INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Sabtu, 21 Mei 2011

MENYOAL LANGKAH DAKWAH GERAKAN ISLAM HARI INI


(Sekedar Untuk Bahan Retrospeksi)
Oleh : Siti Nafidah Anshory



Pendahuluan

Krisis multidimensi yang kian parah dialami kaum Muslim di negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, telah menginspirasi munculnya berbagai gerakan Islam yang berupaya melakukan proses perubahan sosial untuk mengembalikan Islam ke tengah-tengah kehidupan masyarakat. Mereka menyadari, bahwa sumber dari berbagai krisis tersebut tidak lain adalah penerapan sistem kapitalis sekuler yang dipaksakan atas kaum muslim serta akibat jauhnya kehidupan mereka dari nilai-nilai dan hukum-hukum Islam. Oleh karenanya, membentuk ‘masyarakat yang Islami’ melalui upaya penegakkan syari’at Islam kini menjadi sebuah cita-cita besar yang didamba dan diperjuangkan oleh gerakan-gerakan Islam, dimanapun mereka berada.

Hanya saja, pada tataran praktisnya keberadaan gerakan-gerakan Islam tersebut tak urung memunculkan persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Ini mengingat, masing-masing gerakan memiliki keragaman platform mengenai arah perubahan dan sosok masyarakat Islami yang ingin diwujudkan, beserta cara dan metoda yang akan ditempuh dalam melakukan proses perubahan tadi. Hal inilah yang pada akhirnya seringkali memunculkan kebingungan di kalangan masyarakat awam. Apalagi berbagai perbedaan tersebut tak jarang berujung pada munculnya konflik internal dan eksternal yang tentu sangat kontraproduktif bagi upaya mewujudkan masyarakat Islami sebagai versus bagi sistem kehidupan yang sudah rusak tadi.

Secara fakta, setidaknya kita bisa membagi gerakan-gerakan Islam ke dalam dua kelompok besar, yakni gerakan Islam yang bersifat non-politis (jam’iyyah/ormas) dan gerakan Islam yang bersifat politis (hizb/partai). Gerakan Islam non politis umumnya memilih metode perbaikan masyarakat (ishlahiyyah/reformasi) sebagai metoda (thariqah/manhaj) perjuangannya, yakni dengan memilih penekanan pada salah satu aktivitas parsial sebagai khiththah ‘amal mereka, seperti pada aspek pendidikan dan perbaikan akhlaq, kerja sosial, dan lain-lain. Gerakan ini diwakili Jamaah Tabligh, Muhammadiyyah, Persis dan NU. Sementara, gerakan Islam yang bersifat politis secara garis besar bisa dibagi atas tiga kelompok. Pertama, gerakan yang memilih jalur demokrasi untuk mereformasi keadaan masyarakat yang sudah rusak melalui perubahan undang-undang, setahap demi setahap (tadarruj). Caranya tidak lain dengan berusaha masuk ke dalam parlemen pemerintahan non Islam melalui keikutsertaannya dalam Pemilu (perjuangan ishlah intra-parlementer). Gerakan ini diwakili Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Yordan, PAS di Malaysia, Partai Refah di Turki, FIS di Al-Jazair dan PKS di Indonesia. Kedua, gerakan yang memilih berjuang melakukan perubahan secara mendasar di luar sistem tanpa kekerasan (taghyir/revolusi ekstra-parlementer), karena gerakan ini memandang, bahwa proses reformasi parsial yang bersifat tambal sulam tidak akan pernah bisa mengubah keadaan masyarakat sekuler yang rusak sejak akarnya menjadi masyarakat Islam. Gerakan ini diwakili Hizbut Tahrir yang berjuang di berbagai negeri Islam dan non Islam seperti halnya Australia, Amerika dan Inggris. Ketiga adalah gerakan yang memilih melakukan perubahan sosial dengan cara mengangkat senjata (menggunakan kekuatan/revolusi fisik) untuk melawan dan sekaligus mengganti pemerintahan non Islam menjadi pemerintahan Islam. Gerakan ini diwakili Tandzimul Jihad di Mesir.

Gerakan Islam dan Jebakan Demokrasi
Pada faktanya, gerakan Islam yang kini dianggap lebih populer dan paling menjanjikan bagi keberhasilan upaya penegakkan syari’at Islam adalah gerakan Islam politis ishlah intra-parlementer. Ini terbukti dengan kemunculan dan keterlibatan partai-partai politik Islam dalam setiap kegiatan Pemilu di berbagai negeri Islam yang mayoritas memang menganut sistem demokrasi. Di Indonesia sendiri, perhelatan pesta demokrasi ini senantiasa diramaikan juga oleh partai-partai Islam dan partai yang berbasis massa Islam. Bahkan dalam beberapa kali Pemilu beberapa partai Islam dan partai berbasis massa Islam kerap bersaing di ajang Pemilu.

Di antara partai-partai tersebut ada yang secara tegas menetapkan tujuannya untuk mewujudkan struktur masyarakat yang tegak di atas Syari’at Islam meski dalam kerangka sistem demokrasi, dan ada pula yang ‘sekedar’ bertujuan menerapkan nilai-nilai moral Islam ke dalam struktur masyarakat yang diperjuangkannya. Hanya saja, lepas dari perbedaan tersebut, seluruh partai Islam tadi berkeyakinan, bahwa dengan cara demokratis inilah, yakni berjuang melalui parlemen, kondisi ummat akan berubah ke arah yang lebih baik.

Keyakinan sebagian kalangan Islam terhadap keampuhan gerakan intra-parlementer sebagai cara/metoda penerapan syari’at Islam sebenarnya dilandasi oleh beberapa alasan. Selain karena metoda gerakan seperti ini dianggap lebih ‘arif’ dan ‘realistis’ bagi realitas kekinian, juga karena cara ini dianggap sesuai dengan prinsip-prinsip Islam yang menghendaki kemudahan, bersikap moderat dan menolak ekstrimitas. Tentang hal ini, mereka berhujjah dengan beberapa nash, diantaranya QS. Al-Baqarah : 143 “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian sebagai umatan wasathan (yang mereka artikan sebagai umat yang moderat) ….”, serta nash hadits riwayat Muttafaq ‘alaih, dimana Rasul SAW bersabda : “Buatlah yang lebih mudah dan jangan mempersulit. Buatlah mereka suka dan jangan buat mereka lari”.

Jika ditelaah lebih jauh, alasan-alasan yang dikemukakan aktivis gerakan ishlah intra parlementer ini sesungguhnya sangat sejalan dengan logika demokrasi yang kadung menjadi state of mind (kerangka berpikir) mayoritas kaum muslim, tak terkecuali di kalangan aktivis gerakan Islam. Senyatanya, logika perjuangan via parlemen (memang) lebih mudah dicerna dibandingkan dengan logika perjuangan ekstra-parlementer; mendirikan parpol, ikut dalam pemilu, berkampanye, memenangkan suara, duduk di parlemen dengan suara mayoritas (minimal 50 persen plus 1), lalu mengubah hukum sekuler menjadi syari’at Islam. Sementara itu, keberadaan gerakan politik yang berorientasi taghyir ekstra-parlementer –dengan kekhasan coraknya yang sangat ideologis dan non-kompromistik-- hingga kini justru masih dianggap ‘asing’ dan tidak realistis, bahkan utopis. Selain karena cenderung ‘melawan arus’, cost (resiko/biaya, tenaga dan waktu) yang harus dikeluarkannya juga dianggap terlalu besar, sekalipun ini dilakukan tanpa kekerasan. Adapun gerakan ishlah non politis, baik yang bergerak dibidang pendidikan, moral maupun amal khoiriyat/sosial sudah sejak lama dianggap tidak bisa diharapkan akan menghasilkan perubahan sosial yang menyeluruh dengan terwujudnya masyarakat Islam, mengingat yang mereka targetkan memang bukan perubahan struktur masyarakat, melainkan hanya bertujuan untuk memberi solusi-solusi instan bagi persoalan parsial kekinian yang dihadapi umat Islam.

Adapun berkenaan dengan gerakan ishlah intra-parlementer tadi, kontroversi justru muncul ketika banyak kalangan mempertanyakan soal keabsahan dan kesesuaian sistem demokrasi --yang selama ini dijadikan sebagai landasan geraknya-- dengan sistem Islam, yang pada tataran selanjutnya memunculkan pertanyaan baru mengenai boleh-tidaknya ‘memanfaatkan’ sistem demokrasi tersebut bagi upaya perjuangan menegakkan syari’at Islam. Hal ini wajar, terutama jika mengingat bahwa, pada fakta penerapannya sistem ini memang meniscayakan terjadinya kompromi-kompromi sekaligus sikap ‘pembiaran’ terhadap nilai-nilai atau hukum-hukum di luar Islam (sekuler), meski dengan alasan tadarruj (pentahapan) sekalipun.

Tentang hal ini, Syeikh Yusuf Qardlawi 1) yang dikenal sebagai tokoh yang membolehkan gerakan ishlah intra-parlementer dan berpartisipasi dalam pemerintahan non Islam berpendapat, bahwa hakekat demokrasi sesungguhnya sejalan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, dimana demokrasi merupakan sarana terbaik untuk menjamin dan melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan kaum tiran, karena dia mengandung prinsip keadilan, musyawarah, menghormati HAM, memberi beberapa bentuk dan cara praktis seperti pemilihan dan referendum umum, mendukung pihak mayoritas, menerapkan sistem multi partai, memberikan hak kepada minoritas untuk beroposisi, menjamin kebebasan pers dan kemandirian peradilan, dan lain-lain.2) Dalam hal ini, beliau memang menolak konsep demokrasi yang menyebut bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat, jika konsep itu diartikan sebagai hak menetapkan halal dan haram. Demikian juga beliau menolak prinsip mayoritas dalam demokrasi jika konsep ini diartikan berlaku mutlak. Beliau bahkan menekankan konteks demokrasi yang dimaksud adalah demokrasi yang berlaku dalam masyarakat Islam yang kebanyakan mereka mengetahui, berakal, beriman dan bersyukur, dan bukan masyarakat yang ingkar dan menyimpang dari jalan Allah.3)

Persoalannya, secara fakta partai-partai Islam yang ada sekarang justru berjuang dalam sistem yang terbukti sudah sangat rusak dengan corak masyarakat yang sekularistik, dimana mayoritas masyarakat kadung memahami dan meyakini demokrasi sebagaimana ‘sejatinya’, yakni sebagai genitas bagi aqidah sekularisme yang terlanjur menempatkan manusia sebagai al-Mudabbir. Akibatnya, wajar jika perjuangan Islam yang mereka lakukan di dalam sistem seolah menjadi sangat ‘dilematis’ dan maju kena mundur kena. Karena ketika di lapangan mereka harus berhadapan dan terpaksa tarik ulur dengan pemikiran dan hukum sekuler yang dalam prinsip demokrasi mau tidak mau memang harus ‘diterima’ dan diakui eksistensinya. Yang kemudian terjadi pada akhirnya adalah, prinsip jalan tengah yang mereka tempuh hanya kian memposisikan Islam dalam posisi marginal; selalu terkalahkan!

Tak Hendak Menuding, Tapi Sekedar Mengajak Berhitung

Dengan mencermati fakta yang ada, sesungguhnya siapapun bisa melihat, bahwa gerakan perbaikan lewat parlemen memiliki sejumlah kelemahan, yaitu :

1. Banyaknya partai-partai Islam di dalam parlemen membuat suara ummat terpecah, sehingga tidak mungkin ada partai Islam yang mendapat suara cukup besar. Sebagai konsekuensinya, wakil partai di parlemen juga sedikit. Padahal :
 Dengan jumlah yang sedikit dan masing-masing partai memiliki kepentingan sendiri-sendiri (tidak ada kesamaan visi dan misi), maka suara dari partai-partai Islam menjadi tidak berarti dalam parlemen yang bersistem demokrasi ini.
 Adanya partai-partai Islam yang memilih berkoalisi dengan partai nasionalis membuat suara ummat semakin hilang.
 Ditambah dengan adanya aturan Pemilu 2004, yaitu penghapusan aturan stambus accord (penggabungan sisa suara) dan tidak adanya pengalihan suara antar partai dari suatu daerah pemilihan ke daerah lain memungkinkan partai politik Islam memperoleh suara jauh di bawah yang diharapkan.

2. Pemecahan masalah yang dilakukan dalam parlemen adalah berdasarkan sistem demokrasi, dimana sistem ini mengharuskan adanya pengakuan atas perbedaan pendapat dan menjadikan kompromi sebagai jalan keluarnya. Dengan kata lain, perbedaan-perbedaan yang muncul akibat beragamnya ideologi partai harus dipecahkan dengan cara mengakomodasi berbagai kepentingan yang ada, termasuk kepentingan kelompok-kelompok anti syari’at Islam. Dengan demikian, pemecahan yang diambil dipastikan tidak bisa murni berdasarkan solusi Islam.

3. Dengan prinsip sekulerisme yang dianut oleh negara, menjadikan mereka terjebak dalam perjuangan parsial, bahkan akhirnya seringkali hanya mengedepankan esensi, ketimbang berupaya sungguh-sungguh menerapkan hukum-hukum Islam secara nyata. Dengan kata lain, aqidah sekulerisme yang kini melandasi kehidupan bernegara, termasuk mendasari berbagai aturan main di parlemen, secara pasti akan memustahilkan keberhasilan perjuangan penegakkan syari’at Islam. Karena bukankah sekulerisme memang menolak campurtangan agama dari kehidupan?

Lebih dari itu, fakta-fakta perjuangan berbagai gerakan intra-parlementer di berbagai negeri Islam yang menerapkan demokrasi sesungguhnya bisa menguatkan hal tersebut. Di Indonesia, dalam sekian kali pemilu, mulai dari yang dianggap kurang demokratis hingga yang dianggap paling demokratis sekalipun, prestasi partai-partai politik Islam belum ada yang mengesankan. Bahkan pada Pemilu tahun 1999, perolehan suara kumulatif partai-partai Islam (yang pada faktanya terpecah-pecah karena perbedaan visi) masih sangat jauh di bawah partai nasionalis sekuler. Prestasi tertinggi dicapai pada pemilu tahun 1955 yang dianggap sebagai pemilu paling demokratis dan liberal, dimana partai Islam memperoleh suara sekitar 40 persen lebih sedikit, akan tetapi sekali lagi, jumlah itupun terpecah pada beberapa partai Islam. Untuk pemilu 2004 sebagian kalangan bahkan memprediksi hal yang ‘tak jauh berbeda’ dengan kondisi sebelumnya. Adanya kekecewaan umat Islam terhadap partai-partai Islam yang ternyata tidak jauh berbeda dengan partai-partai sekular; sarat konflik dan kurang peduli dengan nasib rakyat, serta upaya sekularisasi dan depolitisasi umat Islam yang kian gencar menjadi alasan penguat bagi analisa tersebut di atas.
Di Malaysia, nasib yang sama juga dialami Partai Islam Se-Malaysia (PAS) yang mengklaim sebagai representasi dari kepentingan kelompok Islam yang ingin melaksanakan hukum Islam di pentas politik nasional. Sejak berdiri, PAS tidak pernah memperoleh suara signifikan dan justru dari pemilu ke pemilu perolehan suaranya terus merosot, kalah jauh oleh aliansi partai-partai dalam Barisan Nasional yang didominasi UMNO.4)

Ketikapun pada faktanya partai-partai Islam berhasil memperoleh suara yang cukup signifikan, maka persoalan lain pun bermunculan. Untuk kasus-kasus dimana perolehan suara mereka tidak bisa mencapai mayoritas mutlak, maka partai Islam biasanya dihadapkan pada pilihan untuk membentuk pemerintahan koalisi atau melakukan aliansi. Dan kenyataannya, pemerintahan semacam ini menjadi hambatan bagi upaya merealisasikan agenda-agenda politik yang secara spesifik (seharusnya) diperjuangkan oleh partai-partai Islam tersebut. Bahkan pada tataran praktisnya, partai Islam seringkali ‘terpaksa’ harus mengesampingkan agenda politik Islam yang tidak bisa diakomodir oleh partai-partai lain yang menjadi koalisinya. Inilah yang pernah terjadi pada Ikhwanul Muslimin yang sepanjang tahun 1984 ‘terpaksa‘ beraliansi dengan Partai Wafd Baru dan pada tahun 1987 ‘terpaksa‘ beraliansi dengan Partai Buruh Sosialis dan Partai Liberal agar bisa merebut kursi.5) Sementara itu, untuk kasus-kasus dimana partai Islam berhasil merebut suara mayoritas mutlak, maka mereka akan dihadapkan pada dua pilihan ‘sulit’, yakni menduduki kekuasaan dengan melanjutkan sistem sekuleris yang kufur, atau menolaknya dengan resiko diberangus oleh pemerintah berkuasa dan dicap sebagai organisasi terlarang karena hendak mengganti undang-undang dasar. Kenyataan inilah yang dialami Partai Refah di Turki yang ‘terpaksa’ harus tetap menghormati konstitusi sekuler Turki berikut prinsip-prinsip demokrasi dan sekulerisme Attaturk, dan dialami partai FIS di Al-Jazair yang kemudian diberangus oleh pemerintah yang didukung Barat justru setelah memperoleh kemenangan telak atas partai-partai lain dalam Pemilu yang dianggap paling demikratis di sana. Ini menunjukkan, bahwa para pengemban sistem demokrasi-sekuler tidak akan pernah ridha untuk membiarkan partai Islam mencapai tampuk kekuasaan dan memerintah dengan Islam, sekalipun diperoleh melalui pemilu yang syah.

Timbangan Syariat, Seperti Apa?

Hakikatnya, gerakan ishlah intra-parlementer muncul dilandasi dengan pemahaman, bahwa mengubah masyarakat adalah dengan melakukan perbaikan setahap demi setahap (ishlah) dengan cara masuk ke dalam sistem pemerintahan non-Islam yang berasaskan pada sistem demokrasi, terutama ke dalam lembaga-lembaga pembuat keputusan semacam parlemen. Dari konsep ini, setidaknya ada 4 hal yang harus dicermati berdasarkan sudut pandang syari’at. Yakni hukum perbaikan setahap demi setahap, hukum bergabung dengan pemerintahan non Islam, hukum mengambil sistem demokrasi dan hukum berbagai aktivitas dalam parlemen yang tegak atas dasar demokrasi. Ini mengingat, persoalan mengubah masyarakat dan metoda yang harus ditempuhnya merupakan perkara yang sesungguhnya telah diatur oleh Islam. Sehingga dengan demikian, syari’at Islam harus dijadikan sebagai satu-satunya sumber dan standar gerakan Islam dalam melakukan perubahan, dan bukan realitas. Realitas dengan berbagai gejalanya tidak lebih merupakan obyek yang harus dihukumi untuk kemudian dipecahkan dengan Islam.

Adapun mengenai konsep ishlah (perbaikan bertahap/parsial/reformasi), maka Islam sesungguhnya telah menetapkan kapan perubahan masyarakat bisa dilakukan secara ishlah dan kapan justru harus secara total dan menyeluruh (taghyir/revolusioner). Akan tetapi penerapannya memang akan sangat tergantung kepada fakta yang menuntutnya. Model dakwah ishlahiyyah bisa dilakukan ketika asas tegaknya masyarakat masih shahih, yakni aqidah Islamiyah. Artinya, masyarakat tersebut masih layak menyandang sebutan sebagai masyarakat Islam dan negaranya sebagai negara Islam (dar/daulah Islam), hanya saja, dalam tubuh masyarakat atau negara Islam tersebut terjadi berbagai kerusakan atau penyimpangan dalam penerapan hukum-hukumnya. Sementara itu, metoda taghyir harus dilakukan terhadap masyarakat atau negara yang secara riil tidak berpijak di atas aqidah Islam, dimana Islam tidak dijadikan sebagai asas bagi UUD, UU dan peraturan perundang-undangan mereka. Inilah yang secara riil dipraktekkan oleh Rasulullah SAW tatkala beliau berupaya mengubah masyarakat jahiliyyah menjadi masyarakat Islam. Oleh karena itu, kejelian pengamatan terhadap realitas (tahqiiqul manaath) yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat sangatlah penting.

Jika kita amati realitas masyarakat kaum Muslim dimanapun, maka bisa dipastikan bahwa saat ini tidak ada satu komunitaspun yang layak dikatakan sebagai masyarakat Islam atau negara Islam. Karena, asas pengaturan kehidupan mereka dalam bermasyarakat dan bernegara bukanlah aqidah Islam yang menjadikan al-Qur’an dan as-Sunnah sebagai sumber hukumnya. Realitas seperti ini sesungguhnya tidak berbeda dengan kondisi masyarakat pada masa Rasul SAW. Sehingga, metoda dakwah yang harus ditempuh sama dengan metoda da’wah beliau, yakni metoda taghyir melalui perjuangan ideologis untuk merubah sistem secara total dan mendasar. Dengan demikian, aktivitas perubahan yang tidak berlandaskan pada landasan metoda seperti ini justru tidak dapat diterima, sebab selain tidak sesuai dengan realita kondisi masyarakat, juga tidak sesuai dengan tuntunan syari’at yang secara jelas telah dicontohkan oleh baginda Rasul SAW.

Mengenai hukum bergabung (musyaarakah) dengan pemerintahan non Islam, maka aktivitas musyarakahnya sendiri diartikan sebagai turut sertanya kaum muslim dalam pemerintahan yang berdiri bukan dengan asas Islam dan memerintah tidak dengan hukum Islam. Musyarakah biasanya dilakukan dengan mengikuti permainan demokrasi dengan cara masuk ke dalam parlemen dengan tujuan untuk menyampaikan pendapat kepada penguasa. Dan dengan berlalunya waktu akan sampai pada kekuasaan.6) Sementara itu, aktivitas para anggota parlemen dalam sistem demokrasi --selain melakukan fungsi pengawasan-- adalah membuat dasar negara, undang-undang serta berbagai macam produk hukum atas dasar prinsip mayoritas. Dalam hal ini yang menjadi sandaran adalah pendapat anggota parlemen yang dianggap sebagai representasi kehendak rakyat (kehendak manusia). Hukum-hukum inilah yang akan dan harus diterapkan oleh kepala dalam pemerintahan yang sedang berkuasa. Dalam hal ini, baik anggota parlemen, kepala negara, menteri, MK dan yang lainnya sama-sama terlibat dalam pembuatan, penerapan, serta pelanggengan perundang-undangan dan hukum buatan mereka. Fakta inilah yang juga menunjukkan hakekat dari ruh demokrasi, yang prinsip dasarnya menetapkan, bahwa kedaulatan membuat hukum ada di tangan rakyat/manusia.

Sebagai din yang haq, Islam telah menetapkan bahwa bergabungnya kaum muslim dalam pemerintahan yang tidak tegak atas asas Islam dan tidak berhukum dengan hukum Islam hukumnya adalah haram. Bahkan Islam justru memerintahkan setiap muslim untuk berlepas diri (mufaaraqah) terhadap penguasa seperti itu. Demikian juga dengan aktivitas pembuatan hukum yang sesungguhnya hanya merupakan hak prerogatif Allah SWT sebagai Sang Pencipta. Di dalam al-Qur’an maupun hadits ditemukan banyak nash yang menunjukkan keharaman tersebut. Nash tersebut antara lain :
Firman Allah SWT :
“…. Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka termasuk orang yang kafir ……” (TQS. Al-Maidah : 44)
“Keputusan (hukum) itu hanyalah milik Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (TQS. 12 : 40)
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin” (TQS. Al-Maidah:5)
“Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu ……” (TQS. Al-Maidah:49)

Sabda Rasulullah SAW :
“Sesungguhnya akan datang kepada kalian para penguasa yang mendekatkan orang-orang jahat (sebagai pembantu dan penasihat di sekitarnya) dan mengakhirkan waktu shalat. Oleh karena itu, siapa saja di antara kalian yang menjumpai hal itu, janganlah menjadi wakil rakyat, polisi, staf administrasi (penulis pendapatan negara) dan bendahara (penyimpan kas negara” (HR. Ibnu Hibban dengan sanad sahih)

“Sesudahku akan ada para pemimpin. Siapa saja yang memasuki (istana) mereka, lalu membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka dia bukan termasuk golonganku dan akupun bukan termasuk golongannya, dan dia tidak akan sampai ke telaga (al-Kautsar). Siapa saja yang tidak memasuki (istana) mereka, tidak membantu kezaliman mereka, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, maka dia termasuk golonganku dan akupun termasuk golongannya, dan dia akan sampai ke telaga (al-Kautsar)” (HR. Imam Ahmad, at-Turmudzi, an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Berdasarkan keumuman nash-nash tersebut, jelaslah, bahwa prinsip-prinsip demokrasi dan seluruh pemikiran cabang yang terbangun di atasnya, termasuk masalah bergabung dengan sistem kufur yang menerapkan hukum-hukum selain Islam hukumnya haram secara syar’i. Sehingga, ketikapun dalam pemikiran cabang demokrasi kita lihat seolah-olah ada kesesuaiannya dengan Islam, maka pemikiran tersebut tetap tertolak karena kufurnya asas yang menjadi landasannya.

Fokus Dakwah Rasulullah SAW, Bergerak di Tengah Umat
Sebelumnya telah dijelaskan, bahwa secara I’tiqadi setiap aktivitas yang dilakukan kaum muslimin harus terikat dengan hukum syara, sehingga sumber sekaligus tolok ukur untuk menentukan jalan yang ditempuh guna mengajak ummat ke arah penerapan Islam secara kaaffah adalah Al-Qur’an dan as-Sunnah. Adapun langkah-langkah Rasulullah SAW sesungguhnya merupakan penerapan dan penjelasan yang bersifat amali atas metode yang harus ditempuh. Dengan demikian, metode perubahan selain metoda tersebut adalah batil dan tertolak. Bahkan disamping akan berbuah kegagalan, metoda tersebut akan menjadikannya sebagai amal yang sia-sia.

Merujuk pada apa yang dilakukan oleh Rasulullah, jelas nampak bahwa beliau memfokuskan perjuangannya pada upaya mengubah pemikiran, perasaan dan aturan yang mengatur interaksi masyarakat jahiliyah masa itu secara total dan mendasar, tanpa bergabung dengan sistem yang ada. Bahkan sejak awal dakwahnya, beliau senantiasa konsisten untuk ‘menjaga jarak’ dan membedakan diri (non kompromi) dengan sistem jahili, sekalipun kesempatan itu ada. Seandainya bergabung dengan kekufuran itu bisa berhasil menegakkan Islam sekaligus mendapatkan keridhaan dari Allah SWT, tentulah Rasulullah akan menerima dengan senang hati tawaran kaum kafir Quraisy yang membujuk beliau dengan kekuasaan.

Yang beliau lakukan justru secara bersungguh-sungguh menggalang kekuatan ummat di luar sistem. Karena beliau memahami, bahwa kekuatan ummatlah yang sesungguhnya akan secara alami melahirkan sebuah perubahan yang mendasar ke arah yang diinginkan. Inilah yang disebut dengan at-taghyir ‘an at-thariq al ummah. Adapun tahapan perjuangan syar’I yang beliau lakukan dapat dirinci sebagai berikut :

1. Rasulullah SAW menyampaikan da’wah Islam kepada orang-orang yang siap menerima Islam, mengorganisir dan membina mereka, serta menyiapkan mereka untuk menjadi agen perubahan di tengah-tengah masyarakat dengan bentuk pembinaan dalam halaqah-halaqah yang mengarah pada terbentuknya kepribadian Islam yang tangguh. Yakni kader-kader yang memiliki pola pikir dan pola jiwa Islami.

2. Rasulullah SAW bersama kelompoknya terjun dalam pertarungan keyakinan dan pemikiran ke tengah-tengah masyarakat dan masuk ke dalam perjuangan politik melawan penguasa dan pemimpin kafir. Di dalam perjuangan itu, Rasul dan kutlah/kelompok beliau menanggung kesulitan yang berat, akan tetapi beliau tetap konsisten menjelaskan kebenaran, menyerang ide-ide kufur tanpa gentar sedikitpun.

3. Segala macam siksaan, penderitaan dan ancaman telah menimpa Nabi dan kelompoknya. Akan tetapi semua itu tidak memalingkan mereka dari Islam. Mereka tetap mengembannya, bersabar dan terus menyebarkannya. Dengan tegas beliau menolak penyamaan dan penyetaraan Islam dengan yang lainnya. Beliau juga menolak secara tegas segala macam rayuan, termasuk untuk mengambil bagian dalam kekuasaan kufur demi mencapai tujuan parsial. Beliau juga menolak mengambil harta atau tawaran kompromi dalam perkara kekufuran. Ketika Orang-orang kafir Quraisy menawarkan konsep penyembahan yang mendua sebagai bentuk kompromi, beliau justru menyampaikan “Katakanlah : “Wahai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kalian tidak akan menyembah yang aku sembah. Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku” (TQS. Al-Kafirun:1-6). Atau ungkapan beliau yang terkenal :”Demi Allah, seandainya mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan urusan (dakwah) ini, aku tidak akan meninggalkannya sampai Allah memenangkan urusan ini atau aku binasa karenanya.” 7) Beliau terus menjelaskan dakwahnya, menghilangkan kekufuran dan menghilangkan pemikiran kufur, mengingatkan orang-orang kafir terhadap siksa yang pedih seraya mencela keyakinan-keyakinan dan mimpi mereka.

4. Ketika kejahatan orang-orang kafir makin bertambah-tambah, maka Rasulullah menganjurkan kepada para sahabatnya untuk berhijrah ke Habsyah demi menyelamatkan agama dan kutlah mereka. Sementara itu, beliau tetap berada di Makkah untuk melanjutkan dakwah. Kemudian ketika masyarakan kian jumud terhadap dakwah akibat kian kuatnya penindasan, Rasulullah lalu mendatangi kabilah-kabilah lain seraya menyeru mereka kepada Islam, meminta pertolongan mereka agar mereka mendukung dan menolong penerapan Islam.

5. Aktivitas Rasul terus berlangsung dalam mencari pertolongan dakwah (thalabun nushrah) tanpa membatasi pada kabilah tertentu, baik yang ada di kota Makkah maupun yang ada di luar kota Makkah. Beliau tidak marah kepada mereka sekalipun mereka menolak belaiau dengan penolakan yang buruk, hingga Allah SWT mendatangkan pertolongan dengan berimannya para pembesar dan anggota kabilah Aus dan Khazraj beserta mayoritas masyarakat Madinah yang sebelumnya telah terbina melalui tangan Mush’ab bin Umair. Lalu Rasulullah meminta pertolongan mereka untuk mendirikan negara Islam di Medinah. Dan ketika mereka setuju, Nabi berakad dengan mereka melalui Baiat Aqabah II yang esensinya merupakan akad penyerahan kekuasaan para penguasa Medinah kepada Rasulullah SAW. Kemudian beliau berhijrah ke Medinah dan dengan kedatangan beliau berdirilah negara Islam pertama di Madinah.

Demikianlah proses perubahan revolusioner yang dilakukan oleh Rasulullah SAW hingga tegaknya negara Islam yang menerapkan Islam secara kaaffah, dimana sejak saat itu pula beliau mengokohkan pilar-pilar negara dan memulai aktivitas jihad untuk meninggikan kalimat Allah dan untuk mengemban dakwah kepada seluruh manusia, Hingga Islam menjadi sistem hidup yang mendunia, dan berhasil membuktikan keberadaannya sebagai Rahmatan lil ‘alamiin.

Khatimah
Dari gambaran ini, jelaslah bahwa kunci keberhasilan perjuangan Rasulullah SAW adalah konsistensi beliau terhadap kemurnian ideologi yang secara sungguh-sungguh disosialisasikan kepada masyarakat melalui dakwah pemikiran, dan bukan karena berkolaborasi dengan sistem kufur.

Karenanya, niat baik dan ikhlas saja tentu tidak cukup. Sudah saatnya gerakan-gerakan Islam yang ada merevisi diri dengan melakukan aktivitas yang sesuai dengan teladan Rasulullah, dan tidak terus terbuai dengan janji manis dan logika dangkal demokrasi. Selain karena bertentangan dengan syari’at dan menjauhkan perjuangan dari keberhasilan, dari sisi ideologis langkah seperti ini bahkan berbahaya, karena menjadikan Islam sejajar bahkan lebih rendah dibanding dengan ideologi dan pemikiran kufur lainnya, akibat penerimaan dan kompromi-kompromi yang diniscayakan dalam sistem kufur seperti ini.

Yang seharusnya dilakukan justru melakukan proses kulturisasi Islam politik kepada masyarakat secara bersama-sama agar ditengah-tengah mereka muncul kesadaran politik yang tinggi, dan Islam politik menjadi cita-cita bersama yang mampu menggerakkan mereka untuk berjuang dan merealisasikannya dalam kehidupan. Inilah jalan yang dicontohkan, dan inilah jalan yang dipastikan akan menghasilkan. Adapun berapa lama waktu yang dibutuhkan, itu bukan soal, karena yang perlu pemastian adalah seberapa besar kontribusi kita dalam perjuangan ini. Dan setiap diri akan menuai apa yang ditanam. Wallaahu a’lam.

------------

Catatan kaki :
1. Fiqih Negara (Terj.), Rabbani Press, Jakarta, Cet. II, 1999, hal. 165 dan hal. 228.

2. Dalam buku Fiqih Negara, ibidem hal. 231, beliau mengungkapkan, bahwa pada dasarnya bekerjasama dengan orang-orang zalim adalah haram. Akan tetapi ada beberapa kondisi yang membolehkan kita keluar dari kaedah dasar hukum tersebut berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, seperti untuk mengurangi kezaliman dan kekejian sesuai dengan kemampuan, dalam rangka memilih bahaya yang lebih ringan, mundur dari yang ideal kepada kenyataan yang lebih rendah, adanya sunnah tadarruj, dan lain-lain. Beliaupun menyebut beberapa persyaratan yang harus dipenuhi manakala seseorang ingin berpartisipasi dalam pemerintahan non Islam, seperti keikutsertaannya itu harus secara nyata bukan hanya sekedar dakwaan dan ucapan, partisipan harus mempunyai hak untuk menentang segala hal yang bertentangan dengan Islam dan lain-lain.

3. Ibidem, hal. 182.

4. Arif B. Iskandar, Revisi dan Reposisi Partai Islam, Al-Wa’ie no. 22, Juni 2002, hal. 8.

5. John L. Esposito dan James S. Piscatori, Islam dan Demokratisasi, dalam. Arif B. Iskandar, ibidem, hal. 9.

6. Ahmad Mahmud, Dakwah Islam (Terj.), Pustaka Thariqul Izzah, Bogor, Jilid II, hal. 118.

7. Sirah Ibnu Hisyam

Kamis, 19 Mei 2011

KAUM MUSLIMIN BERSATU DALAM NAUNGAN KHILAFAH, UTOPISKAH ?


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Urgensi Persatuan Hakiki dan Realitas Ummat Islam Saat Ini
Jika seseorang menelaah kandungan al-Qur’an dan As-Sunnah, maka ia akan menemukan, bahwa Islam secara jelas telah menentukan beberapa masalah penting (qodhiyah al-mashiriyah/the vital issues) bagi kaum muslimin dan sekaligus menentukannya sebagai masalah hidup atau mati. Diantara masalah penting tersebut adalah kewajiban menjaga persatuan ummat Islam dan kewajiban menjaga kesatuan negara bagi seluruh kaum muslimin.

Perkara ini nampak jelas ketika Islam melarang adanya lebih dari seorang Khalifah dan melarang setiap aktivitas pemberontakan (bughat), seraya menjelaskan tindakan yang harus diambil untuk mengatasinya, yakni dengan tindakan hidup dan mati. Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa memberikan bai’at kepada seorang imam, lalu memberikan uluran tangannya dan buah hatinya, hendaklah ia taat kepadanya semampunya. Apabila datang seseorang hendak mencabut kekuasaannya, maka penggallah lehernya” (THR. Muslim)

Juga diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Jika dibai’at dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya” (THR. Muslim). Senada dengan itu, Arfajah ra. menuturkan, bahwa dia pernah mendengar Rasulullah bersabda : “Barangsiapa mendatangi kalian, sedang urusan kalian berada di tangan seorang laki-laki (khalifah), dan orang itu hendak merusak persatuan kalian atau memecah belah jamaah kalian, maka bunuhlah dia” (THR. Muslim)

Sementara itu mengenai pemberontakan (bughat), Allah SWT telah berfirman :
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah di antara keduanya. Jika salah satu dari golongan tersebut berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya tersebut sampai golongan itu kembali kepada perintah Allah”
(TQS. Al-Hujurat : 9).
Dan dalam salah sebuah haditsnya, Rasulullah SAW bersabda : “Barangsiapa keluar (memberontak) dari ummatku, sedangkan mereka dalam keadaan bersatu, maka penggallah lehernya dengan pedang, siapapun mereka”.

Sesungguhnya, kaum muslimin terdahulu telah menerapkan ketentuan ini secara konsisten, yakni dengan tetap menempatkan persoalan-persoalan tersebut sebagai salah satu perkara yang paling penting dan paling kritis. Tak seorangpun dari mereka berani mengabaikan dan meremehkannya, hingga saat itu ummat Islam mampu bangkit menjadi ummat yang mulia, dan negara Islampun muncul sebagai negara besar, kokoh dan digdaya. Namun ketika para khalifah semakin lemah dan pemahaman ummat terhadap Islam semakin berkurang, kaum muslimin tidak lagi menganggap perkara tersebut sebagai persoalan utama yang harus disikapi dengan tindakan hidup dan mati. Mereka justru mulai lalai dan membiarkan begitu saja terjadinya pemisahan beberapa wilayah Islam dari kekuasaan khilafah, hingga disintegrasi kaum muslimin menjadi sesuatu hal yang dianggap lumrah. Bahkan ketikapun akhirnya institusi khilafah terhapus, dan Mustafa Kemal menyatakan pemisahan Turki dari semua negeri Islam, seraya --pada saat yang sama-- menyetujui penyerahan negeri-negeri tersebut pada kekuasaan negara-negara kafir, kaum muslimin sama sekali tidak peduli atas ancaman malapetaka yang senyatanya sudah ada di depan mata mereka. Perhatian mereka justru tercurah seluruhnya pada ‘impian’ mewujudkan ‘bangsa merdeka’ yang secara sistemis memang telah dicekokkan dalam benak-benak mereka oleh kaum kafir. Mereka tak mampu menyadari bahwa sesungguhnya ‘impian’ ciptaan orang-orang kafir tersebut hanyalah racun yang akan membunuh mereka secara perlahan, hingga pada akhirnya eksistensi mereka hilang dari dunia ini tanpa bekas sedikitpun!

Kondisi ini sesungguhnya membuktikan, bahwa jauhnya kaum muslimin dari Islam dimasa-masa kemundurannya telah menyebabkan mereka tidak lagi menganggap persoalan menjaga persatuan jamaah dan negara sebagai masalah utama dan penting bagi mereka. Padahal, justru ketika mereka mengabaikan persoalan inilah, maka berbagai masalah mulai mendera kehidupan mereka. Keruntuhan institusi Khilafah yang hakekatnya merupakan pemersatu dan sekaligus payung pelindung kaum muslimin melalui penerapan hukum-hukum Islam, telah menandai runtuhnya persatuan hakiki ummat yang selama ini menjadi rahasia kekuatan bagi terbangunnya ‘izzah mereka selama ribuan tahun di hadapan bangsa-bangsa lain. Dan pada akhirnya, persatuan hakiki tersebut justru tergantikan oleh ukhuwwah Islamiyyah semu yang mandul, simbolis dan terartikulasi sebatas perasaan saja.

Akibatnya, ummat yang semula kokoh bersatu bagai satu tubuh, kemudian terpecah buncah dalam puluhan keping negara bangsa (nation state) yang masing-masing tak lagi saling terikat dan tak punya arti apa-apa. Hingga sejak saat itu, bahkan sampai hari ini, negeri-negeri Islam terus-menerus menjadi objek bulan-bulanan dan penindasan orang-orang kafir, baik secara fisik, ekonomi, politik, budaya, hankam, maupun secara pemikiran. Lantas sistem kehidupan Islam yang muliapun akhirnya tergantikan oleh sistem kufur yang rusak dan merusak. Hingga tak ada satupun aspek kehidupan kaum muslimin yang bisa lepas dari dominasi dan kontrol mereka. Tak heran jika, sekalipun secara kuantitas ummat Islam merupakan entitas terbesar di dunia, namun secara kualitas, mereka berada jauh di bawah, terinjak-injak dan terhinakan. Persis sebagaimana sinyalemen Nabi SAW 14 abad yang lalu, bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menjadi obyek jarahan orang-orang kafir, karena sekalipun jumlah mereka banyak, mereka tak lebih dari kumpulan buih di lautan.

Disinilah sebenarnya urgensi mengembalikan persoalan ini pada tempatnya, yakni bagaimana mengembalikan masalah persatuan ummat dan kesatuan negara yang menerapkan sistem Islam ini sebagai masalah yang sangat penting bagi kaum muslimin. Karena pemahaman inilah yang akan mendorong umat untuk berjuang merealisasikannya, hingga kemuliaan sebagai khoiru ummah akan terraih kembali.

Kendala Membangun Kembali Persatuan Hakiki

Hanya saja, tak bisa dipungkiri bahwa membangun kesadaran dan keyakinan tentang pentingnya persatuan ummat ini, yakni dengan cara menegakkan Khilafah yang akan menerapkan sistem Islam atas seluruh kaum muslimin, memang bukanlah perkara yang mudah. Karena, sekalipun secara fakta kaum muslimin sudah mulai merasakan rusaknya sistem kehidupan yang melingkupi mereka selama ini, dan mulai tumbuh kesadaran pada sebagian mereka untuk kembali kepada tuntunan Illahi, akan tetapi kesadaran tersebut belum betul-betul tertancap dalam akal dan hati mereka. Apalagi, selama ini mereka memang telah kehilangan gambaran yang utuh dan benar mengenai realitas persatuan umat dan penerapan syari’at Islam dalam kehidupan, terutama dalam kerangka Khilafah Islamiyah yang bersifat mondial.

Hal ini nampak pada munculnya berbagai pernyataan yang mengekspresikan keraguan –disamping penolakan-- terhadap kemungkinan membangun persatuan hakiki pada tataran kekinian. Ungkapan-ungkapan yang muncul, antara lain :

 Bahwa secara realitas, ummat Islam adalah ummat yang sangat heterogen, baik dalam aspek kebangsaan, sejarah, budaya dan bahasa. Karenanya, tidak mungkin menyatukan ummat Islam dalam satu wadah kenegaraan. 1)
 Bahwa secara realitas pula, kaum muslimin terpecah dalam berbagai kelompok/ madzhab yang masing-masing memiliki ‘tafsir’ tersendiri mengenai syari’at dan bagaimana menerapkannya. 2)
 Bahwa masih banyak perbedaan khilafiyah di kalangan umat yang sangat sulit dipersatukan.
 Bahwa kaum muslimin di masing-masing negeri tengah disibukkan dengan berbagai persoalan internal yang membuat mereka tak berkesempatan memperhatikan ‘nasib’ saudaranya di negeri-negeri yang lain, apalagi berpikir tentang keinginan membangun persatuan secara politik di antara mereka . 3)
 Bahwa terdapat perbedaan yang diametral antara struktur masyarakat zaman Nabi dengan struktur masyarakat modern, sehingga pemaksaan untuk menerapkan Islam ‘apa adanya’ hanya akan berbuah kegagalan. 4)
 Bahwa sekalipun diakui Khilafah Islam pernah ada dan telah mampu menunjukkan supremasi dan kegemilangannya di panggung sejarah, namun upaya mengembalikannya pada realitas kekinian adalah sesuatu yang utopis, mengingat begitu banyak problematika sosiologis-historis umat Islam kontemporer yang menegasikan kemungkinan sistem ini diterapkan kembali. 5)

Dari paparan diatas, kita bisa melihat bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan timbulnya keraguan bahwa kaum muslimin bisa bersatu dalam persatuan hakiki di bawah bendera Khilafah, di antaranya :

1) Adanya pemikiran nasionalisme yang membuat kaum muslimin terkotak-kotak berdasarkan asas kebangsaan atau kesukuan, dan --pada saat yang sama-- mengalahkan ikatan iman yang (seharusnya) ada dalam diri mereka. Sesungguhnya, keberadaan paham ‘rusak’ inilah yang selama ini menyulitkan kaum muslimin, tak terkecuali para aktivis gerakan Islam, untuk bisa membayangkan bagaimana realitas persatuan hakiki umat yang harus diperjuangkan, apalagi dalam bentuk satu wadah institusi khilafah.

2) Berkembangnya paham demokrasi yang sangat mengagungkan pluralisme, termasuk pluralisme politik, jaminan atas HAM dan sebagainya.6). Paham ini menolak terjadinya penyatuan umat dalam satu kultur (terutama kultur politik), karena bagi demokrasi, dominasi kultur tertentu dianggap sebagai pengingkaran terhadap realitas masyarakat yang plural dan dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak-hak mendasar manusia.
Padahal jika kita telaah nash-nash syara’ dan realitas penerapan Islam dalam sejarah, maka kita akan temukan bahwa pluralitas masyarakat tidak menjadi penghalang bagi terwujudnya kesatuan jamaah dan sistem. Karena Islam telah memecahkan persoalan heterogenitas masyarakat ini dengan mengembalikannya pada standar yang satu, yakni ikatan akidah dengan kepurnaan sistem hukum yang dibangunnya. Justru ikatan inilah yang terbukti mampu menjadikan masyarakat yang plural tadi menjadi masyarakat yang solid dan ‘sempurna’ hingga lebih dari 13 abad.

3) Terdapat kekaburan persepsi mengenai hal-hal yang perlu dipersatukan dan hal-hal yang boleh berbeda. Ini nampak ketika mereka menganggap bahwa adanya perbedaan pendapat dalam perkara-perkara khilafiyah di tengah masyarakat akan menjadi penghalang bagi terwujudnya persatuan ummat. Padahal selama perbedaan itu tidak menyangkut persoalan aqidah, ataupun menyangkut hukum-hukum syara’ yang tegak di atas dalil-dalil yang qath’iy, maka perbedaan tersebut dianggap absah dan dianggap sebagai bagian dari kekayaan khazanah fiqih Islam. Sehingga adanya perbedaan tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk menolak upaya penyatuan umat Islam di bawah satu wadah institusi politik.

4) Ada pula yang beranggapan bahwa ide penyatuan kaum muslimin di bawah bendera Khilafah berarti penyeragaman dalam segala hal. Sehingga yang terbayang adalah kesan otorita-rianisme dan kekejaman penguasa seperti yang pernah terjadi dimasa kemunduran Islam (Contohnya kasus Imam Ahmad bin Hambal). Padahal, sekalipun khalifah memiliki hak legislasi (tabbaniy) atas suatu pendapat, sesungguhnya hak itu hanya menyangkut perkara-perkara yang memang akan menentukan corak masyarakat (seperti aturan-aturan kemasyara-katan/’anzhimat al-mujtama’; meliputi sistem ekonomi, politik, sosial, pendidikan, persanksi-an dan lain-lain). Adapun perkara-perkara yang menyangkut individu, seperti urusan ibadah, maka hal tersebut diserahkan kepada pendapat masing-masing, selama dipastikan pendapat tersebut merupakan pendapat yang Islami, yakni yang dilandaskan pada dalîl atau syubhah ad- dalîl.

5) Terdapat ketidakjelasan gambaran hakekat persatuan yang diharapkan oleh kaum muslimin, sehingga seruan untuk menggalang ukhuwwah Islam seringkali diartikan sebatas seruan moral individual saja, atau kalau dalam tataran politik internasional, ukhuwwah Islamiyah hanya tergambar dalam bentuk kerjasama antar dunia Islam (seperti OKI) dan bukan kesatuan sistem politik dalam bentuk Khilafah.

Kondisi-kondisi inilah yang saat ini menjadi salah satu kendala internal terbesar bagi upaya mewujudkan persatuan ummat di bawah naungan khilafah Islam. Mengingat, perkara yang seharusnya termasuk ma’lûmun min ad-dîni bi ad-dharûrah justru masih dianggap asing oleh masyarakat kaum muslimin sendiri. Oleh karena itulah, maka menjadi kewajiban para pengemban dakwah untuk menghilangkan berbagai tabir yang menutupi kebenaran dan keniscayaan ide persatuan dan khilafah ini, termasuk membongkar kerusakan pemikiran-pemikiran yang menghalanginya, dengan cara melakukan berbagai langkah dakwah di tengah-tengah mereka. Adapun targetnya adalah memberi keyakinan pada ummat bahwa persatuan seluruh kaum muslimin bukanlah perkara yang utopi, melainkan suatu hal yang pasti. Sehingga dengan keyakinan ini umat akan tergerak untuk berjuang bersama mewujudkan persatuan hakiki tersebut dalam realitas kehidupan.

Langkah-Langkah Membangun Keyakinan Ummat Untuk Bersatu
Setidaknya ada dua pendekatan yang bisa diambil untuk meyakinkan ummat akan keniscayaan membangun persatuan yang hakiki dalam realitas kekinian, yakni melalui pendekatan I’tiqadi dan pendekatan faktual. Pendekatan I’tiqadi dilakukan dengan cara menjelas-kan, bahwa menjaga persatuan kaum muslimin dan menghindari perpecahan di antara mereka sesungguhnya merupakan perintah syara’ yang harus diyakini sebagai konsekwensi keimanan kepada Allah SWT. Adanya kedua perintah Allah ini menunjukkan bahwa membangun persatuan dan meninggalkan perpecahan di kalangan umat sesungguhnya merupakan hal yang pasti bisa dilakukan. Sebab, Allah SWT tidak mungkin memerintahkan suatu kewajiban yang pelaksanaan/ pengabaiannya akan dihisab, sementara perbuatan tersebut tidak bisa dilakukan oleh manusia.

Berkenaan dengan perintah Allah ini, ada banyak dalil yang bisa disampaikan beserta tafsirnya, di antaranya firman Allah dalam QS. Al-Hujurat : 10 :

“ Sesungguhnya kaum mukminin itu bersaudara”.

Imam al-Qurthubi di dalam tafsirnya menyebutkan bahwa persaudaraan antar kaum mukminin adalah dalam hal dien dan kehormatan, bukan dalam nasab. Sementara itu, dalam ayat lain Allah SWT berfirman :

“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai. Dan ingatl;ah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk” (TQS. Ali Imran : 103).

Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa hampir terprovokasinya kaum Aus dan Khajraj oleh orang-orang Yahudi yang mengungkit-ungkit permusuhan mereka di masa lalu. Ketika kejadian ini sampai pada Rasulullah, lalu beliau mengingatkan mereka dengan bersabda : “Apakah kalian hendak membangga-banggakan dan menonjol-nonjolkan semangat jahiliyyah padahal aku ada di antara kalian?” Para sahabat Anshar dari kedua suku itupun menyesal dan langsung meletakkan senjata mereka masing-masing.

Dalam hal ini, para ulama Tafsir menafsirkan ayat ini dengan nada yang sama, yakni memerintahkan kaum mukmin untuk bersatu atas dasar Islam dan hukum-hukum Islam (Imam Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim I/477 dan Imam Az-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf I/386). Sementara itu, Imam Ibnu Katsir mengutip pula sebuah hadits Rasulullah SAW, beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah SWT meridlai kalian tiga perkara dan memurkai kalian tiga perkara, Allah meridlai kalian jika kalian 1) menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun, 2) berpegang kepada tali Allah dan tidak bercerai berai, 3) kalian sering menasehati orang yang diserahi Allah kekuasaan/wewenang untuk urusan pemerintahan kalian …….” Demikian pula nash-nash yang sudah diungkap diawal sesungguhnya merupakan hujjah atas permasalahan ini.

Adapun pendekatan faktual bisa dilakukan dengan menghadirkan berbagai realitas yang mudah dijangkau, hingga kaum muslimin mampu meraba keberadaan ide persatuan dan kesatuan negara sebagai sesuatu yang riil, dan bukan utopi. Misalnya dengan cara menjelaskan bahwa secara thabi’i manusia membutuhkan persatuan, sehingga dapat mencapai kebahagiaan dan ketentraman; bahwa saat inipun dunia sudah memiliki kecenderungan untuk menyatu, sehingga dunia seolah telah menjadi sebuah ‘dusun kecil’; dan bahwa secara realitas ikatan-ikatan yang selama ini ‘mempersatukan’ mereka terbukti merupakan ikatan yang lemah dan rusak, sehingga memunculkan dorongan pada diri mereka untuk segera menanggalkan pemikiran-pemikiran tersebut, dan lain-lain.

Sesungguhnya, banyak peristiwa aktual yang bisa dijadikan contoh riil bagi keniscayaan membangun persatuan umat saat ini. Diantaranya fakta-fakta aktual seputar usaha AS untuk bisa menggenggam dunia dalam kepalan tangannya agar dapat mengatur dunia dengan sistem kapitalisme yang dia emban. Begitu pula dengan upaya berbagai negara di seluruh belahan dunia untuk mengokohkan kesatuannya, seperti negara-negara Eropa yang membentuk Uni Eropa dan di Asia Tenggara dengan AIPO-nya. Ataupun fakta Daulah Khilafah Islam masa lalu, yang meskipun jaman itu dikenal sebagai jaman onta, akan tetapi terbukti mampu menyatukan lebih dari 2/3 dunia lama yang memiliki keaneka ragam bangsa, bahasa, adat istiadat, negara dan sistem perundang-undangan. Tentulah di jaman super modern seperti sekarang ini, mewujudkan kembali persatuan umat dan kesatuan negeri-negeri Islam di seluruh dunia bukan suatu hal yang sulit. Apalagi dengan kesamaan keyakinan terhadap aqidah dan ideologi Islam, beserta unsur-unsur pendukung lainnya, umat Islam memiliki kans yang sangat besar untuk bersatu dan menjadi umat adidaya dunia di bawah naungan khilafah.

Langkah-Langkah Membangun Persatuan Kaum Muslimin
Tentu saja, untuk mewujudkan persatuan umat Islam dalam sosok yang riil tidak cukup hanya dengan bekal keyakinan akan keniscayaannya saja. Akan tetapi lebih dari itu, umat Islam harus memiliki gambaran yang benar tentang ‘wujud’ persatuan yang akan dibangunnya, sehingga mereka tidak kembali terjebak pada ‘isu persatuan’ yang sifatnya semu dan sloganis.

Harus digambarkan, bahwa persatuan kaum muslim yang sebenarnya adalah persatuan yang kokoh dan dinamis. Ibarat satu tubuh, ketika satu bagian merasa sakit, maka yang lain akan merasakan demamnya, atau secara refleks tubuh yang lain bereaksi untuk melakukan tindakan yang akan menghilangkan rasa sakit itu. Demikian pula dengan persatuan kaum muslimin. Tatkala kaum muslimin di negeri yang lain tersakiti, maka saudara-saudara mereka di negeri yang lain akan berupaya membantu saudaranya dengan memaksimalkan segenap kemampuan mereka, tanpa berpikir lagi tentang perbedaan bangsa, bahasa ataupun budaya mereka.

Kondisi ideal ini, tentu tidak mungkin terwujud jika kaum muslimin masih hidup dalam habitat keterpecahbelahannya seperti sekarang ini. Kepelbagaian negara dimana mereka hidup dengan segala atribut sistem perundang-undangannya dan pembatasan-pembatasan wilayah kenegaraannya, justru akan tetap menjadi penghalang terbesar bagi kaum muslimin untuk mengekspresikan rasa ukhuwwahnya secara kongkrit terhadap saudara-saudara mereka di negeri-negeri yang lain. Oleh karenanya, sudah saatnya kaum muslimin mencampakkan keterpecahbelahan itu, dengan cara meleburkan diri dalam satu kepemimpinan, satu negara dan satu perundang-undangan, yakni sistem pemerintahan Islam yang dikenal dengan Khilafah Islamiyah. Karena hanya dan hanya dengan Khilafahlah, kaum muslimin bisa dipersatukan, melalui penerapan syari’at Islam secara kâffah oleh seorang khalifah yang dibaiat atas dasar keridhaan mereka. Daulah Khilafah Islam ini pulalah yang akan menghimpun seluruh potensi umat Islam, menjadi payung pelindung buat mereka dan menyatukan dunia Islam hingga dapat membangun kembali peran internasionalnya, melawan penindasan orang-orang kafir dan menyebarkan rahmat Islam melalui dakwah dan jihad fî sabîlillâh.

Inilah yang seharusnya dipahami, bahwa selain sebagai kewajiban syar’i, menegakkan Khilafah sebagai institusi penerap hukum Islam dan pemersatu umat Islam di seluruh dunia sesungguhnya juga merupakan sebuah urgensi. Oleh karenanya, ide khilafah dengan segala penjelasannya yang rinci harus terus-menerus disebarluaskan ke tengah-tengah umat, sehingga sedikit demi sedikit bisa mengikis keraguan mereka akan tegaknya kembali sistem ini di tengah-tengah mereka, termasuk membantah berbagai pendapat yang menolak gagasan khilafah. Caranya, tidak lain dengan menggencarkan penyebaran opini dan menginteraksikan ide-ide Islam kaffah maupun ide khilafah di tengah-tengah umat melalui proses peleburan (kontak aktif) para aktivis dakwah syariah-khilafah secara riil ke tengah umat, dengan menggunakan berbagai uslub (cara) yang dianggap bisa menghantarkan pada terrealisasinya target tersebut.

Diharapkan, pada akhirnya kaum muslimin akan memiliki persepsi yang sama tentang pentingnya bergerak bersama mewujudkan Islam dan mewujudkan Khilafah Islam dalam kehidupan. Sekaligus menjadikan perkara ini sebagai agenda perjuangan bersama. Karena bagaimanapun, gagasan mengenai penerapan syariat Islam dalam bentuk khilafah yang demikian ideal, hanya akan menjadi sebatas idealita saja jika tidak ada upaya mewujudkannya dalam realitas kehidupan. Dan upaya mewujudkan keduanya tentu bukan hanya tugas satu kelompok dakwah saja. Bahkan tidak mungkin dipikul oleh kelompok itu saja, melainkan harus dilakukan secara bersama oleh seluruh komponen umat yang berkesadaran. Karena ‘proyek’ ini merupakan proyek yang besar, menyangkut eksistensi dan kemuliaan umat dimasa depan.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu” (TQS. Muhammad : 7)

Wallahu a’lam bi ash-shawwab [SNA, 2001]


--------------

Catatan Kaki :


1). Pendapat ini salah satunya disampaikan oleh Prof. Dr.Quraisy Shihab ketika mentafsirkan QS. Al-Anbiya (21) : 92 dan Al-Mukminun (23) : 52 yang makna umumnya “Sesungguhnya umat ini adalah ummat yang satu” dan QS. Al-Maidah : 48 yang artinya : “Sekiranya Allah menghendaki, niscaya dijadikan-Nya satu ummat saja …”. Beliau mentafsirkan ayat ini dengan menyatakan : “sebagaimana dipahami dari perandaian ayat ini, maka tidak dapat diklaim bahwa al-Qur’an menuntut penyatuan ummat Islam seluruh dunia dalam satu wadah persatuan. Juga tidak bisa dikatakan bahwa Islam menolak paham kebangsaan”. (Majalah UMMAT No.4/I dalam AL-Islam lama edisi 94)

2). M. Dawam Rahardjo dalam Artikelnya “Islam Radikal vs Islam Liberal”, Tempo 12 Januari 2003 menyatakan, karena fikih sendiri sangat beragam dan biasanya dibedakan menurut madzhab-madzhab, lantas apakah negara harus menetapkan madzhab tertentu untuk diberlakukan? …. dan siapa yang (berhak) merumuskan ketentuan fikih menjadi hukum positif?

3). Syaikh Muhammad Sayyid Thanthawi, Rektor Unuversitas Al-Azhar Mesir pada harian Al-Qabas terbitan Kuwait 20 September 1996 (dalam tulisan Sharim Abdul Matiin, Khilafah Islam Adalah Tuntunan Syari’ah Allah) menyatakan : “Tidak ada larangan bagi setiap negeri Islam untuk memiliki pemimpinnya sendiri yang akan bertanggungjawab terhadap negerinya itu. Hal ini terutama setelah banyak terdapat negeri-negeri Islam dan tersebarnya kaum muslimin di belahan bumi Timur, Barat, Utara dan Selatan. Jadi tak ada larangan bagi setiap negeri Islam itu untuk mempunyai presiden, raja atau emir –yang akan dibantu oleh para menteri—dan para penguasa (ulil amri) di negara tersebut”.

4). Ulil Abshar ‘Abdalla, Islam Kafah, Mungkinkah? Dalam Wajah Liberal Islam di Indonesia, JIL, hal. 301. Dia menyatakan : “Agama yang kaffah itu hanya tepat untuk masyarakat sederhana yang belum mengalami sofistikasi kehidupan seperti jaman modern. Masyarakat Medinah pada jaman Nabi adalah masyarakat sederhana yang belum mengalami kerumitan-kerumitan struktur seperti jaman ini…… Ledakan-ledakan bidang kehidupan jaman modern ini jelas tidak bisa diatasi seluruhnya dengan agama” Kegagalan Taliban di Afghan dan Ikhwanul Muslimin di Mesir sering dijadikan contoh kasus.

5). Pendapat ini antara lain disampaikan oleh Dr. Abdul Hamid Mutawwaly (Mabaadi’ Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal 548 dalam tulisan Sharim Abdul Matiin, ibidem). Ia berkata : “Tegaknya Pemerintahan Islam di masa sekarang sama halnya dengan ijma ulama, sehingga ia merupakan hal yang mustahil”. Sementara itu Syaikh Muhammad Abu Zahra (al-Waldatu al-Islamiyah, hal 64-67 dalam Sharim, ibidem) menyatakan : “Tidak boleh kita mendakwahkan untuk menegakkan suatu negara bagi dunia Islam, supaya tidak terganggu kedudukan para raja dan pemimpin-pemimpin. Kesatuan politik tidak bisa ditegakkan melalui negara kesatuan karena hal ini sebagai sesuatu yang tidak mungkin terjadi”. Adapun di Indonesia, pendapat seperti ini sisampaikan oleh Drs. Moeflich Hasbullah, MA, Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam IAIN Sunan Gunung Djati Bandung dalam Makalahnya ; “Rekonstruksi” Khilafah : Dari Romantisme Historis ke Realitas Kontemporer” yang disampaikan pada Peringatan 76 Tahun Diruntuhkannya Khilafah Islamiyyah, LPDI Bina Ummah, Bandung, 12 Maret 2000.

6). Saiful Mujani, Syariat Islam dan Keterbatasan Demokrasi, Wajah Liberal Islam di Indonesia, ibidem, hal 24.

Rabu, 04 Mei 2011

MENGKAJI POLITIK PERINDUSTRIAN DALAM ISLAM


(Sumber : famhar.multiply.com)
Aug 25, '07 12:39 AM
for everyone
Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Pengajar Program Studi Teknik Industri
Universitas Muhammadiyah Magelang

Pendahuluan
Di negeri-negeri muslim seperti Indonesia, ada beberapa persoalan perindustrian yang sering terangkat ke permukaan. Persoalan-persoalan ini dapat dikelompokkan dalam tiga besar:

Pertama teori bahwa perindustrian adalah kunci pertumbuhan ekonomi karena dianggap mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Namun di sisi lain, hal ini juga menyimpan resiko pada saat krisis ekonomi, seperti tampak dari kasus-kasus perburuhan akibat rasionalisasi atau penutupan pabrik-pabrik.

Kedua adalah pandangan bahwa perindustrian akan mengakselerasi kemampuan teknologi. Maka tak heran bahwa indikator kemampuan teknologi selalu diukur dari sejauh mana sebuah bangsa atau negara memiliki atau membangun suatu industri strategis secara mandiri, seperti telah dikerjakan pemerintah Orde Baru di Indonesia dengan industri pesawat terbang.

Ketiga adalah keyakinan bahwa perindustrian merupakan asset vital –bahkan strategis- dalam mempertahankan tujuan-tujuan politik dan/atau ekonomi. Berbagai proyek besar seperti Krakatau Steel, PT Pupuk Sriwijaya, PT Semen Gresik dsb. semua dibuat dalam rangka meraih tujuan-tujuan tersebut secara makro.

Fakta teori pertumbuhan ekonomi
Fakta menunjukkan bahwa teori pertumbuhan ekonomi oleh perindustrian kita ternyata hanya sebagian terwujud dalam kenyataan. Dalam kurun waktu tertentu, perindustrian di Indonesia memang mampu menyerap banyak tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Namun ada beberapa alasan yang menjadikan perindustrian di negeri ini tidak benar-benar mampu menjaga kelanjutan pertumbuhan ekonomi itu, yaitu:

Pertama, meski industri kita ada di negeri ini dan dimiliki warga negara ini, namun nasibnya sering tidak ditentukan di sini. Teknologi yang dipakai pada umumnya adalah lisensi dari induknya di luar negeri. Meski alih teknologi telah dijalankan, dan kita pada dasarnya telah mampu membuat sendiri produk tersebut, namun aturan-aturan paten dan rahasia dagang akan menjaga sehingga kita hanya boleh membuat produk itu sesuai aturan lisensi pemilik paten.

Kedua, output produk industri itu sering sangat tergantung pasar ekspor (pasar dunia). Bahkan beberapa investor sengaja membangun industri di negeri ini hanya untuk pasar ekspor, bahkan dengan merek asing. Akibatnya, industri semacam ini cukup rentan terhadap berbagai peristiwa internasional. Jauh sebelum krisis, sudah banyak industri tekstil yang gulung tikar hanya karena quota tekstil di negara tujuan. Belakangan ada berbagai aturan lain seperti keramahan terhadap lingkungan (eco-labeling), tidak menggunakan tenaga anak-anak (kidsworker-free-labeling), hingga tidak berkaitan dengan terorisme.

Ketiga, bagi investor, Indonesia yang saat ini sedang hiruk pikuk dengan berbagai peristiwa politik ini serta budaya KKN yang tak banyak berubah, dianggap tak lagi menguntungkan secara bisnis, sehingga jangankan warga negara asing, WNI konglomeratpun ada yang justru memindahkan pabriknya ke luar negeri seperti ke Vietnam atau Kamboja yang “ongkos sosialnya” dianggap lebih ringan. Kasus pabrik sepatu Nike adalah contoh yang cukup besar yang sampai sekarang belum tuntas.

Fakta pandangan kebangkitan teknologi
Sementara itu pada aspek kebangkitan teknologi, industri yang ada di negara-negara muslim masih lebih sering baru bisa bermanismuka.
Fakta, teknologi itu sering hanya ada dalam seminar atau pameran namun jarang ada realita produksinya. Sebagai contoh: PT Dirgantara sampai “komma” karena kekurangan order (pesawatnya tak laku) padahal pada saat yang sama TNI-AU sampai memesan pesawat tempur Sukhoi dan beberapa helikopter dari Russia. Demikian juga Mabes Polri telah membeli hampir 18 helikopter dari Amerika Serikat.

Pertanyaan yang sama terjadi dengan para penemu (inventor) di perguruan-perguruan tinggi ternama di negeri ini. Meski secara teknis dan ilmiah karya mereka unggul, namun jalan untuk menerapkannya di dunia industri terbentur pada kenyataan, bahwa mayoritas industri besar di negeri ini hanya mau membuat dan menjual produk dengan brand-image kelas dunia. Itu berarti, temuan-temuan teknologi itu tidak ada artinya, sepanjang tidak menjadi bagian dalam merek-merek dagang internasional. Pendek kata, para pengusaha dan investor di negeri ini lebih suka meraih profit jangka pendek sebagai pedagang (atau calo) daripada profit jangka panjang sebagai pengusaha.

Aktivitas industri yang berusaha mandiri dengan pengembangan teknologi lebih sering terancam intervensi dari luar. IMF melarang pemerintah menyuntikkan subsidi lagi untuk BUMN seperti PT Dirgantara Indonesia. Sementara itu kalangan perbankan enggan mengucurkan kredit pada calon pembeli bus-bus buatan Texmaco Engineering (sebuah perusahaan swasta nasional murni). Malah justru impor bus bekas yang kini dilakukan, dan Texmaco dibiarkan menjadi pasien BPPN.

Pada sisi lain, aktivitas pengembangan teknologi di negeri ini sering justru larut dalam pola budaya korup yang ada. Memang, teknologi tinggi hanya bisa dimulai dengan subsidi dari negara. Namun ini sebenarnya hanya perlu pada tahap inisiasi. Seharusnya pada level tertentu, teknologi itu sudah mencapai kematangan dan meningkatkan kinerja dalam industri, sehingga penghematan yang dihasilkannya bisa disisihkan untuk pengembangan teknologi lebih lanjut. Namun yang terjadi, subsidi itu justru membuat para peneliti menjadi malas.

Di sisi lain, sistem rekrutmen yang ada, seperti pola yang diikuti dalam pegawai negeri sipil (PNS), masih belum mampu membuat para peneliti PNS memiliki komitmen pada aktivitas penelitiannya, terutama yang berhubungan dengan teknologi dan industri. Yang sering terjadi justru braindrain, yakni mereka yang terbaik akan lari ke luar negeri, bekerja pada perusahaan asing atau bekerja di luar bidang keahliannya.

Pada sisi perburuhan, kemajuan teknologi yang diraih sering justru menempatkan dunia industri pada situasi dilematis. Pada awalnya, industri bisa didesain untuk berjalan secara padat karya – dan bukan padat modal / padat teknologi. Namun berbagai peraturan dan standardisasi yang diterapkan agar bisa masuk ke pasar global (seperti kelompok ISO 9000 dan ISO 14000) sulit terpenuhi tanpa penggunaan teknologi yang lebih intensif – dan ini berarti rasionalisasi.


Fakta industri dan kemandirian
Akan halnya kemandirian, strategi pembangunan industri ala Orde Baru dengan mencari investor asing baik secara langsung maupun melalui berbagai pinjaman pemerintah dari IGGI, CGI, Paris Club, Word Bank, ADB dan sebagainya, lebih sering justru menjadikan kita sulit menjadi mandiri.

Semua investor asing itu memberikan berbagai syarat yang pasti dalam jangka panjang akan menguntungkan mereka. Misalnya pada model kontrak BOT (Built-Operation-Transfer), di mana investor akan membangun lebih dahulu dengan jaminan dari pemerintah untuk mengoperasikan proyek itu selama kurun waktu tertentu (10-25 tahun), dan kemudian asset itu dialihkan ke negara. Sepertinya negara diuntungkan, karena tidak perlu mengeluarkan dana dari APBN untuk pembangunan pertama. Kemudian proyek itu akan menyerap banyak tenaga kerja dan memasukkan pajak yang juga tidak kecil. Dan pada akhirnya, proyek itu menjadi milik negara.

Model seperti ini banyak dipakai pada proyek-proyek dengan investasi sangat besar, seperti di Freeport, Arun-LNG dan sejenisnya. Namun hampir tak pernah ada akuntabilitas yang sesungguhnya, seberapa besar sebenarnya keuntungan asing dari proyek-proyek semacam itu. Apalagi biasanya sebelum kontrak pertama berakhir, pihak asing itu sudah akan menyiapkan proyek berikutnya. Sementara itu, pada saat transfer ke pemerintah, teknologi pada proyek lama sering sudah sangat ketinggalan, atau cadangan sumber daya alam dan lingkungan yang mendukungnya sudah sangat tipis, sehingga proyek itu tidak akan ekonomis lagi.

Di sisi lain, sistem ekonomi yang ada membuat banyak industri yang semula dinilai strategis, bahkan juga untuk keperluan militer di saat perang, kemudian justru dilego untuk menutup defisit APBN akibat krisis perbankan. Masih segar ingatan kita akan penjualan Indosat ke STT Singapore, atau sekarang yang masih dalam wacana adalah PT Dirgantara Indonesia.

Walhasil, strategi perindustrian yang ada selama ini belum pernah berhasil menjadikan kita bangsa yang benar-benar mandiri. Perindustrian kita gagal menopang pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Gagal pula membangkitkan kemampuan teknologi. Dan teknologi yang telah kita kuasaipun ternyata sulit menjadi andalan perindustrian kita sendiri.

Strategi Perindustrian dalam Islam
Islam mengatur seluruh aspek kehidupan. Namun bicara tentang perindustrian dalam Islam, orang sering hanya terfokus pada cabang industri yang mendukung aspek ruhiyah Islam, seperti industri penerbitan Islam, industri busana dan asesori muslim, atau industri yang mendukung ibadah haji.

Padahal seharusnya seluruh cabang perindustrian diwajibkan untuk tunduk kepada syariat Islam. Seluruh cabang industri, baik yang menghasilkan produk untuk konsumen akhir maupun yang menghasilkan alat-alat berat atau bahan baku industri yang lain, seharusnya dibangun dan diatur dalam satu kerangka berpikir dan paradigma yang dilandasi oleh aqidah Islam.

Dengan melihat fakta-fakta di muka, maka bisa kita simpulkan bahwa suatu politik perindustrian dalam Islam akan terkait erat dengan bagaimana merubah pola berpikir dalam masyarakat, dan juga satu set aturan-aturan dalam sistem ekonomi seperti hukum kepemilikan; politik moneter; perdagangan luar negeri; aturan-aturan tentang hak atas kekayaan intelektual (HaKI); dan perburuhan; sampai sistem pendidikan dan sistem politik dan pertahanan.

Paradigma negara dalam Islam adalah untuk melindungi dan memelihara jiwa, akal, agama, nasab, harta, kemuliaan, keamanan dan negara. Karena itu, seluruh politik perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan apa yang disebut maqashidus syariah itu.

Perindustrian dikembangkan agar ekonomi bisa berputar, sehingga jiwa-jiwa bisa tertolong (misalnya industri makanan atau obat-obatan), akal bisa dihidupkan (misalnya industri penerbitan Islam serta alat-alat edukasi), kehidupan beragama bisa lebih semarak (misalnya industri konstruksi sarana ibadah atau alat-alat transportasi jamaah haji), kehidupan keluarga lebih harmonis (misalnya industri peralatan untuk bayi dan ibu hamil), dan seterusnya. Perindustrian diarahkan untuk mampu mengatasi seluruh kebutuhan dari rakyat negara Islam, baik muslim maupun non muslim. Tidak ada artinya berproduksi yang berorientasi ekspor, jika pada saat yang sama untuk berbagai kebutuhan yang mendasar harus mengimpor, bila itu sudah bisa dipenuhi kemampuan industri dalam negeri.

Namun pada saat yang sama perindustrian juga dibangun atas dasar strategi dakwah dan jihad, defensif maupun offensif, baik yang sifatnya non fisik maupun fisik.
Dari sisi non fisik, seluruh pembangunan industri harus dibangun dalam paradigma kemandirian. Tak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat kita menjadi tergantung kepada orang-orang kafir, baik dari sisi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi), ekonomi (melalui aturan-aturan pinjaman atau ekspor-impor) maupun politik.
Allah sekali-kali tak akan memberi jalan pada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (Qs. 4:141)

Sedang dari sisi fisik, seluruh industri yang ada, harus mampu dimodifikasi untuk menyediakan keperluan untuk jihad pada saat dibutuhkan. Industri alat-alat berat yang pada saat damai akan membuat kereta api atau alat-alat dapur, pada saat perang harus mampu dengan cepat disulap menjadi industri tank atau senapan otomatis.
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak tahu; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan). (Qs. 8:60)

Kemampuan semacam ini pula yang dimiliki oleh setiap negara industri maju. Pada saat Perang Dunia Kedua, banyak pabrik panci di Jerman yang oleh Hitler diperintahkan untuk segera menyiapkan puluhan ribu pucuk senapan untuk tentara. Di Amerika Serikatpun, pabrik-pabrik pesawat seperti Boeing atau Lockheed Martin, memiliki cetak biru baik untuk pesawat sipil maupun militer. Pada saat Perang Teluk mereka diperintahkan menukar prioritas produksi ke pesanan-pesanan Pentagon.

Revolusi Industri
Semua kemampuan tersebut di atas tentu saja tidak bisa didapat kecuali ada suatu revolusi teknologi dan industri. Pola alih teknologi yang ada selama ini, apalagi dalam frame pinjaman asing, tidak akan pernah membuat kita benar-benar mandiri. Kita hanya dididik untuk memakai teknologi afkiran produksi negara donor.
Kita hanya akan mampu mandiri, bila kita melalui loncatan teknologi, yaitu sebuah revolusi industri. Revolusi ini akan terjadi, bila pada masyarakat terdapat pemikiran untuk mandiri, bukan pemikiran untuk tergesa-gesa menikmati. India dan Cina adalah contoh terbaik abad 20.

Seorang rekan penulis yang pernah mengunjungi Pusat Ruang Angkasa India menyaksikan, bahwa institusi yang telah berhasil membuat dan meluncurkan sejumlah satelit India itu terkesan amat sederhana. Bahkan yang berpendingin udara hanyalah ruang pimpinan dan ruang rapat. Selain itu hanya kipas angin. Namun yang menyolok, baik AC maupun kipas angin itu, dan juga seluruh fasilitas yang sangat canggih di sana, semua buatan India! Di jalan-jalan juga jarang disaksikan kendaraan Jepang atau Eropa. Biarpun belum bisa ngebut “kayak setan”, tapi buatan India!

Demikian juga Cina. Ketika Mao Tse Tung ditanya kapan Cina akan melakukan intensifikasi pertanian dengan menggunakan traktor, dia menjawab, “Kita akan pakai traktor, setelah kita bisa bikin traktor!”.
Meskipun demikian, impor barang-barang industri buatan Luar Negeri tetap berstatus mubah seperti hukum asalnya. Hanya saja, Khalifah berhak mentabanni aturan-aturan yang membatasinya baik itu bersifat bilateral (seperti tarif bea masuk atau quota) maupun unilateral bila itu dipandang perlu untuk melindungi negara Islam.

Investasi dan Kepemilikan Industri
Membangun sebuah industri yang mandiri, apalagi itu sebuah revolusi industri, memerlukan investasi yang sangat besar. Di dunia Barat, investasi itu biasa didapatkan dengan pinjaman dari konsorsium perbankan atau dengan divestasi saham kepemilikan ke publik, misalnya melalui Bursa Efek. Pada sistem kapitalis, negara hanya menjadi regulator, tidak terlibat langsung. Maka ketika investor asing masuk ke negeri-negeri Islam, mereka menginginkan sistem yang sama. Walhasil, industri-industri besar dan padat modal di negeri-negeri ini dimiliki oleh kapitalis-kapitalis besar, yang mayoritas tentu saja orang asing.

Akan sangat berarti bila industri tersebut berkaitan dengan sesuatu yang menyangkut hajat hidup orang banyak, seperti sektor pertambangan, energi, atau infrastruktur telekomuinikasi; di mana masyarakat yang tidak punya pilihan akhirnya terpaksa membeli dengan harga yang monopolistik.

Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya tidak bisa dimiliki oleh individu. Kepemilikannya adalah milik seluruh ummat. Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat. Kalaupun ada individu yang terlibat dalam pencarian, produksi atau distribusinya, maka ia hanya dibayar sesuai dengan kerjanya; bukan dengan pola bagi hasil seperti seakan-akan dia bagian dari pemiliknya. Karena pada hakekatnya, hak kepemilikan umum tersebut tidak bisa dialihkan kepada siapapun.

Hukum perindustrian dalam sektor yang merupakan kepemilikan umum akan mengikuti hukum asalnya, yaitu hukum kepemilikan umum. Negaralah yang sebagai pengelolanya akan menghimpun dana guna membangun teknologinya, eksplorasi sumber alamnya hingga distribusinya. Bila Rasulullah menyebut “air, api dan padang gembalaan”, maka hal ini berarti termasuk seluruh industri pertambangan, pembangkit listrik dan industri pengolahan hasil hutan. Bila Rasulullah menyebut jalan-jalan yang tidak boleh dikapling-kapling, maka ini berarti termasuk seluruh infrastruktur transportasi dan telekomunikasi.

Bila dikatakan negara tidak punya uang, maka negara bisa menarik pajak secara temporer kepada para aghniya di negeri itu, dan bukan berhutang ke luar negeri, dan bukan pula mengizinkan swasta masuk dengan prinsip BOT ataupun konsesi.
Dan bila dikatakan bahwa industri yang dikelola oleh negara akan tidak efisien dan merupakan ladang KKN, maka pertanyaannya, apakah tidak mungkin swasta juga tidak efisien dan ladang KKN. Atau jangan-jangan KKN di sektor swasta tidak disebut KKN, karena dianggap milik individu?

Di sini tampak bahwa masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus terpadu dalam satu paket dengan aturan-aturan syariah yang lain. Misalnya aturan-aturan syirkah, perekrutan karyawan, ijarah, pengawasan harta pejabat manajemen; bahkan lebih jauh lagi dengan aturan-aturan pendikan, pergaulan, makanan-minuman dan ibadah.

Yang bisa membuat seluruh aturan-aturan ini terislamisasi tentu saja hanyalah revolusi aqidah pada masyarakat. Karena seluruh sistem itu, termasuk sistem perindustrian, harus terpancar dari aqidah Islam. Karena itu, revolusi industri harus didahului dengan revolusi aqidah. Aqidahlah yang akan membuat kepemimpinan ideologis, sehingga seluruh cara berpikir ummat berubah.

Ini pulalah yang membuat Rasulullah memulai dengan dakwah aqidah yang bersifat ideologis. Ketika dakwah ini berhasil diemban oleh sebuah negara, maka seluruh politik, termasuk politik perindustrian dilaksanakan di atas dasar ideologi itu, sehingga kemudian makin memperkuat kemandirian negara Islam itu sehingga bisa menundukkan adi kuasa-adi kuasa saat itu. Masa tersebut akan terulang, bila dakwah kita meniru pola dari Rasulullah. Wallahu a’lam.

Bacaan Lanjut:
Abdurrahman al-Maliki: POLITIK EKONOMI ISLAM (Siyasah Iqtishadiyah al-Musla). Bangil: Al-Izzah. 2001.
Ahmad Y. al-Hassan dan Donald R. Hill: TEKNOLOGI DALAM SEJARAH ISLAM (Islamic Technology). Mizan, 1993.