INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Selasa, 27 Maret 2012

MUSLIMAH, SAATNYA BERPIKIR BESAR!

(Sumber foto: tribunnews.com)

Oleh : Siti Nafidah Anshory


Pengantar

Isu globalisasi senyatanya bukan cuma menghasilkan transformasi tata ruang dan lokal saja sehingga dunia seolah menjadi jauh 'lebih kecil' dari sebelumnya. Yang lebih esensial, isu ini justru telah membawa implikasi pada perubahan tatanan politik dunia yang kian terkutubkan; Barat Kapitalis di satu sisi, dan dunia Islam di sisi yang lain. Polarisasi di sini, tentu tak sebagaimana gambaran ketika dunia pernah terbagi ke dalam 2 kutub; blok Barat Kapitalis (diwakili AS) versus Blok Timur Sosialis (diwakili Uni Sovyet), dimana pada orde ini, masing-masing blok memiliki posisi tawar yang sama kuat sebagai pesaing bagi satu sama lain. Sedangkan polarisasi yang terjadi saat ini, jelas sangat timpang. Amerika tampil sebagai sang Super Power, sementara dunia Islam hanya berperan sebagai objek jajahan dan budak pelayan kepentingan AS. Super Power melawan Inferior Power!

Sejak keruntuhan Sovyet, AS melalui think-tanknya dari jajaran Council for Foreign Relation (CFR, sebuah lembaga kajian kebijakan luar negeri AS) memang telah mensetting perubahan lingkungan strategis yang baru tersebut dengan memposisikan AS sebagai the single fighter. Hanya saja, mereka sadar, bahwa ---mengutip pernyataan Charles E. Carlson (1), seorang the Warmakers di dalam CFR--- sesudah runtuhnya imperium Uni Sovyet "...selected the far-flung nations of Islam as a replacement for the old Marxist-Leninist ... The Red Peril has 'greatly abated' to be replaced by a new Green Peril". Oleh karena itulah, untuk meredam potensi bahaya hijau (Islam) menggantikan bahaya merah (Soskom) ini, mereka segera menyusun grand strategy yang akan mengarahkan semua potensi musuh (terutama Islam) tercengkram dalam genggaman AS. Taktik yang mereka gunakan adalah dengan melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan secara total dan universal --di samping sesekali menggunakan serangan militer-- dengan target menjauhkan umat Islam dari potensi kekuatan mereka yang tidak lain terletak pada ideologinya.

Apa yang getol dilakukan AS di dunia Islam hingga hari ini, seperti kampanye anti terorisme dengan sequel terbarunya bertajuk 'war on evil ideology' (baca : kampanye anti ideologi Islam), gelombang infiltrasi pemikiran dan budaya sekuler (terutama isu demokratisasi, liberalisasi dan budaya permissif) di negeri-negeri Islam dengan memanfaatkan jasa para antek lokal dari kalangan liberalis sekuler yang mereka danai dan mereka mediasi secara besar-besaran dan kontinyu, politik adu domba yang mereka rancang di negeri-negeri Islam, menjadi bukti betapa AS yang kampiun kapitalisme ini terobsesi dengan impiannya menjadi penguasa tunggal dalam Tata Dunia Barunya. Dan untuk memuluskan serangan total peradaban kapitalis sekuler inilah, isu globalisasi mereka blow up sedemikian rupa, sehingga menjadi sarana efektif untuk tidak hanya mematikan kekuatan perekonomian kaum muslimin dengan senjata modal mereka, tapi lebih jauh ditujukan untuk merusak seluruh sendi-sendi kehidupan kaum muslimin sejak dari asasnya, yakni kekuatan ideologis yang dimiliki Islam.


Perempuan di Tengah Isu Globalisasi

Sayangnya, serangan yang begitu dahsyat dan mematikan atas nama globalisasi ini seolah terjadi tanpa perlawanan. Para penguasa Muslim dan kaum intelektual mereka justru seringkali bertindak sebagai pengukuh atas terjadinya kejahatan ini. Di sisi lain, mayoritas masyarakat --yang senyatanya telah terbodohkan secara sistematis melalui pendidikan sekuler yang mereka dapati-- tak memiliki kepekaan untuk membaca bahaya apa yang ada di balik slogan manis dan propaganda modernisme dan globalisasi yang ditawarkan Barat. Pada kondisi inilah kaum perempuan (muslim) saat ini berada. Perempuan (muslim) bahkan ikut terjebak pada pola pikir dan pola sikap yang sama. Sebagian sama-sama menjadi pembebek, sebagian sama-sama menjadi antek, dan sebagian lagi sama-sama cuek.

Secara fakta, banyak hal yang bisa membuktikan betapa imperialis telah secara sengaja 'memanfaatkan' kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka, lagi-lagi dengan memanfaatkan isu globalisasi. Nampaknya mereka menyadari betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan yang memang merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Sehingga, ketika mereka mendapati begitu banyak kenyataan buruk yang dihadapi perempuan (muslim), mereka segera ekspor paket 'kemajuan perempuan Barat' dengan isu gendernya untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim, seraya tak lupa mereka tawarkan paket-paket 'program bantuan' untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia ketiga (dunia Islam) itu dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia dan forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka. Sejalan dengan itu, di dunia Islam sendiri menjamur pula gerakan-gerakan perempuan (feminis) muslim dan berbagai LSM lain yang sengaja disponsori pihak kapitalis, untuk 'berjuang' pada tataran praktis dengan mindframe dan jobdes yang mereka inginkan. Yakni mindframe dan jobdes feministik dan liberalis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam!

Karena itulah, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis muslim dan kaum liberalis sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atasnama pembebasan perempuan, yang hakekatnya menyerukan pembebasan dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam. Disamping itu, mereka juga intens melakukan mainstreaming opini feministik dan liberalis ini di semua lini --termasuk dalam berbagai kebijakan publik hingga sosialisasinya ke level bawah-- untuk kian menguatkan opini bahwa Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan atau dipeti-eskan. Dalam konteks Indonesia, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting KHI yang sempat memicu kontroversi, disahkannya UU No. 23/2004 tentang KDRT dan Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional, dan lain-lain --termasuk rencana pengesahan UU Kesehatan Reproduksi dalam waktu dekat yang salah satu itemnya memuat isu legalisasi aborsi-- merupakan bukti 'keberhasilan' upaya mereka meraih target ini.

Di samping upaya-upaya tersebut, penghancuran juga dilakukan dengan cara bersengaja memanfaatkan perempuan muslim sebagai objek eksploitasi bagi kepentingan kapitalisme global mereka. Caranya antara lain dengan menggiring kaum perempuan muslim untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme, melalui serangan budaya yang mereka lancarkan secara intens lewat majalah-majalah, koran-koran, televisi, internet, film-film hingga penyelenggaraan event ratu-ratuan, yang senyatanya memang mereka monopoli. Dengan cara ini, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Yang padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan dan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketing produk-produk mereka. Adapun cara eksploitasi lain yang lebih mengerikan lagi dan juga ditengarai melibatkan simpul-simpul kapitalis global adalah child and women trafficking dan sex tourism industry, yang disadari atau tidak telah menyeret kaum perempuan muslim menjadi objek/korban perdagangan manusia di bursa-bursa seks internasional. Sekalipun masih tergolong kriminalitas, tapi dalam konteks kapitalisme kegiatan ini dianggap sebagai hal niscaya dan dianggap sebagai bagian dari 'kegiatan ekonomi bayangan' (shadow economy) yang menjanjikan keuntungan luar biasa besar.

Dari penjelasan di atas, jelas bahwa isu globalisasi sesungguhnya memiliki multi target. Selain target yang bersifat ideologis, juga memiliki target ekonomi sebagai watak genial kapitalisme, yang kesemuanya pasti bermuara pada satu target politis. Yakni, mencegah sejak dini bangkitnya kekuatan super power baru yang akan mengalahkan hegemoni mereka atas dunia (2). Bahkan untuk meraih target-target strategis ini, mereka rela melakukan apapun, termasuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit.

Tentang hal ini, Republika (17/10/2003) pernah melansir berita bagaimana upaya AS memsekulerkan Arab, yang berarti jaminan negeri-negeri itu tetap berada di bawah pengaruhnya. Dalam hal ini, Departemen Luar Negeri AS sangat memahami betul peran sentral media massa, baik cetak maupun elektronik untuk kegiatan propaganda. Untuk itulah Kongres AS menyetujui kucuran dana sebesar 62 juta dolar AS untuk membangun jaringan televisi Timur Tengah, setelah sebelumnya mendanai penerbitan majalah Hi dengan anggaran 6,2 juta dolar. Adapun targetnya adalah untuk memperkenalkan kebudayaan global 'baru' yang jauh dari budaya 'kekerasan' melalui penayangan berita-berita mengenai perkembangan fashion, tren musik, film, budaya, kehidupan selebritis Amrik, dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi target politisnya adalah menampilkan citra 'lebih lembut' bangsa Amerika di mata bangsa Arab, sehingga lambat laun bisa meredam rasa kebencian orang-orang Arab terhadap Amerika yang selama ini terbangun terutama setelah operasi-operasi militer AS di Timur Tengah. Ironisnya, rencana AS ini segera diamini oleh para penguasa dan pengusaha di negeri-negeri Arab itu. Bahkan sebagai gambaran betapa antusiasnya sambutan mereka, seorang Kapitalis asal Mesir menyatakan siap mendanai pembuatan film Baywatch versi Mesir yang dibintangi artis lokal setipe David Hasselhoff dan Pamela Anderson!!!


Urgensi Membangun Kesadaran Politik Internasional

Sebenarnya, respon negatif (perlawanan) atas propaganda destruktif dan imperialisme gaya baru AS dan sekutu-sekutunya ini bukan tidak ada sama sekali. Bahkan saat ini, kesadaran akan pentingnya perubahan mulai menggeliat sejalan dengan kian nampaknya berbagai kebobrokan ideology dan sistem hidup yang mereka paksakan ke tengah umat. Arus kesadaran identitas yang dipelopori gerakan-gerakan Islam ideologis --pelan tapi pasti-- juga mulai menyelusup sedemikian rupa, mengetuk akal-akal dan nurani sebagian kaum muslim, melewati batas-batas politik dan sekat-sekat imajiner bernama Negara, serta pada akhirnya membentuk koneksi 'semangat dan kesadaran yang sama' untuk melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh dengan ideology Islam.

Sayangnya, kesadaran dan ghirah akan perubahan fundamental seperti ini masih menjadi milik sebagian kecil umat Islam saja, yang sebagian kecil di antaranya adalah kaum perempuan. Tentu saja hal ini belum sebanding dengan jumlah kaum muslimin yang sedemikian besar dan belum sebanding pula dengan begitu beratnya persoalan yang harus diselesaikan, termasuk dengan arus opini yang 'dibentuk' oleh Barat tentang Islam dan umat Islam. Umat dalam hal ini, masih begitu asyik dengan euphoria 'kebebasan' dan demokratisasi yang ditawarkan Barat. Sebagian lagi asyik berkutat dengan persoalan-persoalan cabang dan perseteruan murahan. Sementara itu, kaum perempuan asyik pula dengan dunianya sendiri, persoalannya sendiri. Seolah-olah ada jarak yang lebar antara perempuan, kesadaran politik --apalagi politik global--, dan kontribusi atas perubahan, betapapun fakta-fakta rusaknya masyarakat sudah ada di depan mata atau bahkan menimpa mereka.

Dengan demikian, setidaknya ada dua pekerjaan yang harus kita selesaikan dalam waktu yang bersamaan. Yakni mengcounter serangan-serangan konspiratif dan makar dari luar berikut membongkar 'wajah busuk' para penguasa muslim yang menjadi penjaga kepentingan kaum imperialis di negeri mereka sendiri, sekaligus mempercepat tumbuhnya kesadaran di kalangan umat, termasuk di kalangan perempuan, bahwa kondisi buruk yang mereka hadapi saat ini sebenarnya bukan merupakan kondisi alamiah mereka sebagai khoyru ummah, bahwa akar permasalahan semua problematika yang mereka hadapi ada pada tatanan hidup yang rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka oleh para penguasa antek imperialis, bahwa memproses perubahan yang revolusioner (menyeluruh dan mendasar) ke arah Islam bukan cuma penting tapi juga wajib, serta bahwa mereka punya tanggungjawab yang sama untuk berproses dalam gerakan perubahan ini. Artinya, umat --termasuk kaum perempuan-- harus disadarkan untuk siap dan bersegera memposisikan diri sebagai agen perubahan, dan bukan obyek perubahan seperti yang selama ini terjadi. Untuk itu, di kalangan umat secara keseluruhan harus dibangun kesadaran politik dengan kesadaran politik yang benar dan menyeluruh pula. Kesadaran politik yang benar berarti kesadaran politik yang dilandasi pemahaman terhadap aqidah Islam, bahwa keimanannya terhadap Islam membawa konsekuensi keharusan menyelesaikan seluruh persoalan hidupnya (baik secara pribadi, kelompok, keluarga, masyarakat, maupun negara; baik yang menyangkut urusan dalam maupun luar negeri) hanya dengan aturan-aturan Islam saja. Karena hakekat politik Islam adalah bagaimana mengatur seluruh urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri hanya dengan Islam saja. Adapun kesadaran politik yang menyeluruh artinya kesadaran politik yang berdasarkan pada cara pandang yang universal/mendunia, yakni kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari umat yang satu tak terpilah, yakni umat Islam, dan menjadi bagian dari umat manusia secara keseluruhan.

Disinilah umat --termasuk kalangan perempuan-- tidak hanya diharuskan untuk mengetahui dan menguasai persoalan-persoalan yang menyangkut diri (personal) dan masyarakat di negerinya saja (politik regional), tetapi juga harus mengetahui dan memahami keterkaitan persoalan-persoalan yang melingkupi dirinya --baik secara personal maupun regional-- dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada skala dunia, di samping memahami bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap permasalahan tersebut. Karena, sebagaimana fakta-fakta yang telah diurai sebelumnya, termasuk mengenai isu globalisasi, justru nampak bahwa seluruh persoalan yang menimpa umat hari ini sesungguhnya merupakan ekses dari tipu daya dan konspirasi internasional yang berlangsung sejak lama dalam upaya menghambat kebangkitan kembali umat. Dengan demikian, kesemuanya itu juga membuktikan tentang urgensitas pembinaan dan peningkatan wawasan dan kesadaran politik internasional pada tiap diri individu umat, termasuk di kalangan perempuan, sekaligus mengarahkannya pada target/kepentingan membangun sebuah kekuatan politis umat dalam bentuk institusi politik ril yang bersifat internasional pula. Yakni kekuatan adidaya baru, yang tegak di atas landasan yang benar dan akan membangun kehidupan dengan tatanan yang benar pula. Karena jika tidak, sampai kapanpun umat akan berkutat pada persoalan-persoalan yang sama, menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir barat, serta menjadi budak jajahan mereka, yang satu saat akan dihancurkan dan tidak akan pernah kembali bangkit menjadi khoyru ummah sebagaimana seharusnya.


Kesadaran Politik Internasional, Bukan Cuma Urgen Tapi Juga Wajib

Jika dari fakta-fakta tadi jelas bahwa ada urgensitas bagi umat termasuk kalangan perempuan untuk memahami dan melibatkan diri dalam kancah politik global/internasional, maka secara normatif, Islam juga telah menempatkan persoalan ini sebagai salah satu kewajiban utama. Dalam kitab Hadits ash-Shiyam (3) dijelaskan bahwa aktivitas menyibukkan diri dengan politik regional dan internasional adalah wajib atas kaum muslimin, sebagaimana wajibnya jihad. Dalam hal ini tidak dibedakan antara kaum laki-laki dan perempuan. Adapun dalilnya adalah :

Firman Allah SWT :"Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allahlah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang beriman" (TQS. ar-Rum : 1-3).

Diriwayatkan dari Nabi Saw, beliau bersabda :"Barangsiapa yang dipagi hari (bangun) dan tidak terbersit (dalam benaknya) kepedulian terhadap urusan kaum muslimin, maka ia bukan termasuk golongan mereka (kaum muslimin)".

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abi Umamah, bahwa ada seorang laki-laki pada saat ia melontarkan jumrah yang pertama mengajukan pertanyaan kepada Rasulullah Saw, seraya berkata : "Wahai Rasulullah, jihad apa yang paling utama?" Rasulullah diam. Pada saat lontaran jumrah yang kedua, laki-laki itu mengulang pertanyaannya lagi, tetapi Rasulullah tetap diam. Setelah lontaran jumrah 'aqabah (yang ketiga), kaki Rasulullah menginjak sanggurdi hendak menaiki tunggangannya sambil berkata : " Dimana penanya tadi?" Dijawab : "Saya, wahai Rasulullah" Sabda Rasul : "Yaitu melontarkan kalimat hak di hadapan penguasa yang dzalim atau amir yang dzalim".

Dalam riwayat Abu Daud, dari Abi Sa'id dengan sanad marfu' :"Jihad yang paling utama adalah (melontarkan) kalimat yang hak di hadapan penguasa yang dzalim".

Adapun tentang ayat di atas, Ibnu Abi Hathim dari Ibnu Syihab, dia berkata: "Telah sampai berita kepada kami bahwa orang-orang musyrik berdebat dengan kaum muslimin pada saat di Makah sebelum Rasulullah hijrah. Orang-orang musyrik berkata, orang Romawi bersaksi bahwa mereka adalah ahli kitab, dan mereka telah dikalahkan oleh orang-orang majusi. Dan kalian mengira bahwa kalian kalian akan mengalahkan kami dengan senjata kitab yang diturunkan kepada Nabi kalian. Bagaimana bisa majusi dikalahkan Romawi yang ahli kitab. Maka kami (kaum muslimin) akan mengalahkanmua, sebagaimana Romawi mengalahkan Persia". Maka Allah menurunkan ayat : "Alif Lam Mim. Telah dikalahkan bangsa Romawi" (TQS. ar_Rum:1-2). Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin di kota Mekkah sebelum berdirinya negara Islam (di Medinah), mereka telah berpolemik dengan orang-orang kafir mengenai berbagai berita internasional dan informasi tentang hubungan internasional.

Diriwayatkan pula bahwa Abu Bakar ra. melakukan taruhan dengan orang-orang musyrik bahwa Romawi akan mengalahkan Persia. Berita ini kemudian sampai kepada Rasulullah saw dan beliau pun menyetujuinya (dengan taqrir), seraya menegaskan bahwa dirinyapun turut andil di pihak Abu Bakar dalam taruhan tersebut. Peristiwa ini juga merupakan petunjuk lain bahwa mengetahui kondisi berbagai negara serta hubungan mereka satu dengan yang lainnya adalah perkara yang biasa dibicarakan oleh kaum muslimin (saat itu). Dan Rasulullah saw kemudian menegaskannya.

Terlebih lagi, ketika umat mengemban dakwah ke seluruh dunia yang sudah jelas kewajibannya, tentu tidak akan mudah dilakukan kecuali dengan mengetahui politik pemerintahan negeri-negeri tersebut, yakni politik internasional yang sedang berlangsung, makar dan tipudaya mereka, terutama strategi politik negara-negara besar beserta berbagai uslub penerapannya, dan lain-lain. Bahkan wajib atas kaum muslimin untuk memahami hakekat dari konstelasi politik dunia Islam yang menjadi bagian dari konstelasi politik internasional, sehingga mereka mampu menyusun dan menjelaskan langkah-langkah praktis penegakkan negara mereka di tengah-tengah hiruk-pikuk politik internasional. Berkaitan dengan hal ini, terdapat kaidah syara' "Suatu kewajiban jika tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan (menjalankan) sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya wajib".

Berdasarkan beberapa nash dan kaidah ushul di atas, jelas bahwa menyibukkan diri dengan urusan politik internasional hukumnya fardu (kifayah). Jika umat –siapapun mereka, laki-laki atau perempuan-- melalaikan diri dari perhatiannya dalam politik internasional --disamping politik regional--, maka mereka semuanya berdosa sebagaimana halnya jika mereka seluruhnya melalaikan jihad.


Bagaimana Membangun Kesadaran Politik Internasional

Menurut Syaikh Abdul Qodim Zallum (4) , kesadaran politik --termasuk kesadaran politik internasional-- sesungguhnya bukanlah sesuatu yang sulit diperoleh. Siapapun, baik para ulama dan cendikia maupun kalangan buta huruf dan orang awam, mereka mampu mendapatkan kesadaran politik ini dengan mudah. Karena kesadaran politik hakekatnya adalah bagaimana memandang dunia secara keseluruhan dengan sudut pandang tertentu (dalam hal ini aqidah Islam) sebagai landasannya. Adapun kekuatan dan kelemahan kesadaran politik ini memang akan berbeda-beda tergantung pada tingkat pengetahuan seseorang mengenai dunia dan berbagai peristiwa politik serta pengetahuannya tentang sudut pandang tertentu yang digunakannya tadi (yaitu pemahaman tentang aqidah Islam). Hanya saja, hal itu tetap merupakan kesadaran politik yang memberikan hasil sama, yaitu menghindari kedangkalan dalam berpolitik dan dalam memandang berbagai hal di dunia.

Persoalannya adalah, saat ini kesadaran politik umat Islam --terutama yang menyangkut wawasan politik global-- masih sangat lemah. Ketikapun ada kesadaran politik, maka kesadaran itu terbangun di atas mindframe yang salah, rusak dan dangkal. Sehingga tak heran jika, ada sebagian umat yang memaknai politik, kesadaran politik dan aktivitas politik sebatas persoalan kekuasaan dan partisipasi dalam PEMILU saja, atau dalam konteks politik global, muncul pendapat-pendapat yang menolak teori konspirasi dan bersikap apologetis terhadap Barat. Yang lebih parah sebagian umat justru bersikap anti politik karena memandang politik sebagai sesuatu yang kotor, licik dan menakutkan.

Kondisi ini merupakan hal yang niscaya mengingat selama ini umat 'dibesarkan' diantara pemikiran-pemikiran Barat yang rusak yang diantaranya memiliki pandangan bahwa agama dan politik adalah dua hal yang berbeda serta tidak ada keterkaitan sama sekali. Disisi lain, dangkalnya pemahaman umat terhadap aqidah Islam, baik karena kelemahan internal umat Islam sendiri setelah memisahkan potensi bahasa Arab dengan Islam, maupun akibat upaya peracunan sistematis yang dilancarkan Barat untuk merusak pemikiran-pemikiran Islam dan menjauhkan umat dari pemikiran-pemikiran Islam yang utuh dan jernih, juga menguatkan kian teralienasinya umat dari politik, kesadaran politik dan aktivitas politik yang benar. Seolah-olah, ada jarak yang jauh antara umat dengan politik, apalagi politik internasional. Wajar jika akhirnya umat termarjinalkan dari kancah politik internasional, senantiasa menjadi bulan-bulanan politik Barat, tidak berdaya dan bahkan terjajah. Umat kini, telah kehilangan power dan kewibawaannya setelah mereka mencampakkan kesadaran politik Islam yang sahih dan menjauhkan diri dari aktivitas politik Islam yang agung. Terutama ketika mereka meninggalkan aktivitas politik terbesar dengan rela mencampakkan keberadaan institusi politik Islam --yakni Daulah Khilafah Islamiyah-- yang dengannya seluruh urusan dalam dan luar negeri mereka diatur dengan sistem Islam dan dengannya kemuliaan mereka terjaga.

Pada kondisi ini, membangun kesadaran politik yang benar dan menyeluruh di kalangan umat memang menjadi hal yang tidak mudah. Akan tetapi bukan berarti tidak bisa! Dalam hal ini, metoda yang harus ditempuh adalah dengan melakukan pembinaan politik umat secara maksimal dengan pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum Islam (ideology Islam) secara kaaffah, seraya mendorong mereka untuk membuka cakrawala berpikirnya seluas mungkin, tidak hanya berpikir dan peduli pada persoalan-persoalan pada skala pribadi atau keluarga, tetapi juga memiliki kepekaan terhadap seluruh peristiwa yang terjadi di sekitarnya. Mereka juga didorong untuk senantiasa mengikuti peristiwa-peristiwa politik secara detil, cermat dan kontinyu, baik yang terjadi di dalam maupun di luar negeri, dengan sikap sebagai seorang politisi yang mengamati peristiwa-peristiwa tersebut dari sudut pandang Islam, untuk selanjutnya menilai (menganalisis) dan mengkaitkannya dengan peristiwa, gagasan dan aksi-aksi politik yang lainnya dengan sudut pandang Islam tadi. Dengan cara ini, umat akan mampu membaca dan mensikapi secara benar (integral dan utuh) konstelasi politik yang sedang terjadi di dunia dan berpengaruh negatif terhadap kehidupan mereka –pribadi/keluarga sekalipun-- serta terhadap kemuliaan agama mereka dimanapun. Umat juga akan terdorong untuk bersegera mengubah konstelasi politik dunia ini ke arah konstelasi politik dunia yang menempatkan Islam dan umat Islam menjadi mulia, sehingga mampu memberi keadilan dan rahmat bagi seluruh alam.

Pada tataran praktis, upaya ini harus dilakukan secara sinergis dan terus-menerus, baik melalui pembinaan intensif maupun pembinaan umum, dengan melibatkan seluruh komponen umat yang sudah memiliki kesadaran politik yang benar. Artinya tugas berat ini tidak mungkin bisa dilakukan secara sendiri-sendiri, melainkan harus menjadi agenda bersama umat yang dikoordinasikan dalam sebuah gerakan kolektif yang bersifat ideologis dan memiliki wawasan internasional pula. Gerakan inilah yang secara intens akan membina umat dengan pola pembinaan yang terarah dan nantinya akan memimpin mereka melakukan perubahan ideologis kea arah Islam.


Khotimah

Berangkat dari kesadaran akan pentingnya perubahan, dan bahwa seluruh umat termasuk kalangan perempuan bertanggungjawab secara syar'i memproses perubahan itu, maka tidak ada sikap lain yang layak diambil oleh setiap muslimah --sebagai konsekuensi keimanannya kepada Islam-- selain bersegera mengambil posisi siap berjuang bersama gerakan Islam ideologis membina diri dan umatnya dengan kesadaran politik yang benar, seraya berupaya secara bersama menentang dan menghancurkan hegemoni Barat, membongkar kebusukan dan makar mereka, sehingga pada akhirnya mereka akan mampu membangun masyarakat baru yang tegak di atas landasan Islam.

Perempuan muslim juga harus menyadari posisi strategisnya sebagai separuh masyarakat dan sekaligus sebagai pilar penyangganya dimana di tangan mereka wajah generasi masa depan umat akan ditentukan. Posisi strategis inilah yang mengharuskan mereka memiliki kualitas kepribadian Islam yang tinggi, sekaligus kecerdasan politik mumpuni --termasuk kesadaran politik internasional-- sehingga dengan modal itu mereka akan mencetak generasi muda Islam yang berkepribadian Islam dan memiliki kecerdasan politik mumpuni pula. Dengan cara ini, harapan kejayaan umat di masa yang akan datang akan kian terbuka lebar, dengan izin Allah. [][]

----------


FOOTNOTE :

(1) Dalam "Mengapa Barat Memfitnah Islam", Z.A Maulani, Penerbit Daseta, Jakarta 2002, hal 2.
(2) Seperti isi laporan yang dirilis oleh salahsatu lembaga intelijen di AS, National Intelligence Council's (NIC) dengan judul Mapping the Global Future pada bulan Desember 2004 tentang adanya 4 skenario dunia tahun 2020, salah satunya mengenai kemungkinan munculnya kekhalifahan yang baru (a new chalipate) berupa pemerintahan Islam global yang akan memberi tantangan pada norma-norma global Barat. Dimuat dalam Jurnal Al-Wa'ie no 56, Hizbut Tahrir Indonesia.
(3) Hadits ash-Shiyam, Anonim, Penerbit Hizbut Tahrir.
(4) Abdul Qadim Zallum, Pemikiran Politik Islam, Al-Izzah, Bangil 2001 hal 96.

Selasa, 20 Maret 2012

Tolak Kenaikan Harga BBM, Tolak Liberalisasi Migas


Maktab I’lamiy Hizbut Tahrir Indonesia

NO: 219/02/12
28 Februari 2012/06 Rabiuts Tsani 1433 H

PERNYATAAN HIZBUT TAHRIR INDONESIA


“TOLAK KENAIKAN HARGA BBM, TOLAK LIBERALISASI MIGAS”

Seperti telah diberitakan, dalam waktu tidak lama lagi, pemerintah akan segera menaikkan harga BBM. Salah satu alasanya karena akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang terus membumbung melampui harga patokan dalam APBN. Kenaikan harga BBM bila benar-benar dilakukan pasti akan menambah beban hidup masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan ini alih-alih akan meningkatkan kesejahteraan rakyat, tapi malah justru akan merugikan rakyat dan member tambahan beban kepada rakyat.. Oleh karenanya harus ditolak, dengan alasan:

1. Kenaikan harga BBM meski alasan resminya dipicu oleh kenaikan harga minyak mentah dunia, sebagaimana juga program pembatasan subsidi BBM yang sempat hendak diterapkan, merupakan langkah lanjut menuju liberalisasi Migas. Kenaikan harga BBM sebagaimana program pembatasan BBM Bersubsidi sama artinya dengan pengurangan subsidi BBM. Ini kebijakan menuju penghapusan subsidi BBM sama sekali. Dengan cara itu, rakyat dipaksa untuk beralih kepada BBM non subsidi seperti pertamax. Inilah saat yang ditunggu oleh perusahaan Migas asing.

2. Kenaikan harga BBM, pembatasan BBM bersubsidi dan pencabutan subsidi, dalam jangka panjang akan menguntungkan Perusahaan Minyak Asing yang memiliki Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) seperti Total (Italia) dan Shell (Belanda). Dengan adanya kenaikan harga BBM dan pembatasan subsidi BBM maka seluruh pengguna mobil pribadi terpaksa menggunakan bahan bakar yang kadar oktannya lebih tinggi seperti Pertamax, atau bensin yang diproduksi oleh SPBU asing tersebut. Dengan biaya produksi yang lebih efisien dan kualitas yang mungkin lebih baik, maka produk SPBU asing itu akan lebih kompetitif dibandingkan SPBU Pertamina. Maka jumlah SPBU asing dalam jangka waktu yang tidak lama akan semakin menjamur. Dan jika tidak ada inovasi, kegiatan bisnis Pertamina di sektor hilir menjadi tidak kompetitif sehingga SPBU-SPBU yang terafiliasi dengan Pertamina akan berpindah ke perusahaan minyak asing tersebut. Hal ini tentu akan merugikan Pertamina. Sudahlah di sektor hulu terdilusi, di sektor hilir pun kalah bersaing.

3. Kenaikan harga BMM dan program pembatasan BBM serta kebijakan apapun yang bermaksud untuk memberikan peran yang lebih besar kepada asing dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya migas merupakan kebijakan yang bertentangan syariat Islam. Migas serta kekayaan alam yang melimpah lainnya dalam pandangan Islam merupakan barang milik umum yang pengelolaannya mestinya diserahkan kepada negara untuk kesejahteraan rakyat. Anggapan bahwa swasta dapat lebih efisien dalam mengelola migas dibandingkan pemerintah yang dulu diwakili Pertamina telah terbantahkan dengan dominasi sejumlah National Oil Company (NOC) yang kini justru menguasai produksi minyak di dunia.

Berkenaan dengan hal ini, Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan:

1. Menolak rencana kenaikan harga BBM, juga program pembatasan BBM Bersubsidi karena kebijakan ini merupakan langkah menuju liberalisasi pengelolaan Migas di Indonesia khususnya di sektor hilir setelah liberalisasi di sektor hulu telah sempurna dilakukan. Liberalisasi tidak lain adalah penguasaan yang lebih besar pengelolaan Migas kepada swasta (asing) dan pengurangan peran negara. Kebijakan seperti ini jelas akan sangat merugikan rakyat yang notabene adalah pemilik sumberdaya alam itu sendiri.

2. Disamping terbukti bakal merugikan rakyat, kebijakan kapitalistik itu akan membuat negeri ini menjadi makin tidak mandiri. Oleh karenanya harus segera dihentikan, dan sebagai gantinya, migas dan SDA lain dikelola dengan sistem yang sejalan dengan religiusitas umat Islam yang merupakan mayoritas penduduk negeri, itulah syariah Islam. Menurut syariah, migas harus dikelola oleh negara dimana hasilnya diperuntukan bagi sebesar-besar kesejahteraan seluruh rakyat.

3. Menyerukan kepada umat Islam untuk lebih bergiat dalam perjuangan mewujudkan kehidupan Islam, yakni kehidupan yang didalamnya diterapkan syariah Islam secara kaffah dalam naungan daulah Khilafah. Hanya dengan cara itu kerahmatan Islam yang telah dijanjikan Allah SWT, termasuk dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya Migas, Insya Allah akan terwujud.

Hasbunallah wa ni’mal wakiil, ni’mal maula wa ni’man nashiir

Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia

Muhammad Ismail Yusanto

Hp: 0811119796 Email: Ismailyusanto@gmail.com

Rabu, 14 Maret 2012

Pesan Khusus Delegasi Muslimah HT Indonesia di Konferensi Tunisia


Laporan Langsung dari Tunisia
(Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)

HTI-Press. Tunisia. Konferensi Pers International Women Conference (IWC) dimulai pukul 09.15 waktu setempat. Konferensi dibuka dengan pembacaan Pernyataan Pers IWC dalam bahasa Arab dan Inggris. Dijelaskan , Konferensi bertujuan mengakhiri kebohongan yang selama ini dipublikasikan secara luas oleh media barat. Seakan-akan perempuan muslim menolak penerapan syariah. Padahal, faktanya perempuan muslim di berbagai penjuru dunia sedang menuntut perubahan hakiki. Para muslimah menyadari sistem demokrasi dan kediktatoran telah gagal menyelesaikan problem perempuan, juga tak mampu memberi jaminan kehormatan dan kesejahteraan bagi perempuan.

Konferensi ini juga menegaskan bahwa inilah saatnya membela dan memperjuangkan tegaknya sistem khilafah. Sebuah model pemerintahan yang unik yang konstitusinya bersumber dari Allah SWT yang Maha Baik. Sistem ini juga menetapkan pemimpinnya melalui pemilihan oleh rakyat baik laki-laki maupun perempuan. Penguasanya bisa dikoreksi oleh rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan. Sistem yang memberi jaminan kehormatan bagi perempuan.

Kalangan media lokal dan internasional menyimak serius pernyataan penyelenggara IWC. Tak kurang radio Tunisi, TWT TV , Aljazeera, Associated Press, AFP, French International Radio dan berbagai media lokal berpartisipasi dalam konferensi pers ini . Pertanyaan dinamis banyak terlontar seputar kedudukan perempuan di bawah lindungan khilafah, hubungan IWC dengan Arab Spring, juga tentang metode HT menegakkan khilafah,

Sementara itu ada dua pertanyaan yang disampaikan ke jubir Muslimah HTI, Iffah Ainur Rochmah . Pertama tentang respons kaum perempuan Indonesia terhadap seruan penegakan khilafah. Kedua tentang pesan khusus kehadiran delegasi Indonesia pada IWC. Jubir Muslimah HT Indonesia menjelaskan perempuan Indonesia yang jumlahnya mencapai 100 juta sama dengan perempuan di berbagai penjuru dunia. Mereka membutuhkan perubahan hakiki, mereka hidup dalam penderitaan akibat sistem kapitalisme. “Alhamdulillah, lewat interaksi dengan HT mereka menyadari perubahan hakiki bisa diraih dengan menegakkan khilafah,”ujarnya.

Delegasi MHTI juga menjelaskan perempuan muslim Indonesia dari berbagai kalangan mulai pelajar hingga akademisi, pengusaha, serta muballighah merindukan segera tegaknya khilafah. Selain memperjuangkan terwujudkan opini umum tentang Islam di dalam negeri.

Melalui konferensi ini, Iffah Ainur Rochmah mengingatkan kepada semua tentang pentingnya syariah dan Khilafah. “Hanya dengan menerapkan syariat dan khilafah kemakmuran bisa diperoleh, kehormatan perempuan terjaga tanpa melarangnya berkontribusi di tengah masyarakat sesuai syariat,” tegasnya. (dari La Palace Hotel Gammareth Tunis, Tunisia Sabtu 10 Maret 2012)

Selasa, 06 Maret 2012

PERLAKUAN KHILAFAH TERHADAP PEREMPUAN


(Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)

Mispersepi Barat terhadap Nasib Perempuan dalam Negara Khilafah

Hingga saat ini masih sering dijumpai adanya kebingungan di kalangan masyarakat Barat mengenai pembagian peran antara kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam kehidupan. Pada masa lalu, kaum perempuan mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, dan bahkan pernah disejajarkan dengan hewan atau dipandang sebagai “makhluk yang tidak memiliki ruh”, atau dianggap hanya sebagai hak milik kaum laki-laki. Sementara pada masa sekarang ini, berbagai pergerakan dan organisasi perempuan berjuang melawan status quo untuk mendapatkan status dan hak-hak yang sama sebagaimana kaum laki-laki.

Konflik semacam ini kerap timbul di antara kaum laki-laki dan perempuan, karena karakteristik dan sifat alamiah kaum laki-laki dan perempuan, berikut peran yang mereka mainkan dalam kehidupan ini ditentukan berdasarkan pertimbangan akal manusia. Namun, tentu saja, mustahil bagi manusia –yang pengetahuannya sangat terbatas ini– untuk dapat memahami sepenuhnya sifat laki-laki dan perempuan yang sangat rumit ini, serta perasaan dan karakteristik mereka yang sangat berlainan. Sebagai akibatnya, muncul pemikiran-pemikiran yang keliru mengenai bagaimana seharusnya kaum laki-laki dan perempuan saling berinteraksi satu dengan yang lain. Peran masing-masing pihak belum didefinisikan dengan jelas, dan hasilnya adalah timbulnya kekacauan di tengah-tengah masyarakat.

Banyak masalah yang secara langsung bersumber dari ketidakjelasan ini, baik berkenaan dengan peran kaum laki-laki dan kaum perempuan dalam keluarga, dalam masyarakat, maupun dalam dunia kerja. Inilah sebabnya mengapa terjadi diskriminasi dan penindasan terhadap kaum perempuan, runtuhnya bangunan keluarga, pelecehan seksual, prostitusi, perilaku tak senonoh terhadap anak-anak, homoseksual, serta berbagai macam penyakit sosial lainnya.

Pandangan Barat terhadap kaum perempuan seperti itulah yang kemudian digunakan untuk meneropong ajaran Islam. Bahwa “Islam menindas kaum perempuan”, sepertinya sudah menjadi opini yang kuat di kalangan pengamat Barat. Hak-hak perempuan dalam Islam, khususnya yang hidup dalam sistem Islam, menjadi topik perdebatan yang hangat sambil melahirkan banyak mispersepsi.

Ada beberapa pernyataan yang menggelikan mengenai perlakuan Islam terhadap perempuan, beberapa lagi cenderung khayalan dan menggelikan.

Ayaan Hirsi Ali, mantan anggota parlemen Belanda, yang berbohong tentang pernikahannya demi memperoleh status kewarganegaraan Belanda, adalah salah seorang yang disebut sebagai pejuang hak-hak perempuan. Namanya mendadak terkenal setelah dia menulis skenario film berjudul Submission yang disutradarai oleh Theo van Gogh, yang kemudian dibunuh gara-gara film tersebut.

Judul film tersebut merupakan terjemahan langsung terhadap kata “Islam” dan menggambarkan empat perempuan muslimah telanjang setelah dipukuli dan diperkosa oleh saudara laki-laki dalam keluarga mereka. Ayat-ayat al-Quran tentang perempuan kemudian diletakkan di tubuh telanjang mereka. Orang yang pengetahuan Islamnya minim pun akan tahu bahwa menuduh al-Quran memerintahkan pemerkosaan, khususnya oleh kerabat, adalah klaim yang menggelikan.

Sayangnya, memang argumentasi seperti itulah yang banyak beredar saat membahas hak-hak perempuan muslimah.

Komentar terkini Bush tentang Khilafah mengutip contoh-contoh dari Taliban untuk menggambarkan Khilafah sebagai “negara dimana perempuan dipenjara di rumah, dan para gadis tak bisa bersekolah, dan perempuan terasing dari publik.”

Terlepas dari perkara benar-salahnya pemerintahan Taliban, bagaimana sebenarnya Negara Khilafah memperlakukan kaum perempuan?

Penting untuk disadari bersama bahwa serangan terhadap cara Islam memperlakukan perempuan bukan berasal dari kalangan perempuan muslimah, melainkan dari kalangan non Muslim yang memandang masalah tersebut sebagai orang luar. Hal itu membuat mereka merasa perlu untuk “membebaskan” perempuan muslimah dari kungkungan penjara di rumah atau dari hijab yang harus mereka kenakan. Tapi pandangan ini sama sekali tidak mencerminkan pandangan mayoritas perempuan muslimah.

Dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh The Gallup Organization, dan dilaporkan dalam artikel di New York Times – Muslim Women Don’t See Themselves as Oppressed, Survey Finds – menunjukkan dengan jelas bagaimana sesungguhnya aspirasi dan perasaan perempuan muslimah. Keprihatinan mereka yang utama adalah kurangnya persatuan kaum Muslim, kekerasan ekstrimisme, dan korupnya sistem politik dan ekonomi. Semua itu adalah masalah-masalah yang akan diatasi oleh Khilafah.

“Hijab, atau kerudung, dan burqa, pakaian yang menutupi tubuh dan wajah, yang dilihat oleh sebagian kalangan Barat sebagai alat penindasan, tidak pernah disebut-sebut dalam jawaban para perempuan itu terhadap pertanyaan terbuka dalam survey tersebut, demikian menurut analis jajak pendapat itu.”


Survey tersebut juga menemukan bahwa “mayoritas perempuan yang menjadi responden di tiap negara menyebutkan ‘keterikatan terhadap nilai-nilai moral dan spiritual’ sebagai aspek terbaik dalam masyarakat mereka.”

Islam memiliki cara yang unik dalam memperlakukan masalah lelaki dan perempuan. Dalam sistem dan agama “buatan manusia”, dimana manusia (kebanyakan lelaki) memutuskan nilai-nilai mereka dan sistem legislasinya, perempuan akan menjadi pihak yang tertindas dan tereksploitasi. Lelaki tidak pernah bisa mengerti bagaimana rasanya menjadi perempuan, lantas bagaimana bisa mereka membuat aturan bagi perempuan?

Laki-laki dan Perempuan dalam Islam


Islam menjelaskan secara gamblang dan akurat tentang peran kaum laki-laki dan perempuan dalam kehidupan ini, serta memberikan pedoman yang rinci tentang bagaimana seharusnya mereka berinteraksi antara satu dengan yang lain dalam setiap aspek kehidupan. Penjelasan dan pembagian peran ini langsung berasal dari Allah Swt, Sang Pencipta manusia. Oleh sebab itulah, maka penjelasan dan pembagian peran tersebut benar-benar sesuai dengan kodrat manusia, dan tidak dikenal adanya penindasan atau diskriminasi yang dilakukan oleh salah satu pihak kepada pihak lainnya.

Umat manusia adalah kumpulan dari individu-individu manusia yang memiliki berbagai naluri yang sama, yaitu naluri mempertahankan diri (gharizatu al-baqa’), naluri beragama (gharizatu at-tadayyun), dan naluri untuk mempertahankan keturunan (gharizatu an-nau’). Masing-masing individu juga memiliki kebutuhan pokok yang sama, seperti kebutuhan untuk makan, tidur, bernafas, dan sebagainya. Naluri dan kebutuhan jasmani ini dimiliki oleh setiap individu, apa pun jenis kelaminnya. Kaum laki-laki maupun kaum perempuan adalah makhluk Allah Swt, dan dalam hal ini kedua belah pihak memiliki kedudukan yang sama. Islam menjelaskan tujuan hidup manusia, yakni semata-mata untuk beribadah kepada Allah Swt. Allah Swt berfirman:

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi (beribadah) kepada-Ku. (TQS. adz-Dzariyat [51]: 56)

Peribadatan ini dijalankan dengan menaati perintah-perintah Allah Swt dan menjauhi segala larangan-Nya. Atas dasar ukuran ketaatan ini seseorang akan dihisab pada Hari Penghisaban, untuk menentukan apakah ia akan mendapatkan hadiah surga atau siksa di neraka. Hal ini terjadi baik pada kaum laki-laki maupun kaum perempuan, tanpa ada perbedaan antara satu dengan yang lain. Di mata Allah Swt, kaum laki-laki dan perempuan mempunyai kedudukan yang sama. Allah Swt berfirman di dalam al-Qur’an:

Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berkata), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah keturunan dari sebagian yang lain.” (TQS. Ali Imran [3]: 195)

Namun harus dipahami bahwa Allah Swt menciptakan laki-laki dan perempuan dengan fitrah yang berbeda, yang menyebabkan mereka mempunyai peran yang berbeda dalam kehidupan ini. Hal ini disebabkan karena ada sejumlah sifat yang hanya dimiliki oleh kaum laki-laki atau kaum perempuan, yang tidak bisa dilakukan oleh lawan jenisnya. Sebagai misal, kaum perempuan mempunyai potensi untuk mengandung dan menyusui anak-anaknya; sementara laki-laki –yang secara fisik lebih kuat– tidak bisa menjalankan fungsi tersebut. Salah satu dari sekian banyak kesalahan yang kita dapati dalam sistem buatan manusia adalah bahwa “kesetaraan” antara kaum laki-laki dan perempuan dimaknai dengan “kesamaan”. Atas dasar konsep tersebut, maka laki-laki dan perempuan didorong untuk saling berkompetisi dalam menjalani peran dan fungsi yang sama.

Syariat Islam mencegah hal ini terjadi. Dalam beberapa aspek, yang tidak dikhususkan bagi jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki dan kaum perempuan mengikuti aturan-aturan yang sama, seperti dalam hal shalat, mengucapkan syahadat, atau shaum; kecuali pada saat-saat tertentu dimana terdapat perbedaan akibat adanya sifat-sifat alamiah tertentu. Jadi, pada saat menstruasi, kaum perempuan tidak melaksanakan shalat, dan pada saat hamil mereka mendapatkan rukhshah (keringanan) untuk tidak menjalankan ibadah shaum (meski harus menggantinya pada hari-hari yang lain). Akan tetapi, pada aspek-aspek yang lain, yakni dalam hal-hal yang berkaitan dengan jenis kelamin tertentu, kaum laki-laki dan kaum perempuan mempunyai peran yang berbeda serta mengikuti aturan yang berlainan pula. Misalnya adalah potensi untuk menjalani fungsi-fungsi keibuan dan potensi untuk menjalankan fungsi-fungsi seorang bapak. Jadi, bukannya terjadi kompetisi antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, tetapi justru tercipta harmoni dan ketenangan.

Tujuan Sistem Pergaulan

Ada tiga tujuan utama sistem pergaulan dalam Islam. Ketiganya adalah:

> Untuk menentukan peran kaum laki-laki dan kaum perempuan.

> Untuk mengelola hubungan antara kaum laki-laki dengan kaum perempuan, serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul akibat hubungan ini.

> Untuk mengatur struktur keluarga.

Semua hukum dan aturan yang wajib ditaati oleh umat manusia dalam rangka memenuhi tujuan-tujuan tersebut telah ditetapkan oleh syariat. Ada sejumlah aturan yang bersifat khas bagi kaum laki-laki atau kaum perempuan, tapi ada pula aturan-aturan yang diaplikasikan oleh keduanya.

Islam diturunkan dari Pencipta lelaki dan perempuan – Allah Swt. Lelaki dan perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan Allah Swt. Kalaupun ada perbedaan, maka itu hanya dalam hal ketaatan dan ketundukan mereka terhadap Allah Swt. Ini menjamin bahwa perempuan tidak tunduk terhadap hukum-hukum buatan manusia yang hanya cocok bagi lelaki.

Islam mengakui bahwa lelaki dan perempuan memiliki perbedaan-perbedaan alamiah, dan karena itu memiliki peran yang berbeda dalam kehidupan bermasyarakat.

Berikut ini adalah beberapa poin penting terkait posisi perempuan dalam sistem Khilafah.

Pendidikan


Menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap orang, lelaki maupun perempuan. Bahkan sangat penting bagi perempuan muslimah untuk memiliki pendidikan Islami setinggi mungkin, karena merekalah yang nantinya akan menjadi sumber pengetahuan pertama bagi anak-anaknya.

Negara Khilafah berkewajiban menyediakan layanan pendidikan dan kesehatan terbaik bagi warganegaranya. Dengan begitu, maka diperlukan banyak sekali perempuan yang berprofesi sebagai dokter, perawat, dan guru untuk menjalankan peran dan tugas itu.

Ayat 173 dalam draf rancangan konstitusi Negara Khilafah (yang disusun oleh Hizbut Tahrir) menyatakan:

“Negara berkewajiban mengajarkan hal-hal yang dibutuhkan manusia dalam kehidupannya, baik laki-laki maupun wanita. Program wajib belajar berlaku atas seluruh rakyat pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Negara wajib menjamin pendidikan bagi seluruh warga dengan cuma-cuma, serta mereka diberi kesempatan untuk melanjutkan pendidikan tinggi secara cuma-cuma dengan fasilitas sebaik mungkin.”

Pekerjaan

Tugas utama perempuan adalah menjadi istri dan ibu. Dia tidak dibebani tugas untuk bekerja menghidupi dirinya sendiri. Tugas tersebut dibebankan kepada lelaki – baik itu lelaki yang menjadi suaminya ataupun ayahnya, ataupun saudaranya. Jika seorang perempuan tidak memiliki wali, maka dia berhak mendapat status sebagai kalangan yang dilindungi negara, dan tidak wajib bekerja.

Namun demikian, perempuan tetap boleh bekerja dan memainkan peran lain dalam kehidupan bermasyarakat, selain peran mereka dalam keluarga seperti yang telah disebut di atas. Keberadaan dokter, guru, perawat, hakim, polisi perempuan sangatlah penting bagi keberlangsungan masyarakat. Dapat dibayangkan betapa rikuhnya seorang perempuan jika harus membahas masalah-masalah yang khas perempuan dengan seorang hakim lelaki, misalnya. Karena itulah keberadaan hakim perempuan, khususnya dalam pengadilan keluarga, dibutuhkan oleh negara.

Bahkan jika seorang perempuan muslimah bekerja, dia tidak diwajibkan untuk membelanjakan uangnya untuk keluarganya. Dia bisa menjadi orang yang kaya raya, sedangkan kewajiban menafkahi keluarga tetap ada pada lelaki yang menjadi suaminya, bukan pada dirinya. Suami ataupun keluarga, tidak punya hak untuk menyentuh harta yang dikumpulkan oleh perempuan tersebut. Tentu saja perempuan muslimah juga terikat kewajiban ‘untuk membayar’ atas hasil pekerjaan mereka, entah itu yang termasuk kharaj, ‘usyur, atau zakat. Sedangkan perempuan non Muslim tidak dikenakan kewajiban membayar jizyah, bahkan seandainya mereka memiliki pekerjaan.

Pemerintahan

Perempuan wajib menyuarakan opini politik mereka dan mendapat kedudukan dalam pemerintahan Khilafah. Mereka bisa menjadi hakim, kepala departemen pemerintahan, anggota Majelis Umat, dan mereka boleh memberikan suara dalam pemilihan Khalifah. Karena adanya larangan yang datang dari Allah Swt –yang lebih tahu diri mereka dibandingkan mereka sendiri – mereka tidak dapat memegang posisi Khalifah ataupun jabatan-jabatan pemerintahan (seperti Wali, Mu’awin Tafwidl, Amir Jihad). Perempuan muslimah tidak mempermasalahkan hal ini karena mereka punya kewajiban lain, yaitu menaati Allah Swt dan mendapatkan ridha-Nya.

Kehidupan Keluarga


Pelanggaran kehormatan, kekerasan domestik, dan penganiayaan terhadap istri, adalah perkara-perkara yang dilarang oleh Islam. Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kedamaian melalui hubungan kemitraan antara suami dan istri.

Nabi Muhammad saw bersabda:

“Orang yang imannya paling sempurna di antara kalian adalah yang paling berakhlak mulia, dan yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istrinya.” (HR. Tirmidzi)

Hukum

Lelaki dan perempuan berkedudukan setara di hadapan hukum. Perbedaan mereka hanya dalam hal jumlah saksi yang diperlukan ketika akan menghukum seseorang. Secara umum, dua orang saksi perempuan setara dengan seorang saksi lelaki. Ini tidak berarti bahwa perempuan mendapat status setengah lelaki, seperti yang dituduhkan oleh sebagian kalangan. Aturan ini bukan ditetapkan oleh lelaki, tapi oleh Allah Swt yang telah menciptakan perempuan. Dalam hal ini, perempuan menerima posisi ini dalam rangka ketaatannya kepada Allah Swt.

Banyak yang menyebut bahwa hukum perzinaan dalam Islam tidak adil terhadap perempuan. Hal ini dikemukakan dengan mengambil kasus dari Pakistan dan Taliban.

Hukum perzinaan sesungguhnya berlaku sama, bagi lelaki dan perempuan. Untuk membuktikan kasus perzinaan, empat orang saksi terpercaya yang kesaksiannya sedang diperiksa, harus bersaksi bahwa mereka memang melihat langsung terjadinya perzinaan itu. Jika pihak penuduh tidak dapat mengajukan empat saksi itu, maka dia sendirilah yang akan mendapat hukum cambuk. Jika perempuan yang dituduh berzina itu bersaksi di bawah sumpah bahwa dia diperkosa, maka keberadaan empat orang saksi itu tidak akan berarti apa-apa, dan perempuan tersebut tidak akan dikenai hukuman zina.

Perlu diketahui bahwa dalam peradilan biasa, umumnya yang dibutuhkan untuk kasus pencurian dan pembunuhan adalah dua orang saksi. Adapun perzinaan membutuhkan empat orang saksi yang harus melihat terjadinya penetrasi. Pada prakteknya, hampir mustahil mendapatkan empat orang saksi yang sesuai dengan ketentuan itu. Adapun bukti-bukti kasus perzinaan pada masa-masa awal Khilafah adalah dengan jalan pengakuan, bukan persaksian. Hukuman keras bagi pelaku zina (dirajam) adalah hukuman yang menimbulkan efek jera, sekaligus menunjukkan kepada masyarakat tentang mulianya nilai-nilai pernikahan.

Hijab

Dalam sistem Khilafah, perempuan diwajibkan mengenakan penutup kepala (khimar) dan pakaian panjang (jilbab). Mereka tidak diwajibkan menutupi wajah mereka, meskipun jika ingin, mereka boleh mengenakannya sesuai pendapat fukaha yang mereka ikuti, demikian juga mereka diperbolehkan memakai burqa bila memang berkehendak.

Hijab tidak menjadi masalah bagi perempuan muslimah, seperti yang ditunjukkan dengan jelas dalam survey diatas. Barat memiliki obsesi tersendiri dalam hal hijab ini dan pakaian perempuan secara umum. Di Perancis, yang menjadi rumah bagi Chanel dan Yves Saint Laurent, mereka sangat terobsesi melarang hijab. Karena melihat hijab sebagai penindasan terhadap perempuan, mereka kemudian membuka pakaian mereka dan berpakaian dengan cara yang menyenangkan mata para lelaki. Ini sesuatu yang tidak akan ada dalam Negara Khilafah. Fakta bahwa negara harus sampai melarang penggunaan hijab, menunjukkan meningkatnya jumlah perempuan muslimah yang mencintai hijab dan ingin mengenakannya. Hal itu juga menunjukkan kegagalan pandangan Barat terhadap perempuan yang ingin dipaksakan agar menjadi “nilai-nilai universal” untuk kemanusiaan.

Sebelum membuat kesimpulan tentang perempuan muslimah, pihak Barat seharusnya bertanya terlebih dahulu kepada para muslimah itu, apa yang sebenarnya mereka inginkan. Survey dari The Gallup Organization jelas-jelas menyatakan bahwa yang diinginkan perempuan muslimah adalah Islam dan kesatuan Muslim, yaitu tegaknya kembali Negara Khilafah.