INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Jumat, 29 Januari 2010

MEMBERANGUS PORNOGRAFI-PORNOAKSI, MUNGKINKAH ?

MEMBERANGUS PORNOGRAFI-PORNOAKSI, MUNGKINKAH ?
Oleh : Husnul Khotimah


Saat ini, ada kecenderungan pada sebagian besar masyarakat kita untuk senantiasa menjadikan fakta/realita sebagai penentu nilai perbuatan; baik-buruk, boleh dan tidak boleh. Sehingga tak heran bila ‘status hukum’ suatu perbuatan bisa berubah-ubah, tergantung pada realita yang ada serta interpretasi mereka terhadap realita tadi. Contoh mudah, kasus suap-menyuap. Pada dasarnya, masyarakat sepakat, bahwa suap-menyuap merupakan aktivitas yang sangat buruk. Akan tetapi, ketika suap-menyuap sudah menjadi budaya dan sebagian dari mereka memandang ada ‘sisi baik’ dari perilaku ini, maka dengan serta merta masyarakat memandangnya sebagai sebuah keniscayaan yang diperkenankan.

Untuk kasus pornografi dan pornoaksipun ternyata tak jauh berbeda. Meski pandangan umum masyarakat masih menempatkan pornografi-pornoaksi sebagai sebuah penyimpangan yang membahayakan, akan tetapi fakta pula yang menunjukkan bahwa keduanya begitu sulit diberantas. Bahkan tak sedikit yang percaya bahwa keduanya tak mungkin diberantas karena sudah dianggap menjadi bagian dari sejarah manusia.

Pada kasus ini, nampak bahwa banyaknya perbenturan kepentingan telah membuat masyarakat hanya berkutat di tataran definisi. Sehingga, ketikapun (sebetulnya) secara normatif pornografi-pornoaksi (atau setidaknya kasus-kasus pelanggaran kesusilaan) dianggap sebagai tindak kriminal yang diancam sanksi hukum, muncul ketidakberdayaan yang amat sangat dari hukum tersebut untuk menjerat para pelaku kasus pornografi-pornoaksi hanya karena begitu multi interpretatifnya kedua istilah tersebut. Seorang seniman yang membuat gambar atau patung wanita setengah telanjang atau telanjang sekalipun, atau seorang artis yang berpenampilan erotis di panggung-panggung atau media massa bisa berdalih bahwa itu hanyalah manifestasi rasa seni yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan pornografi-pornoaksi. Artis-artis ‘kacangan’ tabloid biru, bahkan dengan bangga memperagakan gaya-gaya erotis mereka seraya terang-terangan membeberkan (maaf) ukuran dada dan panggulnya tanpa sedikitpun merasa takut akan terjerat delik pornografi, karena mereka tahu betapa multi interpretatifnya istilah tersebut. Apalagi mereka bisa berdalih bahwa kebebasan berperilaku dijamin oleh konsep HAM. Dan sejauh ini, delik pornografi tidak bisa apa-apa di hadapan alasan HAM !

‘Ala kulli hal, kita bisa melihat betapa sakitnya masyarakat ini, sehingga mereka senantiasa memandang segala sesuatu sebagai buah simalakama. Buntutnya, kehidupan menjadi begitu serba dilematis dan sekaligus dramatis. Seolah, tak ada yang bisa dilakukan selain menampung dan membuang air dari atap yang bocor, gali lobang tutup lobang, tambal sulam, dan aktivitas-aktivitas tak mendasar lainnya. Dan ini terjadi dalam seluruh aspek kehidupan; sosial, ekonomi, politik, pemerintahan, hukum, budaya, hankam, dan sebagainya.


Pornografi, sebuah bom waktu


Ada benarnya jika dikatakan, bahwa saat ini pornografi bukan lagi sekedar bumbu, tapi sudah menjadi menu. Karena, kalau dulu pembuat film ‘barangkali’ masih menempatkan pornografi pada posisi ‘selingan’ atau sekedar ‘penambah rasa’ bagi karya filmnya, maka kini, pornografi justru menjadi produk utama yang mereka jual. Dulu pun, tampilan wanita molek hanya menjadi pelengkap bagi penayangan iklan suatu produk, tapi kini tak jarang produk tertentu yang justru mengiklankan kemolekan wanita dan pornografisme lainnya. Padahal, jelas bahwa antara moleknya tubuh wanita atau pornografisme yang ditampilkan dalam iklan tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan produk yang diiklankan. Aneh memang !

Sayangnya, masyarakat kita rupanya sudah kadung kebal dan, lagi-lagi kehilangan sense of crisis. Sehingga pornografi yang nyata-nyata ada di hadapan tidak lagi dianggap sebagai sebuah ancaman yang membahayakan. Apalagi banyaknya persoalan yang mengungkung telah mengalihkan perhatian mereka untuk memperdulikan permasalahan ini. Seolah, saat ini tak ada yang lebih penting selain bagaimana menyelesaikan masalah politik dan ekonomi, tok. Sementara kerusakan akhlak dan kegoncangan struktur sosial menjadi agenda yang ke sekian untuk mendapat perhatian dan mereka pecahkan. Toh, seperti yang dikatakan di awal tadi, kebanyakan berpendapat, bahwa memberangus pornografi adalah sebuah utopia, karena faktanya pornografi dan erotisme memang inhern dengan sejarah kehidupan manusia.

Jelas, ada kerancuan berpikir di sini. Sekaligus tergambar keputus asaan yang mendalam pada diri masyarakat, sehingga akhirnya memilih untuk bersikap fatalis seraya ‘menerima’ pornografi sebagai sebuah kewajaran. Padahal banyak fakta yang menunjukkan, betapa besar bahayanya jika kita membiarkan hal ini berlarut-larut. Bukankah pornografi yang bertanggungjawab atas terjadinya dekadensi moral di tengah-tengah masyarakat kita ? Merebaknya seks bebas di kalangan remaja yang secara otomatis meningkatkan angka kasus aborsi dan MBA yang rentan perceraian, prostitusi di kalangan ABG, serta meningkatnya kasus-kasus pelecehan dan kekerasan seksual terbukti banyak diilhami oleh tayangan-tayangan yang sarat pornografis di media-media cetak maupun elektronik.

Beberapa hasil survey menunjukkan angka yang cukup mencengangkan bagi orang-orang yang masih memiliki kebersihan jiwa dan kejernihan akal. Pada tahun 2000, di Jakarta misalnya, sekitar 42 % dari 117 responden remaja yang disurvey secara acak (usia antara 13-20 tahun) mengaku pernah berhubungan seks dan 52 % di antaranya masih aktif. Sementara, pada tahun yang sama, Khofifah Indarparawangsa (sebagai Menteri Peranan Wanita saat itu) pernah mengungkap bahwa 6 dari 10 remaja di Surabaya sudah tidak perawan lagi ! (Republika, 16 Pebruari 2000). Angka yang fantastis juga terlihat dari data yang dimuat Republika tanggal 27 Pebruari 2000, bahwa kasus aborsi di Indonesia tercatat kurang lebih 2 juta kasus tiap tahunnya, dimana 750 ribu di antaranya dilakukan oleh remaja.

Kasus-kasus seperti ini, ternyata tidak hanya terjadi di kota metropolitan saja. Hasil survey yang relatif sama ternyata terjadi pula di daerah, seperti halnya Bandung dan Minang. Padahal, Minang misalnya selama ini dikenal sebagai prototipe masyarakat bersendikan adat yang sangat kuat. Sementara itu, kasus-kasus kejahatan seksual yang dilatarbelakangi pornografisme juga tak terhitung banyaknya. Satu di antaranya adalah kasus pemerkosaan yang berujung pembunuhan atas seorang mahasiswi IPB yang terjadi tahun 1994 lalu. Adalah Sofyan (20 th), sang pelaku, mengakui bahwa niat bejat itu muncul setelah dia menonton Gigolo in Murder yang bisa diduga isinya sarat dengan pornografisme.


Apa Yang Salah ?


Ada yang penting dicermati dari catatan analisa hasil survey tadi. Rata-rata mereka menyebut peran media massa sebagai penyebabnya. Betapa tidak, media massa-lah yang secara simultan dan demonstratif menstimulus naluri seksual masyarakat (terutama remajanya) melalui tayangan-tayangan mereka, sehingga mau tidak mau naluri seksual tadi mudah terbangkitkan menuntut pemenuhan. Sementara di sisi lain, lemahnya pemahaman dan penghayatan terhadap ajaran agama (baca : ketaqwaan individu) sudah demikian menipis sejalan dengan derasnya arus sekularisasi yang -sadar atau tidak- justru mulai diadopsi menjadi ‘agama baru’ oleh mayoritas masyarakat kita sekaligus menjadi landasan pengaturan kehidupan mereka yang jelas-jelas sangat kapitalistik ini. Akibatnya, wajar jika mereka tidak lagi memiliki standar yang jelas tentang nilai kebenaran, karena sekularisme kapitalistik hanya menjadikan nilai manfaat sebagai standar baik-buruk. Sementara kita tahu, bahwa pandangan manusia tentang nilai manfaat itu sendiri juga sangat relatif.


Adapun dalam konteks pornografi, kondisi ini menyebabkan tidak adanya barrier dan pengendali yang ampuh bagi kemunculan dorongan stimulan seksual yang datang bertubi-tubi, sehingga merekapun lantas melampiaskannya dengan cara-cara yang miskin dari aturan dan norma, laiknya binatang; menghalalkan segala cara ! Hal ini membuktikan, bahwa sekularisme adalah biang segala kerusakan, karena sekularismelah yang telah melahirkan banyak paham dan gaya hidup ‘miring’, seperti halnya permisifisme, liberalisme, materialisme dan hedonisme.

Inilah fakta yang terjadi hingga saat ini yang semestinya segera diantisipasi secepat mungkin. Tentu saja dengan solusi yang mengarah pada penyelesaian menyeluruh dan mendasar, bukan hanya sekedar solusi praktis yang tak lebih dari cara tambal sulam seperti yang selama ini banyak disodorkan. Dalam hal ini, tentu kita tidak bisa memandang persoalan pornografi ini sekedar sebagai persoalan sosial yang terpisah dari aspek kehidupan lainnya seperti persoalan politik, hukum dan ekonomi. Bahkan harus dipahami bahwa kesemua aspek tadi saling kait-mengkait, sehingga penyelesaiannya pun harus kembali kepada sistem. Dalam hal ini, yang paling mendasar adalah melakukan kaji ulang terhadap ‘kelayakan’ sistem yang sedang diterapkan saat ini, baik dari aspek pemikiran-pemikiran mendasarnya maupun realitas fakta penerapan dan hasil-hasilnya. Setelah itu, baru kita akan bisa menentukan langkah apa yang harus dilakukan mulai saat ini ke depan.


Pornografisme, Produk Masyarakat Sekuler


Kalau kita cermati, maka tidak bisa dipungkiri, bahwa kehidupan kita saat ini sedang di dominasi oleh sistem kapitalisme yang tegak di atas pemikiran sekularisme (fashl ad-diin ‘an al-hayat, pemisahan agama dari urusan-urusan kehidupan). Berdasarkan pemikiran ini manusia dianggap memiliki wewenang mutlak untuk membuat aturan-aturan kehidupan sesuai dengan interpretasi mereka terhadap makna hidup dan makna kebahagiaan yang ingin diraihnya. Sehingga, dari sini saja sebenarnya sudah nampak, betapa rusaknya asas kehidupan kita saat ini, dan betapa rapuhnya sistem hidup yang dibangunnya. Serapuh pemaknaan hakekat kehidupan dan kebahagiaan oleh rasionalistas manusia yang pasti sangat relatif itu ! Wajarlah jika pada faktanya kapitalisme hanya melahirkan bentuk kehidupan yang carut marut, dimana bentuk-bentuk dan aturan main interaksi di antara manusia hanya disandarkan pada asas manfaat yang memang menjadi standar baku penilaian baik-buruknya amaliyah mereka.

Oleh karena itu, tatkala kita kembali melihat fakta ‘merajalelanya’ pornografi, sebenarnya tidak pas kalau kita hanya menunjuk media massa sebagai satu-satunya pihak yang bertanggungjawab. Karena liberalisasi media massa hanyalah salah satu produk bermasalah saja dari segudang produk bermasalah yang dihasilkan dari sistem hidup yang rusak. Dengan kata lain, ternyata sistem dan perangkat hukum yang adalah yang memungkinkan untuk tumbuh suburnya praktek-praktek seperti itu, bahkan untuk kemaksiatan-kemaksiatan lainnya, tanpa ada kekuatan untuk mencegah apalagi memberangusnya.

Di sisi lain, sense of crisis masyarakatpun sudah demikian memudar akibat menguatnya paham individualisme (budaya elu-elu gue-gue) yang menjadi derivasi dari paham sekularisme tadi. Sehingga dengan fakta-fakta seperti ini, layakkah kita tetap berharap agar masalah pornografi ini terselesaikan dengan tuntas, sementara sistem dan perangkat hukum yang terlahir dari sekularisme yang rapuh ini masih kita pertahankan ?


Islam Punya Solusi

Jika kita tengok sejarah, maka kita akan melihat, bahwa ketika sistem Islam diterapkan secara purna dan konsisten, masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang sangat ‘bersih’ dan maju. Ketinggian peradaban dan kemajuan yang pesat di bidang iptek menjadi ciri yang melekat yang menjadikan masyarakat ini menjadi berbeda dengan umat-umat lain pada masa itu. Sementara itu, sejarah juga mencatat, bahwa selama 13 abad sistem Islam tegak, hanya sedikit kasus-kasus kriminal yang terjadi. Untuk kasus pencurian yang berakhir dengan penerapan sanksi potong tangan misalnya, dalam kurun waktu 13 abad itu tercatat hanya terjadi 200 kasus saja (Lihat Islam, Politik dan Spiritual karangan Hafidz Abdurrahman, hal. 23). Hal ini niscaya, jika mengingat Islam saat itu benar-benar tampil dengan jati dirinya yang asli sebagai sebuah IDEOLOGI (mabda’), dimana dia tegak di atas asas yang kuat yakni aqidah yang keabsahannya dapat dibuktikan secara akal, dan terpancar dari aqidah itu aturan kehidupan (nidzham al-hayat) yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan hakiki karena berasal dari Dzat Yang Maha Menciptakan dan Maha Adil, yakni Allah SWT.

Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki seperangkat aturan yang mengatur seluruh bentuk interaksi yang terjadi di antara manusia, baik yang berkaitan dengan aspek politik, hukum, ekonomi, sosial, hankam, dan sebagainya. Aturan-aturan inilah yang sekaligus berfungsi sebagai metoda meraih tujuan tertinggi masyarakat berupa terjaganya jenis manusia, akal, kehormatan, jiwa, pemilikan individu, agama, keamananan serta terjaganya kewibawaan dan eksistensi negara. Aturan ini pula yang menjadi standar baku baik-buruk, benci-ridha bagi seluruh masyarakatnya. Hanya saja, tujuan-tujuan tersebut akan bisa diraih manakala seluruh aturan tadi diterapkan, mengingat sifat aturan Islam yang sistemik dan holistik.

Dalam sistem sosial Islam misalnya, ada beberapa prinsip yang harus dipahami oleh setiap individu masyarakat, seperti aturan tentang batasan aurat, keharusan menjaga pandangan, larangan mendekati zina (apalagi berzinanya), larangan adanya percampurbauran antara kehidupan laki-laki dan wanita, dan lain-lain. Adapun secara praktis, jaminan pelaksanaan aturan tersebut diatur dengan diterapkannya sanksi (uqubat) yang tegas dan tidak pandang bulu atas pelaku pelanggaran oleh pihak negara. Dimana dalam pandangan Islam, sanksi tersebut berfungsi sebagai pencegah dan sekaligus penebus. Sebagai pencegah, karena beratnya ancaman hukuman akan membuat orang berpikir seribu kali sebelum melakukan kejahatan. Sebagai penebus, karena seseorang yang bersalah dan kemudian dihukumi dengan hukum Islam sesuai dengan jenis kesalahannya, maka hukumannya itu akan menjadi penebus dosa bagi dirinya di akhirat kelak. Sebagai contoh, perzinahan maupun faktor-faktor yang bisa mengarah pada terjadinya praktek perzinahan (termasuk pornografi dan erotisme) di dalam Islam sama sekali tidak diberi peluang untuk tumbuh subur, yakni dengan ditetapkannya sanksi yang sangat berat bagi para pelakunya. Dalam kasus perzinahan ini misalnya, pelaku yang belum pernah menikah akan dihukum dengan hukuman jilid (dicambuk) dengan 100 kali cambukan, sementara pelaku yang pernah menikah dihukum rajam hingga mati.

Beratnya ancaman hukum Islam seperti itulah yang akan menjadi pencegah bagi merebaknya praktek perzinahan di dalam masyarakat, sekaligus dipastikan akan menjadi penebus dosa bagi para pelakunya. Sehingga wajar jika terjadi dalam sejarah Islam pelaku perzinahan (seperti Al-Ghamidiyah dan Ma’iz) justru dengan suka rela meminta diberlakukan hukuman rajam atas diri mereka sendiri oleh Rasulullah SAW selaku qodli dan kepala negara pada saat itu. Padahal, jika saja mereka tidak mengakui, maka mereka tidak akan dihukum, karena dalam Islam hukuman zina akan diterapkan jika tuduhan yang disampaikan dipersaksikan kebenarannya oleh empat orang saksi atau didasarkan pada pengakuan si pelaku itu sendiri.

Dengan demikian, nampak bahwa dalam konsepsi Islam negara memiliki peran penting dalam menjaga masyarakat melalui penerapan seluruh aturan Islam tanpa kecuali atas seluruh warga negaranya. Sehingga negara sebenarnya merupakan pilar penting bagi tegaknya sistem Islam. Hanya saja, negara bukanlah satu-satunya pilar penentu yang menjamin (keberlangsungan) tegaknya sistem syari’at Islam, akan tetapi juga harus ditopang oleh terwujudnya ketaqwaan pada individu-individu masyarakat plus butuh adanya kontrol yang kuat dari masyarakat tersebut sebagai pilar penting lainnya.

Hal ini karena, sekalipun diyakini bahwa sistem Islam adalah sistem yang sempurna, maka aspek penerapannya akan menjadi tidak sederhana, apalagi jika kita refleksikan pada konteks masyarakat sekarang, mengingat lagi-lagi masalahnya tertumpu pada masalah minimnya kesadaran ummat ini akan ajaran Islam. Bahkan upaya perang pemikiran (ghazwu al-fikri) yang dilancarkan Barat pasca Perang Salib telah menularkan virus Islamophobia di kalangan umat Islam sendiri, sehingga membuat upaya-upaya penegakkan syari’at Islam justru selalu kandas di kaki mereka.

Oleh karena itu, proses penyadaran umat dengan Islam sebagai sebuah ideologi sebenarnya harus menjadi agenda bersama seluruh kaum muslimin. Dalam hal ini aktivitas da’wah dan budaya amar ma’ruf nahi munkar harus dihidupkan kembali, agar masyarakat senantiasa terjaga kebersihannya. Tentu hasil yang maksimal hanya akan diraih manakala kita menempuh jalan yang sama yang ditempuh oleh Rasulullah SAW ketika beliau mengubah kondisi masyarakat Arab jahili menjadi masyarakat yang Islami. Dengan cara itu,Insya Allah, seluruh permasalahan yang dihadapi kaum muslimin saat ini dan manusia secara keseluruhan akan segera terselesaikan, termasuk di dalamnya masalah pornografi. Sehingga dengan demikian, memberangus pornografi jelas bukan utopi !

---------------------------

Tidak ada komentar: