INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Sabtu, 25 Juni 2011

Seruan Hangat Kepada Kaum Muslim

"KHILAFAH ADALAH TUNTUTAN IMAN, JANJI ALLAH & KEBUTUHAN"

[Al Islam 562, Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id] Sesungguhnya tegaknya Daulah Khilafah Islam merupakan kewajiban syariah yang mengikat atas seluruh kaum Muslim. Melalaikan kewajiban ini merupakan kemaksiatan yang akan mendapatkan azab yang pedih dari Allah SWT. Rasulullah saw. bersabda:

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa saja yang mati, sedangkan di pundaknya tidak ada baiat (kepada Imam/Khalifah), ia mati seperti kematian Jahiliah (HR Muslim).

Baiat itu hanya kepada Imam yaitu Khalifah, bukan kepada yang lain. Maka kewajiban adanya baiat di atas pundak setiap Muslim hanya terjadi saat ada Khalifah.

Kewajiban menegakkan Khilafah ini menjadi penentu sempurnanya pelaksanaan berbagai hukum dan kewajiban lainnya. Tatkala Daulah Khilafah Islam tidak ada seperti saat ini, banyak hukum Islam dan kewajiban terlantar dan tidak bisa dilaksanakan. Padahal kita diperintahkan untuk menerima dan melaksanakan semua hukum islam secara kaffah (Lihat: QS al-Hasyr [59]: 7, al-Maidah [5]: 47-49).

Kaum Muslim yang dirahmati Allah SWT.

Keberadaan Daulah Khilafah sangat penting dan mendesak. Para Sahabat Nabi saw. radhiyal-Lâh ‘anhum lebih mendahulukan untuk membahas dan memilih khalifah yang menggantikan Nabi saw sebagai kepala negara dan mereka menunda pelaksanaan kewajiban mengurus dan memakamkan jenazah Rasulullah saw.

Khalifah Umar ra. menjelang akhir hayatnya memilih enam Sahabat Nabi saw. sebagai Ahl asy-Syûrâ yang bertugas membahas pengganti beliau sebagai khalifah. Mereka hanya diberi batas waktu tiga hari. Jika dalam tiga hari masih ada yang belum bersepakat terhadap seseorang di antara mereka untuk menjadi khalifah maka orang yang tidak sepakat itu harus dibunuh. Khalifah Umar ra. pun menunjuk lima puluh orang dari kaum Muslim untuk melaksanakan tugas membunuh orang (Ahl asy-Syûrâ) yang tidak sepakat itu. Peristiwa ini dilihat dan didengar oleh seluruh Sahabat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Maka ini merupakan Ijmak Sahabat, bahwa di tengah kaum Muslim tidak boleh kosong dari Kekhilafahan lebih dari tiga hari tiga malam.

Ijma’ sahabat itu juga menunjukkan bahwa tegaknya khilafah merupakan al-qadhiyyah al-mashîriyyah bagi kaum Muslim. Yakni perkara amat penting dan mendesak, perkara yang menyangkut perkara hidup dan mati.

Kaum Muslim yang dirahmati Allah SWT.

Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, mengangkat khalifah adalah fardhu kifayah (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftîn, III/ 433; Tuhfat al-Muhtâj fî Syarh al-Minhâj, XXXIV/159). Maka jika ada sebagian kaum Muslim yang berupaya menegakkannya tetapi belum berhasil -meskipun telah berjuang sekuat tenaga- maka tanggung jawab untuk menunaikan kewajiban itu tetap berada di pundak seluruh kaum Muslim.

Khilafah telah dihancurkan oleh Musthafa Kemal beserta Inggris dan negara-negara kafir imperialis lainnya pada 28 Rajab 1342 H (3 Maret 1924). Kini kita sudah berada pada bulan Rajab 1432 H. Ini artinya, telah 90 tahun umat Islam telah hidup tanpa Khilafah. Karena itu, kini aktivitas menegakkan Khilafah bukan lagi merupakan adâ` al-fardh (menunaikan kewajiban), namun sudah merupakan qadhâ’ al-fardh (meng-qadha’ kewajiban). Jadi, masihkah pelaksanaan kewajiban ini akan kita tunda?

Hizbut Tahrir sejak kelahirannya hingga kini terus berjuang menegakkan kembali Khilafah. Namun, sebagaimana kita ketahui, Khilafah belum tegak hingga kini. Oleh karena itu, kami menyeru seluruh kaum Muslim untuk ikut bergabung dalam barisan ini, melangkah bersama dalam perjuangan menegakkan kembali Khilafah!

Wahai kaum Muslim!

Lihatlah kondisi umat saat ini setelah Khilafah diruntuhkan. Umat Islam menderita dalam kungkungan dâr al-kufr dan dicengkeram penguasa antek kafir penjajah. Islam disingkirkan dari kehidupan dan negara. Syariah Islam ditelantarkan, diganti dengan hukum buatan manusia. Sistem ekonomi Islam diabaikan, digantikan sistem ekonomi Kapitalisme yang terbukti menyengsarakan. SDA dan kekayaan milik umat menjadi jarahan kafir penjajah, penguasa zalim, para kapitalis dan kroninya. Wilayah Islam dikerat-kerat menjadi negara-negara kecil yang dikuasai dan dijajah Barat. Pendangkalan akidah, pemurtadan dan Kristenisasi terus terjadi. Sekularisme, pluralisme serta berbagai isme dan ajaran sesat lainnya terus dibiarkan berkembang meracuni umat. Berbagai kemaksiatan dan kemungkaran pun merajalela tanpa ada larangan sama sekali oleh negara. Itu semua menjadi bukti yang amat jelas bahwa keruntuhan Khilafah benar-benar merupakan ummu al-jarâ’im (induk semua kejahatan).

Karena itu, kita harus segera bangkit untuk berjuang menegakkan kembali Khilafah Islam. Kita harus ambil bagian dalam perjuangan mulia ini.

Kaum Muslim yang dirahmati Allah SWT.

Khilafah hanya akan tegak sempurna melalui metode seperti metode Rasulullah saw. Rasul saw melakukan tatsqîf (pembinaan) menggembleng kader-kader dakwah pengemban tugas mulia ini. Beliau juga melakukan tafâ’ul ma’a al-ummah (berinteraksi dengan umat) untuk membangun kesadaran dan opini umum tentang Islam di tengah-tengah umat hingga mereka merindukan tegaknya Islam. Sedangkan untuk mendapatkan kekuasaan, tharîqah (metode)-nya adalah dengan thalab al-nushrah. Meminta pertolongan dari kalangan ahl al-nushrah (orang-orang yang memiliki kekuatan riil)

Langkah ini pula yang ditempuh oleh Hizbut Tahrir dalam tharîqah (metode) dakwahnya. Hizbut Tahrir berdakwah secara fikriyyah (pemikiran) dan siyâsiyyah (politik), tidak menempuh jalan kekerasan (lâ mâdiyyah). Hal ini dilakukan oleh Hizbut Tahrir semata-mata untuk mengikuti sirah Nabi saw. dalam menegakkan Daulah Islam.

Kami mengajak seluruh umat Islam untuk melakukan kewajiban yang paling tinggi ini, yaitu kewajiban mengembalikan hukum-hukum Allah ke pentas kehidupan. Kami menyeru seluruh kaum Muslim dengan seruan yang paling hangat. Marilah kita berjuang dengan mengerahkan segenap daya dan upaya untuk mengembalikan Khilafah Islam ke pentas kehidupan.

Kaum Muslim yang dirahmati Allah SWT.

Rasulullah saw. Juga melakukan thalab an-nushrah dengan menyeru para Ahlul Quwah untuk beriman dan menyerahkan kekuasaan kepada beliau. Seruan itu pun disambut oleh para pemimpin kabilah Aus dan Khazraj di Madinah yang menyerahkan kekuasaan kepada Rasul saw. Inilah tharîqah (metode) dakwah Rasulullah saw. dalam meraih kekuasaan.

Metode ini pula yang diadopsi Hizbut Tahrir. Karena itu, kami pun menyampaikan seruan paling hangat kepada Ahlul Quwwah, para jenderal dan perwira militer Muslim. Jadilah Anda semua kaum Anshar abad ke-15 Hijrah sebagaimana kaum Anshar di Madinah! Berikanlah nushrah kepada Hizbut Tahrir untuk bersama-sama mengumumkan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Dengan itu Anda akan meraih kehormatan dan kemuliaan seperti yang diraih kaum Anshar.

Janganlah Anda menzalimi diri Anda sendiri dengan terus menjadi penjaga sistem kufur dan rezim pengkhianat antek penjajah. Sebab Anda hanya akan mendapat kehinaan di dunia sementara azab yang amat dahsyat di akhirat juga telah menunggu Anda. Na’udzubil-Lâh.

Kaum Muslim yang dirahmati Allah SWT.

Semoga seruan hangat ini benar-benar dapat menggugah kesadaran seluruh kaum Muslim agar segera meraih kemuliannya kembali; juga dapat membulatkan tekad, menguatkan niat dan mengobarkan semangat juang bersama Hizbut Tahrir untuk menegakkan kembali Daulah Khilafah Islamiyah. Sungguh, hari demi hari perjuangan ini terus menunjukkan peningkatan yang mengagumkan. Kita memohon kepada Allah SWT agar segera menurunkan pertolongan-Nya dengan tegaknya Al-Khilâfah ar-Râsyidah ats-tsâniyyah. Amîn, ya Mujîb as-Sâilîn. []

Jumat, 24 Juni 2011

GAGASAN "ISLAM DAN KHILAFAH MINUS POLITIK", ADA APA?


by Siti Nafidah Anshory on Friday, May 14, 2010 at 5:41pm

SAAT INI TAK SEDIKIT ORANG/JAMAAH YANG GENCAR MENYERUKAN KHILAFAH ISLAMIYAH, BAHKAN MENGKLAIM KHILAFAH SUDAH TEGAK, TAPI MEREKA MEYAKINI BAHWA KHILAFAH TERSEBUT BUKANLAH NEGARA ATAU SUATU BENTUK INSTITUSI POLITIK MELAINKAN SEBATAS PIMPINAN SPIRITUAL ATAUPUN PIMPINAN KELOMPOK. MEREKAPUN MEYAKINI, BAHWA RASULULLAH SAW BUKANLAH FIGUR POLITIK. MEREKA BAHKAN ANTI POLITIK. HHMMM...

Menurut saya, pendapat di atas adalah pendapat yang keliru jika dilihat dari beberapa fakta :

Pertama. Islam adalah dien yg sempurna. (QS. Al-Maidah:3). Kesempurnaan Islam nampak dari aturan2nya yang mencakup seluruh aspek kehidupan dan solusi atasnya, termasuk masalah politik (dlm arti ri'ayah syu'un al-ummah).Sehingga, jika ada yang beranggapan, bahwa ada satu aspek kehidupan yang tidak diatur oleh Islam, berarti --sadar atau tidak-- dia telah menganggap bahwai Islam adalah din yang cacat.

Adapun Khilafah adalah aturan Islam terkait politik. Dia merupakan kepemimpinan umum kaum muslimin yang menerapkan Islam secara kaffah baik di dalam maupun terkait luar negeri. Dengan demikian institusi khilafah adalah institusi politik, bukan sekedar kepemimpinan ritual. Landasan tegaknya tentu wahyu. Makanya pilar pertama tegaknya khilafah adalah as-siyadah li asy-Syaari' (kedaulatan di tangan Sang Pembuat Hukum, yakni Allah SWT).

Kedua. Menegakkan seluruh hukum Islam adalah wajib, bahkan menjadi konsekuensi Iman. Dan agar syariat Islam kaffah bs tegak mau tidak mau membutuhkan institusi politik berupa negara, yang dlm Islam (berdasarkan tuntutan wahyu) hrs berbentuk sistem khilafah, bukan sistem yag lain yang tegak bukan atas wahyu melainkan karya intelektual kafir (seperti 'negara bangsa' berikut sistem politiknya seperti sistem republik/demokrasi, kerajaan, federasi, dll). Khilafahlah yang akan menerapkan hukum ekonomi Islam atas seluruh warga negara, mengelola sumberdaya milik umat berdasarkan Islam, menerapkan hukum sanksi (uqubat) islam, menerapkan sistem pendidikan Islam, sistem sosial Islam, hankam Islam, polugri Islam termasuk memobilisir tentara untuk membebaskan negeri2 Islam dari cengkeraman hegemoni asing.

Jika tidak dg negara, lantas dg apa Islam kaffah bisa direalisasikan? Negara memang bukan tujuan, tapi cuma alat. Dalam fikih dikenal kaidah, maa laa yatimmu al-waajib illaa bihii fa huwa waajib. Syari'at tak mungkin tegak tanpa negara, maka keberadaan negara yg menerapkan Islam (bukan asal negara) hukumnya wajib. Dan para ulama salafpun brsepakat ttg kewajiban nasbul khilafah berikut penjelasan2 tentang struktur dawlah, tugas dan wewenangnya yang scr kesluruhan menunjukkan aktivitas politik.

Kalau kita simak Sirah Rasulullah Saw, maka jelas Masyarakat Madinah yang berhasil ditegakkan oleh beliau berbentuk sebuah negara dg fungsi2 sebagai sebuah negara. Jika kita melihat perjalanan dakwah beliau sejak awalpun, mulai dari melakukan pembinaan&pengkaderan, melakukan interaksi dg umat, melakukan perang pemikiran dan pergolakan politik menentang sistem kufur, hingga melakukan lobi2 politik kepada para tokoh kabilah/tokoh umat untuk meraih dukungan dan akhirnya terjadi bai'at aqabah 1&2, semuanya menunjukkan bhw aktivitas blw merupakan aktivitas politik yg mengarah pd terbentuknya sebuah institusi yg akan menerapkan Islam kaffah. Ini terutama bs disimak dalam klausul tawar menawar saat loby atau baiat terjadi.
Selain itu,aktivitas yang Rasul lakukan saat pertama membangun masyarakat madinah, ekspedisi2 militer dan perutusan delegasi ke luar negeri yg dilakukan dan klausul2 piagam madinah bahkan scr gamblang menunjukkan betapa Rosulullah telah melakukan aktivitas politik dalam rangka menjalankan Islam kaffah untuk ri'ayah syu'un al-ummah.

Yang haram itu bukan 'negara'nya, tapi sistem yg dipilih untuk negara tsb. Jika negaranya sekuler, semisal yang menjadikan kedaulatan di tangan rakyat, maka tentu haram. Tapi jika negaranya tegak li ilaa-i kalimatillah, tentu itu wajib.

Pengebirian Islam minus politik adalah dampak sekularisme. Karena sekularisme hakekatnya adalah fashluddin 'an ad-dawlah, yakni memisahkan agama dari daulah. Dari sisi sejarah, sekularisme lahir(di Eropa menjelang Rennaissance) sbg produk kompromi gereja dg kalangan filosof yg kecewa melihat dampak kolaborasi kaum agamawan dengan kaum bangsawan/negarawan dimana agama cm menjadi alat politik untuk menindas & mendzalimi rakyat atasnama agama. Akibatnya muncul imej, politik itu kotor sedang agama itu suci. Politik harus jauh dari agama. Agama harus dijauhkan dari politik. Berikan apa yg menjadi hak raja kepada raja. Berikan apa yg mjd hak gereja kepada gereja. Hingga sekarang, prinsip sekuler ini tetap berlaku di kalangan nasrani. Makanya mereka punya paus yg menjadi simbol spiritualitas dan tak punya kekuatan politik. Sementara negara, mereka atur dengan sistem kapitalisme. Sekalipun nilai2 kristen mengharamkan penjajahan, perampokan, kedzaliman, institusi spiritual yg dipimpin paus ini tak punya gigi untuk menghentikan kedzaliman, penjajahan, perampokan yg dilakukan para pemimpin AS dan negara2 agresor lain yg jg kristen.

Berbeda dg Islam. Khalifah selain sebagai imam shalat (spiritual) juga penanggungjawab urusan umat (politik). Khalifah wajib menjamin kebutuhan pokok dan dasar rakyat terpenuhi dg penerapan sistem ekonomi, pendidikan dll yg mnsejahterakan. Khalifah jg wajib menjaga umat dr hal2 yg merusak akhlaq, menjaga keamanan rakyat, dsb melalui penerapan sistem sosial yg bersih, sistem sanksi yg tegas dan tak pandang bulu. Khalifah juga wajib menjaga kedaulatan negara, menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa, dll dengan menerapkan sistem hankam dan militer yg kuat, polugri yang mandiri dan berwibawa, menetapkan kapan perang dan kapan damai, dg siapa melakukan perjanjian (mu'ahadah) dan dlm posisi siaga perang, dsb..dsb.

Jika bukan khilafah/khalifah, lantas oleh siapa tugas & tanggungjawab yg dituntut agama ini dilaksanakan? Jika khalifah itu cuma pimpinan spiritual, lantas siapa yg bertanggungjawab memenuhi urusan umat, dakwah dan jihad? Termasuk menjaga kemuliaan Islam dan umatnya yang hari ini justru telah hilang akibat hegemoni orang kafir dan kekufuran? Lantas, jika bukan khilafah, siapa pula yang akan memobilisasi kekuatan umat Islam dan menyatukan seluruh potensi mereka yg seemikian besar ini untuk menghapuskan penistaan orang kafir atas orang2 Islam di berbagai penjuru dunia hingga ke akar?

Sayangnya, sejarah terkait kemunculan sekularisme tadi kemudian diadopsi untuk menilai dan menghakimi Islam. Padahal politik Islam tidak demikian. Politik Islam itu luhur, mulya dan memiliki nilai ruhiyah karena tak lepas dan tak boleh lepas dari tuntunan wahyu.

Karenanya, atas penyebarluasan GAGASAN "ISLAM DAN KHILAFAH MINUS POLITIK" seharusnya memunculkan pertanyaan, ada apa? Mengingat orang2 kafir tentu sangat berkepentingan untuk melemahkan umat Islam dan melanggengkan kondisi tersebut dg cara memisahkan mereka dr sumber kekuatan utamanya, yakni Islam sebagai ideologi (tmsk politik) dan khilafah itu sendiri.

Jadi, waspadalah....!
Wallahu a'lam..

Selasa, 21 Juni 2011

UN: Menggadai Nilai Moral Dengan “Angka 5,5”


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Seperti biasa, sejak hari pertama, penyelenggaraan Ujian Nasional memang sudah diwarnai kecurangan. Bahkan untuk tahun 2011 ini soal UN ditengarai sudah lebih dulu beredar lewat jejaring facebook dan twitter (antaranews, 19/4). Media pun merilis pemberitaan tentang berbagai modus kecurangan yang dilakukan para siswa saat ujian dilangsungkan, mulai dari menyotek kopean, saling kerjasama antar siswa, atau menyalin kunci jawaban yang sudah disiapkan.

Di Padang dan Papua Barat, modus kecurangan justru dilakukan institusi sekolah dengan cara membentuk tim sukses dari kalangan para guru. Setelah soal ujian di-scan, secara cepat dibahas oleh tim sukses dan jawabannya diberikan kepada murid (Padangekspres, 19/9). Di tempat lain, kecurangan bahkan melibatkan institusi yang lebih besar lagi, yakni dinas pendidikan daerah yang menginginkan imej keberhasilan daerah dipertahankan. Modusnya adalah membuat komitmen dengan seluruh kepala sekolah agar “saling membantu” meraih target kelulusan tertinggi dengan cara melonggarkan pengawasan bahkan membantu siswa di tempat para gurunya melakukan tugas pengawasan.

Kecurangan UN sebetulnya sudah diprediksi akan terjadi. Karenanya untuk tahun ini, diluar upaya pengetatan monitoring pelaksanaan UN sejak pengadaan soal (pencetakan dan distribusi) hingga pelaksanaan di hari H, pemerintah --dalam hal ini Kemendiknas-- telah membuat jurus baru pelaksanaan UN yang dipandang bisa menekan potensi terjadinya tindak kecurangan. Misalnya dengan menerapkan mekanisme yang memudahkan kelulusan siswa dibanding tahun lalu sehingga beban psikologis diharapkan bisa berkurang.

Sebagaimana diketahui, tahun lalu kelulusan siswa hanya diukur dengan nilai hasil UN dengan nilai standar minimal 5,5 pada mata pelajaran tertentu. Cara ini nyatanya menuai banyak protes karena menilai keberhasilan siswa belajar selama 3 tahun hanya dengan test selama 3-4 hari dianggap tidak fair. Selain itu, cara ini juga telah memunculkan beban psikologis yang sangat berat, sehingga alih-alih membuat siswa berupaya meningkatkan kualitas belajar mereka, cara ini malah mendorong siswa dan sekolah terjebak dalam hal-hal irrasional termasuk terjerumus dalam budaya curang demi mengejar angka yang “hanya” 5,5. Itulah yang melatar belakangi munculya kebijakan baru, dimana kelulusan siswa dihitung dengan formulasi yang menggabungkan nilai hasil UN dan nilai sekolah dengan proporsi 60 berbanding 40 persen dengan standar nilai tetap sama, rata-rata 5,5.

Selain dengan perubahan cara penilaian, pemerintah juga menggunakana jurus lain untuk mengantisipasi kecurangan, yakni menerapkan sistem ujian dengan memberi 5 paket soal pada tiap kelas yang di tahun sebelumnya hanya 2 paket soal. Dengan cara ini, pemerintah berharap bisa menutup lubang kecurangan, termasuk peluang saling menyotek, karena dalam satu lajur, masing-masing siswa bisa jadi mendapatkan soal yang berbeda. Persoalannya, benarkah cara ini efektif untuk menekan terjadinya praktek curang saat ujian dilangsungkan? Dan bisakah menghapus mental curang hingga ke akar?

Sayangnya, fakta di lapangan tak menunjukkan hal demikian. Demi meraih angka 5,5, kecurangan tetap saja terjadi dengan modus yang lebih canggih. Penggunaan polisi, camera CCTV dan peliputan media saat ujian rupanya tak menyurutkan langkah siswa untuk tetap berlaku curang. Bahkan di jejaring sosial, tak sedikit rekan guru yang jujur mengeluhkan tekanan institusi yang meminta mereka melakukan kecurangan berjamaah dengan membiarkan siswa yang diawasi bekerjasama atau dengan memberikan jawaban soal kepada mereka demi meraih angka rata-rata minimal 5,5.

Meski ada upaya memperketat pengawasan, aplikasi di lapangan pun nyatanya tak sesederhana yang dibayangkan. Banyaknya pihak yang berkepentingan dengan ‘hasil baik’ UN, membuat fungsi pengawasan menjadi lemah dan rawan kebocoran. Mekanisme penilaian yang menggabungkan angka UN dengan nilai raport pun tetap membuka celah kecurangan baru yang tak jarang melibatkan internal sekolah. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa sekolah tidak akan melakukan mark up nilai karena mereka pun berkepentingan mengejar target kelulusan 100 persen demi nama baik sekolah di mata “konsumen”-nya. Di pihak siswapun sama saja. Merekapun tentu tak ingin berspekulasi “mengabaikan” hasil UN jika hal itu akan membuat mereka tidak lulus. Apalagi siswa-siswa yang prestasi raportnya di bawah rata-rata. Merekapun lantas tersuasana melanggar prinsip kejujuran demi mengejar angka rata-rata 5,5.

Mirisnya, fakta-fakta seperti ini selalu saja berulang. Kecurangan demi kecurangan seolah tak bisa lepas dari seremonial ujian nasional di semua level pendidikan. Fakta inipun seolah-olah mengabsahkan berkembangnya budaya baru yang rusak; menggadai nilai moral cuma demi angka 5,5.

Bagi para orangtua maupun pendidik yang masih memiliki idealisme, kenyataan ini tentu sangat menyedihkan. Seperti halnya Siami, mana mungkin mereka rela membiarkan anak-anak mereka terkotori budaya sampah yang akan menjadikan anak berkepribadian ganda? Terlebih, upaya mereka menanamkan nilai-nilai agama pada anak di jaman penuh fitnah ini bukanlah perkara mudah. Wajar jika mereka tak rela jika hasil kerja keras selama ini harus hancur begitu saja oleh tuntutan sistem yang mendewakan angka-angka.

Yang jadi masalah, kondisi ini niscaya terjadi dalam masyarakat dengan sistem tata hidup yang tegak di atas prinsip pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme). Masyarakat seperti ini tak pernah peduli lagi dengan apapun yang berbau agama. Agama hanya jadi pemoles saja. Dia hanya layak dibicarakan di mesjid-mesjid, saat ibadah, pernikahan dan ritual kematian saja. Nilai moralpun hanya “dianggap” jika dipandang bermanfaat, karena bagi paham ini, manfaatlah yang menjadi standar pikir dan amal mereka.

Kasus Siamipun lagi-lagi menggambarkan hal demikian. Masyarakat yang berbalik marah karena kecurangan anak-anak mereka diadukan, justru menunjukkan betapa nilai moral dan agama sudah tidak dipentingkan. Kasus inipun seolah menggambarkan bahwa bagi kebanyakan orang tua, anak yang jujur “di jaman ini” tak lebih penting dibandingkan jika angka raportnya memalukan. Ini karena, kejujuran “di jaman ini” memang tak lebih laku jika dibandingkan nilai kelulusan. Miris memang.

Dalam sistem pendidikan kita, aroma sekularisme memang sangat kental terlihat meski secara normatif tak ada satu produk kebijakan pun yang secara langsung menunjukkan hal demikian. UU No. 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 3 misalnya secara indah menyebut bahwa fungsi Pendidikan nasional adalah mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Namun rumusan indah tentang fungsi pendidikan ini tidak match dengan kebijakan implementatif di lapangan.

Kebijakan kurikulum yang memarjinalkan pelajaran agama dengan konten pelajaran yang demikian “padat karya” nyata-nyata telah membentuk out put pendidikan berupa manusia yang tak ubah bagai robot dan hanya siap menjadi mesin pemutar industri-industri milik para kapitalis semata atau malah menjadi kacung di perusahaan-perusahaan milik mereka. Sementara konsep pemisahan sekolah agama dengan sekolah umumpun hanya berhasil menciptakan gap yang lebar antara agama dengan pemecahan masalah kehidupan, dan menciptakan ilmu kehidupan yang kering dari nilai-nilai transedental. Belum lagi, biaya pendidikan yang melangit kian menjadikan “pintar dan ahli” sebagai “gelar’ mahal bahkan utopi. Ini semua tentu membuktikan, bahwa apa yang dirumuskan sebagai cita-cita pendidikan yang seolah mulia itu ternyata hanyalah bullshit semata! Dan inilah yang membuktikan, bahwa sekularisme memang biang rusaknya sistem dan apa yang dihasilkn dari pendidikan.

Pertanyaannya adalah, akankah ini dibiarkan? Sampai kapan kita berkubang dalam kebodohan? Sekularisme telah nyata rusak dan menjadi biang kerusakan. Karenanya, mari kita campakkan sistem pendidikan sekuler dan segera kembali kepada sistem pendidikan Islam. Karena hanya sistem pendidikn Islam yang akan mampu membentuk generasi unggul. Yakni generasi terbaik yang akan siap mengembalikan kemuliaan Islam. Dan ini bukan cuma khayal, karena sejarahpun telah membuktikan! (SNA)

Sabtu, 18 Juni 2011

KIAT ISLAM ATASI GAUL BEBAS


By : Siti Nafidah Anshory


Tahukah anda, bahwa di kalangan sebagian remaja, virginitas sudah bukan menjadi hal yang penting lagi?
Tahukah pula anda, jika angka aborsi di Indonesia sudah sampai pada taraf mengerikan? (Untuk data, lihat artikel "inilah-dampak-nyata-penerapan-sistem, postingan tanggal 30 Nopember 2010)

Data-data mencengangkan mengenai maraknya sex pra-nikah dan aborsi di kalangan remaja tersebut sesungguhnya hanya menggambarkan sedikit saja dari fakta kian merebaknya pergaulan bebas di tengah masyarakat kita. Bahkan jika dicermati, daftar kebejatan moral yang terjadi di masyarakat ternyata cukup panjang, mulai dari maraknya budaya pacaran, pornoaksi dan pornografi, MBA, prostitusi, incest, hubungan sejenis, PIL/WIL, fenomena 'ayam kampus', hingga fenomena swing dan hot party yang kini jadi ladang bisnis baru yang dikelola secara profesional oleh event organizer-event organizer tertentu.

Tentu saja, fakta-fakta ini layak membuat kita miris. Betapa tidak? Di negeri yang mayoritas penduduknya Muslim ini, 'kebebasan' seolah telah menjadi 'agama baru' hingga mampu mengikis nilai-nilai moral masyarakat, melengkapi krisis multi dimensi yang sedang mengharu-biru bangsa ini. Ironisnya, sebagian menganggap hal ini wajar saja terjadi, sebagai konsekuensi modernisme dan perubahan jaman yang tak terelakkan. Padahal, pada saat yang sama, mereka tentu tidak mungkin menutup mata atas bahaya kebebasan yang menghancurkan masyarakat ini, karena suatu saat, kondisi ini juga akan menjadi 'bom waktu' bagi kehidupan mereka sendiri. Bayangkan, apa yang akan terjadi, lima, sepuluh atau duapuluh tahun kemudian disaat anak-cucu mereka tumbuh menjadi besar, jika hari ini mereka biarkan masyarakat jatuh ke jurang kehancuran?

Budaya Bebas, Imbas Sekularisme Barat


Gaya hidup bebas sesungguhnya bukan watak asli masyarakat Islam, melainkan menjadi ciri khas masyarakat Barat yang memang mengadopsi ide kebebasan sebagai asas perbuatan mereka. Sebagaimana diketahui, masyarakat Barat tegak di atas ideologi kapitalisme sekuler yang berasumsi bahwa manusia memiliki hak prerogatif untuk mengatur kehidupannya sendiri di dunia ini. Dengan paradigma ini, mereka secara tegas menolak campur tangan agama (manapun) dalam mengatur kehidupan masyarakat, terkecuali sebatas menyangkut persoalan-persoalan privat mereka. Di sisi lain, dari paradigma yang sama muncul pula ide kebebasan (liberalisme), yang menganggap bahwa secara fitrah setiap manusia lahir sebagai manusia bebas, dimana kebebasan itu harus dijamin secara mutlak dengan aturan-aturan yang berlaku. Dari asumsi inilah, lahir konsep HAM yang terformulasi dalam empat prinsip kebebasan (freedom), yakni kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan memiliki dan kebebasan bertingkah laku.

Pada tataran praktisnya, ide kebebasan tidak hanya telah merusak, tetapi juga telah membinasakan dan membawa masyarakat Kapitalis-sekuler ke jurang kehinaan. Betapa tidak? Ide kebebasan mengajarkan 'si kuat boleh memangsa si lemah'. Ide ini juga mengajarkan seseorang boleh mengejar sebanyak mungkin kenikmatan fisik dan manfaat sesaat untuk memuaskan kebutuhan naluri dan jasmaninya. Kalaupun ada aturan main, maka itupun diserahkan kepada pendapat 'mayoritas' manusia dengan standar kemaslahatan absurd yang mereka lihat dengan keterbatasan akal mereka. Wajar jika kebejatan moral dan kehidupan bak binatang, gap sosial yang lebar menganga, serta kebobrokan lainnya menjadi cerminan masyarakat Barat hingga hari ini. Andrew L. Shapiro dalam bukunya Amerika Nomor 1, Kondisi AS yang Kontradiktif dan Ironis, secara gamblang --disertai data-data akurat-- mengungkap berbagai kebobrokan multi dimensi masyarakat Amerika dan negara Barat lainnya yang senantiasa mengklaim diri sebagai kampiun demokrasi dan kebebasan, sekaligus sebagai "The Number One".

Yang menyedihkan, ide kebebasan yang lahir dari ideologi yang rusak ini kini justru diagungkan pula oleh sebagian kaum muslimin. Salah satunya, terbukti dengan maraknya pergaulan bebas yang kian menjadi trend dan dianggap sebagai standar kemajuan lifestyle di kehidupan modern. Istilah gaul, modern, dan metropolis kini selalu identik dengan pergaulan bebas, tak terkecuali di kalangan muslimah. Sementara itu, interaksi sosial diantara individu umat --termasuk antara laki-laki dan perempuan-- yang seharusnya berorientasi pada tujuan membangun kerjasama (ta'awun) demi kemajuan umat, kian tersibghah oleh warna/orientasi seksualistik. Sehingga, alih-alih umat ini bisa bangkit, yang terjadi justru sebaliknya, umat semakin terjerumus pada kehancuran.

Jika dianalisa, kondisi ini sebenarnya niscaya. Secara eksternal, Barat dengan genuitas imperialistiknya memang berkepentingan untuk 'mengekspor' budaya dan ide-ide mereka sebagai salah satu alat imperialisme bagi kepentingan hegemoninya atas dunia Islam. Melalui apa yang disebut perang pemikiran dan budaya (ghazwu al-fikr dan ghazwu ats-tsaqafi) --yang dimediasi dengan berbagai cara dan sarana, termasuk dukungan media massa--, mereka gempur pertahanan asasi kaum muslimin (yakni aqidah dan syari'at Islam) hingga umat sedikit demi sedikit mencampakkan Islam sebagai sumber kekuatan dan kemuliaannya, untuk kemudian tunduk menjadi pembebek atas peradaban Barat. Sedangkan secara internal, kondisi pemahaman umat akan agama Islam --terutama Islam sebagai ideologi--senyatanya memang lemah luar biasa, dimana kebanyakan mereka hanya mengenal Islam sebagai aqidah ruhiyah saja. Sementara itu, konsep-konsep yang menunjukkan Islam sebagai aqidah siyasiyah, aqidah problem solving, tidak lagi mereka pahami. Wajar jika, keimanan yang ada pada diri umat seolah menjadi keimanan yang kering, tak memberi pengaruh dalam kehidupan dan tak mampu menjadi solusi atas seluruh permasalahan kehidupan. Akibatnya, umat secara individu kian kehilangan pertahanan dan self of controlnya, sedangkan umat sebagai masyarakat kian kehilangan sense of control, hingga keduanya bisa dengan mudah menerima umpan beracun yang ditawarkan Barat atas nama 'kebebasan' dan modernisasi. Itulah kenapa, kini kemaksiatan dengan mudah terjadi pada siapapun dan dimanapun; di pinggir jalan, di angkot, di mall-mall, dan lain-lain, nyaris tanpa ada yang mampu untuk mencegah atau mengusiknya.

Kondisi ini kemudian diperparah dengan penerapan sistem hidup sekularistik yang rusak; Sebuah sistem yang bukan saja dipastikan tak akan mampu mencegah dan memproteksi umat dari kebobrokan, bahkan pada taraf tertentu sistem ini justru menjadi sumber kebobrokan itu sendiri tatkala --misalnya-- sistem tersebut meniscayakan pelegalan atas berbagai aktivitas kemaksiyatan, atau setidaknya membiarkan dan memberi peluang semua itu terjadi melalui penerapan aturan-aturan hidup yang rusak dan tidak solutif. Sebagai contoh, sebut saja lokalisasi prostitusi, kondomisasi (ATM Kondom) dan legalisasi aborsi yang dianggap sebagai solusi atas munculnya berbagai ekses pergaulan bebas. Yang padahal, solusi tersebut jelas tidak solutif, bahkan hanya memunculkan permasalahan-permasalahan baru yang lebih rumit. Terlebih-lebih lagi, jika ditelusuri munculnya kasus-kasus pergaulan bebas dengan segala eksesnya sebenarnya bukan sekedar terkait dengan persoalan rusaknya sistem sosial saja, melainkan terkait pula dengan kerusakan sistem-sistem lainnya, seperti penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang melanggengkan kemiskinan struktural, penerapan sistem politik yang opportunistik, penerapan sistem hukum yang tidak adil dan tidak memberi efek jera, penerapan sistem pendidikan yang sekularistik, dan lain-lain. Dengan kata lain, persoalan maraknya pergaulan bebas jelas bersifat sistemik sehingga solusinyapun harus bersifat sistemik pula.

Oleh karena itu, jelas bahwa akar kerusakan masyarakat hari ini, termasuk maraknya pergaulan bebas dengan segala eksesnya, adalah akibat merebaknya ide-ide sekularistik (seperti liberalisme, hedonisme, individualisme, dll) di tengah-tengah umat serta akibat penerapan sistem hidup kapitalis-sekuler atas mereka. Yakni sistem yang sejak asasnya memang telah cacat dan rusak, sementara apa yang terbangun di atasnya berupa aturan-aturan kehidupan, termasuk aturan sosial (pergaulan) dipastikan rusak pula. Oleh karhttp://www.blogger.com/img/blank.gifena itu, jelas pula bahwa solusi atas merebaknya pergaulan bebas, bahkan solusi atas semua krisis multidimensi yang kini dialami umat Islam, tidak lain adalah dengan segera mencampakkan sistem hidup sekularistik yang rusak ini dan kemudian menggantinya dengan sistem hidup yang tegak di atas asas yang sahih, yang memancarkan aturan hidup yang sesuai dengan fitrah manusia, sehingga akan menjadi solusi tuntas atas setiap permasalahan kehidupan. Dengan aturan-aturan seperti ini, dipastikan tujuan-tujuan luhur untuk menjaga masyarakat (seperti pemeliharaan atas keturunan, akal, kemuliaan, jiwa, harta, agama dan ketentraman) akan segera terealisasikan. Sistem dimaksud, tidak lain adalah sistem Islam, yakni sistem yang berasal dari Dzat Yang Maha Pencipta, Yang Menciptakan manusia dan kehidupan ini seluruhnya, Dzat Yang Maha Sempurna, Maha Mengetahui, Maha Adil dan Maha Pengatur, Dialah Allah SWT.

Solusi Islam Mengatasi Pergaulan Bebas

Harus dipahami bahwa, secara keseluruhan, aturan-aturan Islam --termasuk aturan interaksi sosialnya-- tegak diatas landasan yang bertolak belakang dengan aqidah sekulerisme. Jika sekulerisme memberi kekuasaan mutlak bagi manusia untuk mengatur dirinya sendiri termasuk bagaimana cara mereka bergaul, maka Islam tegak di atas pemahaman bahwa manusia harus terikat dengan aturan PenciptaNya. Konsepsi ini sangat logis. Karena dengan mudah, manusia bisa membuktikan keberadaan Al-Kholiq Al-Mudabbir, membuktikan kelemahan dirinya, dan membuktikan kebutuhan dirinya akan aturan yang datang dari Sang Pencipta.

Karena tegak di atas landasan yang sahih, maka Islam dipastikan merupakan din (sistem hidup/an-Nidzôm al-Hâyah) yang sempurna dan komprehensif (kâmilan dan syâmilan), yakni sistem hidup yang aturan-aturannya dipastikan pula akan mampu menjawab seluruh permasalahan hidup manusia dengan tuntas. Berkenaan dengan aspek pergaulan misalnya, Islam telah menjadikan aspek interaksi sosial (pergaulan) ini sebagai salah satu objek yang dihukumi (diatur) sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya. Bahkan, Islam menempatkan aturan mengenai interaksi sosial (sistem sosial/an-nidzâm al-ijtimâ'î) ini sebagai salah satu perangkat hukum yang penerapannya tidak bisa dipisahkan dari penerapan hukum lainnya. Inilah makna keterpaduan sistem hukum Islam, dimana penerapannya secara kaffah akan menjamin kebahagiaan dan tercapainya tujuan-tujuan luhur masyarakat.

Secara garis besar, sistem sosial dalam Islam mengatur interaksi/pergaulan pria dan wanita beserta hubungan yang timbul sebagai implikasi dari adanya interaksi yang terjadi dan segala sesuatu yang terkait dengan hubungan tersebut , sehingga dengan aturan tersebut kebersihan individu dan masyarakat akan terjamin, dan di sisi lain kerusakan moral masyarakat akibat pergaulan bebas akan tercegah. Kenapa demikian? Karena sistem ini tegak di atas landasan ruh dengan tolak ukur syariat yang mampu menciptakan nilai-nilai akhlak yang luhur. Sistem ini memandang manusia, baik pria maupun wanita, sebagai seorang manusia yang memiliki naluri, perasaan, kecenderungan dan akal; Membolehkan manusia bersenang-senang menikmati kehidupan dan tidak melarang manusia untuk memperoleh bagian kenikmatan hidup secara optimal, tetapi dengan tetap memelihara komunitas dan masyarakat manusia.

Sistem ini berangkat dari paradigma yang benar tentang hakekat penciptaan laki-laki dan perempuan serta tujuan interaksi di antara keduanya yang semata-mata untuk melestarikan keturunan, bukan sekedar hubungan jinsiyah (yang berorientasi seksual) seperti yang melatarbelakangi maraknya pergaulan bebas seperti terjadi saat ini. Dengan paradigma ini, Islam mengatur hubungan lawan jenis antara pria dan wanita dengan pengaturan yang rinci, dengan tetap menjaga agar naluri seksual yang ada pada manusia hanya disalurkan dengan cara yang benar dan alami (yakni hanya melalui lembaga pernikahan saja). Dengan demikian, akan tercapailah tujuan dari penciptaan naluri tersebut pada manusia sebagaimana yang dikehendaki Allah SWT, sekaligus akan menjamin adanya kerjasama (ta'awun) --yaitu kerjasama yang membawa kebaikan bagi individu, komunitas dalam masyarakat, maupun masyarakat itu sendiri.

Sesungguhnya ada banyak prinsip aturan sosial dalam Islam, yang dengannya masyarakat akan terhindar dari fenomena pergaulan bebas, diantaranya: adanya perintah untuk menundukkan pandangan dan anjuran untuk segera menikah (QS. An-Nur [24]:30-31 dan al-Hadits), adanya perintah menutup aurat dan mengenakan jilbab, yakni pakaian khusus untuk keluar rumah yang dipakai di atas pakaian rumah (QS. An-Nur [24]:31 dan Al-Ahzab [33]:59 serta al-Hadits), adanya larangan bertabarruj atau menampakkan kecantikan di hadapan pria yang bukan mahram (al-Hadits), adanya larangan wanita melakukan safar dari suatu tempat ke tempat lain selama perjalanan sehari semalam atau lebih, kecuali disertai mahramnya (al-Hadits), adanya larangan bagi wanita keluar rumah kecuali atas izin suami atau walinya (al-Hadits), adanya pemisahan jamaah wanita dan pria baik di wilayah publik maupun privat (al-Hadits), adanya kewajiban menjaga 'iffah (QS An-Nur[24]:33), serta hukum-hukum lain yang menjaga agar interaksi yang terjadi di antara pria dan wanita bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara pria dan wanita yang bukan mahram, jalan-jalan bersama, dan-lain-lain. Sebab tujuan interaksi di antara keduanya harus mengarah pada diperolehnya hak-hak masing-masing atas kemaslahatan, sekaligus agar mereka dapat menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai seorang Muslim.

Itulah beberapa contoh aturan sosial dalam Islam yang penerapannya tidak bisa lepas dari sistem-sistem yang lainnya. Artinya, sistem sosial ini tidak akan berarti apa-apa, jika sistem lainnya tidak dilandaskan pada aturan Islam. Dalam hal ini, termasuk penerapan sistem sanksi (an-nidzâm al-'uqûbât), yang dalam ajaran Islam terkatagori metode (thariqah) untuk menjamin pelaksanaan hukum-hukum tadi pada tataran praktis. Sistem sanksi dalam Islam ini setidaknya memiliki dua fungsi, yakni sebagai pencegah dan penebus. Pencegah, karena sanksi hukum Islam yang berat akan membuat seseorang berpikir ribuan kali untuk melakukan pelanggaran. Penebus, karena penerapan hukum Islam atas pelaku kemaksiyatan (jârimah/kriminalitas) merupakan tebusan atas dosanya tadi sehingga di akhirat dia tidak akan mendapatkan hukuman lagi atas jenis dosanya itu.

Tiga Pilar Penerapan Hukum Islam

Dari paparan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa tidak ada pilihan lain jika ingin selamat dari kehancuran masyarakat selain dengan kembali kepada sistem Islam, yakni dengan menerapkan seluruh aturan Islam secara kaafah dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Hanya saja agar seluruh hukum Islam ini bisa dilaksanakan secara utuh, maka setidaknya ada tiga pilar penerapan hukum Islam yang harus terwujud dalam kehidupan umat, yaitu (1) ketaqwaan individu yang mendorongnya terikat kepada hukum syara, (2) Kontrol masyarakat, dan (3) Kendali negara sebagai penerap dan pelaksana hukum.

Pilar pertama, ketaqwaan individu, yaitu sikap yang lahir dari keimanan setiap individu masyarakat yang dibangun oleh pemahaman terhadap Islam yang benar. Keimanan yang mantap dan kokoh, yang tidak ada keraguan sedikitpun terhadap Allah dan RasulNya, terhadap adanya hisab, syurga dan neraka, akan berimplikasi pada munculnya kesadaran penuh pada diri seseorang untuk senantiasa menjaga perbuatannya agar tidak melanggar hukum-hukum Allah dan berupaya maksimal untuk terus konsisten menjalankan seluruh perintahNya. Kalaupun suatu saat dia khilaf melakukan penyimpangan, maka dia akan segera bertaubat dan menebus semua kesalahannya (QS. Ali-Imran[3]:135), karena dia yakin bahwa adzab akhirat jauh lebih berat dibandingkan dengan hukuman di dunia.

Adalah Maiz Al-Aslami dan Al-Ghamidiyah, dua orang yang hidup pada masa Rasulullah Saw. yang sama-sama melakukan zina dan kemudian meminta dijatuhi hukuman oleh Rasulullah Saw, sekalipun tidak ada seorangpun yang menyaksikannya. Mengapa mereka dapat melakukan hal demikian? Padahal hukuman bagi pezina muhshan (pria/wanita yang pernah menikah) adalah dirajam hingga mati di hadapan orang banyak. Jawabannya tidak lain karena adanya ketaqwaan mereka kepada Allah SWT serta keyakinan yang begitu kuat terhadap kehidupan akhirat, sehingga rasa malu, bahkan kematian sekalipun sanggup mereka jalani. Justru dengan cara itu, dosa mereka akan diampuni dan di akherat mereka mendapatkan jaminan syurga Allah SWT. Inilah buah dari ketaqwaan seseorang. Dan jika ketaqwaan tersebut masih dimiliki oleh individu, masyarakat dan pemerintah, maka hukum syara pasti akan terjamin pelaksanaannya.

Pilar kedua, kontrol masyarakat. Kontrol masyarakat --baik secara pribadi maupun bersama-sama-- kepada individu-individu lainnya sangat diperlukan, karena pada dasarnya manusia bukanlah malaikat sehingga memungkinkannya untuk terjerumus pada perbuatan maksiyat. Bahkan faktanya, tak sedikit kemaksiatan berkembang luas di masyarakat dikarenakan lemahnya kontrol masyarakat, sebagaimana yang kita lihat faktanya hari ini, dimana manusia tak malu lagi --atau bahkan dengan bangga-- melakukan kemaksiatan di hadapan orang lain.

Sebagaimana ketaqwaan individu, kontrol masyarakat juga terbentuk dari pemahaman mereka terhadap hukum-hukum Allah, yang secara otomatis akan melahirkan tradisi amar ma'ruf nahi munkar dan saling muhassabah di tengah-tengah mereka. Mereka tidak cuek terhadap kondisi sekitarnya, karena pemahaman Islamnya mengajarkan bahwa masalah individu adalah masalah umat, dan bahwa yang harus terikat dengan hukum-hukum Islam bukan hanya dirinya, tetapi juga seluruh kaum muslimin.

Tentang pentingnya kontrol masyarakat ini, Rasulullah Saw pernah menyampaikan sabdanya : "Perumpamaan orang-orang yang menjaga hudud-hudud Allah dan yang melanggarnya adalah seperti kaum yang menumpang kapal. Sebagian dari mereka berada di bagian atas dan yang lainnya berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang berada di bawah membutuhkan air, mereka harus melewati orang-orang yang ada di atasnya. Lalu mereka berkata : 'andai saja kami lubangi (kapal) pada bagian kami, tentu kami tidak akan menyakiti orang-orang yang berada di atas kami'. Tetapi jika yang demikian itu dibiarkan oleh orang-orang yang berada di atas sementara mereka tidak menghendakinya, maka binasalah mereka semua. Namun jika dikehendaki oleh tangan mereka keselamatan, maka selamatlah semuanya". (HR. Bukhari)

Pilar ketiga, adanya kendali dari negara melalui penerapan sistem Islam yang menjamin selamatnya aqidah dan perilaku seluruh warga, serta terpenuhinya seluruh hak-hak warga negara secara adil dan menyeluruh. Negara pulalah yang akan menjamin terlaksananya seluruh hukum itu dengan baik melalui penerapan sanksi yang tegas atas setiap pelanggaran hukum yang terjadi.

Ketiga pilar ini harus ada secara bersama. Sebab jika ada individu atau masyarakat yang bertaqwa, begitu pula ada kontrol masyarakat, namun tidak ada negara yang menerapkan hukum Islam, tentu mustahil hukum Islam tersebut dapat diterapkan. Karena negaralah yang bertanggungjawab menerapkan hukum tersebut. Begitu pula apabila ada negara yang menerapkan Islam, tetapi tidak di kawal dengan adanya kontrol masyarakat dan ketakwaan individu, maka sedikit demi sedikit penerapan Islam yang dilakukan oleh negara tersebut akan diselewengkan.

Khotimah

Inilah solusi Islam atas merebaknya fakta pergaulan bebas di tengah masyarakat kaum muslimin; Sebuah solusi yang bukan sekedar utopi, tetapi sesuatu yang amali. Persoalannya, apakah kita mau beranjak dari keterpurukan ini? Jika ya, maka langkah pertama yang harus diambil adalah mulai membina diri dan umat dengan aqidah dan pemahaman Islam yang benar dan utuh, hingga ideologi Islam benar-benar terkristal dalam akal dan jiwa. Dengan cara ini, Insya Allah akan terbentuk pribadi-pribadi dan masyarakat yang taqwa, yang siap terikat dengan hukum-hukum Allah, mencintai dakwah serta siap berkorban untuk berjuang di jalan Allah, hingga sistem Islam yang bersih dan mulia ini tegak dalam naungan Daulah Khilafah Islamiyah.

"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada Ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran[3]:132-133)[][][][]


(22102005)

Sabtu, 04 Juni 2011

KIPRAH PEREMPUAN DALAM PERUBAHAN


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Secara kuantitas, perempuan merupakan separuh masyarakat. Kiprahnya tentu tak bisa diabaikan atau dipandang sebelah mata. Bahkan sejarah peradaban manapun tak bisa dilepaskan dari peran perempuan. Peran kodratinya sebagai seorang individu, sebagai ibu dan pengatur rumahtangga serta sebagai anggota masyarakat memiliki nilai politis tinggi dan strategis dalam membentuk, mewarnai dan melestarikan sebuah generasi. Wajar jika maju-mundurnya sebuah masyarakat selalu dinisbahkan pada sosok perempuan. Perempuan memang tiang negara.

Sejarah peradaban Islam pun menunjukkan hal demikian. Di samping Rasul Saw dan para sahabat, peran para shahabiyat radiyallahu ‘anhunna pun sangat besar dalam mengubah masyarakat jahiliyah yang sarat dengan kerusakan menjadi masyarakat Islam yang agung, digdaya dan sejahtera. Ada Bunda Khadijah ra yang menjadi partner sekaligus pendukung utama dakwah Nabi Saw. Ada Sumayyah ra, sosok pribadi yang kuat, isteri dan ibu yang rela menjadi martir dakwah sekaligus menjadi teladan terbaik dalam keteguhan memperjuangkan kebenaran. Ada sosok Asma Binti Abu Bakar ra, perempuan cerdas dan pemberani yang berperan penting dalam keberhasilan hijrah Nabi dan melahirkan generasi mumpuni sekelas Zubair bin Awwam. Ada Asma Binti Ka’ab ra, satu di antara dua perempuan cerdas yang turut dalam peristiwa monumental berupa pembai’atan Nabi di Aqabah dan selalu tampil sebagai representasi kaumnya. Ada Nusaibah Binti Ka’ab ra, perempuan perkasa yang bersama keluarganya berulang kali turut berperang dan menjadi perisai Nabi saat jihad fi sabiilillah. Ada Khaulah Binti Tsa’labah ra sosok perempuan tangguh berkesadaran politik tinggi yang selalu siap mengawal para pemimpin dalam menegakkan hukum Allah melalui keberaniannya melakukan koreksi. Dan tak terhitung lagi sosok-sosok perempuan lain yang berjasa besar dalam perubahan mewujudkan masyarakat Islam dan memelihara eksistensinya hingga umat Islam bisa tampil sebagai entitas masyarakat terbaik (khayru ummah) selama belasan abad.

Tampilnya kekuasaan Islam (Khilafah) yang menebar rahmat di 2/3 belahan dunia selama belasan abad itu justru membuktikan prestasi terbaik para ibu yang tak lain adalah kaum perempuan. Saat itu kaum perempuan berhasil menjadi arsitek terbaik bagi lahirnya generasi mumpuni, generasi mujahid dan mujtahid penegak peradaban mulia dengan kemajuan materi luar biasa. Sayangnya, hari ini kita telah kehilangan gambaran sebagai masyarakat terbaik. Kehidupan umat hari ini seolah kembali sebagaimana gambaran masyarakat jahiliyyah dahulu. Keruntuhan Khilafah Islam, institusi penegak syariah di tahun 1924 dan penerapan sistem sekuler yang jauh dari nilai-nilai Ilahiyah senyatanya telah membawa masyarakat pada kondisi yang jauh dari berkah. Alih-alih menjadi umat terbaik, umat hari ini justru terperosok dalam berbagai krisis di segenap aspek kehidupan.

Di tengah kondisi buruk ini, kaum perempuan pun harus merasakan imbas negatif yang begitu mengerikan. Ide kebebasan yang lahir dari rahim sekularisme telah membuat mereka nyaris kehilangan kemuliaan. Mereka, dengan atau tanpa sadar telah menjadi kapstok berjalan yang siap dilecehkan. Kemiskinan yang terjadi merata akibat penerapan sistem ekonomi sekuler-kapitalis-liberal yang eksploitatif pun telah memaksa sebagian dari perempuan masuk dalam perangkap mesin ekonomi yang menghinakan dan terjebak oleh ide kesetaraan yang mengikis naluri keibuan. Pada akhirnya, keluargapun terancam disfungsi dan masa depan umatpun terancam lost generation.

Tentu saja, kenyataan ini seharusnya menyadarkan umat termasuk kaum perempuan akan pentingnya aktivitas perubahan. Yakni perubahan dari sistem sekularistik yang terbukti menjadi biang keburukan kepada sistem Islam yang telah terbukti menjamin kemuliaan umat, termasuk perempuan. Untuk itu, dibutuhkan upaya serius dan terarah dalam rangka membangkitkan kesadaran umat akan realitas Islam sebagai sebuah ideologi. Yakni Islam yang tidak hanya dipahami ritual, tetapi sebagai solusi seluruh problematika kehidupan, termasuk masalah perempuan.

Proses penyadaran dimaksud hanya mungkin dilakukan melalui dakwah pemikiran dan politis sebagaimana dicontohkan Nabi saw. Saat itu, beliau membina kader-kader dakwahnya yang terdiri dari kalangan laki-laki dan perempuan dengan aqidah yang mampu menggerakkan semangat ketundukan kepada hukum-hukum Allah dan memberi keyakinan tentang kemuliaan hidup yang akan mereka raih dengan Islam. Semangat dan keyakinan inilah yang menjadikan mereka senantiasa siap menanggung resiko berjuang bersama Nabi, berinteraksi ditengah-tengah masyarakat seraya menentang sistem yang rusak demi mewujudkan kehidupan yang lebih mulia disisi Allah, baik di dunia berupa terwujudnya masyarakat Islam maupun di akhirat sebagai ahli surga. Dengan cara ini pulalah beliau bersama kader-kadernya tadi, secara ‘ajaib’ berhasil membalik pola pikir dan pola jiwa masyarakat jahiliyah yang paganistis, mendewakan hawa nafsu, mengagungkan kemuliaan suku dan hidup tanpa standar halal haram menjadi masyarakat Islam yang kuat, yang tunduk pada nilai-nilai ukhrowi, menjunjung kemuliaan akhlak dan siap dipersatukan oleh ikatan yang sama yakni aqidah dan aturan-aturan Islam.

‘Ala kulli hal, terwujudnya kembali kehidupan Islam memang merupakan keniscayaan. Terlebih Allah SWT telah memberikan kabar gembira (bisyarah) akan datangnya kembali kehidupan Islam itu dengan tegaknya Khilafah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah untuk kedua kalinya. Oleh karenanya, setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan seharusnya siap berkontribusi maksimal untuk mewujudkan kabar gembira tadi dalam waktu secepatnya. Dan sebagai separuh masyarakat, kaum perempuan tentu memiliki kesempatan besar untuk berperan menjadi agen perubahan, baik dalam posisinya sebagai ibu pencetak generasi pemimpin, maupun dalam posisinya sebagai guru bagi sesama kaum perempuan, yang siap mengajak kaumnya turut memproses perubahan dengan menjadi pejuang penegak syari’ah dan khilafah sebagaimana dirinya.[][]