INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Selasa, 30 November 2010

INILAH DAMPAK NYATA PENERAPAN SISTEM KAPITALIS SEKULAR LIBERAL


SEBAGIAN PEREMPUAN ABG DI JABOTABEK MELAKUKAN SEX SEBELUM MENIKAH
Selasa, 30 November 2010 @ 00:00:00

JAKARTA–bkkbn online:Tren meningkatnya seks bebas di kalangan pelajar patut mendapat perhatian berbagai kalangan. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperoleh fakta bahwa saat ini makin sulit menemukan remaja putri yang perawan (virgin) di kota-kota besar. Berdasar survei yang diadakan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, BKKBN menemukan bahwa separo remaja perempuan sudah melakukan seks sebelum menikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil di luar nikah.

Rentang usia remaja perempuan yang pernah berhubungan seks di luar nikah itu 13–18 tahun atau usia ABG (anak baru gede). ’’Kami melakukan survei terhadap 100 remaja perempuan. Hasilnya, 51 orang di antara mereka sudah tidak perawan,’’ ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarief di sela peringatan Hari AIDS Sedunia di Lapangan Parkir Monas, Jakarta, kemarin (28/11). Temuan serupa juga didapati di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabodetabek, survei yang sama dilakukan di Surabaya, Medan, Bandung, dan Jogjakarta. Hasilnya, remaja perempuan lajang di Surabaya yang sudah hilang kegadisannya 54 persen Di Medan jumlahnya 52 persen, Bandung 47 persen, dan Jogjakarta 37 persen. Menurut Sugiri, data itu dikumpulkan BKKBN lewat survei sepanjang 2010.

’’Ini ancaman yang diam-diam bisa menghancurkan masa depan bangsa. Jadi, harus segera ditemukan solusinya,’’ ujar dia. Meningkatnya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja, berimbas pada kasus infeksi dan penularan HIV/AIDS di Indonesia. Perilaku seks bebas memicu meluasnya kasus HIV/AIDS tersebut. Data Kemenkes pada pertengahan 2010 menyebutkan, kasus HIV/ AIDS di Indonesia terdiri atas 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif. Persentase pengidap usia 20–29 tahun mencapai 48,1 persen dan usia 30–39 tahun sebanyak 30,9 persen. Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak terjadi pada kalangan heteroseksual (49,3 persen) dan lewat IDU atau jarum suntik (40,4 persen).

Menurut Sugiri, fenomena free sex di kalangan remaja tidak hanya menyasar pada kalangan pelajar, tetapi juga didapati pada kelompok mahasiswa. Di antara 1.660 responden mahasiswi di Jogjakarta, sekitar 37 persen mengaku sudah kehilangan kegadisan. Dia menuturkan, selain masalah seks pranikah, remaja dihadapkan pada dua masalah besar terkait dengan penularan HIV/AIDS. ’’Yakni, tingkat aborsi yang tinggi dan penyalahgunaan narkoba,’’ kata Sugiri. Data Kemenkes menyebutkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia saat ini 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75 persen di antara mereka atau 2,5 juta jiwa merupakan remaja. Tingkat kehamilan di luar nikah juga sangat tinggi. Sugiri mengungkapkan, rata-rata terdapat 17 persen kehamilan di luar nikah yang terjadi setiap tahun. Sebagian di antara jumlah tersebut bermuara pada aborsi. Grafik aborsi di Indonesia, kata dia, masuk kategori lumayan tinggi dengan jumlah rata-rata per tahun 2,4 juta jiwa. ’’Ini adalah problem nasional yang harus dihadapi bersama. Jadi, bukan lagi tabu untuk dibicarakan demi menemukan solusi yang tepat,’’ kata dia.(indopos)

Jumat, 26 November 2010

MASALAH TKI, BUKTI KEBOBROKAN SISTEM KAPITALISME


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Sungguh malang nasib Sumiati dan Kikim. Dua TKI perempuan asal Dompu NTB dan Cianjur ini telah menjadi korban penyiksaan sadis sang majikan. Bahkan karena siksaan sadis itu nyawa Kikim harus hilang dengan cara mengenaskan; disiksa, diperkosa, digorok dan dibuang bak binatang di tempat sampah.

Ironisnya, ibarat mengidap amnesia akut, seluruh bangsa inipun hanya bisa terperangah. Bersikap seolah-olah peristiwa semacam ini baru kali ini terjadi. Para penguasa nampak panik menutupi keteledoran. Sementara media sibuk memberitakan. Adapun rakyat kebanyakan asyik berdiskusi, dan menjadikannya topik obrolan baru, menggantikan topik-topik lain yang datang bergantian.

Namun bisa dipastikan persoalan ini lambat laun akan pupus dengan sendirinya, sejalan dengan bergulirnya waktu, dan banyaknya persoalan yang seolah tak pernah mau hengkang dari negeri dengan berjuta masalah ini. Nama Sumiati dan Kikim pun, dipastikan akan menghilang dari perbincangan, dan suatu saat data kasusnyapun lenyap di peti-eskan.

Itulah yang juga pernah terjadi pada Nirmala Bonat, Siti Zainab, Siti Hajar, Nuraeni, dan ribuan TKI perempuan bernasib malang yang saat kasusnya bermunculan bangsa ini memberi respon yang sama. Namun apa yang terjadi kemudian? Nama dan kasus merekapun raib entah kemana.

Lantas, bagaimana dengan nasib jutaan TKI lain yang tak sempat terekam kamera dan terendus media? Padahal detik ini pun, bisa jadi di antara mereka, ada yang sedang meratapi nasib dan berjuang sendirian menghadapi kesewenang-wenangan para majikan.

Wahai Penguasa, Dimanakah Kalian?


Nasib kebanyakan TKI memang malang. Mereka yang mayoritas kaum perempuan dipuja bak pahlawan, karena menjadi sumber devisa buat kelangsungan hidup negara yang senyatanya tak bisa dihasilkan oleh keringat hasil kerja para penguasa. Namun di saat yang sama, mereka harus rela menghadapi ketidak acuhan para penguasa akan nasib miris yang menimpa mereka.

Seberapa besar jasa TKI, Republika pernah merilis data, bahwa hingga September 2010, total dana remitansi yang dikirimkan TKI di luar negeri, telah mencapai 5,031 miliar dolar Amerika dengan angka terbesar datang dari Malaysia disusul Arab Saudi (republika.co.id, 23/11). Data lain menyebut, dari tahun 2009 hingga awal maret 2010 pemasukan devisa yang dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI mencapai 6,615 milyar dolar AS atau setara Rp. 60 Trilyun (antaraNews dan vivaNews, 1/3). Dan untuk tahun 2010, Bank dunia bahkan memprediksi akan mencapai 7 milyar dolar lebih (politikindonesia.com,11/11).

Bayangkan betapa besar kontribusi para TKI pada perekonomian bangsa ini. Bahkan nilai devisa TKI ini disebut-sebut menempati posisi nomor dua setelah Migas. Penghasilan menggiurkan inilah yang rupanya menjadi alasan kenapa penguasa begitu bersemangat mendorong dan memfasilitasi pegiriman TKI ke luar negeri. Cukup dengan mengekspor TKI terutama kaum perempuan, devisa datang sendiri. Tak heran jika Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara pengekspor buruh migran terbesar dunia dengan persentase buruh migran perempuan (BMP) mencapai 80 persen, dengan negara tujuan antara lain Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Hongkong.

Ironisnya, hingga hari ini tidak ada data pasti tentang berapa jumlah TKI yang bekerja di luar negeri. Beberapa waktu lalu SBY menyebut angka 3.271.584 orang. Sementara situs migrantcare menyebut ada 4,5 juta orang (migrantcare.net, 24/11). Di antara sekian banyak TKI yang mengadu nasib di luar negeri ini, tak sedikit yang malah menuai masalah. Menurut catatan Migrant Care, sepanjang 2010 saja, jumlah total dari berbagai jenis masalah yang dialami buruh migrant mencapai 45.845 kasus dan 908 orang mati sia-sia (okezone,24/11). Sementara menurut SBY, TKI bermasalah ‘hanya’ ada 0,01 persen (4.385 orang) saja, dengan jenis masalah berupa pelanggaran kontrak, gaji tidak dibayar, jam kerja serta beban kerja yang tidak sesuai, tindakan kekerasan hingga pelecehan seksual.

Yang menjadi pertanyaan adalah, jika jasa TKI tak bisa diabaikan, lantas seberapa peduli pihak pemerintah terhadap permasalahan mereka? Jawabannya, mungkin bisa tercermin dari ungkapan SBY tatkala menanggapi perdebatan soal kasus Sumiati dan Kikim: “TKI, bekali handphone saja!”. Alih-alih fokus pada solusi strategis, SBY malah melontarkan gagasan kontroversial. Seolah-olah, persoalan TKI dan harga perempuan, hanya persoalan remeh temeh saja. Ironisnya ide yang dinilai sangat menggelikan dan tidak layak muncul dari seorang Presiden ini justru ditanggapi positif oleh BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), lembaga yang seharusnya turut bertanggungjawab terhadap munculnya permasalahan TKI dan memaksimalkan upaya perlindungan atas mereka.

Dari fakta ini saja nampak jelas bagaimana peran penguasa yang seharusnya menjadi pelayan dan pelindung masyarakat. Sikap tak acuh mereka malah kian melegitimasi kedzaliman yang menimpa para perempuan penambang devisa. Bahkan keberadaan hukum normatif yang diberlakukan penguasa, yakni UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bagi sebagian kalangan, justru dianggap sebagai sumber masalah. Selain karena tak memberikan skema yang jelas bagaimana perlindungan harus dijalankan, UU ini bahkan dinilai menjadi alat legal bagi PJTKI untuk melakukan eksploitasi melalui bisnis TKI. Jika demikian halnya, pantaslah jika ada yang menyatakan, bahwa negara dan penguasa semacam ini adalah sumber kekerasan sebenarnya.

TKI Perempuan dan Jebakan Kemiskinan


Atas merebaknya kasus TKI khususnya yang perempuan, para pengamat dan LSM rata-rata hanya menyorot soal kinerja pemerintah dalam persoalan regulasi yang harus diperbaiki, termasuk desakan merativikasi konvensi PBB terkait buruh migrant, serta masalah lemahnya positioning pemerintah dalam kegiatan diplomasi, dll. Padahal jika dicermati, ada hal mendasar yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah dalam menyelesaikan masalah TKI, yakni persoalan gurita kemiskinan dan sulitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Kemiskinan dan pengangguran memang merupakan PR terbesar negeri ini. Kemiskinan, bahkan menjadi potret bersama sekitar 31 juta penduduk Indonesia (13,33 persen dari 238 juta) dengan standar pendapatan yang digunakan Rp. 211.000/kap/bln (Sensus BPS, 2010). Bayangkan jika besaran standar kemiskinan yang tidak manusiawi ini dinaikkan. Mungkin lebih dari setengah penduduk Indonesia yang akan masuk pada katagori miskin.

Sejalan dengan kemiskinan, angka pengangguranpun tak kalah fantastis. Di tahun 2010 ini, diperkirakan jumlah pengangguran terbuka mencapai angka 10 persen (23 juta). Dan ini belum termasuk jumlah pengangguran terselubung dan tertutup yang angkanya bisa dua kali lipat. Mandegnya pertumbuhan ekonomi dan investasi di sektor ril akibat penerapan kebijakan ekonomi kapitalistik yang bertumpu pada aktivitas ekonomi non ril dan telah memicu krisis global disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya 2 hal ini. Sulitnya lapangan pekerjaan dan rasionalisasi besar-besaran di sektor perindustrian membuat angkatan kerja termasuk jutaan lulusan perguruan tinggi tak terserap potensinya. Kehidupan masyarakat yang sulit ini, kemudian diperparah dengan krisis pangan dan energi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dampak susulannya, gizi buruk dan anak terlantar pun merebak dimana-mana, kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat kian menurun, kriminalitas meningkat, dan lain-lain.

Pada kondisi seperti inilah jutaan keluarga-keluarga miskin harus bertahan hidup. Dan untuk membantu perekonomian keluarga mereka, para ibu dan kaum perempuanpun terpaksa ‘memberdayakan diri’, membantu para bapak mencari uang, di tengah peran domestik yang sangat penting dan tak kalah berat. Salah satu opsi yang terbuka adalah dengan menjadi TKI ke luar negeri, sekalipun beresiko tinggi.

Dengan rata-rata bekal kualitas pendidikan dan skill yang pas-pasan, para tenaga kerja perempuan inipun terbang jauh merenda asa. Bertahun-tahun rela meninggalkan keluarga, suami dan anak mereka. Pekerjaan sebagai PRT, perawat, bahkan PSK pun menjadi pilihan paling realistis bagi kebanyakan dari mereka. Hanya sedikit yang bisa bekerja sebagai dokter, guru/dosen, artis, dll. Nampaknya, mereka sudah tak peduli bahwa pilihan ini telah berdampak pada pelanggaran hukum syara yang akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Di samping mencari nafkah bukan kewajiban mereka, dari statusnya sebagai istri, akan banyak kewajiban atas suami yang terabaikan saat dia menjadi TKI di luar negeri. Begitupun sebagai ibu, kewajiban mulianya sebagai pengasuh, pendidik dan pencetak generasi umat berkualitas akan terlalaikan sama sekali.

Kemiskinan, Cermin Ketidakmampuan Negara Mewujudkan Kesejahteraan


Sebagai negara super kaya, tak semestinya Indonesia menjadi negara miskin dan menggantungkan hidupnya dari eksploitasi tenaga kerja perempuan di luar negeri. Begitupun, tak akan ada alasan bagi para bapak untuk tak bekerja dan menggantungkan hidup mereka dan keluarganya dengan merelakan para isteri bekerja menyabung nyawa di luar negeri.

Indonesia sebenarnya punya modal lebih dari cukup untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya hingga tujuh turunan sekalipun. Sumber daya alam kita melimpah ruah, baik berupa hutan, laut, sungai dengan segala isinya, bahan tambang berupa mineral, minyak, gas bumi, dll. Tahun 2009 saja, Badan Geologi merilis data, bahwa Indonesia masih memiliki cadangan batubara 104.760 juta ton, emas 4.250 ton, tembaga 68.960 ribu ton, timah 650.135 ton dan nikel 1.878 juta ton. Sayangnya, amanah Allah berupa kekayaan alam milik rakyat ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Konsistensi mereka pada kebijakan ekonomi liberal kapitalistik telah menyebabkan sebagian besar kekayaan itu jatuh ke tangan asing. Jebakan kesepakatan internasional, hutang luar negeri dan rekayasa krisis ekonomi ala Yahudi berikut penyelesaian masalah mereka pada resep IMF telah membuat pemerintah kita tunduk pada kemauan asing.

Akibatnya? Ladang minyak bumi Indonesia hampir 90 persen dikuasai asing. Begitupun SDA yang lain. Salah satunya, PT. Freeport-McMoRan pengelola tambang emas asal Amerika mendapat izin gratis untuk mengeksploitasi pertambangan emas di Ertsberg dan Grasberg Papua melalui perjanjian Kontrak Karya yang sejak tahun 1967 terus diperpanjang hingga saat ini. Tiap hari, perusahaan ini ditengarai berhasil menambang 102.000 gr emas (bayangkan, harga emas 24 karat sekitar Rp. 400 ribu/gr) berikut ‘bonus’ berupa tembaga dan uranium. Jika dihitung, emas kita yang sudah mereka rampok berjumlah 102.000gr X 43th X 365 hari. Padahal emas yang mereka keruk ini bisa menjadikan kita memiliki cadangan devisa yang berlimpah tanpa harus mengorbankan rakyat terutama kaum perempuan mereka untuk jadi TKI. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing lainnya, yang dengan cara sama mereka mendapat legalisasi merampok kekayaan kita. Ada Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Total S.A., Chevron Corp. dll yang di tahun 2009, semuanya diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 17.000 triliun/tahun = 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai rp 1.037 triliun.

Tentu saja semua kekayaan ini, seharusnya bisa menjadi modal pemerintah untuk membangun negara dan mesejahterakan rakyatnya, dengan memenuhi hak dasar mereka, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll secara mudah, murah bahkan gratis. Dengan demikian, keluarga-keluarga di negeri ini, akan menikmati hidup dengan mudah dan merasakan ketentraman yang sesungguhnya. Para bapak, beroleh kemudahan mencari nafkah karena lapangan pekerjaan tersedia dengan mudah. Kebutuhan para Ibu dan anak-anakpun akan terjamin, sehingga tugas mulia mencetak generasi berkualitas akan berlangsung secara sempurna. Sayangnya, ini tak terjadi. Perselingkuhan para penguasa dengan pihak asing dan kapitalis, membuat mereka lebih rela menjadi kacung asing dan menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti program liberalisasi, privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan membuat berbagai regulasi yang menguntungkan asing/kapitalis ketimbang rakyat banyak, semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, UU Migas, dll.

Saatnya Kembali Ke Jalan Allah


Mempertahankan kapitalisme sebagai sistem hidup dan membiarkan para penjaganya tetap berkuasa tentu bukanlah pilihan logis. Jika ini terjadi, jangan harap berbagai permasalahan TKI yang akarnya adalah kemiskinan ini bisa diselesaikan dengan tuntas. Kaum perempuanpun akan tetap terhinakan dan menjadi korban kebusukan kapitalisme sebagaimana juga laki-laki. Mereka akan selalu berada dalam kondisi dilematis dalam menjalankan peran-peran mereka. Padahal, Allah SWT telah tetapkan kedudukan mereka dalam posisi yang mulia sebagai ummu wa rabbatul bait, ibu dan pengatur rumahtangga, penyangga kemuliaan generasi umat dan arsitek peradaban Islam di masa depan.

Terlebih persoalan TKI hanyalah sebagian kecil dari dampak penerapan sistem kapitalisme ini. Di dalam negeri, jutaan buruh menjerit karena upah yang tak sepadan dengan kebutuhan hidup mereka. Uang rakyat, malah digunakan foya-foya oleh para pejabat korup mereka, sementara itu, para penguasa berasyik masyuk dengan pemimpin para penjajah dan berkonspirasi menambah penderitaan rakyat dengan menandatangani berbagai nota kesepakatan yang mengokohkan penjajahan kapitalisme atas negeri mereka. Pada saat yang sama, para penguasa itupun membiarkan rakyatnya berjalan sendirian, menderita dan menangis sendirian dan meninabobokan mereka dengan janji-janji kosong yang tak lebih hanya untuk pencitraan semata.

Sudah saatnya umat negeri ini sadar, bahwa jalan terbaik adalah kembali ke jalan Islam. Jalan yang menjanjikan kemuliaan manusia sebagai individu maupun umat, melalui penerapan aturan Islam secara kaffah dalam wadah Khilafah Islamiyah. Aturan-aturan Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia secara adil dan menyeluruh, termasuk masalah kemiskinan berikut dampak turunannya. Dalam sistem ini, para penguasa dan rakyat akan saling menjaga dan mengukuhkan dalam melaksanakan ketaatan demi meraih keridhaan Allah. Tak ada pihak yang dirugikan, termasuk kaum perempuan.[][]

Rabu, 03 November 2010

MDGs DAN UPAYA PEMISKINAN GLOBAL


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Tak banyak yang mengetahui, bahwa tanggal 17 Oktober merupakan hari anti kemiskinan sedunia. Momen ini dibuat sebagai bagian dari kampanye global yang dimobilisasi aliansi dunia bernama Global Call Against to Poverty (GCAP) sejak 2005 untuk mengingatkan para pemimpin negara-negara di dunia segera mewujudkan komitmen Millenium Declaration Goals (MDGs), yakni menghapus kemiskinan hingga separuh kondisi pada tahun 1990.

Sebagaimana diketahui, pada September tahun 2000, perwakilan dari 189 negara di dunia telah berkumpul di New York dalam acara KTT Millenium yang digagas PBB. Hasilnya adalah ditandatanganinya sebuah deklarasi (Millenium Declaration) yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015. Ke delapan proyek itu meliputi penghapusan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim (dengan standar penghasilan di bawah 1,25 USD/hari), pemerataan pendidikan dasar, persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, perlawanan terhadap penyakit khususnya HIV AIDS dan malaria, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, penjaminan daya dukung lingkungan dan membangun kemitraan global untuk pembangunan. Jika dicermati, semua proyek itu bermuara pada satu target, yakni eliminasi problem besar bernama “kemiskinan”.


MDGs dan Mimpi Menghapus Kemiskinan


Apa yang disebut dalam deklarasi, realitasnya memang menjadi pekerjaan rumah bagi semua negara di dunia, terutama negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Karena itulah program-program implementasi MDGs mendapat sambutan dan dukungan berbagai ngara dimanapun. Persoalannya, mungkinkah target itu diwujudkan?

Selain menetapkan bidang-bidang apa yang harus menjadi fokus pembangunan negara peserta, KTT tersebut memang menyebutkan tentang ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif dari target yang harus dicapai sebelum tahun 2015. Misal, target point 1 adalah mengurangi setengah dari penduduk miskin dan menekan jumlah yang kelaparan di dunia hingga 10 %. Target poin 2, seluruh penduduk dunia bisa mengenyam pendidikan dasar. Target poin 3, bisa mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. Target poin 4, mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun. Target poin 5, mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan. Target poin 6, menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya. Target poin 7, mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program pengurangan hilangnya sumber daya lingkungan, mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat dan tahun 2020 mencapai pengembangan kualitas hidup 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh. Target poin 8, mengembangkan lebih jauh masalah perdagangan terbuka, sistem keuangan, utang negara miskin, kerjasama bidang farmasi, dll.

Kini setelah 10 tahun komitmen itu dicanangkan, ternyata masih banyak catatan mengenai pencapaian target-target tersebut. Di tingkat dunia, angka kemiskinan ekstrim memang diklaim menurun hingga tinggal 25%, jauh dari kondisi tahun 1990 yang mencapai angka 45%. Namun ironisnya, di saat yang sama, jumlah orang yang kelaparan dan pengidap gizi buruk justru makin besar, mendekati angka 1 milyar orang atau rata-rata 16% penduduk di negara-negara berkembang. Dua pertiga jumlah orang kelaparan itu terdapat di tujuh negara: Bangladesh, Cina, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia dan Pakistan, sementara 40%-nya terdapat di Cina dan India. Catatan UNESCAP pada pertemuan MDGs pada September 2010 lalu bahkan menyebutkan bahwa angka kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan penduduk yang kesulitan akan akses sanitasi yang baik di Asia Pasifik dengan penduduk lebih dari separuh populasi dunia, pada 2015 mendatang diprediksi akan terus bertambah menyusul ancaman krisis pangan akibat pemanasan global. Bahkan prediksi ini menjadi semacam early warning bagi negara-negara tersebut untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk merealisasikan target MDGs di sisa 5 tahun mendatang.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2006 lalu, Indonesia, bersama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina pernah dinyatakan sebagai negara paling gagal dalam pencapaian MDGs oleh Asian Development Bank (ADB). Namun berdasarkan evaluasi pada sidang ADB mengenai pencapaian target MDGs pada September tahun 2010 ini, Indonesia dianggap berhasil di beberapa bidang target MDGs.

Sebagaimana di tingkat dunia, Indonesia memang mengklaim diri telah mampu mengejar target MDGs dengan berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga level 13,33% dari tahun sebelumnya yang nyaris mendekati angka 15%. Ironisnya, klaim ini justru bertolak belakang dengan evaluasi MDGs itu sendiri yang menilai Indonesia masih belum prestatif dalam penanganan gizi buruk, penurunan angka kematian ibu, penanganan HIV/AIDS dan penyediaan air bersih yang kesemuanya justru sangat berhubungan dengan problem kemiskinan. Untuk kasus gizi buruk dan kekurangan gizi misalnya, catatan Global Hunger Index (HGI) 2010 justru memasukkan Indonesia pada katagori “serius”, yakni di bawah level “mengkhawatirkan” dan “sangat mengkhawatirkan”. Dan data statistik memang menunjukkan, untuk kelompok balita saja, setidaknya masih ada sekitar 4,9 % balita yang jumlahnya 12% dari total penduduk Indonesia (238 juta) menderita gizi buruk di tahun 2010 ini.

Ibarat gunung es, kenyataan yang terjadi sesungguhnya jauh lebih buruk dari angka-angka tersebut. Fakta menunjukkan, tingkat kehidupan ekonomi ril masyarakat terasa makin sulit, menyusul kian meningkatnya harga-harga, terutama harga pangan dan harga bahan bakar yang membawa berbagai dampak lanjutan yang menambah beratnya beban hidup mereka. Sejalan dengan itu, persoalan-persoalan sosialpun kian meluas, mulai masalah anak terlantar, anak dan keluarga jalanan, kriminalitas, ancaman krisis pangan, dll. Sehingga klaim keberhasilan pencapaian target-target MDGs baik di tingkat dunia maupun di level Indonesia seakan tak menemukan buktinya. Jauh panggang dari api!

Jika kita mengkritisi perspektif yang dibangun MDGs mengenai apa yang disebut dengan “kemiskinan”, hal ini sebetulnya bisa dipahami. Selain perhitungan melulu didasarkan pada angka rata-rata dan bersifat agregat (bukan individu per individu), standar yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan pun memang tidak manusiawi, bahkan manipulatif. Bagaimana tidak? MDGs hanya fokus pada upaya pengentasan orang-orang yang berpenghasilan di bawah 1,25 USD/hari. Sementara di atas itu, tidak menjadi target MDGs. Padahal standar kemiskinan versi World Bank adalah 2 USD/hari. Inipun masih sangat jauh dari standar kemiskinan di Eropa yang 30-35 USD/hari. Adapun di Indonesia, standar yang digunakan jauh lebih tidak manusiawi lagi, yakni Rp. 211.000/kap/bln. Artinya, di Indonesia, orang yang berpenghasilan Rp. 212.000/bulan sudah tidak dikatagorikan miskin lagi! Padahal realitanya, sangat sulit dibayangkan dengan kondisi sekarang bisa hidup layak dengan hanya 2 USD apalagi hanya 1,25 USD per hari atau terlebih-lebih Rp. 211.000/bln. Fakta inilah yang menjawab pertanyaan, mengapa MDGs dinyatakan berhasil, sementara persoalan sosial terus meluas.


Kapitalisme dan Paradoks Cita-Cita MDGs


Adanya ketimpangan antara cita-cita MDGs dengan kenyataan sebetulnya merupakan hal yang wajar jika dikaitkan dengan situasi global yang tengah didominasi sistem kapitalisme yang melahirkan berbagai paket kebijakan neoliberal dan cenderung imperialistic-eksploitatif. Sistem inilah yang realitasnya paling bertanggungjawab atas ketimpangan sosial yang terus melebar antara negara kaya dan negara miskin dan mendistribusikan kemiskinan hampir ke seluruh negara di dunia. Sebagaimana pula, dalam konteks nasional bertanggung jawab atas terciptanya gap sosial yang besar antara si kaya dan si miskin dan atas terpeliharanya kemiskinan itu sendiri.

Berbagai data perkembangan dunia sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa globalisasi sistem kapitalisme-neoliberal memang telah berhasil mengglobalkan kemiskinan daripada kemakmuran, yang praktis bertolakbelakang dengan target MDGs. Kebijakan pasar bebas yang menjadi senjata andalan sistem kapitalisme yang diterapkan sejak pertemuan Bretton Woods 1944 dan terus dikukuhkan hingga sekarang melalui berbagai perjanjian internasional, telah menjadi alat imperialisme baru negara-negara kapitalis (baca : penggagas dan motor program-program MDGs) atas negara-negara dunia ketiga untuk menguras habis kekayaan mereka dan merampas kedaulatannya. Senjata inilah yang telah membuat milyaran rakyat negara dunia –khususnya di dunia ketiga yang sejatinya kaya raya itu-- hidup di bawah garis kemiskinan; dan membuat 54% pendapatan dunia masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negeri-negeri maju. Begitupun jebakan krisis ekonomi yang ‘dikelola’ AS dan resep debt swap yang mematikan ala IMF yang –bukan kebetulan—pendonornya juga adalah negara-negara kapitalis penggagas dan motor program MDGs-- telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawi yang luar biasa besar, sementara di saat yang sama sumber-sumber alam dan berbagai asset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat fasilitasi IMF yang mewajibkan pasiennya melakukan program-program privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi dan liberalisasi.

Untuk kasus Indonesia, kebijakan ekonomi makro yang pro neoliberalisme dan di setir kepentingan asing semacam IMF pun jelas tidak memberikan syarat bagi kesuksesan MDGs. Bagaimana bisa angka kemiskinan dan kelaparan diturunkan jika pembangunan ekonomi sektor ril mandeg akibat kebijakan pasar bebas dan privatisasi asset-aset strategis milik rakyat? Bagaimana bisa, kualitas pendidikan, kesehatan dan daya dukung lingkungan ditingkatkan, sementara akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan kian mahal akibat program privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk bidang farmasi? Bagaimana semua itu diwujudkan, sementara tanggungjawab sosial negara kian hilang akibat kebijakan anti rakyat semacam penghapusan subsidi? Bagaimana bisa, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan karenanya kemiskinan dihapuskan jika sumber pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dari rakyat dan hutang luar negeri sementara kekayaan yang melimpah ruah habis dihadiahkan kepada asing melalui berbagai perjanjian yang dilegalisasi undang-undang? Jika demikian halnya, memberantas kemiskinan dengan MDGs, memang cuma mimpi di siang bolong.

Atas realita bahwa sistem kapitalistik dan neoliberal ini disetir dan dijalankan secara global oleh pemerintah negara-negara adidaya dengan menggunakan alat lembaga-lembaga internasional semacam PBB (yang justru menggagas MDGs) dan lembaga-lembaga finansial global (International Financial Institutions, IFIs) semacam World Bank, IMF, ADB (yang justru menjadi donatur program-program implmentasi MDGs), wajar jika muncul kecurigaan bahwa MDGs sejatinya hanyalah “mantel ideologi bagi kepentingan neoliberalisme” (meminjam istilah Samir Amin) sekaligus menjadi alat negara adidaya untuk melempar tanggungjawab atas dampak busuk kapitalisme yang mereka ekspor ke seluruh dunia. Wajar pula jika MDGs, ditengarai sebagai alat negara-negara imperialis itu untuk membuai negara-negara kaya tapi lemah dengan apa yang disebut “keberhasilan pencapaian target pembangunan millennium” dengan membuat standar-standar yang sangat minimalis yang membuat mereka mabuk dan lupa atas penjajahan terselubung yang tengah menimpa dan menghinakan mereka selama ini. Karenanya, waspadalah![][]