INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Kamis, 23 Desember 2010

Momentum Hari Ibu, 22 Desember 2010 "IBU INDONESIA TOLAK KAPITALISME, PERJUANGKAN SYARIAH & KHILAFAH"


Muslimah HTI Pertanyakan Kesetaraan Gender
Rabu, 22 Desember 2010 | 11:45 WIB


HTI melakukan aksi damai dalam peringatan Hari Ibu di Gedung Sate, Bandung, Jabar (22/12). (TEMPO/Prima Mulia/http://www. tempointeraktif.com)

TEMPO Interaktif, Bandung - Ratusan anggota Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat mempertanyakan kesetaraan gender dalam aksi memperingati Hari Ibu di depan Gedung Sate, Bandung Rabu (22/12). Ketua Muslimah HTI Jawa Barat Siti Nafidah menuding kebijakan tentang kesetaraan gender justru menyebabkan kaum ibu mengabaikan perannya sebagai pendidik generasi.

Sejumlah fakta menurut Siti telah menunjukkan hal itu. Di antaranya, data yang dirilis BKKBN menyebutkan separuh dari remaja perempuan usia 13-15 tahun mengaku sudah pernah melakukan hubungan seks pra nikah, serta data yang menunjukkan 30 persen pelaku aborsi di Indonesia merupakan remaja. "Ini buat kita sebuah pertanyaan, di mana peran ibu," kata Siti.

Dia menuding, kondisi ini disebabkan sistem yang ada. Siti mengajak, di Hari Ibu ini, untuk mengingatkan lagi peran ibu sebagai pemelihara peradaban. "Yang kita butuhkan, bagaimana mengoptimalkan peran ibu, ini menyangkut kondisi masa depan bangsa," kata Siti.

Aksi ratusan perempuan itu "menggantikan" perayaan Hari Ibu yang tengah berlangsung di depan Gedung Sate Bandung. Unjuk rasa itu berlangsung di penghujung acara peringatan Hari Ibu yang di gelar pemerintah Jawa Barat yang tengah menggelar pertunjukan tari-tarian.

Ratusan perempuan itu memadati pintu masuk di depan pintu gerbang Gedung Sate. Masing-masing membawa poster kertas, di antaranya ditulisi: "Jangan Jual Ibuku Demi Devisa Negara", dan "Sibuk Berkarir=Tuntutan Kapitalisme". Di antaranya, ada yang menggelar aksi teatrikal, para ibu yang mengusung replika glondongan kayu di atas kepalanya.

AHMAD FIKRI


-------------

Rabu, 22/12/2010 12:19 WIB
Demo HTI di Hari Ibu
Single Parent Tarik Gulungan Tikar Berlabel Kapitalisme
Vita Principalia - detikBandung

Bandung - Momentum Peringatan Hari Ibu dimanfaatkan oleh 500-an muslimah Hizbut Tahrir Indonesia Jabar berunjuk rasa di depan Gedung Sate, Rabu (22/12/2010). Mereka prihatin dengan bergesernya peran ibu sebagai pencetak generasi muda gara-gara kapitalisme.

Hal itu mereka perlihatkan dengan menggelar teaterikal. Beberapa orang perempuan terlihat membawa gulungan tikat yang dibalut kertas bertuliskan 'kapitalisme'. Beberapa perempuan itu berkalung kertas, yang antara lain bertuliskan 'single parent', 'ibu menyusui', 'lanjut usia'.

Di belakang mereka tampak seorang perempuan berkalung 'kapitalisme' sambil memegang pecut. Ini digambarkan bahwa perempuan Indonesia saat ini tengah diperbudak kapitalisme.

"Sengaja kami gunakan momen hari ibu untuk menolak kapitalisme," ujar Ketua Muslimah DPD I HTI Jabar Siti Nafidah di sela-sela aksi. Menurutnya peran ibu harus dioptimalkan untuk menggagalkan kapitalisme.

Aksi berakhir pukul 12.00 WIB. Sebagian massa masih memegang poster bertuliskan 'wanita miskin, wanita sengsara = korban kapitalisme'
(ern/ern)

Jumat, 17 Desember 2010

“SAATNYA UMAT PEDULI IBU DAN GENERASI”


by Siti Nafidah Anshory

Peran ibu sejatinya merupakan peran yang sangat penting. Selain berperan secara biologis, ibu juga memiliki peran politis dan strategis. Sebagai madrasah pertama dan utama, di tangannyalah eksistensi dan kualitas generasi umat masa depan akan ditentukan.

Sayangnya pemahaman seperti ini kian hilang dari benak masyarakat. Serangan budaya dan pemikiran sekular-materialistik telah menjadikan peran ibu seolah tak berarti apa-apa. Sebagian ibu hanya tahu bagaimana melahirkan dan membiarkan anak besar dengan sendirinya, tanpa ruh dan apa adanya. Sementara sebagian lain, sibuk mengejar prestise atau karir sebagai simbol kebebasan dan kemandirian, seraya tak segan menanggalkan cita-cita dan kebanggaan menjadi ibu ideal bagi anak-anak mereka.

Penerapan sistem kapitalisme sekulerpun telah membuat peran ibu kian jauh dari optimal. Betapa tidak? Kebijakan ekonomi neolib yang inhern dengan sistem batil ini senyatanya telah berhasil menciptakan kemiskinan struktural dan gap sosial yang demikian lebar dan memaksa para ibu berperan lebih dari apa yang seharusnya mereka pikul. Selain harus berperan sebagai ibu dan pengelola rumahtangga, mereka pun terpaksa bekerja mencari nafkah yang tak cukup didapat para suami mereka.

Pada kondisi seperti ini, para pejuang gender malah sibuk memasang umpan mereka; menawarkan gagasan beracun bernama “keadilan dan kesetaraan gender” atau ‘pemberdayaan perempuan’ yang targetnya, melepas keterikatan kaum perempuan pada peran-peran domestik, termasuk peran sebagai ibu. Peran mulia ini mereka gambarkan sebagai peran yang ‘marginal, tak produktif dan diskriminatif’. Sehingga sebagian para ibu, seolah mendapat pembenaran atas abainya mereka akan tugas dan tanggungjawab mempersiapkan generasi masa depan.

Tak heran jika hari ini muncul generasi tanpa visi, yang dididik ibu pengganti bernama televisi dan lingkungan sekuler yang intens memapar budaya permissif, hedonis dan anarkis. Pelan tapi pasti, merekapun terinfeksi kanker peradaban yang sedikit demi sedikit membunuh masa depan mereka sehingga umatpun nyaris kehilangan pelanjutnya. Seks bebas, aborsi, narkoba, HIV/AIDS, pornografi-pornoaksi, tawuran, dan kriminalitas, menjadi hal biasa di kalangan remaja. Sementara di sisi lain, kemiskinan struktural yang tercipta di negeri kaya raya ini tak urung melemahkan fisik dan akal sebagian mereka akibat gizi buruk dan ancaman keterlantaran. Alih-alih beroleh kehidupan dan pendidikan yang layak,bahkan tak sedikit anak yang harus banting tulang menyelamatkan ekonomi keluarga mereka.

Sebenarnya kondisi ini tak akan terjadi jika para ibu menyadari peran utamanya sebagai pendidik generasi. Kondisi inipun tak seharusnya terjadi, jika umat peduli dan hidup dengan aturan Illahi yang berperspektif penyelamatan generasi. Persoalannya, hari ini kehidupan para ibu dan umat memang jauh dari ideal. Sistem pendidikan yang diterapkan, tak mampu membuat mereka cerdas untuk memahami perbedaan yang fana dan abadi, yang semu dan hakiki. Sistem ekonomi yang dijalankanpun tak mampu mewujudkan kesejahteraan yang menjamin optimalnya peran ibu. Bahkan sistem rusak ini, meniscayakan seluruh kekayaan yang dimiliki dirampok para kapitalis dalam dan luar negeri yang berkolaborasi dengan penguasa khianat di negeri ini.

Pertanyaannya, akankah kondisi buruk ini kita biarkan hingga eksistensi umat hancur berantakan? Sudah saatnya kita bangkit melakukan perubahan. Agar sebagaimana dahulu, umat ini bisa kembali tampil sebagai umat terbaik (khoyru ummah) dan kembali bangkit sebagai pionir peradaban. Caranya tidak lain dengan membina para ibu agar menyadari peran strategis-politis mereka dalam mencetak generasi unggul, yakni generasi yang bertakwa, cerdas dan berkarakter pemimpin, sesuai aturan-aturan Islam. Juga dengan membina umat agar mampu menjadi barier tangguh untuk menangkal serangan pemikiran dan budaya yang dilancarkan musuh-musuh Islam, yang hendak melanggengkan hegemoni dan menjegal kebangkitan Islam dengan melemahkan generasi mereka.

Hanya saja mencetak generasi unggul melalui optimalisasi peran ibu dan umat ternyata tak mungkin dilakukan dalam sistem sekuler yang secara genial memang rusak dan membawa kerusakan. Upaya ini justru membutuhkan sistem yang benar dan datang dari Dzat Yang Maha Benar. Yakni sistem Islam bernama al-khilafah. Khilafah inilah yang akan menerapkan aturan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan yang karenanya peran ibu dan umat dapat optimal dilaksanakan, dan generasi berkualitaspun akan bisa diwujudkan.

Disinilah urgensi dakwah yang bersifat politik ideologis. Yakni dakwah yang tidak hanya mengarah pada perbaikan kualitas individu ibu dan umat saja, namun juga mengarah pada terwujudnya sistem masyarakat Islam (khilafah Islam) yang rahmatan lil ‘alamin. Dan upaya ini tentu tak bisa dilakukan sendirian, melainkan harus ada sinergi dari seluruh komponen umat yang sudah berkesadaran, termasuk para ibu tangguh arsitek generasi unggul yang bertakwa dan terbina dengan pemikiran-pemikiran Islam.[][]

Kamis, 16 Desember 2010

BERBAHAGIALAH UKHTI, KARENA ENGKAU TELAH DIMULIAKAN ....



Ukhti Fillâh……..
Banyak yang bilang bahwa syari’at Islam tak berpihak pada perempuan.
Mereka bilang,
Bukankah kerudung dan jilbab adalah simbol pengungkungan atas perempuan?
Bukankah menjadi isteri dan ibu adalah bentuk marjinalisasi perempuan?
Lalu, bagaimana dengan pendapat ukhti?

Di banyak kesempatan mereka gembar-gembor bahwa aturan waris dan perwalian sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Dan bahwa hak thalaq dan kebolehan poligami merupakan wujud kekerasan terhadap perempuan.
Bahkan ukhti, ketika Islam menetapkan tanggungjawab kepemimpinan ada pada laki-laki,
tak sedikit yang protes meradang.
Dan lantas menuding, bahwa Islam tak adil dan melegitimasi penindasan terhadap perempuan.
Lalu, bagaimana pula dengan pendapat ukhti?

Ukhti,
Betapa naïf ya, jika kebodohan kita menjadi dasar untuk menolak kebenaran …..?!!
Bukankah Islam datang dari Dzat Yang Menciptakan Kehidupan, Manusia; Laki-Laki dan Perempuan?
Bukankah Islam datang dari Dzat Yang Maha Mengetahui Segala Kebaikan dan Keburukan, Menggenggam Waktu; Dahulu, Sekarang dan Yang Akan Datang??
Bukankah pula, Islam datang dari Dzat Yang Maha Memiliki Segala Kesempurnaan, Yang Maha Adil dan Maha Penyayang?
Lantas, kenapa mereka pertanyakan keberpihakan aturan-aturanNya, ya Ukhti ?
Kenapa pula mereka ragukan kesempurnaan syari’atNya dalam mengatur kehidupan?

Padahal Ukhti,
Bukankah tak bisa dipungkiri lemahnya pengetahuan kita, bahkan akan diri kita sendiri?
Bukankah banyak hal yang bisa menyadarkan, betapa –siapapun- lemah dihadapan Dzat Yang Maha Menghidupkan dan Mematikan?
Lantas atas dasar apa, ya Ukhti,
Sehingga dengan sombong mereka katakan bahwa manusia layak menjadi Robb semesta alam?

Ukhti…..
Barangkali benar ya,
Bahwa kejernihan berpikir dan sikap tau diri akan menghantarkan seseorang kepada ketundukan.
Dan bahwa kejernihan dan sikap tau diri pula, yang akan memastikan terhujamnya keyakinan
Bahwa syari’at adalah manifestasi Rahmat Allah atas penciptaan.
Sehingga, hanya yang bisa jernih berpikir dan tau dirilah yang bisa mencerap kebahagiaan dari pesan cinta Dzat Pencipta Kehidupan.

Ukhti…..
Sungguh, betapa ingin saya katakan,
Bahwa sudah saatnya mereka campakkan kedengkian dan kesombongan,
Sebelum satu saat mereka berhadapan dengan Dzat yang sifat-sifatNya selalu mereka nafikan.
Betapa ingin juga saya katakan,
Bahwa sudah saatnya mereka kembali ke jalan Islam, satu-satunya jalan yang menyelamatkan.
Karena senyatanya ukhti
Inilah fitrah mereka….
Dan untuk inilah mereka diciptakan.

Berbahagialah Ukhti….
Karena ukhti sudah termasuk yang tercerahkan……!!!
Dan berbahagialah Ukhti …..
Karena nyata, dengan cara ini Yang Maha Rahim menyatakan kecintaan!!!
[][][]

Rabu, 15 Desember 2010

Ummahat : Sumayyah binti Khubath ra.


Wanita Perkasa Yang Cukup Baginya Surga ...

Ia termasuk perempuan-perempuan pertama yang masuk ke dalam Islam, termasuk tujuh orang pertama yang memeluk Islam, bersama-sama dengan suaminya Yasir bin Amir bin Malik dan anaknya Ammar. Tidak lama setelah cahaya Islam menerangi Makkah, keluarga Yasir langsung memenuhi panggilan iman kepada Allah dan membenarkan Nabi Muhammad saw. Dalam keluarga ini terhimpun keutamaan kesabaran dan jihad. Dan sejak mereka masuk ke dalam Islam, mereka mendapat siksaan dari orang-orang Kafir Quraisy.

Apalagi ketika orang-orang Kafir Quraisy melihat kekokohan iman mereka yang dinilai tinggi, maka kemarahan orang-orang Kafir Quraisy semakin memuncak. Hampir setiap helaan nafas yang mereka hembuskan ditujukan untuk menyiksa orang-orang yang mengucapkan,”Rabb kami adalah Allah”. Termasuk yang dialami oleh keluarga Yasir, yaitu Yasir, Sumayyah dan Ammar bin Yasir, dimana mereka disiksa dengan siksaan yang amat pedih dan dipaksa untuk meninggalkan Islam. Tetapi siksaan yang mereka terima tidak berpengaruh sedikitpun pada keluarga ini kecuali tetap beriman dengan teguh dan ikhlas. Sampai ketika mereka sedang menyiksa keluarga Yasir, Rasulullah lewat di depan mereka, seraya memberikan kabar gembira. “Sabarlah wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya tempat yang dijanjikan kepada kalian adalah syurga. Sesungguhnya aku tidak memiliki apapun dari Allah untuk kalian,” Rasulullah menyatakan pada mereka bahwa tempat yang dijanjikan untuk mereka adalah syurga, maka tidak ada yang dilakukan Sumayyah kecuali berkata :”Sesungguhnya aku telah melihatnya dengan jelas, wahai Rasulullah,”

Mereka senantiasa shabar menghadapi siksaan yang ditimpakan kepada mereka oleh orang-orang Kafir Quraisy, sampai akhirnya merenggut nyawa Yasir bin Malik. Tetapi hal ini tidak menimbulkan kegentaran pada diri Sumayyah, bahkan ia lebih menantang orang-orang atau pemuka Kafir Quraisy sehingga menambah geram pemuka Kafir Quraisy, terutama Abu Jahl, hingga akhirnya ia menusukkan tombak ke tubuh Sumayyah binti Khubath r.a sampai beliau meninggal dunia sebagai syahidah pertama. Demi mempertahankan ke-Islamannya ia korbankan jiwanya. Subhanallah, tidak diragukan lagi bagaimana perannya sebagai seorang muslimah, sebagai bagian dari masyarakat yang bertanggungjawab bagi tegaknya Islam, sehingga dengan ikhlas dan ridho ia serahkan jiwanya hanya untuk Islam semata, sekalipun siksaan yang diterimanya sedemikian besarnya.

Semasa hidupnya, Sumayyah dikenal sebagai seorang istri yang baik, berbakti dan mengabdi kepada suaminya, dan senantiasa mendampingi suaminya dalam suka dan duka. Sebagai seorang ibu, dapat kita lihat dari sosok anaknya, yakni Ammar bin Yasir. Ia pun termasuk orang yang pertama-tama masuk Islam bersama-sama dengan ayah bundanya, dimana kekuatan dan kekokohan imannya mampu menggentarkan orang-orang kafir Quraisy yang menyiksanya. Ia juga seorang mujahid yang tangguh, dengan gagah berani, ia mempertaruhkan nyawanya melawan musuh-musuh kaum muslimin.

Jelaslah bahwa Sumayyah tidak saja hanya memerankan tugasnya sebagai istri dan ibu, tetapi sebagai seorang muslimah yang memberikan andil dan semangat besar bagi kaum muslimin lainnya dengan mengajak keluarganya kepada Islam dan tetap kokoh memegang teguh dînnya sekalipun siksaan yang diterimanya sangat berat.
(Sumber : Revisi Politik Perempuan)

Minggu, 12 Desember 2010

TELADAN IBU TANGGUH PENCETAK GENERASI UNGGUL


ASMA BINTI ABI BAKAR RA.

Asma’ dikenal sebagai kelompok wanita yang pertama-tama masuk Islam. Ia merupakan muhajirah yang agung, yang mengorbankan harta, raga dan jiwanya hanya untuk Islam. Semua unsur keturunan yang mulia terkumpul dalam pribadinya. Hal itu cukup untuk mengangkat derajatnya ke tempat yang tinggi dan membanggakan. Ayahnya, Abu Bakar Shiddiq adalah sahabat karib yang paling utama bagi Rasulullah semasa beliau hidup, dan khalifah pertama sesudah beliau wafat. Kakeknya, Abu Atiq, ayahnya Abu Bakar. Saudara perempuannya, Aisyah Ummul Mukminin (Istri Rasulullah SAW), seorang wanita suci, bersih, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firmanNya. Suaminya, Zubair bin Awwam, seorang tokoh yang sangat mengutamakan ridha Allah dan ridha ibu bapaknya.
Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam, seorang pemuda miskin, tidak mempunyai pelayan yang selalu siap sedia membantu pekerjaannya, tidak mempunyai harta yang dapat melapangkan kehidupan keluarganya, kecuali hanya seekor kuda yang dirawatnya dengan baik.

Sungguh pun begitu Asma’ tidak kecewa. Dia adalah seorang istri yang baik dan setia, serta selalu khidmat kepada suaminya. Jika suaminya sedang sibuk mengemban tugas-tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya, Asma’ tidak segan-segan bekerja keras merawat dan menumbuk biji kurma untuk makanan kuda suaminya.
Pribadi Asma’ dirahmati Allah dengan keistimewaan yang menonjol yang jarang terdapat sekaligus, kecuali dalam pribadi segelintir pria. Dia cantik, hampir sama dengan saudaranya, Aisyah. Dia cerdas, lincah, cekatan, bangsawan dan memiliki otak yang sangat cemerlang.

Kepemurahannya menjadi teladan bagi orang banyak. Anaknya, Abdullah pernah berkata:”Aku belum pernah melihat wanita yang pemurahnya melebihi ibuku, Asma’. Bibiku berlainan. Kalau bibiku, dikumpulkannya lebih dahulu sedikit demi sedikit sesuatu yang akan dinafkahkannya, maka bila sudah terkumpul barulah dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkannya, lain dengan ibuku, dia tidak pernah menyimpan sesuatu sampai besok.”

Dari segi kecemerlangan berfikirnya, sangat nampak dalam diri putri Abu Bakar ini. Ia senantiasa bertindak penuh perhitungan dan bijaksana. Ketika ayahnya, Abu Bakar Shiddiq membawa seluruh uang simpanannya untuk kepentingan hijrah bersama Rasulullah saw, tidak satu sen pun ditinggalkannya untuk keluarganya. Setelah Abu Quhafah, bapak Abu Bakar atau kakek Asma’, mengetahui kepergian anaknya, dia datang ke rumah Abu Bakar untuk memastikan. Ketika itu Abu Quhafah masih musyrik. Kata Abu Quhafah:”Demi Allah! Tentu bapakmu mengecewakanmu dengan hartanya, disamping dia menyusahkanmu dengan kepergiannya.”

“Tidak kek! Sekali-kali tidak! Bapak banyak meninggali kami uang,” jawab Asma’ menghibur kakeknya. Asma’ pergi mengambil batu-batu kerikil, kemudian dimasukkannya ke kotak, tempat dia biasa menyimpan uang. Sesudah itu ditutupnya kerikil tersebut dengan kain-kain pakaiannya. Kemudian di bawanya si kakek ke tempat simpanan uang tersebut dan diletakkannya tangan kakek di atas kain-kain yang menutup kerikil itu. Kata Asma’ : ”Lihatlah Kek! Kami banyak ditinggali uang oleh Bapak,”padahal kakeknya buta.

“Bagus ..! Bagus ..! Kalian ditinggali banyak uang. Syukurlah..!” kata sang kakek.
Sesungguhnya maksud Asma’, disamping untuk menyenangkan hati kakek supaya tidak susah memikirkan dan memberinya apa-apa lagi. Lebih jauh dari itu, sebenarnya Asma’ tidak mau menerima bantuan orang musyrik, walau itu dari kakeknya sendiri. Hal ini merupakan bukti kuat yang menunjukkan sedemikian besarnya perhatiannya terhadap dakwah dan kepentingan kaum muslimin.

Asma’ binti Abu Bakar diberi julukan oleh Rasulullah sebagai Dzatun Nithâqayn (wanita yang mempunyai dua ikat pinggang). Hal ini terkait dengan peristiwa, ketika tepat di hari Rasulullah SAW hendak berangkat hijrah ke Madinah. Asma’ menyediakan makanan dan minuman untuk perbekalan beliau berdua dengan ayahnya Abu Bakar. Ketika dia hendak mengikat karung makanan dan qirbah (tempat air minum) dia merobek ikat pinggangnya sebagai tali pengikat. Karena itulah Rasulullah saw mendo’akan nya semoga Allah mengganti ikat pinggang Asma’ dengan dua ikat pinggang yang lebih baik dan indah di syurga. Sejak itu Asma’ digelari “Dzatin Nithâqain”.

Berkaitan dengan peristiwa hijrah inipun, sebenarnya ada berbagai hal yang bisa kita teladani, yang menggambarkan bagaimana kekuatan berfikir dan berstrategi yang dimiliki oleh seorang muslimah, tentu saja ini berkaitan dengan aktivitas politiknya yang dihasilkan dari kecemerlangan akal yang dimilikinya, bukan sekedar aktivitasnya mengantarkan makanan saja.

Asma’ mengirim makanan untuk dua orang yang berperan penting bagi umat Islam, Rasulullah dan ayahnya, Abu Bakar agar keduanya tidak kehausan atau kelaparan. Tetapi lebih dari itu, Asma’ juga menyampaikan berita-berita penting tentang rencana-rencana orang-orang Kafir Quraisy terhadap kaum muslimin, yakni ketika suasana sangat genting dimana orang-orang Kafir Quraisy tengah mencari-cari Rasulullah saw untuk dibunuh karena bencinya mereka terhadap dakwah Islam dan orang-orang yang mengemban risalah Islam. Dengan perut yang besar, karena kehamilannya waktu itu, Asma’ mengambil peran yang beresiko tinggi, mengapa ? Karena bila ketahuan, bukan hanya nyawanya yang menjadi taruhan, tetapi lebih dari itu, Abu Bakar dan utusan Allah, Muhammad saw pun akan terancam keselamatannya. Apalagi orang-orang Kafir Quraisy saat itu tengah marah besar karena Muhammad saw berhasil lolos dari kepungan, dan posisinya digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Tetapi dengan sangat cerdik dan penuh perhitungan Asma’ berjalan menuju persembunyian Abu Bakar dan Rasulullah saw di gua Tsur, sambil menggembalakan kambing-kambingnya. Ia berjalan di depan dan kambing-kambingnya berjalan di belakangnya. Dengan cara ini, tidak ada yang bisa mengikuti jejaknya, karena jejak kaki Asma’ terhapus oleh jejak kaki kambing gembalaannya. Apa yang dilakukan Asma’ itu belum tentu mampu dilakukan seorang lelaki pemberanipun, karena hal itu bisa mengundang bahaya, kezhaliman dan keberingasan orang-orang kafir Quraisy. Suatu perbuatan yang membutuhkan pemikiran yang mendalam, keteguhan hati, sekaligus keberanian dan kekuatan iman.

Ternyata permasalahannya tidak berhenti sampai disini saja, setelah Rasulullah saw dan Abu Bakar berhasil keluar dari tempat persembunyiannya dan berhijrah ke Madinah, Asma’ menuturkan, “Kami di datangi beberapa orang Quraisy, di antara mereka adalah Abu Jahal. Mereka bertanya, “Mana ayahmu wahai putri Abu Bakar ?” Dengan diplomatis Asma’ akhirnya menjawab,” Demi Allah, aku tidak tahu di mana sekarang ayahku berada, ”Seketika itu pula Abu Jahal mengangkat tangannya dan menampar pipi Asma’ dengan satu kali tamparan yang membuat anting-antingnya lepas, setelah itu mereka beranjak pergi.

Setelah Rasulullah saw dan Abu Bakar berhasil hijrah ke Madinah, maka giliran Asma’ untuk hijrah ke Madinah, sementara saat itu Ia dalam keadaan hamil tua, mengandung Abdullah bin Zubair. Sekalipun sudah hampir melahirkan, keadaan ini tidak menjadi rintangan baginya untuk menempuh perjalanan jauh dan berbahaya. Akhirnya, setelah sampai di Quba, Asma’ melahirkan bayi yang sangat didambakannya. Sebagai tanda syukur dan gembira, kaum muslimin mengucapkan takbir dan tahlil menyambut kelahiran Abdullah bin Zubair. Itulah bayi yang pertama lahir di Madinah.

Asma’ segera membawa bayinya ke hadapan Rasulullah saw dan meletakkannya di pangkuan beliau. Rasulullah mengambil air ludahnya sedikit, lalu dimasukkannya ke mulut bayi tersebut, itulah makanan yang pertama masuk ke dalam rongga mulut anak itu. Kemudian beliau membaca do’a bagi bayi tersebut.

Sebagai seorang ibu, telah sering pula kita mendengar kisahnya, sosok ibu yang mengerti benar perannya menciptakan generasi yang berkualitas prima, generasi yang menjadikan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya, apakah itu harta, anak, istri dan sebagainya, generasi yang siap berjuang membela bendera Islam dan kalimah Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasûlullâh. Dan generasi seperti ini nampak jelas dalam diri putra Asma’ binti Abu Bakar, yaitu Abdullah bin Zubair. Tentang hal ini kita simak salah satu kisah pertemuan terakhir antara ibu dan anak yang saling menyayangi dan mencintai satu sama lain, semata-mata karena kecintaan keduanya yang tinggi kepada Allah swt dan RasulNya.

Abdullah bin Zubair diangkat menjadi khalifah setelah khalifah Yazid bin Mu’awiyah meninggal. Negeri-negeri Hijaz, Mesir, Iraq, Khurasan dan sebagian besar negeri Syam telah tunduk ke bawah pemerintahannya. Tapi Bani Umayyah tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan tentara yang besar di bawah pimpinan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafy untuk menggulingkan khalifah. Abdullah bin Zubair turun ke medan tempur memimpin sendiri tentara yang setia kepadanya. Dia memperlihatkan kebolehannya sebagai panglima perang yang gagah berani dengan taktik dan strategi perang yang brilian.

Tetapi para perwira bawahan dan prajuritnya banyak yang meninggalkannya satu demi satu, membelok ke pihak musuh. Akhirnya dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit dia mundur di bawah naungan Ka’bah yang suci dan agung. Beberapa saat sebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubair pergi menemui ibundanya yang sudah lanjut usia.
“Assalâmu’alaiki warahmatullâhi wabarakâtuhu, wahai ibunda!” kata Abdullah memberi salam kepada ibunya.

“Wa’alaikas salâm warahmatullâhi wabarakâtuhu, ya Abdullah! Mengapa engkau datang ke sini pada saat begini? Padahal batu-batu besar yang dilontarkan Hajjaj kepada tentaramu menggetarkan seluruh kota Mekkah,” kata ibunya.
“Aku datang hendak bermusyawarah dengan ibu,” jawab Abdullah dengan hormat dan menunjukkan kasih sayangnya.
“Tentang masalah apa?” tanya ibunya khawatir.
“Tentaraku banyak meninggalkanku. Mereka membelot dari padaku ke pihak musuh. Mungkin karena takut kepada Hijjaj atau mungkin juga karena menginginkan sesuatu yang di janjikannya, sehingga anak-anak dan istriku pun berpisah denganku. Sedikit sekali jumlah tentara yang tinggal bersamaku. Mereka itu pun agaknya tidak akan sabar bertahan lebih lama bersamaku. Sementara itu, para utusan Bani Umayyah menawarkan kepadaku apa saja yang kuminta berupa kemewahan dunia asal saja aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Bagaimana pendapat ibu?” Tanya Abdullah.

Asma’ menjawab dengan suara tinggi, ”Terserah kepadamu ya Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang tahu dengan dirimu? Bila engkau yakin bahwa engkau mempertahankan yang hak dan mengajak kepada kebenaran, maka teguhkan seperti para prajuritmu yang telah gugur dalam mengibarkan benderamu! Tetapi bila engkau menginginkan kemewahan dunia, sudah tentu engkau seorang anak laki-laki yang pengecut. Berarti engkau mencelakakan diri sendiri dan menjual murah harga kepahlawananmu selama ini, nak!”
Abdullah menundukkan kepala di hadapan ibunya yang kelihatan marah bercampur berbagai perasaan yang tidak pasti wujudnya. Walaupun ibunya sudah tua dan buta, Abdullah yang khalifah dan panglima perang yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya karena sangat hormat dan kasih kepadanya.
“Tetapi aku akan terbunuh hari ini, bu! Kata Abdullah lembut.
“Itu lebih baik bagimu dari pada engkau menyerahkan diri kepada Hajjaj. Akhirnya toh kepalamu akan diinjak-injak juga oleh budak-budak Bani Umayyah dengan mempermainkan janji-janji mereka yang sulit dipercaya,” jawab ibunya tegas dengan nada tinggi.
“Aku tidak takut mati, bu! Tetapi aku khawatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazahku dengan kejam,” kata Abdullah lagi.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan perbuatan orang hidup sesudah kita mati. Kambing yang sudah disembelih tidak merasa sakit lagi ketika kulitnya dikupas orang,” kata ibunya.
“Semoga ibu diberkati Allah. Begitu pula hendaknya buah pikiran ibu yang selalu terang benderang. Maksud kedatanganku hanya untuk mendengar apa yang telah kudengar dari ibu sebentar ini. Allah Maha Tahu, aku tidak lemah dan tidak terlalu hina. Dia Maha Tahu, aku tidak terpengaruh oleh dunia dan kemewahannya. Murka Allah bagi orang-orang yang menyepelekan segala yang diharamkanNya. Inilah aku, anak ibu! Aku selalu patuh menjalani segala nasihat ibu. Apabila tewas, janganlah ibu menangisiku. Segala urusan kehidupan ibu, serahkan kepada Allah…! Kata Abdullah menguatkan hati ibunya.
“Yang ibu kuatirkan kalau-kalau engkau tewas di jalan yang sesat,” kata Asma’ memperlihatkan keteguhan imannya.
“Percayalah ibu! Anak ibu tidak memiliki pikiran sesat untuk berbuat keji. Anak ibu tidak percaya untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang-orang muslim yang baik, atau melakukan kejahatan-kejahatan lain. Anak ibu mengutamakan keridhoan ibu. Aku katakan semua ini di hadapan ibu dari hatiku yang putih bersih. Allah ta’ala menanamkan kesabaran yang dalam di hati sanubari ibu.”
Jawab Asma’ ”Alhamdulillâh…! Segala puji bagi Allah yang telah membuat engkau teguh memegang apa yang disukai-Nya dan yang ibu sukai pula. Mendekatlah kepada ibu, anakku! Ibu ingin mencium baumu dan menyentuhmu. Agaknya inilah saat terakhir bagi ibu untuk menciummu…”

Abdullah menjatuhkan diri ke pangkuan ibunya. Hidung Asma’ beranjak dari kepala, ke muka dan tengkuk Abdullah. Tangannya menyentuh tubuh Abdullah, tetapi tiba-tiba Asma’ menarik kembali tangannya yang keriput seraya bertanya, ”Apa yang engkau pakai, hal Abdullah?”
“Baju besi!” jawab Abdullah.
“Untuk apa pakaian seperti ini dipakai oleh orang yang ingin syahid?” Tanya Asma’.
‘Aku memakainya untuk menyenangkan hati ibu,” jawab Abdullah.
“Tanggalkan baju besi itu! Tanpa baju besi itu engkau lebih memperlihatkan semangat yang tinggi dan keperkasaan. Disamping itu engkau dapat bergerak dengan leluasa, ringan dan lincah. Sebagai gantinya pakailah celana rangkap. Seandainya engkau tewas auratmu tidak mudah terbuka,” kata ibunya dengan penuh kasih sayang.
Abdullah melepas baju besinya, kemudian memakai celana rangkap. Sesudah itu dia pergi ke Masjidil Haram meneruskan pertempuran sambil berpesan kepada ibunya,” jangan bosan mendo’akanku, ibu!”

Asma menadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, ”Wahai Allah! Kasihanilah dia karena shalat yang panjang diselingi tangis di tengah malam buta, ketika orang-orang lain sedang tidur nyenyak. Duhai Allah! Kasihanilah dia yang sering menahan lapar dan haus ketika bertugas jauh dari Madinah atau Mekkah dalam menunaikan ibadah puasa karenaMu. Duhai Allah! Kasihanilah dia yang selalu berbuat kebaikan dan menuntut kasih sayangnya terhadap ibu dan bapaknya. Duhai Allah! Aku serahkan dia ke dalam pemeliharaanMu dan aku ridha dengan apa yang telah Engkau tetapkan baginya dan berilah aku pahala orang-orang yang sabar…!

Sebelum matahari terbenam di sore hari itu, Abdullah bin Zubair syahid menemui Rabbnya. Dia pulang ke rahmat Allah karena mengutamakan ridha Allah. Lebih kurang tujuh belas hari setelah kematian putranya, Asma’ wafat pula menyusul putranya tercinta. Asma’ binti Abu Bakar Shiddiq pulang ke rahmatullah dalam usia seratus tahun. Walapun usianya sudah lanjut, namun giginya masih utuh semuanya, tidak ada yang tanggal satupun. Daya pikirnya tetap kuat dan prima. Begitu pula imannya seperti dikisahkan dari cela-cela kehidupannya yang penuh taqwa. Radhiyalhu’anhuma. Semoga Allah meridhai kedua hambanya. Asma’ dan Abdullah bin Zubair, putranya.

Inilah sebuah teladan yang sangat berharga bagi kita semua, bukan saja keberaniannya, kepatuhannya kepada Allah, suami dan ayahnya, pengorbanannya yang besar atau sikap dermawannya, serta kedalaman berpikirnya, tetapi lebih dari itu kesadaran politik yang dimiliki serta kemampuannya mensinergiskan peran-peran yang harus dilaksanakan oleh seorang muslimah demikian melekat kuat dalam dirinya. Bersama suaminya, Zubair terbentuklah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukan karena harta yang melimpah ruah, tetapi sebuah keluarga yang selalu diberkahi dan dirahmati oleh Allah swt, karena anggota-anggota keluarganya menjadikan kecintaan kepada Allah swt di atas kecintaan-kecintaan lainnya. Dari keluarga ini lahir seorang syuhada yang gagah berani, yang tidak takut terhadap apapun kecuali kepada Allah swt. Sekalipun demikian, Asma’ tidak mengabaikan peran politiknya. Ia berperan aktif dalam hijrahnya kaum muslimin ke Madinah. Berpindahnya kaum muslimin dari kondisi yang buruk kepada yang baik, sehingga akhirnya tegaklah daulah Islamiyah di Madinah.

(Sumber : Revisi Politik Perempuan, Najmah Saiidah&Husnul Khotimah, Idea Pustaka)

Senin, 06 Desember 2010

Dr Nazreen Nawaz : Kapitalisme Sumber Kekacauan Global


Pengantar:

Selama beberapa tahun terakhir, suatu opini global telah dibangun bahwa Islam radikal, atau dalam istilah yang lebih umum, ‘Islam Politik’, adalah ancaman bagi dunia seperti dalam prohttp://www.blogger.com/img/blank.gifpaganda Tony Blair. Betulkah propaganda tersebut? Apa sesungguhnya motif Barat di baliknya propaganda tersebut? Mengapa Islam yang dijadikan tertuduh? Bagaimana dengan Kapitalisme global yang memimpin dunia saat ini, yang justru banyak memproduksi persoalan dan menjadi sumber kekacauan global?

Untuk mengetahui lebih jauh jawaban atas beberapa pertanyaan di atas, Redaksi Al-Waie kali ini mewawancarai Dr. Nazreen Nawaz, Representasi Muslimah Hizbut Tahrir Inggris, yang tentu merasakan langsung kebijakan-kebijakan penuh kebencian dari pemerintahan di Barat atas Islam dan kaum Muslim, termasuk terus menebar propaganda yang menyerang Dunia Islam. Berikut petikan wawancaranya.

Selama beberapa tahun terakhir, suatu opini global telah dibangun bahwa Islam radikal, atau dalam istilah yang lebih umum, ‘Islam Politik’, adalah ancaman bagi dunia seperti dalam propaganda Tony Blair. Bagaimana komentar Anda? Apa motif di balik opini seperti itu?


Cerita semacam ini sering dibangun oleh para politisi, pemerintahan dan lembaga-lembaga Barat. Dengan mudahnya mereka mengalihkan perhatian dari fakta bahwa Kapitalisme global, nilai-nilai liberal sekular dan kebijakan-kebijakan luar negeri kolonial Barat adalah penyebab terbesar atas ketidakstabilan, kekacauan dan ketidakamanan di dunia. Bukanlah Islam Politik yang telah mengobarkan perang kolonial yang tak terhitung jumlahnya selama 100 tahun terakhir yang menjarah sumberdaya dari bangsa asing, melainkan negara-negara kapitalis Baratlah yang melakukannya. Bukan Islam Politik yang menyebabkan kematian ratusan ribu warga sipil dalam bencana perang dan kehancuran Afganistan, Irak dan Pakistan; atau yang melakukan penculikan rahasia, penahanan dan penyiksaan dalam Perang Melawan Teror. Namun, pemerintah kolonial Baratlah yang melakukannya. Bukan Islam Politik yang mengesahkan penggunaan uranium terdeplesi (depleted uranium) terhadap penduduk Irak, tetapi para pemerintahan sekularlah yang melakukannya. Bukan Islam Politik yang membuat miskin negara-negara di dunia dan menyebabkan krisis ekonomi global, tetapi Kapitalismelah biang keladinya.

Klaim ini mencoba untuk membuat ketakutan atas keyakinan Islam Politik, seperti usaha penerapan syariah atau pembentukan Kekhalifahan di dunia Muslim, dengan mengaitkannya dengan terorisme. Hal ini telah menciptakan iklim ketakutan yang telah melayani dua tujuan. Pertama: memberikan pembenaran pemerintahan Barat kepada masyarakat di negara mereka dengan tujuan melanjutkan perang atas pendudukan yang mereka lakukan dengan brutal, mendukung pemerintahan diktator di negara-negara Islam dan melestarikan gangguan mereka atas dunia Muslim atas nama pencegahan ide-ide Islam untuk bisa terwujud. Kedua: mengesahkan undang-undang anti-teror yang kejam atas komunitas Muslim dengan maksud membungkam suara penentangan atas kebijakan luar negeri Barat dan melaksanakan kebijakan kontra-terorisme yang menganggu masyarakat Muslim. Tujuannya adalah membungkam suara tidak setuju atas kebijakan luar negeri Barat dan dukungan umat Islam di Barat atas pelaksanaan syariah di negeri-negeri Muslim yang membuat pemerintahan di Barat gerah. Tujuan keseluruhannya adalah mencegah munculnya kembali Kekhilafahan Islam ideologis yang akan menantang hegemoni negara-negara kapitalis Barat atas sumberdaya dunia dan urusan global.

Namun, cerita bahwa Islam Politik adalah seperti ‘ban berjalan’ bagi terorisme telah terbukti kepalsuannya. Laporan lembaga kajian terkemuka di Inggris pada bulan April 2010 yang berjudul, “Tepi Kekerasan” (The Edge of Violence), menyatakan, “Mungkin bagi umat Islam untuk membaca teks-teks radikal sehingga mereka menjadi kuat dan vokal menentang kebijakan luar negeri Barat, meyakini hukum syariah, mengharapkan kemunculan kembali Kekhalifahan, bahkan mendukung Muslim Afganistan dan Irak untuk memerangi pasukan sekutu; sementara pada saat yang sama mereka sangat vokal dalam mengecam terorisme yang terinspirasi al-Qaeda di negara-negara Barat.”

Dalam sebuah artikel berjudul, “Syariah: Bahaya Bagi Amerika Serikat.” (Washington Times, 2010/09/14) disebutkan bahwa ada beberapa alasan penting mengapa AS berada di bawah ancaman syariah Islam. Alasannya tidak hanya karena syariah Islam hanyalah sebuah agama ruhani, tetapi karena Islam juga membawa tugas jihad dan Kekhalifahan. Jadi, mengapa Barat begitu paranoid tentang ketiga konsep itu (Syariah, Jihad dan Khilafah)?

Seseorang perlu menarik perbedaan antara masyarakat umum di Barat dan pemerintah Barat berserta lembaga-lembaga mereka. Masyarakat Barat umumnya kurang pengetahuan tentang Islam. Di sisi lain, propaganda negatif terhadap syariah, jihad dan Khilafah yang terus-menerus dijajakan oleh beberapa media Barat beserta pendirian politik telah menciptakan pandangan sama sekali palsu atas konsekuensi dari pelaksanaan syariah Islam. Mereka percaya hal itu akan menyebabkan kemunduran, ekonomi stagnan dan munculnya negara totaliter yang haus perang yang akan menundukkan kaum wanita dan kaum minoritas non-Muslim. Mereka yang mempelajari teks-teks Islam dan sejarah telah memahami bahwa persepsi ini sangat jauh dari kebenaran.

Namun, bagi pemerintahan Barat, pelaksanaan syariah, jihad dan Khilafah adalah ancaman bagi hegemoni budaya global dan hegemoni fisik mereka untuk mengamankan kepentingan ekonomi mereka. Pendirian Khilafah akan menjadi berita besar yang akan mengakhiri kontrol mutlak, eksploitasi dan campur tangan mereka di dunia Muslim. Ini berarti berakhirnya kekuasaan rezim-rezim diktator yang berkuasa saat ini di wilayah tersebut yang tunduk pada kepentingan dan perintah dari kekuatan asing daripada tulus melayani kepentingan umat Islam. Hal ini akan menimbulkan munculnya sebuah negara yang akan mencari jalur independen daripada harus bersikap tunduk pada kolonial Barat dan pendudukan serta mengakhiri penghisapan sumberdaya tanah kaum Muslim. Kemunculan negara ini (Khilafah) akan menantang negara-negara Barat karena akan menjadi pemimpin politik dan ekonomi di dunia, mencabut penderitaan dan menghapus kemiskinan yang disebabkan Kapitalisme global dan menunjukkan kepada dunia penghargaan sejati atas kehidupan manusia, keadilan dan hak-hak manusia.

Terkait terorisme, suatu istilah yang sering digunakan sebagai alasan untuk menyerang Islam, bagaimana kita harus mengatasi kelompok-kelompok Islam yang membenarkan pembunuhan orang-orang Barat di manapun mereka berada, termasuk yang tinggal di kota-kota besar di Eropa atau Amerika, dengan alasan melakukan pembalasan yang seimbang?

Harus diperjelas bahwa Islam tidak mengizinkan pembunuhan dengan target warga sipil yang tak berdosa yang dilakukan atas nama melawan penjajahan, dengan cara yang sama saat umat Islam melawan pendudukan militer demi merespon kewajiban yang diperintahkan oleh Allah SWT. Negara-negara kapitalis Barat melakukan pembantaian atas ribuan nyawa yang tidak bersalah, pengeboman yang serampangan dan penghancuran seluruh kota serta penyiksaan terhadap tahanan perang yang dilakukan atas premis ideologi yang korup bahwa ‘apapun bisa dilakukan untuk mengamankan kepentingan kami‘. Sebaliknya, Islam telah mendefinisikan dan menjunjung tinggi prinsip-prinsip dalam setiap aspek kehidupan, termasuk adanya aturan perang. Pemerintahan Barat telah menunjukkan pengabaian atas kehidupan manusia secara terang-terangan, menggunakan depleted uranium dan fosfor putih sebagai alat perang. Sebaliknya, Islam mewajibkan penghargaan yang tinggi bagi kesucian hidup manusia.

Bagaimana cara terbaik bagi kaum Muslim untuk mengatasi masalah terorisme?

Kaum Muslim tidak boleh menerima atau mendukung cerita palsu bahwa karena ada sebagian individu yang melakukan tindakan kekerasan terhadap warga sipil tak bersalah maka Islam merupakan ancaman terbesar bagi keamanan atau stabilitas global. Sebaliknya, apa yang perlu disorot adalah bahwa tindakan tersebut hanyalah tanggapan atas penaklukan politik atau ekonomi yang dilakukan baik oleh pemerintahan Barat maupun Muslim, di samping tindakan agresi dan pendudukan tanah Muslim oleh kekuatan asing. Hal ini telah menjadi kebijakan luar negeri Barat, juga kebijakan para penguasa tiran di dunia Muslim yang menyokong mereka. Sebagai contoh, tidak ada terorisme di Pakistan sebelum pemerintahnya mendukung invasi atas Afganistan tahun 2001 yang dipimpin Inggris-AS. Banyak sumber, termasuk sebagian yang terkait dengan pemerintah Barat, yang telah menyalahkan kebijakan luar negeri Barat bagi peningkatan ancaman keamanan nasional di Barat. Pada bulan Juli tahun ini, dalam bukti-bukti yang diajukan dalam Penyelidikan Chilcot pada perang Irak, Kepala MI5 Eliza Manningham-Buller berkomentar mengenai masalah keamanan di Inggris, bahwa Perang Irak telah ‘meradikalisasi’ generasi Muslim di Inggris.

Di sisi lain, demokrasi dan Kapitalisme diklaim sebagai pembawa kebaikan. Bagaimana menurut Anda?

Perang Melawan Teror telah mengungkap wajah demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi adalah sistem yang memungkinkan adanya penculikan, penahanan rahasia dan penyiksaan untuk mengamankan kepentingan-kepentingan nasional. Sistem ini telah membuang hak asasi manusia dan prinsip-prinsip seperti habeas corpus (hak untuk diperiksa di muka hakim, penerj.), peradilan yang adil dan terbuka, supremasi hukum dan privasi individu untuk keuntungan politik. Sistem ini telah menjadi ciri penindasan dengan pelanggaran seperti di Abu Ghraib, Guantanamo, rendisi (penyerahan atas orang atau benda kepada musuh, penerj.) yang dilakukan secara luar biasa, seperti penyiksaan sadis atas Dr Aafia.

Dunia telah melihat seperti apa sebenarnya demokrasi Barat-suatu juara ketidakadilan dan pemimpin teror yang telah menebar kekacauan dan kesengsaraan di seluruh dunia serta menaburkan kematian dan perusakan atas kemanusiaan. Di negara-negara Barat, larangan niqab, jilbab dan menara mesjid, di samping serangan terhadap al-Quran, telah menggambarkan kegagalan demokrasi untuk mengakomodasi hak-hak kaum minoritas beragama.

Kapitalisme telah berjudi dengan keuangan negara, yang menyebabkan krisis ekonomi global, dan diperparah oleh kemiskinan dunia. Sistem ekonominya yang berdasarkan riba dan privatisasi sumberdaya publik telah memberi makan kaum kaya dan membuat lapar kaum miskin. Kapitalisme telah memungkinkan pasar bebas membeli rasa hormat dari diri seorang perempuan, yang memungkinkan eksploitasi tubuhnya pada iklan, hiburan dan industri seks. Semua itu ditandai dengan kebebasan berekspresi dan kepemilikan dan dilakukan atas nama mengamankan keuntungan. Kebebasan pribadi dan kebebasan seksual telah menolak budaya sopan-santun individualistik, memuaskan diri serta melahirkan perilaku yang tak bertanggung jawab yang telah menyebabkan mewabahnya kerusakan keluarga, alkoholisme, penyalahgunaan obat, perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, dan penelantaran Lansia dalam masyarakat Barat. Jelas bahwa kebebasan, demokrasi dan Kapitalisme tidak pernah bisa membawa kemajuan, martabat, keadilan dan kemakmuran yang benar bagi umat manusia.

Dunia memandang demokrasi sebagai sistem politik terbaik, yang membuat orang berdaulat dan kuat, dengan ruang terbuka bagi partisipasi politik dan penguasa dapat dikontrol oleh rakyat. Bagaimana Anda melihatnya?

Sekali lagi, waktu telah menunjukkan bahwa demokrasi mewakili sistem di mana aturan adalah untuk kepentingan orang kaya daripada untuk warga biasa. Bulan April lalu, muncul laporan bahwa kesenjangan pendapatan di Inggris antara yang termiskin dan terkaya di masyarakat adalah yang terburuk sejak tahun 1960-an, dengan pendapatan orang miskin jatuh dan bahwa orang kaya meningkat. Perusahan multinasional dan elit kayalah yang berdaulat dalam demokrasi, bukan rakyat. Bisnis besar membiayai proses pemilihan, membiayai para kandidat dan banyak pihak dalam pertukaran bagi berlakunya hukum yang melayani kepentingan finansial mereka. Kita melihat bagaimana dalam kondisi krisis keuangan ini, bisnis multi-juta terselamatkan oleh pemerintah, sedangkan usaha kecil dan warga negara biasa telah meninggalkan belas kasihan pasar sehingga menderita kehancuran finansial. Selain itu, di dunia Muslim, “demokrasi” sering digunakan untuk memberikan udara legitimasi kepada rezim diktator dimana mereka yang disangka melakukan kerusakan terhadap negara dianiaya, dipenjara dan kadang-kadang bahkan dibunuh. Di banyak negara-negara seperti Pakistan dan Bangladesh, huruf “D” pada kata Demokrasi menjadi “D” pada kata Dinasti. Sebagian kecil keluarga politik berkuasa memerintah bangsa selama beberapa dekade. Label “Demokrasi” telah menekankan kembali sistem politik layanan-diri, kepentingan diri sendiri, dan pelestarian diri dari dari para politisi korup daripada tulus melayani masyarakat.

Bisakah Anda menjelaskan sejauh mana sistem Islam di bawah naungan Khilafah bisa mewujudkan kemajuan ekonomi dan stabilitas politik dunia?

Berbeda dengan ideologi kapitalis yang mengejar laba, sistem Islam diterapkan oleh Khilafah didasarkan pada ketulusan untuk menjaga kebutuhan warganya dan peduli bagi kesejahteraan umat manusia. Sistem ini akan berdiri sebagai penghalang dan penantang global terhadap kebijakan luar negeri kolonial yang eksploitatif dari negara-negara kapitalis Barat yang telah menebarkan ketidakstabilan dan ketidakamanan di seluruh dunia. Sistem ini akan menghapus semua belenggu penjajahan dan pendudukan dari negeri-negeri Muslim dan menerapkan hukum Islam yang konsisten dengan kepercayaan rakyat daripada pemaksaan budaya impor yang asing yang telah menyebabkan kemarahan di kawasan ini. Selain itu, Khilafah-dengan kewenangan ada di tangan rakyat-memiliki penguasa terpilih, penegakan hukum, peradilan yang independen serta akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan dan akan menjadi kekuatan stabilisasi untuk kaum muslim dunia. Sistem ini akan menggantikan pemerintahan yang tidak representatif dan tidak akuntabel. Selain itu, sistem Islam menyediakan berbagai jalur di mana individu dapat mengekspresikan kritik atau ketidakpuasan pada tindakan penguasa, menghilangkan ketidakstabilan yang disebabkan oleh penindasan brutal karena perbedaan pendapat politik dengan rezim muslim saat ini.

Secara ekonomi, Kekhilafahan akan membebaskan dirinya dari ekonomi berbasis riba yang telah melumpuhkan baik individu maupun negara-negara dengan utang besar dan telah memaksa proporsi besar dari PDB negara-negara itu dibelanjakan untuk membayar hutang daripada diinvestasikan di bidang pendidikan dan kesehatan. Sistem ekonomi Islam didasarkan pada distribusi kekayaan yang efektif, bukan hanya produksi dan larangan penimbunan kekayaan dan akan berusaha untuk memberantas kemiskinan; bukan hanya dalam negeri, tetapi juga secara internasional. Pendapatan dari sumberdaya seperti minyak, batu bara dan gas yang dipandang sebagai milik publik menurut Islam dan dilarang diprivatisasi akan digunakan untuk meningkatkan standar hidup warga negara dan digunakan untuk mengembangkan infrastruktur negara; bukannya dijual kepada individu atau perusahaan asing di mana negara hanya sedikit meraup keuntungan mereka. Khilafah adalah sistem dengan visi besar yang akan memotong garis ketergantungan pada bantuan asing dan memanfaatkan kekayaan kolosal dan sumberdaya yang kaya dunia Muslim untuk mempromosikan kemandirian, membangun pendidikan yang berkelas dan sistem kesehatan, memberantas buta huruf dan berinvestasi pada teknologi dan penelitian. Sistem keuangannya didasarkan pada prinsip-prinsip keuangan yang sehat seperti penerapan standar emas dan perdagangan aset yang nyata daripada penerapan saham dan ekonomi yang spekulatif dan akan memberikan model teladan kemajuan ekonomi dan stabilitas yang sangat dibutuhkan dalam krisis global saat ini. [Translated by Riza]
Add This! (Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)

Selasa, 30 November 2010

INILAH DAMPAK NYATA PENERAPAN SISTEM KAPITALIS SEKULAR LIBERAL


SEBAGIAN PEREMPUAN ABG DI JABOTABEK MELAKUKAN SEX SEBELUM MENIKAH
Selasa, 30 November 2010 @ 00:00:00

JAKARTA–bkkbn online:Tren meningkatnya seks bebas di kalangan pelajar patut mendapat perhatian berbagai kalangan. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memperoleh fakta bahwa saat ini makin sulit menemukan remaja putri yang perawan (virgin) di kota-kota besar. Berdasar survei yang diadakan di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi, BKKBN menemukan bahwa separo remaja perempuan sudah melakukan seks sebelum menikah. Bahkan, tidak sedikit yang hamil di luar nikah.

Rentang usia remaja perempuan yang pernah berhubungan seks di luar nikah itu 13–18 tahun atau usia ABG (anak baru gede). ’’Kami melakukan survei terhadap 100 remaja perempuan. Hasilnya, 51 orang di antara mereka sudah tidak perawan,’’ ujar Kepala BKKBN Sugiri Syarief di sela peringatan Hari AIDS Sedunia di Lapangan Parkir Monas, Jakarta, kemarin (28/11). Temuan serupa juga didapati di kota-kota besar lain di Indonesia. Selain di Jabodetabek, survei yang sama dilakukan di Surabaya, Medan, Bandung, dan Jogjakarta. Hasilnya, remaja perempuan lajang di Surabaya yang sudah hilang kegadisannya 54 persen Di Medan jumlahnya 52 persen, Bandung 47 persen, dan Jogjakarta 37 persen. Menurut Sugiri, data itu dikumpulkan BKKBN lewat survei sepanjang 2010.

’’Ini ancaman yang diam-diam bisa menghancurkan masa depan bangsa. Jadi, harus segera ditemukan solusinya,’’ ujar dia. Meningkatnya perilaku seks bebas, khususnya di kalangan remaja, berimbas pada kasus infeksi dan penularan HIV/AIDS di Indonesia. Perilaku seks bebas memicu meluasnya kasus HIV/AIDS tersebut. Data Kemenkes pada pertengahan 2010 menyebutkan, kasus HIV/ AIDS di Indonesia terdiri atas 21.770 kasus AIDS positif dan 47.157 kasus HIV positif. Persentase pengidap usia 20–29 tahun mencapai 48,1 persen dan usia 30–39 tahun sebanyak 30,9 persen. Kasus penularan HIV/AIDS terbanyak terjadi pada kalangan heteroseksual (49,3 persen) dan lewat IDU atau jarum suntik (40,4 persen).

Menurut Sugiri, fenomena free sex di kalangan remaja tidak hanya menyasar pada kalangan pelajar, tetapi juga didapati pada kelompok mahasiswa. Di antara 1.660 responden mahasiswi di Jogjakarta, sekitar 37 persen mengaku sudah kehilangan kegadisan. Dia menuturkan, selain masalah seks pranikah, remaja dihadapkan pada dua masalah besar terkait dengan penularan HIV/AIDS. ’’Yakni, tingkat aborsi yang tinggi dan penyalahgunaan narkoba,’’ kata Sugiri. Data Kemenkes menyebutkan bahwa pengguna narkoba di Indonesia saat ini 3,2 juta jiwa. Sebanyak 75 persen di antara mereka atau 2,5 juta jiwa merupakan remaja. Tingkat kehamilan di luar nikah juga sangat tinggi. Sugiri mengungkapkan, rata-rata terdapat 17 persen kehamilan di luar nikah yang terjadi setiap tahun. Sebagian di antara jumlah tersebut bermuara pada aborsi. Grafik aborsi di Indonesia, kata dia, masuk kategori lumayan tinggi dengan jumlah rata-rata per tahun 2,4 juta jiwa. ’’Ini adalah problem nasional yang harus dihadapi bersama. Jadi, bukan lagi tabu untuk dibicarakan demi menemukan solusi yang tepat,’’ kata dia.(indopos)

Jumat, 26 November 2010

MASALAH TKI, BUKTI KEBOBROKAN SISTEM KAPITALISME


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Sungguh malang nasib Sumiati dan Kikim. Dua TKI perempuan asal Dompu NTB dan Cianjur ini telah menjadi korban penyiksaan sadis sang majikan. Bahkan karena siksaan sadis itu nyawa Kikim harus hilang dengan cara mengenaskan; disiksa, diperkosa, digorok dan dibuang bak binatang di tempat sampah.

Ironisnya, ibarat mengidap amnesia akut, seluruh bangsa inipun hanya bisa terperangah. Bersikap seolah-olah peristiwa semacam ini baru kali ini terjadi. Para penguasa nampak panik menutupi keteledoran. Sementara media sibuk memberitakan. Adapun rakyat kebanyakan asyik berdiskusi, dan menjadikannya topik obrolan baru, menggantikan topik-topik lain yang datang bergantian.

Namun bisa dipastikan persoalan ini lambat laun akan pupus dengan sendirinya, sejalan dengan bergulirnya waktu, dan banyaknya persoalan yang seolah tak pernah mau hengkang dari negeri dengan berjuta masalah ini. Nama Sumiati dan Kikim pun, dipastikan akan menghilang dari perbincangan, dan suatu saat data kasusnyapun lenyap di peti-eskan.

Itulah yang juga pernah terjadi pada Nirmala Bonat, Siti Zainab, Siti Hajar, Nuraeni, dan ribuan TKI perempuan bernasib malang yang saat kasusnya bermunculan bangsa ini memberi respon yang sama. Namun apa yang terjadi kemudian? Nama dan kasus merekapun raib entah kemana.

Lantas, bagaimana dengan nasib jutaan TKI lain yang tak sempat terekam kamera dan terendus media? Padahal detik ini pun, bisa jadi di antara mereka, ada yang sedang meratapi nasib dan berjuang sendirian menghadapi kesewenang-wenangan para majikan.

Wahai Penguasa, Dimanakah Kalian?


Nasib kebanyakan TKI memang malang. Mereka yang mayoritas kaum perempuan dipuja bak pahlawan, karena menjadi sumber devisa buat kelangsungan hidup negara yang senyatanya tak bisa dihasilkan oleh keringat hasil kerja para penguasa. Namun di saat yang sama, mereka harus rela menghadapi ketidak acuhan para penguasa akan nasib miris yang menimpa mereka.

Seberapa besar jasa TKI, Republika pernah merilis data, bahwa hingga September 2010, total dana remitansi yang dikirimkan TKI di luar negeri, telah mencapai 5,031 miliar dolar Amerika dengan angka terbesar datang dari Malaysia disusul Arab Saudi (republika.co.id, 23/11). Data lain menyebut, dari tahun 2009 hingga awal maret 2010 pemasukan devisa yang dihasilkan dari remitansi yang dikirimkan TKI mencapai 6,615 milyar dolar AS atau setara Rp. 60 Trilyun (antaraNews dan vivaNews, 1/3). Dan untuk tahun 2010, Bank dunia bahkan memprediksi akan mencapai 7 milyar dolar lebih (politikindonesia.com,11/11).

Bayangkan betapa besar kontribusi para TKI pada perekonomian bangsa ini. Bahkan nilai devisa TKI ini disebut-sebut menempati posisi nomor dua setelah Migas. Penghasilan menggiurkan inilah yang rupanya menjadi alasan kenapa penguasa begitu bersemangat mendorong dan memfasilitasi pegiriman TKI ke luar negeri. Cukup dengan mengekspor TKI terutama kaum perempuan, devisa datang sendiri. Tak heran jika Indonesia disebut-sebut sebagai salah satu negara pengekspor buruh migran terbesar dunia dengan persentase buruh migran perempuan (BMP) mencapai 80 persen, dengan negara tujuan antara lain Arab Saudi, Malaysia, Singapura dan Hongkong.

Ironisnya, hingga hari ini tidak ada data pasti tentang berapa jumlah TKI yang bekerja di luar negeri. Beberapa waktu lalu SBY menyebut angka 3.271.584 orang. Sementara situs migrantcare menyebut ada 4,5 juta orang (migrantcare.net, 24/11). Di antara sekian banyak TKI yang mengadu nasib di luar negeri ini, tak sedikit yang malah menuai masalah. Menurut catatan Migrant Care, sepanjang 2010 saja, jumlah total dari berbagai jenis masalah yang dialami buruh migrant mencapai 45.845 kasus dan 908 orang mati sia-sia (okezone,24/11). Sementara menurut SBY, TKI bermasalah ‘hanya’ ada 0,01 persen (4.385 orang) saja, dengan jenis masalah berupa pelanggaran kontrak, gaji tidak dibayar, jam kerja serta beban kerja yang tidak sesuai, tindakan kekerasan hingga pelecehan seksual.

Yang menjadi pertanyaan adalah, jika jasa TKI tak bisa diabaikan, lantas seberapa peduli pihak pemerintah terhadap permasalahan mereka? Jawabannya, mungkin bisa tercermin dari ungkapan SBY tatkala menanggapi perdebatan soal kasus Sumiati dan Kikim: “TKI, bekali handphone saja!”. Alih-alih fokus pada solusi strategis, SBY malah melontarkan gagasan kontroversial. Seolah-olah, persoalan TKI dan harga perempuan, hanya persoalan remeh temeh saja. Ironisnya ide yang dinilai sangat menggelikan dan tidak layak muncul dari seorang Presiden ini justru ditanggapi positif oleh BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia), lembaga yang seharusnya turut bertanggungjawab terhadap munculnya permasalahan TKI dan memaksimalkan upaya perlindungan atas mereka.

Dari fakta ini saja nampak jelas bagaimana peran penguasa yang seharusnya menjadi pelayan dan pelindung masyarakat. Sikap tak acuh mereka malah kian melegitimasi kedzaliman yang menimpa para perempuan penambang devisa. Bahkan keberadaan hukum normatif yang diberlakukan penguasa, yakni UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (TKI), bagi sebagian kalangan, justru dianggap sebagai sumber masalah. Selain karena tak memberikan skema yang jelas bagaimana perlindungan harus dijalankan, UU ini bahkan dinilai menjadi alat legal bagi PJTKI untuk melakukan eksploitasi melalui bisnis TKI. Jika demikian halnya, pantaslah jika ada yang menyatakan, bahwa negara dan penguasa semacam ini adalah sumber kekerasan sebenarnya.

TKI Perempuan dan Jebakan Kemiskinan


Atas merebaknya kasus TKI khususnya yang perempuan, para pengamat dan LSM rata-rata hanya menyorot soal kinerja pemerintah dalam persoalan regulasi yang harus diperbaiki, termasuk desakan merativikasi konvensi PBB terkait buruh migrant, serta masalah lemahnya positioning pemerintah dalam kegiatan diplomasi, dll. Padahal jika dicermati, ada hal mendasar yang seharusnya menjadi fokus utama pemerintah dalam menyelesaikan masalah TKI, yakni persoalan gurita kemiskinan dan sulitnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.

Kemiskinan dan pengangguran memang merupakan PR terbesar negeri ini. Kemiskinan, bahkan menjadi potret bersama sekitar 31 juta penduduk Indonesia (13,33 persen dari 238 juta) dengan standar pendapatan yang digunakan Rp. 211.000/kap/bln (Sensus BPS, 2010). Bayangkan jika besaran standar kemiskinan yang tidak manusiawi ini dinaikkan. Mungkin lebih dari setengah penduduk Indonesia yang akan masuk pada katagori miskin.

Sejalan dengan kemiskinan, angka pengangguranpun tak kalah fantastis. Di tahun 2010 ini, diperkirakan jumlah pengangguran terbuka mencapai angka 10 persen (23 juta). Dan ini belum termasuk jumlah pengangguran terselubung dan tertutup yang angkanya bisa dua kali lipat. Mandegnya pertumbuhan ekonomi dan investasi di sektor ril akibat penerapan kebijakan ekonomi kapitalistik yang bertumpu pada aktivitas ekonomi non ril dan telah memicu krisis global disebut-sebut sebagai penyebab terjadinya 2 hal ini. Sulitnya lapangan pekerjaan dan rasionalisasi besar-besaran di sektor perindustrian membuat angkatan kerja termasuk jutaan lulusan perguruan tinggi tak terserap potensinya. Kehidupan masyarakat yang sulit ini, kemudian diperparah dengan krisis pangan dan energi yang memicu kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Dampak susulannya, gizi buruk dan anak terlantar pun merebak dimana-mana, kualitas kesehatan dan pendidikan masyarakat kian menurun, kriminalitas meningkat, dan lain-lain.

Pada kondisi seperti inilah jutaan keluarga-keluarga miskin harus bertahan hidup. Dan untuk membantu perekonomian keluarga mereka, para ibu dan kaum perempuanpun terpaksa ‘memberdayakan diri’, membantu para bapak mencari uang, di tengah peran domestik yang sangat penting dan tak kalah berat. Salah satu opsi yang terbuka adalah dengan menjadi TKI ke luar negeri, sekalipun beresiko tinggi.

Dengan rata-rata bekal kualitas pendidikan dan skill yang pas-pasan, para tenaga kerja perempuan inipun terbang jauh merenda asa. Bertahun-tahun rela meninggalkan keluarga, suami dan anak mereka. Pekerjaan sebagai PRT, perawat, bahkan PSK pun menjadi pilihan paling realistis bagi kebanyakan dari mereka. Hanya sedikit yang bisa bekerja sebagai dokter, guru/dosen, artis, dll. Nampaknya, mereka sudah tak peduli bahwa pilihan ini telah berdampak pada pelanggaran hukum syara yang akan mendatangkan kemurkaan Allah SWT. Di samping mencari nafkah bukan kewajiban mereka, dari statusnya sebagai istri, akan banyak kewajiban atas suami yang terabaikan saat dia menjadi TKI di luar negeri. Begitupun sebagai ibu, kewajiban mulianya sebagai pengasuh, pendidik dan pencetak generasi umat berkualitas akan terlalaikan sama sekali.

Kemiskinan, Cermin Ketidakmampuan Negara Mewujudkan Kesejahteraan


Sebagai negara super kaya, tak semestinya Indonesia menjadi negara miskin dan menggantungkan hidupnya dari eksploitasi tenaga kerja perempuan di luar negeri. Begitupun, tak akan ada alasan bagi para bapak untuk tak bekerja dan menggantungkan hidup mereka dan keluarganya dengan merelakan para isteri bekerja menyabung nyawa di luar negeri.

Indonesia sebenarnya punya modal lebih dari cukup untuk mensejahterakan seluruh rakyatnya hingga tujuh turunan sekalipun. Sumber daya alam kita melimpah ruah, baik berupa hutan, laut, sungai dengan segala isinya, bahan tambang berupa mineral, minyak, gas bumi, dll. Tahun 2009 saja, Badan Geologi merilis data, bahwa Indonesia masih memiliki cadangan batubara 104.760 juta ton, emas 4.250 ton, tembaga 68.960 ribu ton, timah 650.135 ton dan nikel 1.878 juta ton. Sayangnya, amanah Allah berupa kekayaan alam milik rakyat ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Konsistensi mereka pada kebijakan ekonomi liberal kapitalistik telah menyebabkan sebagian besar kekayaan itu jatuh ke tangan asing. Jebakan kesepakatan internasional, hutang luar negeri dan rekayasa krisis ekonomi ala Yahudi berikut penyelesaian masalah mereka pada resep IMF telah membuat pemerintah kita tunduk pada kemauan asing.

Akibatnya? Ladang minyak bumi Indonesia hampir 90 persen dikuasai asing. Begitupun SDA yang lain. Salah satunya, PT. Freeport-McMoRan pengelola tambang emas asal Amerika mendapat izin gratis untuk mengeksploitasi pertambangan emas di Ertsberg dan Grasberg Papua melalui perjanjian Kontrak Karya yang sejak tahun 1967 terus diperpanjang hingga saat ini. Tiap hari, perusahaan ini ditengarai berhasil menambang 102.000 gr emas (bayangkan, harga emas 24 karat sekitar Rp. 400 ribu/gr) berikut ‘bonus’ berupa tembaga dan uranium. Jika dihitung, emas kita yang sudah mereka rampok berjumlah 102.000gr X 43th X 365 hari. Padahal emas yang mereka keruk ini bisa menjadikan kita memiliki cadangan devisa yang berlimpah tanpa harus mengorbankan rakyat terutama kaum perempuan mereka untuk jadi TKI. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing lainnya, yang dengan cara sama mereka mendapat legalisasi merampok kekayaan kita. Ada Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Total S.A., Chevron Corp. dll yang di tahun 2009, semuanya diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 17.000 triliun/tahun = 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai rp 1.037 triliun.

Tentu saja semua kekayaan ini, seharusnya bisa menjadi modal pemerintah untuk membangun negara dan mesejahterakan rakyatnya, dengan memenuhi hak dasar mereka, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll secara mudah, murah bahkan gratis. Dengan demikian, keluarga-keluarga di negeri ini, akan menikmati hidup dengan mudah dan merasakan ketentraman yang sesungguhnya. Para bapak, beroleh kemudahan mencari nafkah karena lapangan pekerjaan tersedia dengan mudah. Kebutuhan para Ibu dan anak-anakpun akan terjamin, sehingga tugas mulia mencetak generasi berkualitas akan berlangsung secara sempurna. Sayangnya, ini tak terjadi. Perselingkuhan para penguasa dengan pihak asing dan kapitalis, membuat mereka lebih rela menjadi kacung asing dan menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti program liberalisasi, privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan membuat berbagai regulasi yang menguntungkan asing/kapitalis ketimbang rakyat banyak, semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, UU Migas, dll.

Saatnya Kembali Ke Jalan Allah


Mempertahankan kapitalisme sebagai sistem hidup dan membiarkan para penjaganya tetap berkuasa tentu bukanlah pilihan logis. Jika ini terjadi, jangan harap berbagai permasalahan TKI yang akarnya adalah kemiskinan ini bisa diselesaikan dengan tuntas. Kaum perempuanpun akan tetap terhinakan dan menjadi korban kebusukan kapitalisme sebagaimana juga laki-laki. Mereka akan selalu berada dalam kondisi dilematis dalam menjalankan peran-peran mereka. Padahal, Allah SWT telah tetapkan kedudukan mereka dalam posisi yang mulia sebagai ummu wa rabbatul bait, ibu dan pengatur rumahtangga, penyangga kemuliaan generasi umat dan arsitek peradaban Islam di masa depan.

Terlebih persoalan TKI hanyalah sebagian kecil dari dampak penerapan sistem kapitalisme ini. Di dalam negeri, jutaan buruh menjerit karena upah yang tak sepadan dengan kebutuhan hidup mereka. Uang rakyat, malah digunakan foya-foya oleh para pejabat korup mereka, sementara itu, para penguasa berasyik masyuk dengan pemimpin para penjajah dan berkonspirasi menambah penderitaan rakyat dengan menandatangani berbagai nota kesepakatan yang mengokohkan penjajahan kapitalisme atas negeri mereka. Pada saat yang sama, para penguasa itupun membiarkan rakyatnya berjalan sendirian, menderita dan menangis sendirian dan meninabobokan mereka dengan janji-janji kosong yang tak lebih hanya untuk pencitraan semata.

Sudah saatnya umat negeri ini sadar, bahwa jalan terbaik adalah kembali ke jalan Islam. Jalan yang menjanjikan kemuliaan manusia sebagai individu maupun umat, melalui penerapan aturan Islam secara kaffah dalam wadah Khilafah Islamiyah. Aturan-aturan Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia secara adil dan menyeluruh, termasuk masalah kemiskinan berikut dampak turunannya. Dalam sistem ini, para penguasa dan rakyat akan saling menjaga dan mengukuhkan dalam melaksanakan ketaatan demi meraih keridhaan Allah. Tak ada pihak yang dirugikan, termasuk kaum perempuan.[][]

Rabu, 03 November 2010

MDGs DAN UPAYA PEMISKINAN GLOBAL


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Tak banyak yang mengetahui, bahwa tanggal 17 Oktober merupakan hari anti kemiskinan sedunia. Momen ini dibuat sebagai bagian dari kampanye global yang dimobilisasi aliansi dunia bernama Global Call Against to Poverty (GCAP) sejak 2005 untuk mengingatkan para pemimpin negara-negara di dunia segera mewujudkan komitmen Millenium Declaration Goals (MDGs), yakni menghapus kemiskinan hingga separuh kondisi pada tahun 1990.

Sebagaimana diketahui, pada September tahun 2000, perwakilan dari 189 negara di dunia telah berkumpul di New York dalam acara KTT Millenium yang digagas PBB. Hasilnya adalah ditandatanganinya sebuah deklarasi (Millenium Declaration) yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015. Ke delapan proyek itu meliputi penghapusan kemiskinan dan kelaparan yang ekstrim (dengan standar penghasilan di bawah 1,25 USD/hari), pemerataan pendidikan dasar, persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, perlawanan terhadap penyakit khususnya HIV AIDS dan malaria, penurunan angka kematian anak, peningkatan kesehatan ibu, penjaminan daya dukung lingkungan dan membangun kemitraan global untuk pembangunan. Jika dicermati, semua proyek itu bermuara pada satu target, yakni eliminasi problem besar bernama “kemiskinan”.


MDGs dan Mimpi Menghapus Kemiskinan


Apa yang disebut dalam deklarasi, realitasnya memang menjadi pekerjaan rumah bagi semua negara di dunia, terutama negara-negara berkembang seperti halnya Indonesia. Karena itulah program-program implementasi MDGs mendapat sambutan dan dukungan berbagai ngara dimanapun. Persoalannya, mungkinkah target itu diwujudkan?

Selain menetapkan bidang-bidang apa yang harus menjadi fokus pembangunan negara peserta, KTT tersebut memang menyebutkan tentang ukuran-ukuran kuantitatif dan kualitatif dari target yang harus dicapai sebelum tahun 2015. Misal, target point 1 adalah mengurangi setengah dari penduduk miskin dan menekan jumlah yang kelaparan di dunia hingga 10 %. Target poin 2, seluruh penduduk dunia bisa mengenyam pendidikan dasar. Target poin 3, bisa mengurangi perbedaan dan diskriminasi gender dalam pendidikan dasar dan menengah untuk tahun 2005 dan untuk semua tingkatan pada tahun 2015. Target poin 4, mengurangi dua per tiga tingkat kematian anak-anak usia di bawah 5 tahun. Target poin 5, mengurangi dua per tiga rasio kematian ibu dalam proses melahirkan. Target poin 6, menghentikan dan memulai pencegahan penyebaran HIV/AIDS, malaria dan penyakit berat lainnya. Target poin 7, mengintegrasikan prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dalam kebijakan setiap negara dan program pengurangan hilangnya sumber daya lingkungan, mengurangi setengah dari jumlah orang yang tidak memiliki akses air minum yang sehat dan tahun 2020 mencapai pengembangan kualitas hidup 100 juta orang yang tinggal di daerah kumuh. Target poin 8, mengembangkan lebih jauh masalah perdagangan terbuka, sistem keuangan, utang negara miskin, kerjasama bidang farmasi, dll.

Kini setelah 10 tahun komitmen itu dicanangkan, ternyata masih banyak catatan mengenai pencapaian target-target tersebut. Di tingkat dunia, angka kemiskinan ekstrim memang diklaim menurun hingga tinggal 25%, jauh dari kondisi tahun 1990 yang mencapai angka 45%. Namun ironisnya, di saat yang sama, jumlah orang yang kelaparan dan pengidap gizi buruk justru makin besar, mendekati angka 1 milyar orang atau rata-rata 16% penduduk di negara-negara berkembang. Dua pertiga jumlah orang kelaparan itu terdapat di tujuh negara: Bangladesh, Cina, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia dan Pakistan, sementara 40%-nya terdapat di Cina dan India. Catatan UNESCAP pada pertemuan MDGs pada September 2010 lalu bahkan menyebutkan bahwa angka kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan penduduk yang kesulitan akan akses sanitasi yang baik di Asia Pasifik dengan penduduk lebih dari separuh populasi dunia, pada 2015 mendatang diprediksi akan terus bertambah menyusul ancaman krisis pangan akibat pemanasan global. Bahkan prediksi ini menjadi semacam early warning bagi negara-negara tersebut untuk melakukan langkah-langkah strategis untuk merealisasikan target MDGs di sisa 5 tahun mendatang.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Pada tahun 2006 lalu, Indonesia, bersama Bangladesh, Laos, Mongolia, Myanmar, Pakistan, Papua Nugini, dan Filipina pernah dinyatakan sebagai negara paling gagal dalam pencapaian MDGs oleh Asian Development Bank (ADB). Namun berdasarkan evaluasi pada sidang ADB mengenai pencapaian target MDGs pada September tahun 2010 ini, Indonesia dianggap berhasil di beberapa bidang target MDGs.

Sebagaimana di tingkat dunia, Indonesia memang mengklaim diri telah mampu mengejar target MDGs dengan berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga level 13,33% dari tahun sebelumnya yang nyaris mendekati angka 15%. Ironisnya, klaim ini justru bertolak belakang dengan evaluasi MDGs itu sendiri yang menilai Indonesia masih belum prestatif dalam penanganan gizi buruk, penurunan angka kematian ibu, penanganan HIV/AIDS dan penyediaan air bersih yang kesemuanya justru sangat berhubungan dengan problem kemiskinan. Untuk kasus gizi buruk dan kekurangan gizi misalnya, catatan Global Hunger Index (HGI) 2010 justru memasukkan Indonesia pada katagori “serius”, yakni di bawah level “mengkhawatirkan” dan “sangat mengkhawatirkan”. Dan data statistik memang menunjukkan, untuk kelompok balita saja, setidaknya masih ada sekitar 4,9 % balita yang jumlahnya 12% dari total penduduk Indonesia (238 juta) menderita gizi buruk di tahun 2010 ini.

Ibarat gunung es, kenyataan yang terjadi sesungguhnya jauh lebih buruk dari angka-angka tersebut. Fakta menunjukkan, tingkat kehidupan ekonomi ril masyarakat terasa makin sulit, menyusul kian meningkatnya harga-harga, terutama harga pangan dan harga bahan bakar yang membawa berbagai dampak lanjutan yang menambah beratnya beban hidup mereka. Sejalan dengan itu, persoalan-persoalan sosialpun kian meluas, mulai masalah anak terlantar, anak dan keluarga jalanan, kriminalitas, ancaman krisis pangan, dll. Sehingga klaim keberhasilan pencapaian target-target MDGs baik di tingkat dunia maupun di level Indonesia seakan tak menemukan buktinya. Jauh panggang dari api!

Jika kita mengkritisi perspektif yang dibangun MDGs mengenai apa yang disebut dengan “kemiskinan”, hal ini sebetulnya bisa dipahami. Selain perhitungan melulu didasarkan pada angka rata-rata dan bersifat agregat (bukan individu per individu), standar yang digunakan untuk mengukur tingkat kemiskinan pun memang tidak manusiawi, bahkan manipulatif. Bagaimana tidak? MDGs hanya fokus pada upaya pengentasan orang-orang yang berpenghasilan di bawah 1,25 USD/hari. Sementara di atas itu, tidak menjadi target MDGs. Padahal standar kemiskinan versi World Bank adalah 2 USD/hari. Inipun masih sangat jauh dari standar kemiskinan di Eropa yang 30-35 USD/hari. Adapun di Indonesia, standar yang digunakan jauh lebih tidak manusiawi lagi, yakni Rp. 211.000/kap/bln. Artinya, di Indonesia, orang yang berpenghasilan Rp. 212.000/bulan sudah tidak dikatagorikan miskin lagi! Padahal realitanya, sangat sulit dibayangkan dengan kondisi sekarang bisa hidup layak dengan hanya 2 USD apalagi hanya 1,25 USD per hari atau terlebih-lebih Rp. 211.000/bln. Fakta inilah yang menjawab pertanyaan, mengapa MDGs dinyatakan berhasil, sementara persoalan sosial terus meluas.


Kapitalisme dan Paradoks Cita-Cita MDGs


Adanya ketimpangan antara cita-cita MDGs dengan kenyataan sebetulnya merupakan hal yang wajar jika dikaitkan dengan situasi global yang tengah didominasi sistem kapitalisme yang melahirkan berbagai paket kebijakan neoliberal dan cenderung imperialistic-eksploitatif. Sistem inilah yang realitasnya paling bertanggungjawab atas ketimpangan sosial yang terus melebar antara negara kaya dan negara miskin dan mendistribusikan kemiskinan hampir ke seluruh negara di dunia. Sebagaimana pula, dalam konteks nasional bertanggung jawab atas terciptanya gap sosial yang besar antara si kaya dan si miskin dan atas terpeliharanya kemiskinan itu sendiri.

Berbagai data perkembangan dunia sepuluh tahun terakhir menunjukkan bahwa globalisasi sistem kapitalisme-neoliberal memang telah berhasil mengglobalkan kemiskinan daripada kemakmuran, yang praktis bertolakbelakang dengan target MDGs. Kebijakan pasar bebas yang menjadi senjata andalan sistem kapitalisme yang diterapkan sejak pertemuan Bretton Woods 1944 dan terus dikukuhkan hingga sekarang melalui berbagai perjanjian internasional, telah menjadi alat imperialisme baru negara-negara kapitalis (baca : penggagas dan motor program-program MDGs) atas negara-negara dunia ketiga untuk menguras habis kekayaan mereka dan merampas kedaulatannya. Senjata inilah yang telah membuat milyaran rakyat negara dunia –khususnya di dunia ketiga yang sejatinya kaya raya itu-- hidup di bawah garis kemiskinan; dan membuat 54% pendapatan dunia masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negeri-negeri maju. Begitupun jebakan krisis ekonomi yang ‘dikelola’ AS dan resep debt swap yang mematikan ala IMF yang –bukan kebetulan—pendonornya juga adalah negara-negara kapitalis penggagas dan motor program MDGs-- telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawi yang luar biasa besar, sementara di saat yang sama sumber-sumber alam dan berbagai asset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat fasilitasi IMF yang mewajibkan pasiennya melakukan program-program privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi dan liberalisasi.

Untuk kasus Indonesia, kebijakan ekonomi makro yang pro neoliberalisme dan di setir kepentingan asing semacam IMF pun jelas tidak memberikan syarat bagi kesuksesan MDGs. Bagaimana bisa angka kemiskinan dan kelaparan diturunkan jika pembangunan ekonomi sektor ril mandeg akibat kebijakan pasar bebas dan privatisasi asset-aset strategis milik rakyat? Bagaimana bisa, kualitas pendidikan, kesehatan dan daya dukung lingkungan ditingkatkan, sementara akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan kian mahal akibat program privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk bidang farmasi? Bagaimana semua itu diwujudkan, sementara tanggungjawab sosial negara kian hilang akibat kebijakan anti rakyat semacam penghapusan subsidi? Bagaimana bisa, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan karenanya kemiskinan dihapuskan jika sumber pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dari rakyat dan hutang luar negeri sementara kekayaan yang melimpah ruah habis dihadiahkan kepada asing melalui berbagai perjanjian yang dilegalisasi undang-undang? Jika demikian halnya, memberantas kemiskinan dengan MDGs, memang cuma mimpi di siang bolong.

Atas realita bahwa sistem kapitalistik dan neoliberal ini disetir dan dijalankan secara global oleh pemerintah negara-negara adidaya dengan menggunakan alat lembaga-lembaga internasional semacam PBB (yang justru menggagas MDGs) dan lembaga-lembaga finansial global (International Financial Institutions, IFIs) semacam World Bank, IMF, ADB (yang justru menjadi donatur program-program implmentasi MDGs), wajar jika muncul kecurigaan bahwa MDGs sejatinya hanyalah “mantel ideologi bagi kepentingan neoliberalisme” (meminjam istilah Samir Amin) sekaligus menjadi alat negara adidaya untuk melempar tanggungjawab atas dampak busuk kapitalisme yang mereka ekspor ke seluruh dunia. Wajar pula jika MDGs, ditengarai sebagai alat negara-negara imperialis itu untuk membuai negara-negara kaya tapi lemah dengan apa yang disebut “keberhasilan pencapaian target pembangunan millennium” dengan membuat standar-standar yang sangat minimalis yang membuat mereka mabuk dan lupa atas penjajahan terselubung yang tengah menimpa dan menghinakan mereka selama ini. Karenanya, waspadalah![][]

Rabu, 13 Oktober 2010

MUDIK DAN FENOMENA KTA, APA YANG SALAH?

Oleh : Siti Nafidah Anshory

Menanggapi kian merebaknya pemudik bersepeda motor lebaran tahun ini, Hadi Supeno, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa mudik jarak jauh dengan menggunakan sepeda motor adalah tidak manusiawi, berpotensi menjadi kekerasan terhadap anak, dan membahayakan jiwa anak. KPAI bahkan mengeluarkan Press Release bertajuk “Mudik Sepeda Motor Jangan Bawa Anak-anak“ dan meminta pemerintah mengeluarkan larangan tentang mudik bersepeda motor dengan membonceng anak-anak. (www.kpai.go.id).

Pernyataan pimpinan KPAI ini memang bisa dipahami. Fenomena mudik nyatanya selalu diwarnai berbagai persoalan. Saat-saat mudik selalu identik dengan ketidaknyamanan yang tak jarang berakhir dengan kesedihan. Transportasi yang penuh sesak dan mendadak biayanya mahal, kriminalitas yang terus meningkat, kemacetan panjang di berbagai ruas jalan, hingga kecelakaan lalu lintas yang dari tahun ke tahun angkanya cukup fantastis. Tahun 2007 misalnya, darah yang tertumpah karena kecelakaan di jalur mudik tercatat sebanyak 1.875 kasus dengan korban tewas sebanyak 789 orang. Tahun 2008, selama 10 hari mudik Lebaran terjadi 1.368 kecelakaan dan membunuh 865 orang, 724 orang luka berat dan 1.184 orang luka ringan. Kerugian materiil yang ditimbulkannya sekitar Rp4,8 miliar. Tahun 2009, dalam kurun waktu H-7 hingga H+7 Lebaran, terjadi 1.544 kecelakaan; korban tewas 735 orang, luka berat 976, dan luka ringan 567. Kerugian materiil ditaksir mencapai Rp5,6 miliar. Sementara tahun 2010 ini, hingga tanggal 13 September 2010 malam, sudah terjadi kecelakaan 1173 kasus; meninggal dunia 263 orang, luka berat 345 orang dan luka ringan 663 orang dengan total kerugian mencapai Rp 4,63 M. Meski dari tahun ke tahun trennya menurun, tetap saja fakta ini tak bisa diabaikan.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, jumlah kecelakaan terbanyak masih menimpa pemudik sepeda motor, dan di antara korbannya adalah anak-anak. Meski demikian, bermudik dengan sepeda motor ironisnya selalu menjadi pilihan banyak orang. Selain biayanya memang jauh lebih murah, mereka berharap bermudik dengan sepeda motor bisa bebas dari ancaman kemacetan parah di jalur-jalur mudik. Tak heran jika pemudik bersepeda motor jumlahnya terus meningkat. Tahun lalu saja, tercatat 3,9 juta sepeda motor di Jakarta digunakan pemudik untuk pulang kampung atau ada kenaikan sekitar 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara tahun ini jalur Pantura dan Lintas Sumatera diprediksi telah dipadati oleh 4 juta pemudik bersepeda motor.

Di satu sisi keinginan mudik saat lebaran tentu tak bisa disalahkan. Mudik adalah hak siapapun, kaya ataupun miskin. Terlebih bagi sebagian umat Islam, mudik sudah lebih dari sekedar tradisi. Dengan mudik, silaturrahmi yang berbulan-bulan bahkan ada yang bertahun-tahun terhambat karena jarak dan kondisi, bisa terjalin kembali di hari fitri. Pada momen-momen seperti ini, atas motivasi agama, semua orang terdorong untuk berkumpul, berbagi kebahagiaan dan saling memaafkan; dengan orang tua, handai taulan dan kawan sekampung. Karenanya tak bijak jika mudik diberi pembatasan, termasuk bagi mereka yang terpaksa memilih mudik sekeluarga dengan kendaraan motor karena alasan ekonomi.

Adapun atas realita besarnya resiko mudik bersepeda motor tentu sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Jadi jangan hanya memojokkan para pemudik. Terlebih, menjadi kewajiban pemerintah memberi perlindungan pada rakyatnya, bukan cuma anak-anak, tapi juga orang dewasa yang sama-sama terancam jiwanya. Faktor-faktor penyebab kenapa mudik bersepeda motor menjadi pilihan itulah yang seharusnya diselesaikan. Pengelolaan sistem transportasi, termasuk pengadaan sarana transportasi publik yang murah dan memadai sehingga memberi banyak pilihan bagi masyarakat dari berbagai tingkat ekonomi, pembangunan akses jalan yang sebanding dengan peningkatan jumlah kendaraan, peningkatan jaminan keamanan baik secara fisik maupun organik (kualitas jalan, posko-posko kesehatan & keamanan, aparat keamanan, dll) adalah bagian tugas pemerintah sebagai penyelenggara urusan rakyat sekaligus pelayan umat.

Fenomena carut marut saat mudik justru mencerminkan masih abainya pemerintah dalam berbagai urusan rakyat. Dan fenomena ini hanyalah salah satu saja dari sekian banyak persoalan yang membelit masyarakat kita. Tentu saja jika ada pilihan, rakyat ingin merasa aman dan nyaman saat mudik. Tapi ketidakmampuan penguasa mensejahterakan masyarakat per individunya telah membuat tingkat ekonomi mayoritas masyarakat masih berada di level pas-pasan. Akibatnya mereka senantiasa berada pada posisi yang tak memberikan pilihan-pilihan. Begitupun minimnya perhatian pemerintah atas penyediaan sarana-prasarana transportasi yang memadai, buruknya pengelolaan transportasi hingga kemacetan tak lagi hanya menjadi tradisi kota, serta kebijakan energi yang tak memihak rakyat dan membuat biaya transportasi amat mahal serta berefek ganda pada tingginya tingkat harga barang-barang konsumsi, turut memperburuk performa penguasa sebagai pelayan umat. Padahal Nabi Saw bersabda : “Penguasa manusia adalah pengurus; dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. [HR. Muslim]. Dan tentu saja, tanggungjawab ini tidak hanya untuk di dunia, tapi juga di akhirat.

Jika melihat potensi yang dimiliki Indonesia, baik sumber daya alam yang melimpah maupun sumberdaya manusia, kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi. Kebijakan ekonomi kapitalisme-liberalisme yang dianut pemerintahlah yang telah menjadikan sebagian besar asset ekonomi strategis milik rakyat diserahkan kepada swasta atau asing, sementara biaya pembangunan bertumpu pada utang luar negeri, termasuk dalam urusan transportasi. Akibatnya, disamping BBM mahal, menggunakan jalan tol sekedar agar sedikit cepat dan nyaman juga harus bayar. Semuanya serba dipajak. Pantaslah jika dikatakan, hubungan penguasa dan rakyat dalam sistem dajjal seperti ini tak lebih dari hubungan penjual dan pembeli. Pemerintah atau negara ‘haram’ campur tangan dalam berbagai hal termasuk yang berkaitan dengan kepentingan rakyat sebagaimana transportasi. Privatisasi menjadi primadona kebijakan ekonomi, sementara program subsidi dianggap sebagai biang penyakit yang harus disingkirkan. Wajar jika angka kemiskinan yang diklaim terus berkurang, realitanya tak sepadan dengan makin banyaknya rakyat yang antri di rumah sakit akibat rendahnya kualitas kesehatan, keluarga-keluarga supermiskin yang memenuhi trotoar-trotoar jalanan, kian banyaknya produk-produk barang bekas yang diminati banyak konsumen, dan lain-lain.

Sistem Kapitalisme liberalisme memang terbukti menjadi biang segala kerusakan. Penerapannya telah membuat pemerintah mengalami disorientasi dan abai terhadap berbagai kepentingan umat. Ini karena, kapitalisme-liberalisme tegak di atas akidah sekularisme yang menafikan peran agama dari kehidupan. Sekularismelah yang telah membuat para penguasa tak merasa berdosa ketika ada hak rakyat yang tak tertunaikan. Sekularismelah yang membuat mereka tak merasa bersalah tatkala ada rakyat tewas atau terluka saat antri untuk mendapatkan angpau lebaran, atau kecelakaan karena jalanan yang rusak akibat pengerjaan yang asal-asalan. Sekularismelah yang membuat mereka tak merasa malu menjadi abdi dalem asing daripada mengabdi untuk rakyatnya sendiri, tak bergeming saat rakyat menangis karena hidup kian sulit akibat harga-harga melambung tinggi. Dan sekularismelah yang telah membuat mereka lupa, bahwa amanah jabatan dan kekuasaan yang mereka lalaikan, akan menjadi sesalan berkepanjangan di akhirat kelak.[]

INDONESIA DALAM ANCAMAN KRISIS PANGAN



Retrospeksi Kebijakan Pemerintah Indonesia di Hari Pangan
Oleh : Siti Nafidah Anshory

Krisis pangan sebetulnya telah menjadi isu global sejak tahun 2007 lalu. Krisis ini diawali dengan terus meningkatnya harga pangan khususnya komoditi biji-bijian di pasar dunia yang dampaknya juga dirasakan di Indonesia. Sebagai contoh, harga beras yang tahun 2005 berkisar Rp.3.100-3.600/kg tiba-tiba melonjak naik hingga 14%, yakni Rp. 4.170-4.780/kg di tahun 2006. Sejak saat itu, harga beras terus meningkat dengan laju kenaikan antara 7,4%-12,36% per bulan, hingga pada bulan Pebruari 2010 harga beras bahkan mencapai Rp 7.409 per kilogram (kg). Selain beras atau biji-bijian, kenaikan ini juga terjadi pada komoditi-komoditi strategis lainnya, seperti minyak goreng, terigu, telur, gula, dan lain-lain.

Turunnya tingkat produksi pangan dunia pasca konversi besar-besaran lahan pertanian pangan ke pertanian sumber energi hijau disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis. Saat itu melonjaknya harga minyak dan gas di pasar internasional yang berujung pada krisis energi global telah memicu persaingan antara produksi pertanian untuk pangan dengan produksi pertanian untuk energi hijau, disamping secara otomatis krisis energi tentu memicu kenaikan harga-harga komoditi pangan itu sendiri. Situasi ini kemudian diperburuk oleh tingginya laju pertambahan penduduk dunia terutama di negara-negara berkembang, serta munculnya isu global warming yang menyebabkan perubahan iklim secara ekstrim dan berbagai becana alam yang berpengaruh terhadap aktivitas pertanian.

Indonesia, meski tak termasuk dalam daftar 22 negara yang dilaporkan FAO per Oktober 2010 sebagai negara yang mengalami krisis pangan, tetap tak bisa dikatakan bebas dari ancaman krisis. Apalagi dua tahun sebelumnya (2008), Indonesia sempat masuk dalam daftar 37 negara yang mengalami krisis pangan bersama beberapa negara di Afrika, Asia dan Amerika Selatan sebagaimana dilaporkan FAO. Sayangnya hingga saat ini Pemerintah masih belum mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah malah terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa kondisi Indonesia hingga saat ini ‘aman-aman’ saja. Padahal dampak krisis jelas-jelas sangat dirasakan terutama oleh masyarakat menengah ke bawah yang tingkat daya belinya semakin rendah, disamping membuat situasi sosial dan politik di dalam negeri semakin rentan.


Krisis Pangan Cerminan Ketidaktahanan Pangan

Sebagai negara agraris Indonesia tentu tak layak menghadapi ancaman krisis pangan apalagi mengalaminya sebagaimana terjadi dua tahun yang lalu. Potensi alam yang subur dan sangat luas, sumber daya manusia dan hayati yang melimpah, seharusnya menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang tinggi yang dengannya kesejahteraan masyarakat bisa terjamin. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Di luar faktor alam yang memang kian tak menentu, kebijakan pangan yang diambil pemerintah dari waktu ke waktu justru kian memperlemah ketahanan pangan yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang rentan ancaman krisis.

Di era 80-an, Indonesia memang pernah mengalami masa keemasan dalam produksi pangan hingga berhasil mencapai swasembada, khususnya untuk komoditi beras dan kedelai. Indonesia saat itu, bukan hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menyimpan cadangan di gudang-gudang Bulog, bahkan mampu menjadi negara eksportir pangan. Kondisi ini bisa dipahami mengingat perhatian pemerintah saat itu terhadap masalah ketahanan pangan relative tinggi, dimana kelebihan pendapatan negara yang diperoleh dari perdagangan minyak bumi langsung ditransfer untuk memajukan bidang pertanian melalui berbagai program.

Kondisi ini setidaknya bisa bertahan hingga tahun 1993. Menurunnya pendapatan negara dari sektor minyak bumi akibat ‘asingisasi’ sumber-sumber alam membuat pemerintah tak punya dana lebih untuk mensubsidi sektor pertanian sehingga tingkat produksipun mengalami penurunan di tahun-tahun berikutnya. Malah dari hari ke hari, sektor pertanian diperlakukan bak anak tiri. Disamping itu, jebakan berbagai perjanjian internasional membuat pemerintah Indonesia kian kehilangan kedaulatan pangan. Akibatnya, pengambilan keputusan apapun terkait kebijakan pangan, baik menyangkut aspek produksi, distribusi maupun konsumsi tak lagi menjadi hak mutlak rakyat yang direpresentasikan oleh pemerintah, melainkan harus terikat dengan butir-butir kesepakatan internasional yang dibuat oleh negara-negara anggota atas arahan negara-negara adidaya demi kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional ‘milik’ mereka.

Dalam konteks global, upaya negara adidaya merebut kedaulatan ekonomi (baca : neoimperialisme) negara dunia ketiga melalui sistem perdagangan bebas memang sudah dimulai sejak IMF dan World Bank menginisiasi pertemuan Bretton Woods pada tahun 1944. Tahun 1948 diciptakanlah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang secara intensif terus ‘dimatangkan’ melalui berbagai putaran pertemuan dengan fokus bahasan mengenai pengurangan hambatan tariff dan non tariff bea masuk untuk menjamin kelancaran realisasi sistem perdagangan bebas. Adapun yang menyangkut reformasi sistem perdagangan produk pertanian yang berorientasi pasar bebas mulai menjadi fokus pada saat Putaran Uruguay (1986-1994) dimana pada putaran ini The Agreement on Agriculture (AoA) disetujui dan World Trade Organization (WTO) terbentuk (1995). Setidaknya ada 125 negara yang ikut menandatangani. Salah satunya adalah Indonesia yang kemudian meratifikasi kesepakatan ini melalui UU NO. 7/1994.

Program reformasi yang ada dalam AoA berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar untuk produk pertanian melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif. Dengan kata lain, kesepakatan ini menekankan tentang keharusan negara menurunkan dukungannya terhadap sektor pertanian, meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor pertanian yang kesemuanya termasuk prinsip perdagangan pasar bebas. Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.

Sebagai dampak persetujuan ini, produk pertanian Indonesia masuk ke gelanggang pasar internasional menghadapi negara-negara lain yang berdaya saing jauh lebih kuat karena didukung tingkat efisiensi dan penguasaan teknologi tinggi. Dan hasilnya bisa di bayangkan, alih-alih mampu mengekspor produk pangan ke luar negeri, produk dalam negeripun kalah bersaing di negeri sendiri. Wajar jika para petani akhirnya kehilangan gairah berproduksi yang menyebabkan ketersediaan produk pangan terus berkurang, melengkapi persoalan kebijakan distribusi yang selama ini sudah sangat buruk.

Sektor pertanianpun terpukul, dan mayoritas masyarakat hanya menjadi end-user, bukan produser. Sementara itu, perdagangan pangan akhirnya dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional bermodal besar. Ironisnya, menghadapi realita berkurangnya stok pangan ini, pihak pemerintah dengan entengnya mengambil kebijakan membuka lebar keran impor hingga pasar dalam negeri dibanjiri produk-produk pangan luar negeri, termasuk beras sebagai komoditas pangan terpenting dan memiliki nilai politis.

Krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia tahun 1997/1998 juga turut memperparah kondisi ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia. Penyerahan solusi krisis kepada IMF yang ditandai dengan penandatanganan LoI (Letter of Intent) oleh pemerintah Indonesia seolah menjadi aksi bunuh diri politik karena ternyata membuat kondisi Indonesia kian dicengkram kekuatan asing. Melalui LoI, Indonesia dipaksa menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti liberalisasi, privatisasi BUMN termasuk BULOG, deregulasi yang mempermudah penguasaan perusahaan besar mengalahkan perusahaan milik rakyat semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal serta pengurangan subsidi. Di bidang pertanian, LoI menyebut secara eksplisit mengenai keharusan pemerintah mengurangi dan meniadakan proteksi, yang membuat insetif petani untuk menanam komoditas pertanian menjadi lenyap. Akibatnya Indonesia menjadi sangat tergantung pada produk impor, hingga nyaris kehilangan kedaulatan pangan dan selanjutnya nyaris kehilangan ketahanan pangannya hingga hari ini.


Membangun Kembali Kedaulatan Pangan

Krisis pangan global yang berlangsung hingga hari ini seharusnya cukup untuk menunjukkan bahwa sistem pasar bebas tidak akan pernah membawa kebaikan bagi umat manusia, termasuk dalam hal pangan. Sistem ini bahkan terbukti telah mencerabut kedaulatan pangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga negara-negara yang mayoritas muslim ini tak lagi memiliki kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan ketahanan pangannya. Inilah yang senyatanya telah menjadikan negara tersebut kian lemah dan harus rela menjadi sapi perah bagi negara-negara kapitalis yang terus berupaya mempertahankan hegemoninya melalui sektor politik dan ekonomi, termasuk perdagangan produk pangan melalui mekanisme pasar bebas.

Sebagai negara yang punya potensi kebangkitan yang sangat besar, Indonesia seharusnya segera mengambil langkah-langkah strategis untuk membalikkan keadaan. Artinya, kita tak boleh tersibukkan oleh langkah-langkah pragmatis untuk menghadapi ancaman krisis pangan semacam penyediaan dana kontingensi, upaya stabilisasi harga melalui operasi pasar yang hanya menguntungkan para spekulan, pasar murah dan penyaluran raskin yang sering salah sasaran, program pengendalian penduduk, rekayasa teknologi, membuka keran impor, dan lain-lain sementara aspek ‘hulu’nya tidak disentuh. Yakni bagaimana membangun kembali kedaulatan pangan yang tentunya sangat erat kaitannya dengan kedaulatan ekonomi dan politik.

Meski tidak mudah, kedaulatan ekonomi dan politik yang menjadi dasar tegaknya kedaulatan pangan hanya mungkin dibangun jika pemerintah Indonesia berani melepaskan diri dari sistem kapitalisme yang mengungkung dunia internasional. Karena sistem inilah yang telah begitu lama mengukuhkan penjajahan negara-negara besar atas negara-negara kecil melalui lembaga-lembaga Internasional yang mereka ciptakan sebagai alatnya. Berbagai krisis yang terjadi pun membuktikan bahwa PBB, IMF, World Bank dan WTO, hakekatnya hanyalah mesin politik negara-negara adidaya untuk mempecundangi negara-negara kecil yang bukan kebetulan mayoritasnya merupakan negeri-negeri kaum muslimin melaui berbagai kesepakatan internasional yang rusak dan merusak itu.

Sebagai satu-satunya alternative, sistem Islam bisa diandalkan untuk menghadapi kekuatan kapitalisme global yang kian hari kian menampakkan borok-boroknya. Sistem ini menjadikan negara/ pemerintahan sebagai alat/institusi politik yang berkewajiban menegakkan hukum-hukum Allah termasuk yang terkait dengan kebijakan ekonomi bidang pertanian, sekaligus menempatkan para penguasa hanyalah sebagai pelayan bagi umat. Dalam sistem Islam, penguasapun diibaratkan sebagai junnah (beteng pelindung) bagi umat yang wajib menjaga mereka dari berbagai bahaya, termasuk ancaman krisis pangan melalui penerapan kebijakan politik dan ekonomi yang kuat dan tegak di atas paradigma yang benar yakni akidah Islam.

Dalam konteks ketahanan pangan, Islam telah menggariskan kebijakan politik ekonomi pertanian yang kuat dan saling bertumpu pada bidang-bidang lainnya termasuk perindustrian. Strategi politik pertanian dan industri yang ditawarkan Islam ini, selain sangat berpihak kepada masyarakat secara umum, juga menjadikan kita bisa terlepas dari cengkeraman dan penguasaan Barat. Hal ini dikarenakan Islam telah menggariskan prinsip-prinsip dasar ekonomi menyangkut masalah kepemilikan, pengelolaan dan distribusi yang bertumpu pada prinsip keadilan hakiki, yang berbeda dengan kapitalisme yang menuhankan prinsip kebebasan. Hal ini didukung oleh adanya prinsip kemandirian politik yang mencegah dan mengharamkan intervensi apalagi penguasaan asing atas umat Islam melalui jalan apapun.

Dalam strategi politik pertanian, berbagai aturan ditetapkan sedemikian rupa yang memungkinkan negara secara berdaulat akan mampu menjamin ketersediaan dan meningkatkan ketahanan pangan melalui proses produksi, baik melalui kebijakan pertanahan, kebijakan untuk peningkatan produktivitas, dan lain-lain. Begitupun diatur masalah distribusi yang memberi jaminan setiap warganegara tercukupi kebutuhannya akan kosumsi pangan secara merata tanpa menutup ruang bagi mereka memperoleh ketinggian kualitas hidup melalui persaingan usaha yang alami dan manusiawi.

Secara rinci, aturan-aturan ini telah lengkap tersedia dalam sistem politik ekonomi Islam. Persoalannya hanya tinggal kemauan semua pihak, baik rakyat maupun penguasa, untuk benar-benar menerapkannya dalam kehidupan, bukan semata karena urgen, tapi karena ini adalah kewajiban. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []