INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 25 Januari 2012

KETIKA ANJING LEBIH BERHARGA DARI KELUARGA

Oleh : Siti Nafidah Anshory


Pengantar

Bagi kebanyakan wanita ‘modern’, menikah dan punya anak seolah menjadi sesuatu yang menakutkan. Baru-baru ini, tribunnews.com merilis laporan bahwa mayoritas wanita-wanita Jepang cenderung tidak mau hamil, dan kebanyakan wanita-wanita China lebih memilih hidup melajang. Alasannya, sungguh patut kita renungkan.

Wanita Jepang sebetulnya sejak lama dikenal sebagai ratu keluarga. Siklus mereka, sekalipun ada saat sampai di puncak karir, pada akhirnya akan kembali ke rumah, menjadi isteri dan ibu luar biasa bagi anak-anak mereka. Begitupun dengan wanita-wanita China. Secara tradisi, mereka dikenal khidmat pada keluarga.

Namun kehidupan modern lambat laun mengikis kebanggaan mereka sebagai ratu keluarga. Persaingan dan beban hidup yang terus bertambah berat, membuat mereka berpikir ribuan kali untuk memiliki suami dan anak-anak. Bagaimana tidak? Dihitung secara ekonomi, anak dimata mereka, tak lebih dari beban. Biaya perawatan dan pengasuhan anak, nyatanya memang mahal luar biasa.


Lebih Beruntung Jadi Anjing

Tak dipungkiri, bahwa Jepang dan China merupakan negara maju, terutama secara ekonomi. Salah satu indicator kemajuan itu adalah tingginya usia harapan hidup yang bisa menembus angka di atas 80 tahun!

Namun ironisnya, ‘prestasi’ itu ternyata tak membuat kehidupan penduduknya bahagia. Bagi sebagian kalangan, umur panjang justru menjadi sumber malapetaka. Betapa tidak? Di negeri-negeri tersebut, kebanyakan orang tua termasuk para ibu harus rela hidup dipanti-panti jompo bersama para wanita lain yang senasib dengan mereka, mengandalkan tunjangan pensiun dari pemerintah yang kian minim karena makin banyak jumlah orang tua yang harus disubsidi sebagaimana mereka. Sementara di luar sana, anak-anak yang selama ini mereka asuh dengan segenap jiwa, justru asyik masyuk menikmati kesuksesan hidup tanpa peduli sedikitpun pada nasib ayah-ibu di masa tua mereka.

Kehidupan sekuler-liberal dan individualistik di kedua negeri tersebut rupanya telah sukses membentuk karakter anak menjadi sosok yang tak mengenal norma. Meski para ibu telah susah payah membesarkan mereka, namun ada kecenderungan, makin sukses kehidupan mereka, justru mereka makin jauh dari keluarga. Alhasil, “menikah” dan “memiliki anak” tak lebih dari mimpi buruk bagi sebagian kaum wanita di sana.

Mereka mulai berpikir, apalah arti punya anak dan menikah, jika pada akhirnya mereka harus hidup menderita di hari tua sebagaimana ayah-ibu mereka? Pilihannya tentu bisa ditebak. Mereka pun memilih karier sebagai jalan hidup dan tak jengah dengan kelajangan. “Mandiri secara finansial dan tak bergantung pada siapapun”, itulah motto hidup mereka. Dan terbukti, baru-baru ini, Channel News Asia melansir hasil survei terbaru yang mengejutkan; 82 persen wanita China menyatakan lebih senang hidup melajang!

Di Jepang, nasib anjing bahkan lebih beruntung dari para orang tua. Maraknya fenomena wanita karir dan lajang ini pun ternyata diikuti oleh tren memelihara anjing yang mereka anggap lebih setia daripada pria. Dampak ekonomisnya, bisnis-bisnis yang berhubungan dengan anjingpun, tumbuh subur menjadi lahan bisnis yang menggiurkan di Jepang sana. Sementara di China, bisnis property berupa rumah khusus wanita lajang menjadi bisnis yang sangat menjanjikan. Miris!


Pemerintah Ketar-Ketir

Bagaimanapun, fakta-fakta ini tak dipungkiri telah membuat pemerintah Jepang ketar-ketir. Grafik statistik kependudukan nyaris menunjukkan gambaran piramida terbalik, dimana proporsi jumlah penduduk usia tua jauh lebih besar dibandingkan dengan proporsi jumlah usia anak dan remaja. Laporan tribunnews tersebut juga menyebut, bahwa sekarang hampir jarang ditemui anak-anak kecil di tempat-tempat umum. Sampai-sampai diberitakan pula, setiap tahun ada saja sekolah TK yang tutup karena tak ada murid, sementara jumlah panti jompo terus meningkat dari tahun ke tahun.

Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi 10 atau 20 tahun ke depan. Dan ini merupakan fenomena yang menakutkan. Karena satu saat, Jepang akan kehilangan generasi penerusnya. Dan sejarah Jepang pun akan putus dengan sendirinya.

Itulah kenapa Pemerintah Jepang terus berupaya mendorong para wanita untuk menikah dan punya anak. Stasiun TV pun didorong untuk menayangkan berita-berita tentang nikmatnya membangun keluarga, hingga kabar tentang satu keluarga beranak 10 pun sempat menjadi berita menghebohkan disana. Namun sejauh ini, upaya-upaya yang dilakukan belum menampakkan hasil.

China sendiri mungkin masih merasa lebih aman. Jumlah penduduk yang sangat besar, dipandang masih dimungkinkan memback up kelangsungan generasi. Namun, entah sampai kapan China akan bertahan, jika saat ini kaum wanitanya mulai ogah menikah dan berketurunan? Yang pasti, hingga kini pemerintah masih konsisten menerapkan kebijakan ‘satu keluarga, (wajib) hanya satu anak’; Sebuah kebijakan yang dianggap kontroversial, karena punya lebih dari satu anak, harus siap dikriminalisasi. Atau ketahuan hamil kedua saja, harus siap dipaksa aborsi.


Buah Busuk Kapitalisme Liberalisme

Fenomena wanita (memilih) lajang (unwed) dan enggan punya anak senyatanya sudah lekat dalam kehidupan masyarakat kapitalis yang mengagungkan materi dan kebebasan. Dalam masyarakat seperti ini, keberadaan lembaga keluarga dan aturan-aturan agama memang dipandang sebagai penghambat kemajuan dan pengungkung kebebasan kaum wanita untuk mengekspresikan diri sesuka hatinya.

Di luar itu, mereka rupanya tak bisa lepas dari trauma sejarah penindasan yang senyatanya memang terlembaga dalam peradaban gelap Eropa berabad-abad lamanya. Status wanita versi ajaran gereja dan sinagoge yang tak lebih dari setan penggoda membuat kehidupan mereka memang menderita. Ini diperburuk dengan adanya kebijakan politik feodalistik yang secara struktural telah menempatkan kaum wanita Eropa sebagai budak tak berdaya.

Itulah kenapa, saat revolusi berpikir yang dilanjutkan dengan revolusi politik terjadi di Eropa, dimana sekularisme lahir pertamakali sebagai spiritnya, kaum wanitapun merasa mendapat angin kebebasan. Selain menyerukan pemisahan pengaruh agama dalam politik, merekapun ikut menuntut minimalisasi peran agama dalam seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam kehidupan berkeluarga.

Walhasil, pernikahan pun tak lagi dipandang sakral. Dalam kamus kehidupan mereka, tak boleh lagi ada legitimasi agama dalam membangun hubungan-hubungan di dalam keluarga, karena selama ini, agama dipandang hanya mendiskriminasi kaum wanita. Karenanya, jika laki-laki bisa berkuasa karena memberi nafkah, maka wanita kenapa tidak. Jadilah kehidupan dipenuhi persaingan yang menggoncang struktur keluarga.

Kondisi ini lantas diperburuk dengan merebaknya paham-paham rusak yang meracuni benak-benak para wanita sebagaimana feminisme. Paham yang lahir dari rahim sekularisme ini mengajarkan bahwa kebahagiaan wanita hanya akan diraih saat mereka mampu mensejajarkan dirinya dengan para pria, bisa mandiri secara ekonomi dan tak tergantung pada mereka. Dengan paham ini, kaum wanita selangkah demi selangkah meninggalkan fitrah penciptaannya sebagai arsitek generasi dan berasyik masyuk dengan khayalan kebahagiaan atas nama emansipasi dan kesetaraan.

Lantas ‘agama’ baru inipun tersebar luas ke seantero bumi, termasuk Jepang dan China, bahkan hingga negeri2 kaum muslimin. Hampir semua makhluk bernama wanita terpapar demam ‘emansipasi dan kesetaraan”. Peran sebagai isteri dan ibu pun kian dinilai tak berharga. Sebaliknya status wanita karir menjadi kebanggaan dan mimpi yang dengan serius ditanamkan sejak balita dan terus berusaha diwujudkan saat dewasa.

Tapi apa yang didapat dari semua ini? Bahagiakah mereka? Daniel Crittenden seorang tokoh wanita Amerika dengan karir sukses, dengan jujur memaparkan hasil risetnya dalam sebuah buku berjudul What Our Mothers Didn’t Tell Us : Why Happiness Eludes The Modern Women (1999). Buku yang merupakan hasil penelitiannya selama 10 tahun ini membongkar fakta tentang kehidupan perempuan modern yang ternyata tak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang menurutnya sekedar mitos itu. Penelitiannya juga menggambarkan ‘kegalauan tersembunyi’ yang dialami kaum perempuan Amerika di saat mereka tua, dibalik berbagai sukses dan ‘kenyamanan’ hidup yang diperoleh melalui jargon kebebasan perempuan. Itulah mengapa Danielle justru balik menyerukan, agar kaum perempuan kembali merangkul keperempuanan mereka, sekaligus berusaha menghargai kebutuhan manusiawi mereka, seraya mencampakkan khayalan kaum feminis yang justru telah menghianati kaum mereka sendiri, wanita.

Lebih dari itu, tak bisa dipungkiri jika fenomena ini telah berdampak besar pada kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Di negeri-negeri penganut sekulerisme liberalisme yang mengagungkan ide2 feminisme, angka perceraian sangat tinggi. Fenomena unwed women dan single parent (perempuan kepala keluarga) merebak dimana-mana. Anak-anakpun tumbuh dalam habitat tak sempurna berupa keluarga. Televisi, internet dan lingkungan yang rusakpun menjadi ibu-ibu kedua mereka. Wajar jika generasi hari ini menjadi generasi tanpa bentuk. Generasi yang lebih akrab dengan narkoba, tawuran, seks bebas, dugem, dan hura-hura dibanding akrab dengan ilmu dan karya, terlebih lagi dengan agama dan semangat perjuangan untuk membelanya.

Dan sekali lagi, mirisnya kaum muslimin sudah terperangkap di lubang yang sama. Mental latah dan terjajah telah membuat mereka dengan mudah “dikacangi” oleh imperialis kapitalis yang mengekspor kerusakan ke negeri-negeri mereka, dengan berbagai bungkus menarik dan tim marketing yang canggih luar biasa. Berbagai konvensi internasional, BPFA dan MDGs-pun diperlakukan tak ubah kitab suci yang menuntun dan menjadi rujukan bagi setiap kebijakan dan aktivitas mereka. Lembaga-lembaga internasional dan LSM kompradorpun menjadi alat jitu meyakinkan kebenaran pilihan2 hidup mereka.

Alhasil, semua kompak masuk lubang biawak bersama-sama. Sementara sang pendosa, yakni kaum imperialis kapitalis, dengan aman mengeruk semua harta kekayaan milik mereka dan menginjak-injak kehormatan mereka hingga nyaris tak bersisa. [SNA]

Selasa, 03 Januari 2012

MENELISIK POTRET PEREMPUAN JAWA BARAT


(Sebuah Catatan untuk Menggagas Perubahan)
Oleh : Siti Nafidah Anshory


Jawa Barat merupakan propinsi dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia. Dengan luas sekitar 3.710.061,32 ha tercatat ada 43.021.826 orang yang tinggal di daerah ini dengan komposisi 21.876.572 penduduk laki-laki dan 21.145.254 perempuan yang tersebar di 26 kabupaten/kota (Sensus Penduduk 2010).

Selain potensi SDM yang besar, Jawa Barat juga merupakan propinsi dengan potensi sumberdaya alam (SDA) yang luar biasa. Bentangan lahan pertanian dan perairan yang sedemikian luas menyebabkan wilayah ini pantas disebut sebagai “rumah produksi” bagi produk pertanian dan menjadi sumber pasokan ikan dan biota laut lainnya di Indonesia. Begitupun dengan kekayaan alam yang berupa hutan, mineral dan gas alam, serta potensi pariwisata dan budaya yang melimpah ruah dan beraneka ragam.

Dengan potensi yang sedemikian besar, sejatinya Jawa Barat mampu menjadi wilayah yang makmur sejahtera. Dan kalangan perempuanpun seharusnya bisa ikut merasakannya. Namun realita menunjukkan lain. Meski beberapa indikator kesejahteraan dan pertumbuhan ekonomi makro diklaim terus meningkat, tetap saja tak mampu mengkatrol kesejahteraan rakyat secara mayoritas, termasuk kalangan perempuan.

Nasib perempuan Jawa Barat setidaknya bisa dilihat dari beberapa indikator makro. Salah satunya Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Laporan terakhir Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa IPM Jabar tahun 2009 masih berada di kisaran angka 71,64, menempati ranking ke-15 dari seluruh propinsi yang ada di Indonesia. Padahal di tahun yang sama, Indonesia masih berada di peringkat 111 dari 182 negara dan di tahun 2011 ini bahkan melorot tajam menjadi ranking ke-124 dari 187 negara.

Sebagaimana diketahui, IPM adalah indikator penting untuk mengukur keberhasilan dalam upaya membangun kualitas hidup manusia (masyarakat/penduduk). IPM juga menjelaskan bagaimana penduduk, baik laki-laki maupun perempuan, dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan dan sebagainya. Karenanya penghitungan IPM selalu memperhatikan capaian apa yang disebut dengan indeks pendidikan, indeks kesehatan dan indeks daya beli, yang semua perhitungannya tak lepas dari penggunaan asumsi-asumsi, penggunaan nilai rata-rata serta data mentah yang seringkali invalid dan tak mewakili keadaan sebenarnya.

Di bidang pendidikan misalnya, indeks pendidikan dihitung dari berapa angka melek huruf (AMH) dan rata-rata lama sekolah (RLS) penduduk 15 tahun ke atas. Di Jawa Barat AMH-nya memang relative tinggi, yakni 96% lebih, namun hingga tahun 2010, angka RLS-nya masih relative rendah, yakni 7,95 tahun. Artinya rata-rata tingkat pendidikan penduduk Jawa Barat yang berusia 15 tahun ke atas dan sebagian diantaranya perempuan adalah tidak tamat SLTP atau baru mencapai kelas 1 atau 2 SLTP.

Di bidang kesehatan, indeks kesehatan dihitung dari angka harapan hidup (AKH), angka kematian bayi dan angka kematian ibu (AKB dan AKI). Angka-angka inipun masih belum sesuai harapan. Meski di tahun 2010, AKH penduduk Jabar cukup tinggi, yakni 68,2 tahun, namun angka ini tak serta merta menunjukkan bahwa derajat kesehatan masyarakat juga baik. Terlebih banyak fakta yang menunjukkan bahwa kondisi kesehatan masyarakat Jawa Barat masih bermasalah.

Per Maret 2011, diperoleh data dari sekitar 3,7 juta balita di Jabar, sebanyak 299.700 mengalami gizi kurang dan sekitar 30.000 mengalami gizi buruk. Setengah di antaranya bisa dipastikan adalah bayi perempuan. Sudah bertahun-tahun pula, Jawa Barat selalu tercatat sebagai ranking pertama penyumbang AKI dan AKB terbesar di Indonesia. Data Dinkes Propinsi Jabar 2007 menyebut AKI di Jawa Barat masih sebesar 250 per 100.000 kelahiran dan AKB masih sebesar 40,26 per 1.000 kelahiran hidup. Ini belum termasuk data tentang sebaran penyakit menular semisal TBC, malaria, diare, bahkan AIDs yang di Jawa Barat angkanya cukup tinggi.

Tingkat daya beli masyarakat Jawa Barat pun masih terkatagori rendah. Ini nampak dari nilai indeks daya beli masyarakat yang di tahun 2010 sebesar 62,57 poin dengan nilai Paritas Daya Beli masyarakat Jawa Barat yang pada tahun 2010 sebesar Rp. 630.770. Angka ini meleset dari target pemprov Jabar dengan visi ”Menjadi Provinsi Termaju dan Mitra Terdepan Ibu Kota Negara 2010” yang menetapkan IPM 2010 sebesar 80.

Rendahnya nilai IPM dengan seluruh indikatornya sesungguhnya sejalan dengan masih tingginya proporsi penduduk miskin di Jawa Barat yang kebanyakan di antaranya adalah kaum perempuan. Kondisi ini juga berjalin berkelindan dengan tingginya tingkat pengangguran di daerah yang senyatanya kaya raya ini.

Pada tahun 2010 (data maret 2010), jumlah penduduk miskin tercatat sebesar 11,27% dari total jumlah penduduk Jawa Barat. Angka ini dihitung dengan standar garis kemiskinan yang sangat tidak manusiawi, yakni Rp. 220.098 per kapita per bulan. Angka ini, tentu akan jauh lebih tinggi jika dihitung dengan menggunakan standar lain semisal standar World Bank yang sebenarnya juga masih sangat rendah, yakni 2 dollar per hari atau sekitar 60 dollar per bulan. Dengan standar ini, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat setidaknya akan naik menjadi 3 kali lipat atau sekitar 30%. Bahkan jika standarnya dibuat lebih manusiawi lagi, bisa jadi proporsi penduduk miskin menjadi lebih dari separuh penduduk Jawa Barat. Dan separuh di antaranya dipastikan dari kalangan perempuan.

Adapun situasi ketenagakerjaan, dari jumlah angkatan kerja di tahun 2010 sebanyak 18,89 juta jiwa, tingkat partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)-nya hanya mencapai 62,38%. Sementara Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) yang menunjukkan proporsi jumlah penduduk yang mencari pekerjaan secara aktif terhadap jumlah seluruh angkatan kerja di Jawa Barat mencapai 10,33%. Jika mengingat bahwa jumlah angkatan kerja ‘dengan daya akses ke dunia kerja sangat rendah’ jumlahnya masih jauh lebih besar (karena terkait dengan masih rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya keahlian dari mayoritas penduduk Jabar, serta terbatasnya ketersediaan lapangan kerja itu sendiri), maka tentu angka ril pengangguran juga akan jauh lebih besar.

Kondisi inilah yang memunculkan masalah tak berkesudahan di Jawa Barat. Kemiskinan yang mendera sebagian besar masyarakat telah memaksa kaum perempuan harus berperan ganda; sebagai ibu dan isteri, sekaligus membantu suami mencari nafkah atau benar-benar menjadi pencari nafkah utama (perempuan kepala keluarga/PEKKA).

Ironisnya, atas kemiskinan yang tercipta secara structural dan bukan alamiah ini kaum perempuan dipaksa oleh sistem secara structural pula untuk ikut serta menyelesaikan masalah kemiskinan melalui apa yang disebut dengan program pemberdayaan ekonomi perempuan dan program keluarga berencana. Melalui program-program ini, yang dikukuhkan dengan infiltrasi massif pemikiran keadilan dan kesetaraan jender dan penerapan sistem sekuler liberal, kaum perempuan pun didorong dan difasilitasi untuk meraih apa yang disebut kemandirian ekonomi, kebebasan berekspresi dan jaminan atas hak-hak reproduksi. Di luar itu, kaum perempuan Jawa Barat secara mandiri terpaksa menerjunkan diri ke dunia kerja, dengan menjadi buruh pabrik, buruh perkebunan, dan pekerjaan-pekerjaan informal lain yang tak jarang beresiko tinggi.

Survei Sosial Ekonomi Daerah Jabar pada 2009 menunjukkan bahwa perempuan bekerja berjumlah 5,56 juta orang. Adapun terkait PEKKA, data Susenas Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang dikepalai perempuan mencapai 13.60% atau sekitar 6 juta rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk. Sementara jumlah PEKKA di Jawa Barat ditengarai juga cukup tinggi dan berada di atas rata-rata. 80% di antaranya bekerja di sector informal dan sebagian besar dari mereka ini hidup di bawah garis kemiskinan dan tersingkirkan.

Salah satu pekerjaan yang banyak dilirik para perempuan korban sistem ini adalah menjadi TKI. Menurut Kepala Pusat Penelitian Pengembangan dan Informasi BNP2TKI Benyamin Suprayogo, pada 2011 Jabar menjadi juara satu dari tiga besar provinsi pengirim TKI, mengungguli Jatim dan NTB. Padahal di tahun sebelumnya, Jabar berada di posisi ke empat setelah NTT, Jatim dan NTB. Kurang dari setahun hingga Maret 2011 jumlah TKI asal Jabar yang dikirim ke luar negeri, baik ke Asia maupun Timur Tengah sudah mencapai 152 ribu.

Tentu saja, meski (pemerintah) Jabar diuntungkan dengan pasokan devisa yang dihasilkan para TKI, namun seiring dengan banyaknya jumlah TKI maka permasalahan yang dihadapi oleh para TKI pun semakin besar. Dari 39 ribu laporan TKI bermasalah di tahun 2011, yang terbanyak berkasus adalah TKI asal Jabar. Tak hanya kasus gaji yang tak dibayar oleh majikannya atau dokumen bermasalah, juga ada yang tersandung kasus hukum yang terkena vonis mati, bahkan kekerasan yang berujung kematian.

Selain pekerjaan legal dan halal, kemiskinan juga menjadi alasan bagi sebagian kaum perempuan di Jawa Barat terjebak dan menjadi korban bisnis illegal dan haram sebagaimana perdagangan orang (trafficking) dan menjadi PSK. Beberapa wilayah di Jabar bahkan masuk dalam zona merah kasus perdagangan manusia di Indonesia, seperti Indramayu, Subang, Cianjur, Karawang, Sukabumi, Cirebon, dan Kabupaten/Kota Bandung. Inilah yang menjadikan Jabar sebagai daerah dengan kasus trafficking paling tinggi di Indonesia.

Tentu saja kasus-kasus (kemiskinan) perempuan ini membawa dampak social yang cukup besar di Jawa Barat. Saat perempuan dipaksa menopang ekonomi keluarga, di saat yang sama fungsi dan perannya sebagai ibu dan pengatur rumahtangga menjadi tak sempurna. Pola relasi antar anggota keluarga mulai berubah, bahkan salah kaprah, hingga lembaga keluarga pun mengalami disorientasi dan disfungsi.

Tak sedikit kaum perempuan yang dilecehkan dan menjadi korban kekerasan di jalan-jalan. Tak sedikit pula anak-anak di Jawa Barat yang tumbuh menjadi besar tanpa penyusuan, pengasuhan dan pendidikan yang sempurna. Kehidupan keluarga mulai sarat konflik dan penuh dengan tekanan, dimana para ayah pun mulai kehilangan wibawa dan para isteri pun merasa berkuasa. Inilah yang lantas memicu tingkat perceraian di Jabar hingga sedemikian tinggi, bahkan tertinggi di Indonesia yakni 33.684 kasus (2010). Mayoritasnya dipicu masalah ekonomi dan diajukan atas inisiatif istri (gugat cerai).

Berbagai kasus dekadensi moral pun sedemikian marak di Jawa Barat. Survey BKKBN 2010 menyebut 47 % remaja putri di Jabar sudah tak perawan. Jabar juga menjadi wilayah dengan kasus HIV/AIDs tertinggi secara nasional. Hingga September 2011, tercatat ada sebanyak 3.925 kasus AIDS dan 2.354 kasus HIV yang 33 %-nya diidap oleh perempuan.

Belum lagi kasus narkoba, gank motor, anak jalanan, pelacur anak-anak dan remaja, yang di Jawa Barat jumlahnya makin meningkat saja dan rata-rata menempati peringkat teratas di Indonesia. Semua kasus ini menambah daftar panjang potret buram perempuan Jabar, bahkan masyarakat Jabar secara keseluruhan yang dalam jangka panjang, tentu akan menimbulkan bahaya lebih besar, karena menyangkut masa depan generasi dan nasib bangsa ke depan.

Kondisi ini seharusnya menjadi focus perhatian pemerintah daerah, bahkan pemerintah pusat jika ingin mengubah keadaan. Jangan sampai, pemerintah hanya focus pada hal-hal artificial semacam pencapaian tujuan pembangunan yakni kesejahteraan yang berpijak pada angka-angka pertumbuhan atau pendapatan semata-mata. Karena faktanya, tak ada yang bisa dibanggakan dengan capaian pertumbuhan ekonomi yang menurut pemprov di tahun 2010 berhasil mencapai 6,0% itu. Mengingat angka 6 % tadi –sekali lagi—sama sekali tak mewakili realitas tingkat kesejahteraan masyarakat di Jawa Barat.

Terlebih siapapun tak bisa memungkiri, bahwa cara berpikir dan bertindak ala kapitalisme --yang sayangnya sudah menjadi mindset para penguasa hari ini-- hanya focus mengukur tingkat kemajuan dan kesejahteraan pada pertumbuhan dan pendapatan harta yang dihitung dengan angka rata-rata saja. Sementara, berbagai kebijakan ekonomi kapitalistik yang diterapkan pemerintah, telah menjadikan asset ekonomi, baik di level daerah (Jabar) maupun secara nasional menumpuk pada sekelompok orang saja.

Pertumbuhan ekonomi misalnya, hanya dihitung dengan melihat pada aspek produksi kekayaan atau penambahan barang yang dihasilkan suatu wilayah secara agregat. Begitupun dengan indikator pendapatan per kapita yang mengukur tingkat kesejahteraan rakyat dari perbandingan jumlah harta dan jumlah penduduk semata-mata dengan nilai rata-rata, yang abai terhadap adanya realitas kesenjangan distribusi harta dan deviasi yang begitu lebar antara penduduk berpendapatan paling rendah dengan penduduk berpendapatan paling tinggi sebagaimana ciri khas negara penganut kapitalisme. Dengan mindset kapitalistik ini, adanya 9 orang yang berpendapatan Rp. 100 dan 1 orang berpendapatan Rp.9.900, diartikan sebagai kesejahteraan, karena rata-rata pendapatan mereka adalah Rp. 1000. Begitulah. Wajar jika selain memiskinkan, sistem kapitalisme juga melanggengkan kemiskinan, termasuk kemiskinan perempuan baik di Jawa Barat maupun Indonesia secara keseluruhan. Sehingga dari sisi manapun, sistem ini tak layak dipertahankan.

Hanya saja, selain harus meninggalkan mindset kapitalisme dalam pembangunan ekonomi, pemerintah juga harus memberangus budaya sekuler-liberal yang senyatanya telah menumbuh suburkan kerusakan di tengah masyarakat Jawa Barat. Kemiskinan, seharusnya tak menjadi alasan bagi kaum perempuan untuk terjerumus dalam bisnis haram.
Begitupun generasi muda tak harus terjebak dalam pergaulan yang merusak akhlaq jika pemerintah tak membiarkan liberalisme-sekulerisme memapar lingkungan mereka dengan penerapan sanksi tegas dan menerapkan kebijakan yang mempersempit ruang gerak bagi budaya bebas di masyarakat, baik melalui control ketat atas media rusak, mengubah paradigma pendidikan yang masih sekularistik, dan memberangus subsistem-subsistem lain yang juga berparadigma sekuler kapitalistik.

Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat mulai melirik dan beralih kepada sistem yang telah terbukti selama belasan abad berhasil menjamin kesejahteraan hakiki dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat. Yakni sistem yang ditawarkan Islam yang menjadi satu-satunya versus bagi kapitalisme-sekulerisme-liberalisme yang telah terbukti rusak, baik dalam aspek ekonomi, politik, pendidikan, social, budaya, sistem sanksi, pergaulan, dll.

Dan inilah arah perubahan yang seharusnya diperjuangkan, termasuk oleh kalangan perempuan. Yakni mengajak masyarakat dan pemerintah, termasuk yang ada di Jawa Barat untuk bersegera keluar dari sistem yang tak menjanjikan apapun selain kerusakan. Karena sepanjang kapitalisme-sekulerisme-liberalisme masih menjadi paradigma pembangunan dan paradigma berpikir para penguasa dan didukung oleh masyarakat, maka kondisi Jawa Barat yang sejahtera, bahkan Indonesia secara keseluruhan hanya akan jadi harapan. Dan kaum perempuan, harus siap bertahan dan siap terus dinihilkan. Masalahnya, hingga kapan? [SN]

----------------