INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Sabtu, 28 April 2012

(Daur ulang tulisan lama, karena masalah yang dihadapi ternyata masih sama...)
Oleh : Siti Nafidah Anshory


Bagi sebagian kalangan, Ujian Nasional bisa jadi menjadi mimpi buruk. Tidak hanya siswa, guru bahkan orangtuapun tak kalah stress menghadapi momen penentuan yang satu ini. Jauh-jauh hari sebelum UN dilangsungkan, aura 'kepanikan' sudah terasa dimana-mana. Istighasah dan dzikir bersamapun menjadi ritual yang seolah wajib dilakukan oleh beberapa sekolah. Dan puncaknya, akan terlihat nanti terlihat saat hasil diumumkan. Para siswa yang lulus, secara ekspresif akan meluapkan kegembiraan mereka dengan berbagai cara. Sementara yang ‘gagal’, akan larut dalam histeria, seakan-akan segala harapan hidup hilang karenanya. Penghalusan istilah ‘tidak lulus’ dengan kata ‘mengulang’, rupanya tak berarti apapun untuk mengurangi kesedihan mereka.

Ujian Nasional memang selalu menyisakan cerita. Namun dari tahun ke tahun, ceritanya nyaris sama. Kebocoran soal dan kunci jawaban, tradisi konspiratif antar institusi pendidikan di daerah demi saling menjaga citra, dan cerita-cerita miring lainnya selalu mengiringi perhelatan tahunan bernama Ujian Nasional (UN).

Sayangnya, seperti biasa, catatan-catatan miring seputar UN inipun cuma menjadi bahan perdebatan sesaat, yang satu dua hari menjadi headline berita di berbagai media, namun kemudian berakhir dengan sendirinya tanpa meninggalkan makna apa-apa. Setelah itu, perhatian publikpun kembali disibukkan oleh hingar-bingar persoalan politik yang disuguhkan media. Seolah-olah tak ada masalah dengan dunia pendidikan kita. Padahal, ada hal besar yang sedang dipertaruhkan; masa depan pendidikan dan wajah generasi penerus bangsa. Realitas inilah yang memunculkan pertanyaan, seberapa besar sesungguhya arti pendidikan bagi mereka?

Tak bisa dipungkiri, bila selama ini kita terbiasa disibukkan oleh hal-hal yang bersifat artifisial, seremonial, dan kebiasaan basa-basi lainnya. Terkait pendidikan misalnya, kita selalu terobsesi dengan ukuran-ukuran kuantitatif dibanding sibuk memikirkan soal kualitas. UN adalah salah satu buktinya. Meski UN dimunculkan dengan dalih sebagai alat ukur untuk menilai tingkat keberhasilan pembangunan di bidang pendidikan, namun UN terlanjur tampil bak eksekutor. Ironisnya, standarisasi lewat UN ini dilakukan dengan mengabaikan kenyataan betapa masih lebar kesenjangan mutu penyelenggaraan pendidikan di negeri ini. Tidak saja antar pusat dan daerah, bahkan di satu daerah hingga di satuan unit sekolah sekalipun. Padahal, bagaimana bisa, sekolah-sekolah dengan fasilitas terbatas yang senyatanya mayoritas harus distandarisasi dengan standar yang sama dengan sekolah-sekolah favorit yang minoritas? Bagaimana bisa, sekolah-sekolah dengan mutu guru seadanya bisa bersaing dengan sekolah-sekolah unggulan dengan mutu guru terpilih sebagaimana yang galibnya ada di kota-kota besar? Ibarat anak kecil dipaksa bertanding dengan atlit profesional, mana bisa menang?

Sekalipun filosofinya memang bukan untuk kalah-menang, sekali lagi, UN kadung dipahami sebagai eksekutor. Wajar jika prosesi UN selalu identik dengan kepanikan dan stress berjamaah, yang faktanya, tak jarang memunculkan kenekadan untuk melakukan hal yang tak sepatutnya dilakukan, seperti kecurangan massal dll.
Mirisnya, semua ini tak jarang melibatkan para guru, institusi sekolah, bahkan pihak pemda yang tak mau kehilangan muka jika tingkat kelulusan di daerahnya tak sesuai dengan harapan. Alih-alih mampu meningkatkan mutu pendidikan, kondisi ini akhirnya justru mencederai tujuan pembangunan di bidang pendidikan itu sendiri. Pertanyaannya, apa yang sebenarnya dimaui pemerintah dengan penyelenggaraan UN?

Sayangnya, inilah wajah dunia pendidikan kita saat ini. Ketidakjelasan tujuan dan strategi pendidikan serta kesemrawutan pelaksanaannya pun menjadi persoalan paradigmatik yang menghambat pencapaian target ‘sukses hakiki’ di bidang pendidikan. Padahal, sejatinya aspek pendidikan merupakan salah satu pilar utama pengokoh bangsa. Karena melalui pendidikanlah generasi mumpuni penerus bangsa bisa dipersiapkan.

Betul bahwa secara tekstual visi pendidikan nasional sudah ideal. Bahkan dalam UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3, disebutkan “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Hanya saja, realitanya jauh panggang dari api. Paradigma sekularisme kenyataannya begitu kental mewarnai dunia pendidikan di negeri ini. Selain berakibat menjauhkan pendidikan dari arah dan tujuan membangun kepribadian mulia sebagaimana yang diharapkan, dominasi paradigma sekularisme juga telah melemahkan fungsi-fungsi unsur pelaksana pendidikan, mulai dari unsur instrument pendidikan, keluarga, hingga masyarakat.

Lemahnya instrumen pendidikan tercermin dari kacaunya kurikulum dan disfungsi guru dan sekolah. Kacaunya kurikulum, nampak dari tidak proporsionalnya bobot materi pelajaran yang tidak nyambung dengan arah dan tujuan pendidikan. Minimnya jam pelajaran agama dan dikotomi sekolah agama versus sekolah umum adalah buktinya. Alih-alih mampu menghasilkan manusia cerdas-pandai-bertakwa kepada Sang Pencipta, output dari sistem rusak ini hanya mampu menghasilkan orang-orang pandai tapi minus akhlak dan spiritualitas, serta orang-orang cerdas yang cenderung materialistik dan individualistik. Maraknya tawuran pelajar dan mahasiswa, seks bebas di kalangan remaja, kejahatan kerah putih, dan lain-lain hanyalah secuil fakta bagaimana produk yang dihasilkan dari pendidikan sekularistik ini.

Di samping soal proporsi, beratnya bobot materi pelajaran dan padatnya jadwal kegiatan sekolah berikut tugas-tugas harian pun menjadi catatan tersendiri atas lemahnya aspek kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Selain membuat para siswa kewalahan mencerap materi pelajaran secara maksimal untuk bisa membangun kepribadian dan keahlian, kondisi ini juga membuat tradisi ‘bersekolah’ menjadi sekedar rutinitas yang dijalani tanpa target, bahkan menjadi beban yang sangat melelahkan. Untuk beroleh nilai bagus, menyontek dan menjiplak pun menjadi hal yang diwajarkan. Sementara bagi pihak sekolah dan pemerintah, strategi penilaian melalui ulangan dan ujian pun –termasuk penyelenggaraan UN-- akhirnya tak lebih dari ‘survey angka-angka’ yang tak lagi mampu memaknai keberhasilan proses pendidikan yang sesungguhnya diinginkan.

Selain kurikulum, lemahnya instrument pendidikan juga nampak dari rendahnya kualifikasi guru. Kini jarang ditemui cerita, ada sosok guru ideal yang bukan sekedar menjadi ‘pengajar’, melainkan sebagai ‘pendidik’ layaknya ‘bu Muslimah’ dalam cerita Laskar Pelangi. Bagi sebagian guru, aktivitas mengajar tak lebih dari sebuah pekerjaan mentransfer ilmu, bukan mentransfer pemahaman, apalagi mentransfer nilai dan kepribadian. Rupanya, idealisme para guru kadung tergadai oleh sulitnya persoalan dan persaingan hidup yang harus dihadapi. Sampai-sampai upaya pemerintah mengup-grade mutu pendidikan melalui program sertifikasi guru pun, dibaca oleh kebanyakan dari mereka sebagai ‘jalan pintas’ beroleh gaji lebih pantas. Tak heran jika ada saat dimana para guru lebih sibuk mengikuti seminar demi selembar sertifikat daripada memilih sibuk mengajar. Dan ketika saat UN tiba, tak ayal mereka pun ikut ketar-ketir akan buah pekerjaannya.

Begitupun dengan sekolah, mayoritas tak mampu menampilkan diri sebagai instrument pendidikan yang ideal. Minimnya fasilitas di kebanyakan sekolah akibat kurangnya perhatian pemerintah sebagai penyelenggara utama pendidikan yang salahsatunya tercermin dari kebijakan anggaran untuk pendidikan, membuat budaya belajar sangat sulit ditumbuhkan. Disisi lain, orientasi bisnis yang dilegalkan oleh undang-undang dan kian meracuni sebagian sekolah berkatagori unggul, sedikit demi sedikit telah mengikis idealita tentang kemuliaan tujuan pendidikan. Hingga lagi-lagi, prestasi pendidikan pun hanya dinilai dengan angka-angka. Dan ruh kapitalisme, tanpa sadar terinternalisasi ke dalam jiwa anak didik, yang dibiasakan berasik-masyuk dengan kebanggaan diri yang menumpulkan rasa empati.

Semua kondisi ini lantas diperparah dengan lemahnya fungsi keluarga dan masyarakat sebagai dampak penerapan sistem sekular. Tengok saja, tak sedikit orangtua yang dengan sadar mengabaikan kewajiban mendidik anak-anak mereka. Jikapun tersisa rasa tanggungjawab, paradigma sekuler dan materialistik telah membuat kebanyakan dari mereka kadung memandang anak sebagai ‘investasi ekonomi’ yang mereka didik semata untuk tujuan-tujuan ekonomi. Parahnya, unsur masyarakat sekuler pun menjadi pengukuh bagi semua kekacauan ini. Masyarakat seperti ini justru intens mengajari anak dengan berbagai pola kekerasan, pornografi-pornoaksi, seks bebas, narkoba, dan hal-hal negatif lain, termasuk menghalalkan berbagai kecurangan saat pelaksanaan UN.

Atas semua hal ini, kiranya perlu ada perenungan kembali soal paradigma pendidikan yang diadopsi bangsa ini. Pihak pemerintah seharusnya berpikir, bahwa sekularisme jelas tak layak dipertahankan sebagai asas, kecuali kita berharap kondisi bangsa terus terperosok dalam kehancuran. Begitupun, berbagai kebijakan yang menjadi derivasi asas sekularisme harus segera dicampakkan karena terbukti telah melahirkan berbagai kekacauan dan menjauhkan bangsa ini dari tujuan mulia pendidikan. Yakin, hanya dengan paradigma Ilahiyah sebagai asasnya, dan dengan sistem pengaturan yang terpancar dari asas itu, kebijakan pendidikan dipastikan akan mengarah pada tujuan ideal yang diharapkan. Yakni bukan saja membentuk output pendidikan yang mumpuni di bidang sains, tetapi juga paham tentang kehidupan sekaligus memiliki kepribadian khas dan kuat yang akan mampu mengubah karakter ’bangsa budak dan pengekor’ ini menjadi bangsa yang mandiri dan siap menjadi negara nomor satu. Dan ini, sama sekali tak mustahil. Karena sejarah keemasan masa lalu telah gamblang membuktikannya.[][]

Sabtu, 14 April 2012

RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) Bertentangan dengan Islam, Berbahaya dan Merusak


Sumber : www.hizbut-tahrir or.id

[Al Islam 602] Saat ini di DPR sedang kencang dibahas RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) yang diusulkan pemerintah. Sejak awal RUU KKG itu menuai protes, penentangan dan penolakan dari berbagai elemen termasuk ormas-ormas muslimah. RUU KKG itu dinilai bertentangan dengan Islam, berbahaya dan merusak bagi masyarakat.

Aspek Filosofis dan Ideologis

Ide KKG sebenarnya merupakan ide yang stereotype barat sebagai perlawanan atas penindasan perempuan di barat (Eropa). Penindasan itu dianggap akibat adanya perbedaan/pembedaan dan ketaksetaraan perempuan dan laki-laki. Untuk menghilangkan penindasan itu, laki-laki dan perempuan harus setara dan disamakan, dan tidak boleh ada diskriminasi. Dan begitulah baru dianggap adil. Ini sama persis dengan pemahaman keadilan ala marxist.

Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan dipengaruhi oleh sudut pandang patriarkhi dalam aturan dan hukum. Maka aturan dan hukum harus dibuat dengan sudut pandang perempuan agar terealisasi KKG. Keterlibatan perempuan menjadi keharusan sekaligus ukurannya. Jika partisipasi perempuan itu sama dengan laki-laki barulah dianggap benar-benar setara dan adil.

Dalam perspektif gender, penindasan atas perempuan juga dipengaruhi oleh pandangan budaya dan agama yang dianggap patriarkhis. Maka pengaturan relasi laki-laki dan perempuan dalam semua aspek harus dijauhkan dari ketentuan agama itu dan harus diserahkan kepada manusia dengan partisipasi perempuan yang setara dengan laki-laki. Disinilah, akidah sekulerisme dan sekulerisasi menjadi pra syarat mutlak terealisasinya KKG. Jadi secara filosofis dan ideologis, ide gender dan KKG itu tampak jelas bertentangan dengan Islam.


Menyontek dan Mengekor Barat

Indonesia telah meratifikasi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) dan disahkan menjadi UU No. 7/1984. Inilah salah satu alasan yuridis di balik upaya legalisasi RUU KKG.

Sesi ke-39 Sidang Komite CEDAW PBB pada 23 Juli - 10 Agustus 2007, meminta pemerintah segera menuangkan konvensi itu dalam hukum nasional. Indonesia didorong untuk melakukan studi banding tentang kodifikasi dan penerapan tafsir progresif terhadap hukum Islam.

Maka disusunlah RUU KKG itu. Rujukannya adalah dokumen CEDAW, Beijing Platform For Action (BPFA) dan Millenium Developments Goals (MDGs), dsb. Paradigma, istilah, definisi dan kalimat-kalimatnya banyak menyontek dokumen-dokumen itu. RUU KKG ini hanyalah perpanjangan dari proyek barat dalam rangka imperialisme.


RUU KKG Menyerang Islam dan Berbahaya

Pasal 1, “Kesetaraan Gender adalah kesamaan kondisi dan posisi bagi perempuan dan laki-laki untuk mendapatkan kesempatan mengakses, berpartisipasi, mengontrol dan memperoleh manfaat pembangunan di semua bidang kehidupan”. Sedangkan “Keadilan Gender adalah suatu keadaan dan perlakuan yang menggambarkan adanya persamaan hak dan kewajiban perempuan dan laki-laki sebagai individu, anggota keluarga, masyarakat dan warga negara”.

Disitulah, RUU ini memandang Islam diskriminatif terhadap perempuan. Aturan syariah seperti terkait pakaian, larangan perempuan menjadi pemimpin negara/penguasa, tanggung jawab keibuan, relasi suami istri, perkawinan, perwalian, nusyuz, ketentuan waris dan lainnya dianggap diskriminasi dan tak adil atas perempuan. Islam dilekatkan bias patriarkhis, bahkan banyak ayat dan hadits dituduh bermuatan misogynist (membenci wanita). Spirit RUU ini pada hakikatnya menjadi gugatan terhadap Islam.

Pasal 3 huruf f menyatakan akan menghapus segala praktik yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin atau berdasarkan peranan stereotype bagi perempuan dan laki-laki. Artinya, peran khas laki-laki sebagai suami dan pemimpin bagi wanita dan peran khas perempuan sebagai isteri, ibu dan pengatur rumah tangga adalah pembakuan peran (tidak fleksibel) sehingga harus dihapus.

RUU ini melarang perbuatan yang memiliki unsur pembedaan, pembatasan, dan/atau pengucilan atas dasar jenis kelamin tertentu (Bab VIII, pasal 67). Siapa saja yang melaksanakan ketentuan syariah dalam masalah waris, aqiqah, kesaksian, melarang perempuan menjadi khatib jumat, wali nikah, imam shalat bagi makmum laki-laki, dan melarang nikah beda agama maupun sesama jenis, dsb, berarti telah melanggar Bab VIII, pasal 67 dan Bab III pasal 12 RUU KKG ini.

Pasal 8 huruf b menyatakan, setiap warga negara berhak mendapatkan perlindungan melalui peraturan yang tidak diskriminatif gender. Jelas ini menyasar peraturan bernuansa syariah. Komnas Perempuan pada September 2010 menganggap ada 189 perda diskriminatif. Di antaranya mengenai khalwat di Aceh, pemberantasan pelacuran di Jawa Barat, keharusan berpakaian Muslim dan Muslimah di Bulukumba, serta pelarangan keluar malam bagi perempuan di Tanggerang.

Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesempatan yang sama dan perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan, hak ekonomi dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan, perkawinan dan hubungan keluarga.

Keadilan pada hak ekonomi meniadakan perlunya izin suami/keluarga bagi perempuan untuk bekerja apalagi di malam hari. Terpenuhinya hak reproduksi mencakup ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi. Perempuan/remaja perempuan harus dijamin mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk kemudahan mendapatkan kontrasepsi untuk mengurangi tingkat aborsi tidak aman dan kehamilan. Pasal 4 ayat 2 mengharuskan terpenuhinya kuota 30% dalam hal keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan internasional.

Pasal 20 mencantumkan sanksi administratif atau pemberian disinsentif bagi pihak yang mencederai komitmen PUG. Bahkan pasal 21 ayat (2) menentukan bila terjadi tindak pidana yang dilatarbelakangi diskriminasi gender, pidananya dapat ditambah sepertiga dari ancaman maksimum pidana yang diancamkan dalam KUHP dan UU lainnya. Lebih parah lagi, pasal 70 RUU ini memberikan ancaman pidana penjara bagi setiap orang yang sengaja melanggar pasal 67. Dengan pasal ini, penjara nantinya akan dipenuhi oleh kaum Muslimin yang melaksanakan ketentuan syariah yang dianggap tidak sejalan dengan ide gender dan KKG yang diusung RUU ini.


RUU Merusak

RUU ini nantinya akan bisa merusak kaharmonisan keluarga bahkan bisa menghancurkan bangunan masyarakat. Perempuan didorong lebih banyak berkiprah di ruang publik dan berkarir yang akan menambah beban bagi perempuan sendiri. College Eropa Neuropsychopharmacology tahun 2011 dalam studinya menemukan bahwa depresi perempuan di Eropa naik dua kali lipat selama 40 tahun terakhir karena ‘beban luar biasa’ akibat kesulitan menyeimbangkan peran mengurus rumah, merawat anak dan karir.

Dibalik ide KKG mengintai kerakusan nafsu bisnis. Bernard Lewis dalam bukunya, The Middle East mengungkapkan, “Faktor utama dalam emansipasi perempuan adalah ekonomi …. kebutuhan tenaga kerja perempuan.” Nicholas Rockefeller -seorang penasihat RAND- menyatakan tujuan kesetaraan gender adalah untuk mengumpulkan pajak dari publik 50% lebih untuk mendukung kepentingan bisnis.

Ide KKG mendorong perempuan bebas mengekspresikan diri termasuk dalam pemenuhan seksual. Keharmonisan keluarga terancam. Bangunan masyarakat juga bisa runtuh. Tercatat, saat ini di Inggris hanya 40% anak yang lahir dari pernikahan. Ide RUU ini juga berpotensi melahirkan ancaman masyarakat tua akibat pertumbuhan penduduk minus seperti yang terjadi di Eropa. Akankah kita harus menunggu deretan kejadian seperti itu di Indonesia untuk menolak ide gender dan KKG sekaligus menolak RUU ini yang mengusungnya?


Pandangan Islam

Islam datang mensolusi problem manusia secara umum dengan hukum yang sama berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Kadang solusi hukum itu datang untuk problem yang lahir dari sebagian jenis manusia, baik perempuan atau laki-laki. Dalam konteks ini, Islam membawa hukum yang berbeda-beda sesuai dengan tabiat fitrah perempuan dan laki-laki, dan sesuai dengan posisi masing-masing di dalam jamaah serta peran, fungsi dan status di masyarakat. Perbedaan tersebut diciptakan bukan untuk mendiskriminasikan perempuan tetapi demi harmonisasi peran masing-masing.

Semua aturan yang diberlakukan Allah SWT itu adalah solusi kehidupan sekaligus menjamin keadilan bagi seluruh manusia. Maka Allah melarang untuk iri atas perbedaan itu.

وَلَا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۚ لِّلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبُوا ۖ وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِّمَّا اكْتَسَبْنَ ۚ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِن فَضْلِهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا ﴿٣٢﴾

Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari yang mereka usahakan, dan bagi perempuan ada bagian dari yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu. (QS an-Nisa’ [4]: 32)

Hikmah pembedaan hukum yang berkaitan pada perempuan sejatinya adalah perlindungan terhadap kehormatan dan kesucian perempuan. Penerapan syariah Islam memberikan jaminan harmonisasi keluarga, keutuhan bangunan masyarakat dan kelestarian generasi yang tangguh, bebas dari krisis keyakinan dan moralitas. Semua itu hanya bisa diujudkan dengan penerapan syariah di bawah sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb. []

Minggu, 08 April 2012

Temu Akbar Muslimah Jawa Barat


"Khilafah, model cemerlang bagi kemuliaan dan kesejahteraan perempuan"

Ahad, 8 April 2012, Grha Emerald Bandung.

Alhamdulillah, lebih dr 1500 peserta hadir dalam acara Temu Akbar Muslimah Jabar tadi pagi. Kursi yang disediakan ternyata tak cukup, sehingga sebagian terpaksa harus berdiri atau lesehan dengan alas seadanya. Bahkan Gedung Emerald pun tak mampu menampung peserta, shg sebagian terpaksa berdiri di luar dan di ruang atas yang suasananya tentu berbeda dengan ruang tempat acara berlangsung.

Para peserta datang dr berbagai daerah di Jawa Barat. Mereka datang dengan spirit dan harapan yang sama, yakni menginginkan kemuliaan dengan Islam. Takbir dan teriakan "al mar'ah, turiid khilaafah!" berkali2 terdengar saat acara berlangsung. Semangat Konferensi Perempuan Internasional di Tunis, terasa mengalir ke tengah2 peserta yang datang, makin menguatkan keyakinan bahwa syariah Islam dan tegaknya institusi khilafah adalah jawaban yg dibutuhkan utk menyelesaikan semua persoalan mrk, sekaligus memporakporandakan opini yang terus dibangun media pro kapitalisme bahwa kaum perempuan tak menginginkan penerapan syariah dlm wadah khilafah.

Pasca acara, setelah sholat dan makan, sekitar 50 tokoh mengikuti diskusi terbatas untuk lebih menguatkan semangat sekaligus scr lebih spesifik menggali langkah tindak yang dibutuhkan utk menyebarkan kesadaran ttg urgensi dan kewajiban penegakkan syariah dalam naungan khilafah. Alhamdulillah, para tokoh umat ini sepakat untuk bersungguh2 berjuang di tengah umat dg harapan bisa menjadi jalan datangnya pertolongan Allah yg dijanjikan hanya akan turun pd orang2 yang beriman dan beramal shaleh.

Semoga, Allah swt menolong para pejuang syariah dan khilafah agar menjadi org2 yg senantiasa ikhlas, shabar dan istiqamah. Dan menjaga mrk dg penjagaan yg sempurna, hingga kemenangan dan janji Allah itu datang, atau mati dlm memperjuangkannya...