Jakarta, 10 Mei 2014/10 Rajab
1435 H
|
KantorMedia Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia
|
Pernyataan Muslimah
Hizbut Tahrir
Indonesia
Negara Wajib Menjadi Penanggung Jawab Utama Perlindungan Anak
dari Segala Bentuk Kekerasan & Pelecehan
Fenomena kekerasan seksual pada anak yang terjadi
beruntun di sejumlah daerah, ibarat gunung es yang mencair. Korban terus
berjatuhan, bahkan jumlahnya mencapai ratusan. Terjadi di lingkungan bermain
anak, di sekitar tempat tinggal bahkan
juga di sekolah dan rumah yang selayaknya menjadi tempat anak mendapat
perlindungan, keteladanan dan pendidikan. Setelah kasus yang terjadi di Jakarta
International School (JIS), disusul terkuaknya perilaku predator seksual
Sukabumi, kini kasus serupa muncul dari berbagai daerah. Kondisi ini sangat
memilukan. Tidak hanya mencemaskan orang tua, namun juga mengundang keprihatinan
semua pihak.
Sangat disayangkan
pemerintah tidak mampu menghadirkan solusi tuntas mengatasi persoalan ini. Menanggapi
desakan masyarakat agar pemerintah bertindak cepat, tegas dan menyeluruh,
presiden SBY mencanangkan Gerakan Anti Kekerasan Seksual terhadap Anak, juga
akan mengeluarkan instruksi presiden (inpres) untuk mengatasi problem generasi
ini (8/5/2014).
Bila dicermati
program pemerintah ini lebih banyak mengembalikan tanggung jawab perlindungan
anak dari kekerasan kepada orang tua dan keluarga. Tanggung jawab pemerintah
seolah cukup diwujudkan dengan pemberian sanksi yang lebih berat pada pelaku
kejahatan, dan pemberian fasilitas agar korban kekerasan mendapatkan bantuan
pengobatan dan pemulihan kondisi mental. Padahal persoalan ini adalah buah dari
penerapan sistem sekuler dan liberal yang
rusak, yang hanya melahirkan kerusakan
dan kebobrokan di semua lini kehidupan. Tidaklah cukup menyelesaikan
masalah ini hanya dari satu sisi, misalnya pendidikan seks pada anak semenjak
dini, atau memperberat hukuman terhadap pelaku.
Perlindungan menyeluruh bagi anak dari kekerasan seksual mengharuskan
negara membuat evaluasi menyeluruh atas kebijakan terkait berjalannya fungsi
keluarga, adanya lingkungan yang kondusif, kurikulum pendidikan yang sejalan
serta penegakan hukum. Ini artinya, negaralah pihak yang paling bertanggung
jawab dalam melahirkan sistem yang akan memberi perlindungan seutuhnya bagi
anak. Bila sistem sekuler dan liberal yang berjalan saat ini terbukti hanya
melahirkan maraknya kejahatan seksual terhadap anak, selayaknya sistem ini
dibuang jauh-jauh dari kehidupan umat yang mayoritas muslim ini.
Rasulullah saw.
bersabda terkait dengan tanggung jawab negara: “Sesungguhnya imam (negara) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di
belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim)
Secara rinci, tanggung jawab negara
dalam melindungi anak-anak dari kekerasan seksual adalah sebagai berikut:
1) Dalam masalah ekonomi,
Islam mewajibkan negara menyediakan lapangan kerja yang luas agar para kepala
keluarga dapat bekerja dan memberikan nafkah untuk keluarganya. Semua
sumberdaya alam strategis adalah milik umat yang dikelola negara. Negara
berkewajiban mendistribusikan seluruh hasil kekayaan negara untuk kesejahteraan
warganegara, baik untuk mencukupi kebutuhan pokok, kesehatan, maupun
pendidikan. Dengan jaminan seperti ini, para ibu tidak perlu bekerja
sehingga bisa berkonsentrasi menjalankan tugas utamanya mendidik, memantau dan
menjaga anak-anaknya.
2) Negara tidak membiarkan
adanya anak-anak yang terlantar seperti anak-anak jalanan yang rentan menjadi
korban pedofilia. Negara punya kekuatan untuk memaksa orang yang wajib
mengasuh anak bila mampu. Bila tidak mampu, negara wajib mencarikan pengasuh
yang mau bertanggung jawab, atau negara menampung dan mendidik mereka dalam
rumah-rumah khusus anak yatim dan anak terlantar.
3) Negara wajib menjaga
suasana taqwa terus hidup di tengah masyarakat. Negara membina
warganegara sehingga mereka menjadi manusia yang bertaqwa dan memahami hukum-hukum
agama. Pembinaan dilakukan baik di sekolah, di masjid, dan di lingkungan
perumahan. Dalam hal ini, negara mencetak para ulama dan menjamin
kehidupan mereka sehingga mereka bisa berkonsentrasi dalam dakwah. Ketaqwaan individu akan menjadi
pilar pertama bagi pelaksanaan hukum-hukum Islam. Individu bertaqwa tidak
akan melakukan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Orangtua juga paham
hukum-hukum fiqh terkait dengan anak sehingga bisa mengajarkan anak hukum Islam
sedari kecil, seperti menutup aurat, mengenalkan rasa malu, memisahkan kamar
tidur anak, dan sebagainya.
4) Negara mengatur mekanisme
peredaran informasi di tengah masyarakat. Media massa di dalam negeri
bebas menyebarkan berita. Tetapi mereka terikat dengan kewajiban untuk
memberikan pendidikan bagi umat, menjaga aqidah dan kemuliaan akhlak serta
menyebarkan kebaikan di tengah masyarakat. Bila ada yang melanggar
ketentuan ini, negara akan menjatuhkan sanksi kepada penanggung jawab media. Untuk media asing, konten akan
dipantau agar tidak memasukkan pemikiran dan hadharah (peradaban) yang
bertentangan dengan aqidah dan nilai-nilai Islam. Dengan mekanisme ini,
pornografi, budaya kekerasan, homoseksualisme dan sejenisnya dicegah untuk
masuk ke dalam negeri.
5) Negara mengatur kurikulum
sekolah yang bertujuan membentuk kepribadian Islam bagi para siswa.
Kurikulum ini berlaku untuk seluruh sekolah yang ada di dalam negara, termasuk
sekolah swasta. Sedangkan sekolah asing dilarang keberadaannya di dalam wilayah
negara.
6) Negara membuat aturan
pergaulan antara laki-laki dan perempuan di masyarakat berdasarkan hukum-hukum
syara’. Aturan ini bertujuan mengelola naluri seksual pada laki-laki dan
perempuan dan mengarahkannya untuk mencapai tujuan penciptaan naluri ini yaitu
melahirkan generasi penerus yang berkualitas. Karena itu, pernikahan
dipermudah, bahkan negara wajib membantu para pemuda yang ingin menikah namun
belum mampu secara materi.
Sebaliknya, kemunculan naluri
seksual dalam kehidupan umum dicegah. Laki-laki dan perempuan diperintahkan
untuk menutup aurat, menahan pandangan, menjauhi ikhtilat (interaksi laki-laki
dan perempuan) yang diharamkan, dan seterusnya. Dengan metode ini, aurat
tidak dipertontonkan dan seks tidak diumbar sembarangan. Terbiasanya orang
melihat aurat perempuan dan melakukan seks bebas, akan membuat sebagian orang
kehilangan hasrat seksnya dan mereka membutuhkan sesuatu yang lain untuk
membangkitkannya. Muncullah kemudian penyimpangan seksual seperti
pedofilia, homo dan lesbi. Inilah yang dihindarkan dengan penerapan
aturan pergaulan sosial dalam Islam.
7) Negara menjatuhkan hukuman
tegas terhadap para penganiaya dan pelaku kekerasan seksual terhadap
anak. Pemerkosa dicambuk 100 kali bila belum menikah, dan dirajam bila
sudah menikah. Penyodomi dibunuh. Termasuk juga melukai kemaluan
anak kecil dengan persetubuhan dikenai denda 1/3 dari 100 ekor unta, atau
sekitar 750 juta rupiah, selain hukuman zina (Abdurrahman Al Maliki, 1990, hal
214-238). Dengan hukuman seperti ini, orang-orang yang akan melakukan
kekerasan seksual terhadap anak akan berpikir beribu kali sebelum melakukan
tindakan.
8) Anak-anak yang menjadi
korban sodomi akan direhabilitasi dan ditangani secara khusus untuk
menghilangkan trauma dan menjauhkan mereka dari kemungkinan menjadi pelaku pedofilia
baru nantinya.
9) Negara mencegah masuknya
isme dan budaya yang bertentangan dengan Islam atau membahayakan kehidupan
masyarakat seperti liberalism, sekulerisme, homoseksualisme dan sejenisnya dari
saluran mana pun. Media massa, buku, bahkan orang asing yang masuk
sebagai turis atau pedagang dilarang membawa atau menyebarkan hal
tersebut. Bila mereka melanggar, dikenakan sanksi berdasarkan hukum
Islam. Penerapan hukum secara utuh ini akan
menyelesaikan masalah kekerasan terhadap anak secara tuntas. Anak-anak
dapat tumbuh dengan aman, menjadi calon-calon pemimpin, calon-calon pejuang dan
calon generasi terbaik.
Namun, yang
mampu menjalankan fungsi dan tanggung jawab seperti di atas, tidak lain
hanyalah negara yang menerapkan sistem Islam
secara utuh, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.
Juru Bicara Muslimah
Hizbut Tahrir Indonesia
Iffah Ainur Rochmah
HP 08111131924
Email:
iffahrochmah@gmail.com
[][][][]