yang senantiasa mengklaim ‘perjuangannya’ ini atasnama kepentingan perempuan. Oleh karenanya, wajar jika undang-undang inipun kental dengan paradigma feministik yang sangat mengagungkan ide kesetaraan jender, dimana ide ini senyatanya mengandung banyak kerancuan dan kebohongan karena dibangun di atas asumsi-asumsi yang rusak, rancu dan tidak sesuai dengan realitas. Kentalnya paradigma ini, antara lain nampak pada saat memandang akar masalah KDRT hanya sebatas isu ketimpangan jender, sehingga solusinyapun hanya berputar di sekitar persoalan keharusan membangun keadilan jender. Padahal jika ditelusuri, maraknya kasus KDRT dan persoalan perempuan lainnya, bahkan persoalan yang saat ini membelit masyarakat secara keseluruhan, sesungguhnya bersifat ideologis. Yakni merupakan ekses dari penerapan asas dan system hidup yang salah, yakni system hidup kapitalisme-sekuler yang juga menjadi spirit gagasan kesetaraan jender.

Disamping menyebabkan ketidakmampuan membaca akar, paradigma inipun hanya membangun asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang dangkal terkait realita hukum KDRT, seperti mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan dan apa batasannya, apa perbedaan antara ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) dengan kekerasan dalam konteks jarimah (kriminalitas) yang bisa terjadi dimanapun baik di dalam rumah tangga (KDRT) ataupun di luar rumahtangga (KLRT), dan lain-lain. Sehingga --entah disengaja atau tidak—materi hukum yang tertuang dalam UU KDRT banyak mengandung pasal karet yang multi interpretatif –termasuk untuk diinterpretasikan secara salah—, disamping terkesan mendistorsi (atau bahkan menyerang?) legalitas beberapa hukum Islam, terutama terkait dengan relasi antara laki-laki (sebagai suami) dan perempuan (sebagai isteri) dengan segala aturan mengenai hak dan kewajiban keduanya dalam lingkup sebuah keluarga, seperti masalah kepemimpinan suami atas isteri dan anak, hak dan kewajiban ta’dib dari suami atas isteri yang nusyuz, kewajiban isteri untuk taat kepada suami selama tidak memerintahkan maksiat, kebolehan berpoligami, masalah mahar, perwalian, pewarisan, penyunatan perempuan, dan lain lain. Dalam pandangan feministik, praktek-praktek seperti ini dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, sementara dalam pandangan Islam, semua ini merupakan sebagian aturan yang jika dikaitkan dengan aturan-aturan lainnya akan menjamin terbangunannya keluarga yang kokoh, saling menguatkan, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga inilah yang akan menjadi pilar penyangga masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang kuat dan berjaya.


Pasal-Pasal Bermasalah dalam UU KDRT dan Kritik Islam Atasnya


Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah yang terdapat dalam UU KDRT, di antaranya Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga tersebut diatur dalam Bab III mengenai Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 6, 7, 8 dan 9, yakni (pasal 6) bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; (pasal 7) bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; (pasal 8) bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumahtangga atau terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sementara Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Selanjutnya dalam Bab VIII, mulai pasal 44 sampai 47 diatur mengenai sangsi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak KDRT berupa sanksi denda atau kurungan dengan besar dan lama bervariasi. Misalnya saja, kekerasan fisik dikenai denda mulai 5 hingga 45 juta rupiah atau dengan sanksi kurungan mulai dari 4 bulan sampai 15 tahun. Kekerasan psikis, dikenai denda antara 3 hingga 9 juta rupiah atau kurungan selama 4 bulan hingga 3 tahun. Kekerasan seksual (termasuk memaksa isteri) dikenai denda mulai dari 12 juta hingga 300 juta rupiah atau kurungan antara 4 sampai 15 tahun, atau jika menimbulkan luka, gangguan jiwa atau gugurnya janin akan dikurung 5 sampai 20 tahun atau denda 25 juta hingga 500 juta rupiah.

Jika dikaitkan dengan fakta, bahwa hukum Islam membolehkan seorang suami memukul isterinya yang nusyuz atau orangtua memukul anaknya yang sudah berumur 10 tahun manakala tidak mau shalat dengan ketentuan pukulan tersebut adalah dalam rangka ta’dib (mendidik) dan tidak melukai/menyakitkan, maka implementasi hukum tersebut dapat dikenai delik pelanggaran terhadap UU KDRT. Demikian pula dengan hukum poligami yang kebolehannya telah ditetapkan syara’, keharaman seorang isteri menolak ajakan suaminya ketika tidak ada uzur syar’iy atau hak suami melarang isterinya bekerja yang hukumnya boleh bagi perempuan, bisa dianggap melanggar ketentuan UU tersebut karena semuanya terkatagori tindak kekerasan seksual, psikhis dan penelantaran rumahtangga yang bisa dipidanakan dengan ketentuan sanksi seperti telah dijelaskan. Persoalannya, bisakah aturan yang dibuat oleh manusia ’mengalahkan’ hukum yang berasal dari Al-Khaliq?

Adanya upaya untuk menarik kasus kerumahtanggaan -- yang dalam Islam termasuk ahwal asy-syakhshiyah (perkara perdata)-- ke dalam tataran pidana (jârimah) seperti ini sebenarnya bisa berbahaya. Selain akan menggoyahkan dasar-dasar kehidupan pernikahan yang hakekatnya merupakan kehidupan persahabatan dan silaturrahmi dalam kerangka membangun ketaatan kepada Allah, juga akan memunculkan persoalan baru ketika hukum tersebut diterapkan, seperti bagaimana status isteri yang suaminya dipidana 12 tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya, apakah cerai atau tidak. Dan jika tidak, bagaimana dengan pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya yang satu sama lain masih saling terikat. Kemudian bagaimana pula ketentuannya jika si isteri menyesal telah mengadukan suaminya, sementara tentang hal ini belum diatur ketentuannya dalam undang-undang, dan seterusnya.


Pandangan Islam


Islam memiliki tolok ukur yang jelas mengenai apakah suatu perbuatan termasuk tindak kejahatan (jarimah) yang tercela atau tidak, berikut sanksi-sanksinya. Tolok ukur tersebut adalah hokum syara yang bebas dari perspektif apapun, termasuk jender atau bukan jender. Oleh karenanya, dalam konteks kekerasan, Islam membedakan antara kekerasan yang termasuk dalam katagori tindakan criminal/kejahatan (jarimah) dengan ‘kekerasan’ yang bukan criminal, seperti ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) yang dilakukan suami atas isteri yang nusyudz atau yang dilakukan orangtua kepada anaknya yang tidak mau sholat ketika sudah berumur 10 tahun.
Terhadap tindak kekerasan yang terkatagori criminal, maka Islam tidak membedakan siapa korban dan siapa pelakunya. Begitu pula tidak membedakan apakah terjadi di lingkup rumahtangga (KDRT) atau di luar rumahtangga (KLRT). Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi/uqubat sesuai jenis kejahatan yang dilakukannya.

Dengan membandingkan dua aturan ini, maka kian jelas bahwa kritik atas UU KDRT memang bersifat paradigmatik. UU KDRT tegak diatas asumsi-asumsi bathil yang lahir dari aqidah yang bathil (yakni sekulerisme), yang menafikan hak Allah sebagai Al-Khaliq dalam mengatur kehidupan, sementara Islam tegak di atas keyakinan (bukan asumsi) bahwa hanya Allah sebagai Al-Khaliqlah yang berhak membuat aturan hukum. Selain itu, UU KDRT tidak memberi jaminan atas penyelesaian persoalan masyarakat dengan penyelesaian yang tuntas karena lahir dari keterbatasan akal manusia, sementara Islam dipastikan menjadi solusi tuntas atas seluruh persoalan manusia sehingga akan memberi maslahat bagi kehidupan, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan, karena Islam datang dari Dzat Yang Menciptakan Manusia, Maha Sempurna, Maha Mengetahui, dan Maha Adil.


Khotimah

Pada akhirnya, implementasi UU KDRT memang akan lebih banyak bersinggungan dengan aturan-aturan Islam mengenai keluarga. Sehingga fakta-fakta inilah yang menguatkan konklusi sebahagian pihak yang menganggap, bahwa keberadaan UU KDRT beserta isu-isu yang menyertainya merupakan bagian dari perang pemikiran dan kebudayaan yang dilancarkan pendukung kapitalis-sekuler atas ideology Islam. Dalam hal ini, yang menjadi sasaran bidik adalah hukum-hukum Islam tentang keluarga dan rumahtangga karena pada saat tidak adanya system Islam, keluarga memang menjadi benteng terakhir dalam perjuangan menegakkan syari’at Islam.

Walhasil, kontroversi UU KDRT sebenarnya bukan semata-mata persoalan hukum, tapi lebih bersifat politis/ideologis, sehingga tentu harus dihadapi dengan langkah politis dan ideologis pula. Yakni dengan melakukan upaya penyadaran ke tengah-tengah masyarakat tentang rusaknya berbagai pemikiran yang ditawarkan, disamping secara terus-menerus memberikan gambaran tentang pemikiran Islam ideology yang jernih beserta gambaran penerapannya dalam kehidupan. Dengan cara ini, diharapkan masyarakat akan kian percaya, bahwa Islamlah satu-satunya aturan yang layak diterapkan, dan merekapun siap memperjuangkannya, di samping mereka punya barrier yang kuat untuk menolak setiap propaganda kekufuran. Terlebih-lebih lagi, dipastikan bahwa upaya kelompok sekuleris ini tidak akan berhenti sampai di sini. Bahkan dalam konteks Indonesia, setidaknya untuk jangka dekat mereka sudah menyiapkan berbagai agenda serupa, diantaranya menyiapkan beberapa RUU yang menyangkut kepentingan strategis perempuan, seperti RUU KUHP menggantikan KUHP, Amandemen UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Amandemen UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan dan Keimigrasian serta RUU Perlindungan Saksi yang kesemuanya memiliki spirit yang sama, yakni spirit sekularisme yang siap menohok Islam.
Wallahu a’lam.


---------------------------

ANTARA PACARAN, TUNANGAN DAN KHITBAH

By : Siti Nafidah Anshory (Husnul Khotimah)


Pengantar


Pacaran merupakan kata yang tidak asing lagi di kalangan muda mudi. Umumnya orang yang mendengar kata ini akan segera membayangkan beberapa aktivitas tertentu yang merefleksikan rasa cinta kasih di antara seorang laki-laki dan perempuan, mulai dari jalan bareng, apel mingguan, berpegangan tangan/berpelukan, hingga aktivitas-aktivitas lain yang lebih dari itu. Selain karena alasan iseng atau trend, sebagian menganggap, bahwa pacaran merupakan jalan yang harus ditempuh sebelum seseorang memasuki gerbang pernikahan. Mereka berdalih, bahwa saat pacaran itulah seseorang akan mengenal segala hal yang berkaitan dengan pribadi calon pasangannya kelak, sehingga ketika mereka memutuskan untuk menikah sudah dipastikan bahwa mereka merupakan pasangan yang cocok. Oleh karenanya wajar jika masyarakat memandang ‘biasa’ terhadap aktivitas pacaran, bahkan mendukungnya. “Ya, Asalkan tahu batas-batasnya saja”, begitu kata mereka.



Pacaran Islami, bagaimana ?


Selain kelompok-kelompok di atas, ada juga sebagian masyarakat yang memandang bahwa aktivitas pacaran adalah aktivitas yang terlarang, kecuali kalau pacarannya Islami. Hanya saja, bagaimana batasan pacaran yang Islami tersebut tidak pernah jelas. Mereka hanya mendeskripsikan bentuk pacaran Islami ini sebatas hubungan khusus antara seorang laki-laki muslim dengan wanita muslim yang diwujudkan dalam bentuk, misalnya, ngobrol-ngobrol berdua (termasuk rayu-merayu) tapi duduknya berjauhan, tidak saling bersentuhan tapi cukup saling berpandangan, bepergian berdua asal dengan izin orang tua, dan sebagainya.

Tentang pendapat ini, jelas ada semacam upaya pemaksaan untuk mengkompromikan apa yang mereka anggap sebagai aturan Islam dengan aktivitas pacaran yang selama ini mereka pandang buruk. Sehingga, yang terjadi sebenarnya hanyalah pelegalisasian dan labelisasi terhadap aktivitas pacaran tadi, agar seolah-olah tidak melanggar aturan agama.

Hal ini memang sangat mungkin terjadi, karena masyarakat kaum muslimin saat ini tengah hidup dalam kungkungan sistem yang sangat sekular, dimana nilai-nilai kemanfaatan dan materialisme demikian dominan. Dalam hal ini, fakta menunjukkan, bahwa Islam hanya tertinggal dalam perasaan saja. Sementara, pemikiran-pemikiran yang menuntun perilaku mereka jauh dari pemikiran-pemikiran Islam. Oleh karenanya, wajar jika mereka tak memiliki standar yang baku tentang aturan kehidupan, termasuk dalam hal bagaimana memenuhi naluri mempertahankan jenis yang salah satunya terwujud dalam bentuk ketertarikan terhadap lawan jenis ini. Atau bisa jadi juga karena minimnya pemahaman mereka tentang aturan pergaulan pria dan wanita dalam Islam (An-Nidzam al-Ijtima’iy), sehingga apa yang mereka sebut sebagai pacaran Islami tadi mereka anggap memang benar-benar sesuai dengan Islam. Padahal, jelas bahwa Islam memiliki aturan yang pasti mengenai bagaimana bentuk hubungan antara pria dan wanita, termasuk bagimana pandangan Islam terhadap aktivitas-aktivitas yang dimungkinkan terjadi saat seseorang melakukan pacaran Islami tadi, di antaranya :


Mengenai percampurbauran dan interaksi tanpa hajat syar’i :


Islam mengharamkan percampur bauran dan interaksi antara jamaah laki-laki dengan jamaah perempuan, sebagaimana Islam telah memisahkan shaf-shaf wanita dan pria di dalam shalat. Adapun hubungan tolong-menolong antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam bentuk hubungan umum, seperti kegiatan mu’amalah, dimana mereka bertemu dan berkumpul jika terdapat keperluan hidup sebatas yang dibolehkan oleh syara’, seperti berjual beli, sekolah, ibadah haji dan sebagainya.


 Mengenai khalwat :


Khalwat adalah bersepi-sepinya seorang laki-laki dan perempuan yang tidak ada mahram bagi wanita tadi dan keduanya jauh dari pantauan orang lain. Aktivitas ini jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT melalui lisan Rasulullah Saw dalam haditsnya :

“Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat/bersepi-sepi dengan seorang wanita, tanpa wanita itu disertai mahramnya” (HR. Muslim)

“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak boleh seseorang berkhal-wat dengan seorang wanita yang tidak ada bersama wanita itu mahramnya” (HR. Muslim)


 Mengenai pandangan yang disertai syahwat :


Allah SWT dengan tegas melarang aktivitas memandang lawan jenis jika tidak ada hajat syar’I (alasan yang dibenarkan syara). Hal ini sejalan dengan perintah menundukkan pandangan yang tercantum dalam QS. An-Nur : 30-31 :


“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara farjinya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farjinya ……….”


Dalan nash ayat tersebut terdapat kata “min absharihim” dan “min absharihinna”, yang berarti menundukkan sebagian pandangan, yakni pada hal-hal yang diharamkan, yaitu :
1) Memandang aurat lawan jenis
2) Memandang lawan jenis dengan disertai syahwat, yang diperkuat dengan hadits :
Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata : “Aku bertanya kepada Rasulullah mengenai pandangan tiba-tiba. Lalu beliau bersabda : “Palingkan pandanganmu !” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)


Rasulullah bersabda : “Ya Ali, janganlah kau ikuti pandangan dengan pandangan. Maka pandangan yang pertama untukmu, sedangkan yang kedua bukan untukmu”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)


 Mengenai rayu-merayu :


Allah SWT telah melarang seseorang berbicara dengan cara merangsang/penuh rayuan : “….. jika kamu bertaqwa, maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya. Dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab :32)


 Dan lain-lain.


Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka jelas bahwa apa yang disebut dengan pacaran Islami ternyata tidak sesuai dengan aturan-aturan Islam. Apalagi jika diperhatikan lebih jauh, sesungguhnya seluruh aktivitas yang dimungkinkan terjadi pada pacaran Islami tadi (berdua-duaan, berpandang-pandangan, dsb) sudah terkatagori aktivitas mendekati zina. Padahal Allah SWT dengan tegas melarang siapapun untuk mendekati zina.

Hanya saja, bisa jadi kemudian muncul pertanyaan, bagaimana Islam memecahkan masalah ini ? bukankah ketertarikan pada lawan jenis itu termasuk fitrah ?

Jawabannya adalah : betul, bahwa naluri untuk tertarik kepada lawan jenis adalah hal yang fitri. Akan tetapi Islam sebagai sebuah sistem hidup telah memberikan solusi untuk memenuhinya. Sehingga kemunculan naluri ini tidak boleh diumbar, melainkan harus diarahkan kepada hal-hal yang benar. Hal ini tentu terkait dengan pencapaian tujuan diciptakannya naluri ini, yang tidak lain adalah untuk melestarikan keturunan, dimana untuk meraih tujuan tersebut, ternyata Islam pun telah memberikan solusinya, yakni hanya melalui jalan PERNIKAHAN, dan bukan melalui hubungan-hubungan khusus di luar pernikahan, termasuk aktivitas pacaran tadi.

Hanya masalahnya, pada kondisi tertentu tidak semua orang mampu melakukan pernikahan. Padahal pada saat yang sama naluri tadi seringkali muncul menuntut pemenuhan. Nah, bagaimana Islam memecahkan masalah ini ?

Patut diketahui, bahwa secara faktual karakteristik naluri ini berbeda dengan potensi hidup lain yang dimiliki manusia, yakni yang berupa kebutuhan fisik, seperti halnya kebutuhan akan makan, minum dan buang hajat. Kebutuhan fisik pemenuhannya harus segera, dengan dorongan/rangsangan yang sifatnya internal (terkait dengan proses metabolisme tubuh). Sementara, naluri dorongannya bersifat eksternal dan tidak serta-merta harus dipenuhi. Dengan kata lain, dorongan yang muncul dari naluri sesungguhnya bisa dialihkan atau dikendalikan sedemikian rupa. Sehingga pada saat seseorang belum mampu menikah, dia tidak lantas harus menjerumuskan diri pada aktivitas yang diharamkan oleh Islam hanya karena alasan harus memenuhi naluri yang muncul pada saat itu.

Dalam hal ini, SHAUM adalah merupakan salah satu jalan yang diberikan Islam, sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits : “Hai sekalian pemuda,barangsiapa yang mampu di antara kalian, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandanganmu dan memelihara farjimu. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka bershaumlah. Sesungguhnya shaum itu merupakan perisai” (HR. Bukhari-Muslim)

Selain itu, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengalihkan dorongan naluri tadi, seperti mengisi waktu dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat, menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa memunculkan rangsangan (seperti bacaan atau film), dan lain-lain. Lebih dari itu, yang terpenting adalah berupaya untuk senantiasa menumbuhkan suasana iman dalam dirinya dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.



Ta’aruf, Khitbah dan Tunangan


Berkenaan dengan adanya pengharaman atas aktivitas pacaran, termasuk yang Islami tadi, maka bisa jadi muncul kebingungan pada sebagian kaum muslimin tentang bagaimana cara menuju gerbang pernikahan, bagaimana seorang pria dan wanita bisa saling mengenal, dan sebagainya. Hal ini karena mereka beranggapan, bahwa aktivitas pacaran merupakan satu-satunya jalan untuk menuju pernikahan. Dan bahwa pernikahan tidak mungkin berhasil jika tanpa didahului dengan proses pacaran.

Dalam hal ini, ada beberapa cara ma’ruf dan terjaga yang bisa dilakukan agar seorang pria bisa berkenalan dengan seorang wanita. Diantaranya :
 Melalui kerabat dekat
 Melalui teman dekat si wanita (tentu dengan memperhatikan hukum syara yang lain)
 Datang langsung kepada orangtua si wanita


Sedangkan proses lanjutan setelah itu, maka Islam hanya mengenal apa yang disebut dengan proses KHITBAH, yakni pihak laki-laki menyampaikan niatnya untuk menikahi seorang wanita, dengan konsekuensi jika wanita tadi telah menerima (dengan sepengetahuan walinya) maka dia tidak diperkenankan untuk menerima pinangan dari yang lain, kecuali jika pinangan yang pertama telah putus. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw pernah bersabda : “Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya sampai ia menikahinya atau meninggalkannya”

Juga, perlu ditekankan di sini, bahwa terjadinya proses khitbah antara seorang pria dengan wanita tidak lantas mengubah aturan hubungan pergaulan di antara keduanya. Hal ini berbeda dengan fakta proses TUNANGAN yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin saat ini, dimana proses ini dipahami sebagai “SETENGAH PERNIKAHAN”. Sehingga dua orang pasangan yang sudah bertunangan bebas berinteraksi/bergaul, dan para orangtua pun menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar.

Dengan demikian, ketika sudah terjadi proses khitbah, maka mereka sesungguhnya masih terikat dengan aturan pergaulan yang sama dengan ketika proses itu belum terjadi, seperti tidak boleh khalwat atau bepergian berdua, keharusan menutup aurat dan berjilbab bagi wanita, tidak boleh bertabarruj, dan sebagainya. Hanya saja syara memang telah mengecualikan beberapa hal, seperti dibolehkannya (tidak harus) seorang pria yang hendak melamar untuk tidak menundukkan pandangan dan sekaligus ‘melihat’ wanita yang hendak dilamarnya lebih dari sekedar yang bukan aurat, dimana dengan hal tersebut akan lebih mendorong pria tadi untuk segera menikahi wanita tersebut. Dalam hal ini, untuk “aktivitas melihat” tadi tidak disyaratkan adanya izin si wanita, hanya saja harus dengan sepengetahuan wali si wanita dan tidak dengan cara berkhalwat. Adapun setelah proses khitbah itu terjadi, maka hukumnya kembali ke asal. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits :

Diriwayatkan oleh Jabir ra, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak meminang seorang wanita, sementara dia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi wanita tadi, hendaklah ia melakukannya”. Jabir kemudian berkata, “Aku lantas meminang seorang wanita yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi aku lihat hingga aku memandang apa yang mendorongku untuk menikahinya. Kemudian akupun menikahinya”.

Selain itu, proses ta’aruf sebenarnya bisa dilakukan setelah proses khitbah terjadi. Hanya saja, konteks ta’aruf disini adalah ditujukan untuk mengetahui hal-hal penting seperti mengenai visi ke depan rumah tangga mereka, interaksi pemikiran/penyamaan persepsi dan lain-lain, dimana hal tersebut memang harus diketahui keduanya sebelum pernikahan dilangsungkan. Jadi bukan sekedar untuk saling mengetahui hobi dan warna kesukaan masing-masing, atau sekedar untuk having fun. Itupun tetap dilakukan dengan memperhatikan aturan pergaulan yang sudah ditetapkan oleh syara tadi.



Khatimah

Dengan memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, kita akan melihat bagaimana penjagaan syari’at Islam terhadap kesucian masyarakatnya. Sehingga jika aturan-aturan ini ditegakkan, maka manusia akan mampu menjalani kehidupan ini dan meraih kebahagiaan hakiki yang diinginkannya dengan cara yang bersih dan ma’ruf. Sementara di sisi lain, fakta kerusakan pergaulan sosial yang tengah terjadi saat ini beserta akibat-akibatnya pun tidak akan pernah muncul.

Hanya saja, rendahnya pemahaman kaum muslimin terhadap aturan-aturan Islam, khususnya yang berkaitan dengan aturan pergaulan menjadi kendala bagi diterapkannya aturan-aturan tersebut. Oleh karenanya, diharuskan adanya upaya da’wah kepada mereka melalui da’wah yang benar (ilal Islam), dengan cara hikmah (argumentatif), mauidzah hasanah (nasihat yang baik) dan dengan upaya dialog.

Di samping itu, tradisi amar ma’ruf nahi munkar harus kembali dihidupkan pada diri seluruh kaum muslimin, sehingga suasana keimanan di tengah-tengah masyarakat menjadi lebih kental dan menjadi alat kontrol yang efektif untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Tentu hal ini harus pula didukung oleh penegakan sistem yang kuat oleh Negara (melalui penerapan Syariat Islam), yang akan menjadi penjaga bagi pelaksanaan aturan-aturan tadi di tengah-tengah masyarakatnya.


Wallahu Muwwafiq ila aqwami ath-Thariq.

Rabu, 20 Januari 2010

LUPA DIRI ....

Senyatanya kita tahu, bahwa waktu adalah fana
Namun kecintaan pada dunia melupakan semuanya...
Asli, kita lupa, bahwa hidup cuma sementara,
Asli pula, kita lupa, bahwa kita belum punya bekal apa-apa

Benar, jika Baginda Rasul pernah berkata,
Sering2lah mengingat mati,
Sebab mengingat mati itu menghapuskan dosa
dan mengikis ambisi seseorang pada dunia..

Tentu saja, bukan berarti kita menafikan dunia
Namun kita diingatkan bahwa dunia bagi hamba beriman adalah jembatan menuju surga
Adapun harta, gelar, karir dan apapun yang kita punya adalah kendaraannya.

Sayangnya lagi-lagi kita sering lupa,
Hingga kita cukup berbangga dengan kendaraan yang kita punya,
namun tak memakainya di jalan menuju surga.

KELUARGA MUSLIM DALAM ANCAMAN

KELUARGA MUSLIM DALAM ANCAMAN
(Mewaspadai Upaya Liberalisasi Keluarga Melalui Ide Gender)
Oleh : Siti Nafidah

Pengantar

Terwujudnya keluarga ideal atau keluarga Islami tentu merupakan dambaan setiap orang. Siapapun akan berharap rumahtangga yang dibangunnya dipenuhi suasana sakinah mawaddah dan rahmah, dengan pasangan yang shaleh atau shalehah, suami atau isteri yang menyejukan mata dan jiwa, serta anak-anak yang cerdas dan berbakti. Terlebih jika berbagai kebutuhan hidup bisa dicukupi dengan mudah, atau setidaknya tidak sesulit yang kita rasakan saat ini. Tentulah kehidupan yang dijalani akan begitu indah bagaikan di surga dunia.

Sayangnya, mewujudkan keluarga ideal semacam ini bukan sesuatu yang mudah. Sistem sekuler yang mengungkung masyarakat kita saat ini membuat kehidupan serba sempit. Berbagai krisis terus mewarnai kehidupan masyarakat, mulai dari krisis politik yang berujung konflik, krisis ekonomi, krisis moral dan budaya, krisis sosial, dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan adanya benturan-benturan nilai akibat berkembangnya pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.

Kenyataan ini mau tidak mau berdampak pula pada kehidupan keluarga muslim. Jarang ditemui keluarga muslim yang benar-benar bisa menegakkan nilai-nilai Islam. Keluarga Muslim, bahkan ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik dan individualistik. Tak sedikit pula keluarga muslim yang turut goyah bahkan terguncang, hingga angka perceraian dan trend single parent terus meningkat. Dampaknya bisa ditebak. Kenakalan anak dan remaja juga menjadi potret buram umat Islam saat ini yang tentu saja akan menjadi ancaman serius bagi nasib umat Islam di masa depan.

Kondisi seperti ini terjadi tak terkecuali di Jawa Barat. Bahkan tercatat, tingkat perceraian, kriminalitas remaja (geng motor), HIV/AIDS, narkoba, seks bebas dan aborsi di Jawa Barat menempati peringkat papan atas di seluruh Indonesia.


Kenapa terjadi ?

Setidaknya ada dua faktor penyebab kenapa kondisi di atas bisa terjadi. Pertama, faktor internal umat Islam yang lemah secara akidah sehingga tidak memiliki visi-misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan keluarga, fungsi dan aturan-aturan main di dalamnya.

Kedua, faktor eksternal, berupa adanya upaya konspirasi asing untuk menghancurkan umat Islam dan keluarga muslim melalui serangan berbagai pemikiran dan budaya sekuler yang rusak dan merusak, terutama paham liberalisme yang menawarkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku, beragama maupun dalam kepemilikan. Paham ini secara langsung telah mengeliminir peran agama dari pengaturan kehidupan manusia, sekaligus menjadikan manusia menjadi Rabbul ’Alamin yang bebas menentukan arah dan cara hidupnya, termasuk yang terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.

Dengan paham ini, umat Islam dikondisikan untuk ’merasa malu’ terikat dengan hukum-hukum Islam. Terlebih, hukum-hukum Islam memang sengaja dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam sebagai aturan-aturan yang kolot, anti kemajuan, ekslusif, bias gender dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sebagai gantinya, umat Islam justru menuntut penerapan berbagai aturan yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan itu bertentangan dengan syari’at agama mereka.

Konspirasi ini secara massif dilakukan ke dunia Islam melalui peran lembaga-lembaga Internasional terutama PBB yang hakekatnya merupakan alat penjajahan Barat. Melalui berbagai event, PBB, atas pesanan negara-negara Barat Kapitalis mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, BPFA dll yang spiritnya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Berbagai konvensi dan hasil kesepakatan ini kemudian dipaksa untuk dirativikasi/diadopsi oleh seluruh negara-negara di dunia melalui blow up opini, tekanan politik, syarat bantuan dan lain-lain. Hanya saja, tak sedikit negara-negara di dunia yang dengan sukarela mengadopsi dan menjadikannya sebagai ”kitab suci” atau rujukan bagi peraturan-peraturan publik yang diterapkan atas masyarakatnya, termasuk di dunia Islam.

Lahirlah berbagai UU sekuler yang pro liberal di negeri-negeri tersebut dengan bantuan sponsorship para kapitalis (TAF, USAID, World Bank, dll) dan advokasi dari mereka. Di Indonesia sendiri, lahir UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, draft CLD KHI, Rancangan Amandemen UU Perkawinan, Kesehatan Reproduksi dan Hukum Materil Peradilan Agama, yang kesemuanya mengandung ruh dan content (isi) yang sama persis dengan ’kitab suci’ yang diwahyukan musuh Islam tadi.

Sebagai contoh, pasal 51 ayat 1 DUHAM 1948 berbunyi: Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. Sedangkan Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan antara lain memuat tentang hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut; hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, dan lain-lain.

Jika dicermati isi deklarasi dan konvensi ini nyaris sama dengan berbagai kebijakan yang sudah diundangkan maupun yang masih berupa draft rancangan UU. Kesemuanya mengandung spirit pembebasan dari aturan Islam, termasuk merombak pola interaksi, peran dan fungsi perempuan sebagaimana diajarkan Islam sekaligus menghapus kepemimpinan suami, yang berujung pada upaya mendesakralisasi lembaga perkawinan sekaligus membuka keran kebebasan atas nama kesetaraan dan HAM. Sebagai contoh, UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam.

UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga. Begitupun, amandemen UU Kesehatan memuat aturan yang ‘bergesekan’ dengan hukum Islam, semisal mencegah nikah dini, tapi memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. Sedangkan UU PA memberi peluang kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku, termasuk kebebasan beragama.

Di tingkat akar rumput, upaya ini diperkuat dengan gerakan massif seluruh operator lapangan dan event organizer mereka dari kalangan LSM liberal dan LSM gender yang mereka danai dan mereka bina. Sedangkan di level atas, konspirasi juga dilakukan bersama para penguasa yang menjadi antek Barat melalui penerapan sistem sekuler yang selain bertentangan dengan Islam, keberadaaannya justru mengokohkan liberalisasi, semisal dengan menerapkan sistem politik yang opportunistik, sistem ekonomi yang kapitalistik, sistem budaya yang hedonistik, sistem sosial yang individualistik dan lain-lain. Disamping akan melahirkan kerusakan, penerapan sistem sekuler seperti ini, pada saat yang sama justru mengukuhkan hegemoni kapitalisme atas kaum muslimin.

Mengapa konspirasi penghancuran ini dilakukan, tidak lain karena Islam dan umat Islam memiliki potensi ancaman bagi hegemoni peradaban Barat (kapitalisme global). Selain potensi sumberdaya manusia yang sangat besar berikut sumberdaya alamnya yang melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan mampu menandingi sistem kapitalisme global.

Di samping itu, keluarga muslim saat ini masih berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan individu, setelah hukum-hukum Islam lainnya menyangkut aspek sosial dan kenegaraan berhasil mereka hancurkan. Terpeliharanya sisa-sisa hukum-hukum Islam oleh keluarga-keluarga Muslim ini pun masih menyimpan potensi besar dalam melahirkan generasi-generasi pejuang yang menjadi harapan umat di masa depan. Inilah yang mereka takutkan. Dari keluarga-keluarga muslim ini, akan lahir sosok muslim militan yang siap menghancurkan hegemoni mereka atas dunia.

Itulah kenapa, mereka sungguh-sungguh berupaya menghancurkan keluarga muslim dengan berbagai cara. Diantaranya, dengan berupaya menjauhkan para muslimah dari cita-cita menjadi ibu atau dari penyempurnaan peran ibu. Secara sistem, diciptakanlah kemiskinan struktural melalui penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarga dan karenanya peran ibu tidak bisa optimal. Selain itu, mereka racuni benak para muslimah dengan berbagai pemikiran yang merusak semisal ide emansipasi atau keadilan dan kesetaraan gender dan kebebasan, sehingga para muslimah lebih tertarik mengaktualisasikan diri di ranah publik dan pada saat yang sama merasa rendah diri akan peran-peran domestik mereka. Dampak lanjutannya, lahir generasi tanpa bimbingan dan pengasuhan optimal para ibu.

Cara-cara di atas kemudian diperkuat oleh penyebarluasan tafsir liberal atas nash-nash syariat dengan dalih pembaharuan hukum Islam, yang antara lain dimotori LSM-LSM liberal tadi serta para intelektual dan ulama su’u yang sejatinya adalah antek asing yang bekerja dan dibayar demi kepentingan asing. Sebagaimana yang sudah disebut, kitab suci rujukan mereka pun berasal dari wahyu asing, bukan al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti kitab Deklarasi PBB tentang HAM, CEDAW, BPFA, MDGs, dan sebagainya.

Dari tangan mereka inilah lahir berbagai produk pemikiran Islam yang sangat sekuler namun diklaim bertujuan memajukan perempuan dan umat Islam. Salah satu diantaranya tercermin dalam draft CLD KHI yang digagas Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI pimpinan Musdah Mulia dan dirilis pada 4 Oktober 2004 di Jakarta. Jika dicermati, isi tandingan Kompilasi Hukum Islam ini betul-betul merupakan counter terhadap aturan-aturan yang masih menjadi pemahaman mainstream masyarakat Islam, semisal pasal yang menyatakan bahwa perkawinan bukan ibadah melainkan kontrak biasa, pernikahan beda agama boleh, perempuan boleh menjadi wali, poligami haram, dan lain-lain. Mereka mengklaim, bahwa aturan-aturan seperti inilah yang adil gender dan memuliakan perempuan.

Karena kontroversial, produk pemikiran yang prosesnya menelan biaya tak sedikit dari bantuan dana asing (The Asia Foundation) ini akhirnya dianulir oleh Menteri Agama saat itu (Maftuh Basuni) dengan keluarnya surat No : MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004. Namun sekalipun upaya ini nampak gagal, semangat liberalisasi dan sekularisasi mereka tetap hidup.

Hingga saat ini mereka terus berjuang untuk menjadikan akidah sekuler yang mereka yakini menjadi akidah yang juga diyakini umat Islam dan keluarga-keluarga kaum muslimin. Gerakan mereka bahkan melintasi batas-batas negara dan menjadi agenda bersama jaringan feminisme internasional. Gerakan ini diwujudkan –antara lain-- dalam bentuk penyelenggaraan kongres-kongres berskala internasional. Terakhir di antaranya, Congress on Islamic Feminisme ke-3 di Barcelona pada 24 Oktober 2008 yang membahas “denounced Islamic family laws and other Shariah rules related to the woman and called for a re-interpretation based upon gender equality” dan Kongress Musawah, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara. Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan rekomendasi yang mengandung spirit sama dengan CLD KHI, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik, serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut'ah.

Apa yang menjadi tujuan semua konspirasi mereka sesungguhnya sangat jelas, yakni ingin merusak identitas keislaman kaum muslimin, menghapus militansi ideologis mereka dan melemahkan daya juang umat Islam. Dengan cara ini, target besar mereka akan terwujud, yakni menghambat gerakan mengembalikan Khilafah Islamiyah yang memang sudah menggejala di seluruh dunia. Terlebih, sebagaimana prediksi RAND Corporation (lembaga intelejen AS), ada kemungkinan pada tahun 2020 peta politik global disemarakkan dengan bangkitnya kekhilafahan baru. Karenanya, AS sebagai motor kapitalisme global sedini mungkin berupaya memperkecil kemungkinan tersebut dengan berbagai cara.


Apa Yang Harus Dilakukan?

Berdasarkan pencermatan terhadap faktor-faktor penyebab di atas, jelas, bahwa upaya liberalisasi berlangsung secara sangat sistematis, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak negara-negara kapitalis sebagai konspiratornya, para kapitalis sebagai penyandang dananya, sementara LSM liberal/gender dan pemerintah bertindak sebagai EO-nya. Maka upaya strategis yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai konspirasi asing dalam penghacuran keluarga muslim adalah mengajak umat untuk bersegera meninggalkan sistem liberal sekuler ini, dengan cara melakukan pencerdasan umat dengan Islam kaffah (ideologis). Targetnya adalah untuk membangun profil muslim/muslimah tangguh yang siap berjuang melakukan perubahan sistem.

Dalam konteks muslimah, pencerdasan diarahkan untuk membangun profil muslimah yang siap mencetak generasi pejuang, menjadi isteri salehah pendamping para pejuang sekaligus yang siap mengajak dan memimpin para muslimah untuk perubahan ke arah Islam. Pada saat yang sama, diupayakan pengokohan fungsi keluarga muslim, agar menjadi keluarga-keluarga yang tegak atas dasar ketaatan kepada Allah, menjadikan syari’at Islam sebagai standar sehingga setiap keluarga muslim mampu berfungsi sebagai mesjid, madrasah, rumahsakit, benteng pelindung dan kamp perjuangan yang siap melahirkan generasi pejuang dan pemimpin umat, yang berkualitas mujtahid sekaligus mujahid. Kesemuanya itu diarahkan untuk mewujudkan masyarakat taat syariat, dimana pemikiran, perasaan dan aturan masyarakatnya diikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, yakni Islam.

Adapun strategi yang dibutuhkan untuk meraih target ini tidak lain adalah dengan menggencarkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali muslimah. Hingga Islam dipahami secara utuh sebagai solusi masalah-masalah kehidupan mereka. Dengan cara ini, akan muncul para muslimah tangguh yang memiliki kecerdasan politik tinggi dan siap memperjuangkan Islam secara bersama-sama..

Tentu saja, upaya besar ini mengharuskan adanya sinergi dari semua komponen umat yang sudah sadar, khususnya dari kalangan simpul umat (para tokoh masyarakat), baik di tingkat grassrott, hingga tingkat atas. Di tangan merekalah tersimpan potensi perubahan, disamping terbeban tanggungjawab besar membawa umat ini meraih kemuliaan mereka kembali sebagai khoyru ummah.

Sesungguhnya, kewajiban memperjuangkan Islam adalah konsekuensi keimanan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Dan kita semua, tak akan bisa menghindar dari misi mulia ini, kecuali kita siap menghadapNya tanpa hujjah. Semoga, kita semua termasuk yang bisa kembali ke Haribaan-Nya dengan membawa hujjah yang nyata. Hingga di akhirat, kita layak bersanding dengan Rasulullah tercinta dan barisan para pejuang radhiyallahu anhum di sisinya. Amin.[][]

Minggu, 03 Januari 2010

GIZI BURUK TAK LAYAK DITOLERANSI
(Retrospeksi jelang Hari Gizi)
Oleh : Siti Nafidah



Setelah digegerkan program antifilariasis bermasalah, Jawa Barat masih harus berkutat dengan berbagai PR besar yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada anak-anak di bawah usia lima tahun (balita). Menurut data Dinkes Provinsi Jabar, dari 3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui kegiatan posyandu, 380.673 orang di antaranya (10,8%) termasuk dalam kategori gizi kurang, dan 35.723 anak di antaranya (1,01%) divonis menderita gizi buruk (pikiranrakyat online, 25/10/09).

Jumlah ini tentu akan jauh lebih besar jika mengingat tidak semua anak akrab dengan posyandu. Terlebih, tingkat validitas data yang dimiliki pemerintah terkadang memunculkan banyak pertanyaan. Selain hanya mampu menggambarkan puncak gunung esnya saja, data yang dimiliki juga sering tidak sinkron dengan data yang dimiliki daerah di bawahnya. Sebagai contoh, jika Dinkes Provinsi Jabar menyebut balita penderita gizi buruk di Jabar ada sekitar 35.723 orang, Dinkes Kota Bekasi malah mendeteksi jumlah balita penderita gizi buruk di wilayahnya mencapai 62.826 orang atau 0,5 % dari populasi balita di wilayah tersebut (Antara/FINROLL News).

Lepas dari data mana yang benar, fakta merebaknya gizi buruk memang tak bisa dinafikan keberadaannya dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Karena selain menjadi aib bangsa, juga bersifat emergency karena menyangkut ‘wajah’ generasi di masa depan. Terlebih faktanya, yang menjadi korban bukan hanya balita saja, tetapi juga anak-anak dan orang dewasa.

Sayangnya, hingga saat ini pemerintah masih berlindung di balik konsep “batas yang masih ditoleransi dari penderita gizi buruk”, yakni 1 % dari populasi. Konsep ini setidaknya akan memberi celah bagi pemerintah untuk bersikap abai terhadap tanggungjawab mereka untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, tak terkecuali kalangan balita.


Gizi Buruk dan Potret Kemiskinan
Tentu tak semua setuju jika kasus gizi buruk langsung dihubungkan dengan buruknya kondisi sosial ekonomi penderita. Karena faktanya, tak sedikit kasus gizi buruk justru terjadi pada anak-anak berlatar belakang ekonomi menengah ke atas. Dalam dunia kesehatan setidaknya dikenal 2 istilah, yakni malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer biasanya disebabkan karena masalah ekonomi, rendahnya pengetahuan, dan kurangnya asupan gizi. Sedangkan malnutrisi sekunder disebabkan karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh, baik karena penyakit maupun karena kurangnya perhatian orangtua atas kebutuhan gizi dan tumbuh kembang anak. Malnutrisi primer sangat dekat dengan masyarakat miskin dan pedesaan, sedangkan malnutrisi sekunder biasanya dekat dengan kehidupan masyarakat perkotaan.

Namun jika dihubungkan dengan realita kehidupan masyarakat Jabar secara keseluruhan, merebaknya kasus gizi buruk –termasuk tingkat pengetahuan yang rendah--nampaknya ekuivalen dengan masih banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hingga akhir Oktober 2009 saja, masih terdapat sekitar 13 persen dari 42 juta jiwa penduduk Jabar yang terkatagori miskin dengan tingkat daya beli yang rendah. Menurut catatan, hingga saat ini, daya beli masyarakat Jabar baru mencapai Rp 623.000 per orang per tahun, sedangkan ‘normalnya’ Rp. 723.000 per orang per tahun. Dengan kenaikan daya beli masyarakat Jabar rata-rata Rp 1.000 per tahun, diperlukan waktu 100 tahun untuk mencapai daya beli normal (kompas.com, 28/10/2009).

Angka di atas tentu akan jauh membengkak jika standar perhitungan garis kemiskinan dan daya belinya dinaikkan. Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan standar penghasilan minimal US $1,55 per orang per hari atau sekitar Rp.450.000/bln sebagai ambang batas untuk mengukur apakah seseorang terkatagori miskin, rentan miskin atau tidak. Bayangkan, dengan standar ini, seseorang yang pendapatannya Rp.600.000,- per bulan bisa terkatagori tidak miskin, padahal realitanya, apa yang saat ini bisa dibeli dengan uang Rp.600.000?

Dengan harga beras murah seharga (katakanlah) Rp. 4500,-/kg, bahan bakar gas Rp.13.000,-/tabung kecil, minyak goreng kualitas rendah Rp.9.000/kg, dan harga-harga sembako yang kenyataannya tak murah itu, tentu bisa dihitung kira-kira berapa hari kebutuhan minimal yang bisa dipenuhi dengan uang Rp. 600.000,-. Belum lagi kalau bicara kebutuhan mendasar lain yang nyatanya juga tak bisa didapat secara gratis; air bersih, obat-obatan, listrik, pakaian, sekolah, biaya transportasi dan lain-lain. Sehingga alih-alih berpikir membeli susu dan bahan konsumsi bergizi tinggi lainnya, untuk sekedar memenuhi pangan yang mengenyangkanpun sulitnya minta ampun. Dan kasus seperti ini pastinya tidak hanya dialami oleh 13 % penduduk Jawa Barat saja, melainkan jauh lebih banyak dari itu!


Cuma Potongan Mozaik
Apa yang terjadi di Jawa Barat sesungguhnya hanya potongan mozaik persoalan besar yang dihadapi Indonesia secara keseluruhan. Untuk kasus gizi buruk, data nasional menunjukkan, terdapat 18,4 % anak-anak di bawah usia lima tahun yang mengalami kekurangan berat badan dengan angka pertumbuhan di bawah normal (stunting) sebesar 36,8 % yang merupakan indikator adanya kekurangan nutrisi yang kronis. Sedangkan menurut data badan PBB untuk urusan pangan atau United Nation World Food Programme (WFP), saat ini terdapat sekitar 13 juta anak Indonesia yang mengalami kekurangan gizi dan tersebar di berbagai provinsi (Republika Online). Adapun terkait tingkat kemiskinan, tahun 2008 BPS mencatat ada 15,4% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (vivanews.com). Sementara tahun 2009 BPS mencatat jumlah pengangguran meningkat menjadi 35 juta orang.

Sebagaimana sebelumnya, jika asumsi yang digunakan dalam kalkulasi berbeda, maka data-data tingkat nasional diatas pun akan jauh lebih membengkak dari sebelumnya. Misal, standar versi BPS yang 1,55 dollar diganti dengan standar versi world Bank atau FAO yang 2 dollar AS. Demikian pula jika dihubungkan dengan fakta “tidak realistik dan tidak manusiawinya” standar-standar yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk simplifikasi cara perhitungan pendapatan per kapita yang didasarkan hanya pada nilai rata-rata. Padahal, nilai rata-rata tentu tak dapat menggambarkan kenyataan sesungguhnya sehingga kelayakannya menjadi salah satu indikator pertumbuhan ekonomi dan menjadi alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat harus dipertanyakan.

Sebagai contoh, jika seseorang memiliki penghasilan Rp. 100.000/bln dan yang lainnya berpendapatan Rp. 5 juta/bln, dirata-rata pendapatan keduanya adalah Rp. 2,55 jt/bln. Faktanya, keduanya tetap tidak bisa dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan yang sama. Bahkan gap sosial dari keduanya jauh sangat lebar. Oleh karenanya, ketika dikatakan ada 13% penduduk miskin dan 87% tidak miskin dengan standar penghasilan per kapita rata-rata sebesar US $ 1,55 per hari sebagai pembatas miskin-tidak miskin, maka realita yang sejatinya miskin pasti jauh lebih banyak lagi, dan peluang untuk meningkatnya kasus gizi burukpun semakin lebar lagi.


Butuh Solusi Sistemik
Dari sini, jelas bahwa kasus gizi buruk tak sesederhana yang dibayangkan. Kasus gizi buruk ternyata bukan hanya menyangkut masalah kesehatan saja, hingga penanganannya hanya melulu bisa dihitung dan dipandang dari sudut pandang kesehatan semata, semisal selesai hanya dengan melakukan program penyuluhan, pemberian gizi tambahan, dll.

Artinya, untuk kasus sefenomenal dan sekompleks ini tentu butuh penyelesaian yang komprehensif dan mengakar. Dan ini bersifat paradigmatic karena, pertama, menyangkut sejauhmana tanggungjawab pemerintah dalam menjamin kesejahteraan tiap-tiap penduduk, individu per individu tanpa kecuali dan bukan kesejahteraan masyarakat secara pukul rata. Dan ini menyangkut kesadaran ruhiyah terkait amanah kepemimpinan dalam mengatur urusan umat yang tidak hanya akan dipertanggungjawabkan di dunia saja tetapi juga di akhirat. Kedua, menyangkut system aturan yang digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan tadi.

Pada dasarnya siapapun pasti sepakat, bahwa Indonesia memiliki modal lebih dari cukup untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Kekayaan alam yang demikian berlimpah, sumberdaya manusia yang sangat banyak dan potensial, posisi geografis yang demikian strategis adalah modal besar yang seharusnya menjadikan rakyat dan negeri ini berjaya. Namun kurangnya tanggungjawab pemerintah yang salah satunya nampak dari penerapan kebijakan yang salah kaprah, yakni dengan penerapan system ekonomi liberal kapitalistik, telah menyebabkan potensi yang sedemikian besar itu justru hanya dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang saja, baik para kapitalis lokal maupun kapitalis asing. Selain itu, sistem ini pun meniscayakan hubungan yang terjalin antara penguasa dan pengusaha bagaikan mitra bisnis, sementara hubungan antara penguasa dan rakyatnya tak lebih dari penjual dan pembeli!

Lahirnya UU Pro kapitalis semisal UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Kelistrikan, adalah secuil contoh kebijakan anti rakyat hasil perselingkuhan dan simbiosis mutualisma yang dilakukan penguasa-pengusaha dalam system ekonomi kapitalistik. Satu pihak, butuh modal untuk melanggengkan kekuasaan, sementara pihak yang lain butuh payung yang melindungi dan melegitimasi keserakahan mereka, bahkan melegalkan perampokan besar-besaran harta milik rakyat oleh mereka. Kasus BLBI dan skandal Bank Century adalah contohnya. Adapun rakyat, dibiarkan meradang dalam kesengsaraan dan menjadi korban bisnis berorientasi pasar. Jadilah rakyat di negeri ini seperti para tikus yang kelaparan, bahkan mati di lumbung padi. Ironis!


Penutup
Seharusnya, para penguasa negeri ini segera sadar, bahwa setiap nyawa rakyat adalah tanggungjawab mereka yang akan jadi sesalan atau malah menjadi sumber kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Dan inilah yang diteladankan Khalifah Umar bin Khathab bagi para pemimpin umat di jaman setelahnya. Pernah suatu malam, beliau sengaja menelusuri jalan di wilayah kekuasaannya hanya karena takut akan pertanggungjawaban di hadapan Allah jika ada jalan yang berlubang dan menyebabkan unta terperosok ke dalamnya.

Bayangkan, jika “keselamatan” seekor unta saja akan dimintai pertanggung-jawaban, apalagi ribuan atau jutaan nyawa yang terancam melayang akibat gizi buruk atau sebab-sebab lainnya. Artinya, tak satu korbanpun yang boleh ditoleransi! Persoalannya adalah, penerapan system kapitalisme memang terbukti meniscayakan hal-hal yang demikian. Sehingga, tak ada alasan bagi kita –terlebih bagi para penguasa sebagai pelayan dan pengurus umat- bersikukuh mempertahankannya.[][]