GIZI BURUK TAK LAYAK DITOLERANSI
(Retrospeksi jelang Hari Gizi)
Oleh : Siti Nafidah
Setelah digegerkan program antifilariasis bermasalah, Jawa Barat masih harus berkutat dengan berbagai PR besar yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang pada anak-anak di bawah usia lima tahun (balita). Menurut data Dinkes Provinsi Jabar, dari 3.536.981 anak balita yang ditimbang melalui kegiatan posyandu, 380.673 orang di antaranya (10,8%) termasuk dalam kategori gizi kurang, dan 35.723 anak di antaranya (1,01%) divonis menderita gizi buruk (pikiranrakyat online, 25/10/09).
Jumlah ini tentu akan jauh lebih besar jika mengingat tidak semua anak akrab dengan posyandu. Terlebih, tingkat validitas data yang dimiliki pemerintah terkadang memunculkan banyak pertanyaan. Selain hanya mampu menggambarkan puncak gunung esnya saja, data yang dimiliki juga sering tidak sinkron dengan data yang dimiliki daerah di bawahnya. Sebagai contoh, jika Dinkes Provinsi Jabar menyebut balita penderita gizi buruk di Jabar ada sekitar 35.723 orang, Dinkes Kota Bekasi malah mendeteksi jumlah balita penderita gizi buruk di wilayahnya mencapai 62.826 orang atau 0,5 % dari populasi balita di wilayah tersebut (Antara/FINROLL News).
Lepas dari data mana yang benar, fakta merebaknya gizi buruk memang tak bisa dinafikan keberadaannya dan sudah seharusnya mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Karena selain menjadi aib bangsa, juga bersifat emergency karena menyangkut ‘wajah’ generasi di masa depan. Terlebih faktanya, yang menjadi korban bukan hanya balita saja, tetapi juga anak-anak dan orang dewasa.
Sayangnya, hingga saat ini pemerintah masih berlindung di balik konsep “batas yang masih ditoleransi dari penderita gizi buruk”, yakni 1 % dari populasi. Konsep ini setidaknya akan memberi celah bagi pemerintah untuk bersikap abai terhadap tanggungjawab mereka untuk menjamin kesejahteraan seluruh rakyat, tak terkecuali kalangan balita.
Gizi Buruk dan Potret Kemiskinan
Tentu tak semua setuju jika kasus gizi buruk langsung dihubungkan dengan buruknya kondisi sosial ekonomi penderita. Karena faktanya, tak sedikit kasus gizi buruk justru terjadi pada anak-anak berlatar belakang ekonomi menengah ke atas. Dalam dunia kesehatan setidaknya dikenal 2 istilah, yakni malnutrisi primer dan malnutrisi sekunder. Malnutrisi primer biasanya disebabkan karena masalah ekonomi, rendahnya pengetahuan, dan kurangnya asupan gizi. Sedangkan malnutrisi sekunder disebabkan karena adanya gangguan pada fungsi dan sistem tubuh, baik karena penyakit maupun karena kurangnya perhatian orangtua atas kebutuhan gizi dan tumbuh kembang anak. Malnutrisi primer sangat dekat dengan masyarakat miskin dan pedesaan, sedangkan malnutrisi sekunder biasanya dekat dengan kehidupan masyarakat perkotaan.
Namun jika dihubungkan dengan realita kehidupan masyarakat Jabar secara keseluruhan, merebaknya kasus gizi buruk –termasuk tingkat pengetahuan yang rendah--nampaknya ekuivalen dengan masih banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hingga akhir Oktober 2009 saja, masih terdapat sekitar 13 persen dari 42 juta jiwa penduduk Jabar yang terkatagori miskin dengan tingkat daya beli yang rendah. Menurut catatan, hingga saat ini, daya beli masyarakat Jabar baru mencapai Rp 623.000 per orang per tahun, sedangkan ‘normalnya’ Rp. 723.000 per orang per tahun. Dengan kenaikan daya beli masyarakat Jabar rata-rata Rp 1.000 per tahun, diperlukan waktu 100 tahun untuk mencapai daya beli normal (kompas.com, 28/10/2009).
Angka di atas tentu akan jauh membengkak jika standar perhitungan garis kemiskinan dan daya belinya dinaikkan. Selama ini Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan standar penghasilan minimal US $1,55 per orang per hari atau sekitar Rp.450.000/bln sebagai ambang batas untuk mengukur apakah seseorang terkatagori miskin, rentan miskin atau tidak. Bayangkan, dengan standar ini, seseorang yang pendapatannya Rp.600.000,- per bulan bisa terkatagori tidak miskin, padahal realitanya, apa yang saat ini bisa dibeli dengan uang Rp.600.000?
Dengan harga beras murah seharga (katakanlah) Rp. 4500,-/kg, bahan bakar gas Rp.13.000,-/tabung kecil, minyak goreng kualitas rendah Rp.9.000/kg, dan harga-harga sembako yang kenyataannya tak murah itu, tentu bisa dihitung kira-kira berapa hari kebutuhan minimal yang bisa dipenuhi dengan uang Rp. 600.000,-. Belum lagi kalau bicara kebutuhan mendasar lain yang nyatanya juga tak bisa didapat secara gratis; air bersih, obat-obatan, listrik, pakaian, sekolah, biaya transportasi dan lain-lain. Sehingga alih-alih berpikir membeli susu dan bahan konsumsi bergizi tinggi lainnya, untuk sekedar memenuhi pangan yang mengenyangkanpun sulitnya minta ampun. Dan kasus seperti ini pastinya tidak hanya dialami oleh 13 % penduduk Jawa Barat saja, melainkan jauh lebih banyak dari itu!
Cuma Potongan Mozaik
Apa yang terjadi di Jawa Barat sesungguhnya hanya potongan mozaik persoalan besar yang dihadapi Indonesia secara keseluruhan. Untuk kasus gizi buruk, data nasional menunjukkan, terdapat 18,4 % anak-anak di bawah usia lima tahun yang mengalami kekurangan berat badan dengan angka pertumbuhan di bawah normal (stunting) sebesar 36,8 % yang merupakan indikator adanya kekurangan nutrisi yang kronis. Sedangkan menurut data badan PBB untuk urusan pangan atau United Nation World Food Programme (WFP), saat ini terdapat sekitar 13 juta anak Indonesia yang mengalami kekurangan gizi dan tersebar di berbagai provinsi (Republika Online). Adapun terkait tingkat kemiskinan, tahun 2008 BPS mencatat ada 15,4% penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan (vivanews.com). Sementara tahun 2009 BPS mencatat jumlah pengangguran meningkat menjadi 35 juta orang.
Sebagaimana sebelumnya, jika asumsi yang digunakan dalam kalkulasi berbeda, maka data-data tingkat nasional diatas pun akan jauh lebih membengkak dari sebelumnya. Misal, standar versi BPS yang 1,55 dollar diganti dengan standar versi world Bank atau FAO yang 2 dollar AS. Demikian pula jika dihubungkan dengan fakta “tidak realistik dan tidak manusiawinya” standar-standar yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan dan kesejahteraan masyarakat, termasuk simplifikasi cara perhitungan pendapatan per kapita yang didasarkan hanya pada nilai rata-rata. Padahal, nilai rata-rata tentu tak dapat menggambarkan kenyataan sesungguhnya sehingga kelayakannya menjadi salah satu indikator pertumbuhan ekonomi dan menjadi alat untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat harus dipertanyakan.
Sebagai contoh, jika seseorang memiliki penghasilan Rp. 100.000/bln dan yang lainnya berpendapatan Rp. 5 juta/bln, dirata-rata pendapatan keduanya adalah Rp. 2,55 jt/bln. Faktanya, keduanya tetap tidak bisa dikatakan memiliki tingkat kesejahteraan yang sama. Bahkan gap sosial dari keduanya jauh sangat lebar. Oleh karenanya, ketika dikatakan ada 13% penduduk miskin dan 87% tidak miskin dengan standar penghasilan per kapita rata-rata sebesar US $ 1,55 per hari sebagai pembatas miskin-tidak miskin, maka realita yang sejatinya miskin pasti jauh lebih banyak lagi, dan peluang untuk meningkatnya kasus gizi burukpun semakin lebar lagi.
Butuh Solusi Sistemik
Dari sini, jelas bahwa kasus gizi buruk tak sesederhana yang dibayangkan. Kasus gizi buruk ternyata bukan hanya menyangkut masalah kesehatan saja, hingga penanganannya hanya melulu bisa dihitung dan dipandang dari sudut pandang kesehatan semata, semisal selesai hanya dengan melakukan program penyuluhan, pemberian gizi tambahan, dll.
Artinya, untuk kasus sefenomenal dan sekompleks ini tentu butuh penyelesaian yang komprehensif dan mengakar. Dan ini bersifat paradigmatic karena, pertama, menyangkut sejauhmana tanggungjawab pemerintah dalam menjamin kesejahteraan tiap-tiap penduduk, individu per individu tanpa kecuali dan bukan kesejahteraan masyarakat secara pukul rata. Dan ini menyangkut kesadaran ruhiyah terkait amanah kepemimpinan dalam mengatur urusan umat yang tidak hanya akan dipertanggungjawabkan di dunia saja tetapi juga di akhirat. Kedua, menyangkut system aturan yang digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan tadi.
Pada dasarnya siapapun pasti sepakat, bahwa Indonesia memiliki modal lebih dari cukup untuk mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyatnya. Kekayaan alam yang demikian berlimpah, sumberdaya manusia yang sangat banyak dan potensial, posisi geografis yang demikian strategis adalah modal besar yang seharusnya menjadikan rakyat dan negeri ini berjaya. Namun kurangnya tanggungjawab pemerintah yang salah satunya nampak dari penerapan kebijakan yang salah kaprah, yakni dengan penerapan system ekonomi liberal kapitalistik, telah menyebabkan potensi yang sedemikian besar itu justru hanya dikuasai dan dinikmati oleh segelintir orang saja, baik para kapitalis lokal maupun kapitalis asing. Selain itu, sistem ini pun meniscayakan hubungan yang terjalin antara penguasa dan pengusaha bagaikan mitra bisnis, sementara hubungan antara penguasa dan rakyatnya tak lebih dari penjual dan pembeli!
Lahirnya UU Pro kapitalis semisal UU Migas, UU Minerba, UU SDA, UU Kelistrikan, adalah secuil contoh kebijakan anti rakyat hasil perselingkuhan dan simbiosis mutualisma yang dilakukan penguasa-pengusaha dalam system ekonomi kapitalistik. Satu pihak, butuh modal untuk melanggengkan kekuasaan, sementara pihak yang lain butuh payung yang melindungi dan melegitimasi keserakahan mereka, bahkan melegalkan perampokan besar-besaran harta milik rakyat oleh mereka. Kasus BLBI dan skandal Bank Century adalah contohnya. Adapun rakyat, dibiarkan meradang dalam kesengsaraan dan menjadi korban bisnis berorientasi pasar. Jadilah rakyat di negeri ini seperti para tikus yang kelaparan, bahkan mati di lumbung padi. Ironis!
Penutup
Seharusnya, para penguasa negeri ini segera sadar, bahwa setiap nyawa rakyat adalah tanggungjawab mereka yang akan jadi sesalan atau malah menjadi sumber kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Dan inilah yang diteladankan Khalifah Umar bin Khathab bagi para pemimpin umat di jaman setelahnya. Pernah suatu malam, beliau sengaja menelusuri jalan di wilayah kekuasaannya hanya karena takut akan pertanggungjawaban di hadapan Allah jika ada jalan yang berlubang dan menyebabkan unta terperosok ke dalamnya.
Bayangkan, jika “keselamatan” seekor unta saja akan dimintai pertanggung-jawaban, apalagi ribuan atau jutaan nyawa yang terancam melayang akibat gizi buruk atau sebab-sebab lainnya. Artinya, tak satu korbanpun yang boleh ditoleransi! Persoalannya adalah, penerapan system kapitalisme memang terbukti meniscayakan hal-hal yang demikian. Sehingga, tak ada alasan bagi kita –terlebih bagi para penguasa sebagai pelayan dan pengurus umat- bersikukuh mempertahankannya.[][]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar