By Siti
Nafidah Anshory
Wacana formalisasi
syariah Islam dalam wadah negara Khilafah terus menggelinding bak bola salju. Sekalipun
kuat berupaya, para penolak gagasan ini pun tak mampu membendung arus kesadaran
Islam ideologis yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pelan tapi pasti kesadaran
ini kian mengkristal sejalan dengan upaya gigih para penyeru kebaikan dan realita
krisis yang tak kunjung reda dan senyatanya tak mampu diselesaikan oleh sistem
buatan manusia. Cahaya keimananpun mulai memancar. Dan kegelapan yang
diciptakan sistem sekular jahiliyahpun lambat laun sirna dengan sendirinya.
Tentu saja bukan berarti
bola perubahan menggelinding tanpa penghalang. Para penjajah dan
pejaganya terus membuat barikade yang mereka harap tak hanya akan menghentikan
arus perubahan, tapi juga menghancurkan. Di antara barekade itu ada yang berupa
pemikiran. Ketidakniscayaan penerapan syariah dalam konteks kekinian karena
alasan pluralitas dan multi-interpretatifnya Islam sering diangkat sebagai
sentral perdebatan. Dalam pandangan mereka, Islam adalah agama multi versi; bisa
versi anda, bisa versi saya. Pemaksaan
sebuah interpretasi tentang Islam pada masyarakat plural diopinikan hanya
akan berujung pada konflik berkepanjangan. Dan itu adalah sebuah kerugian,
sekaligus pelanggaran atas prinsip-prinsip kebebasan yang lagi-lagi katanya
dijamin oleh Islam.
Sebagai
bagian dari komunitas yang mencita-citakan hidup dalam naungan sistem Islam,
saya sendiri memahami bahwa persoalan penerapan syariah adalah persoalan
aqidah, persoalan keyakinan. Tatkala
seseorang secara sadar, yakni melalui proses berpikir cemerlang (al-fikr al-mustanir) menetapkan dirinya
menjadi seorang muslim yang mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah, sekaligus mengakui Muhammad
sebagai utusan pembawa risalah (aturan)-Nya, maka pada saat yang sama dia harus
meyakini, bahwa hanya Allah-lah yang berhak mengatur diri dan kehidupannya
dengan jalan merealisasikan seluruh aturan (syariah) Allah yang dibawa oleh
Rasul-Nya. Dengan kata lain, pengakuan
akan kalimah syahadah sesungguhnya
secara otomatis membawa konsekwensi terikatnya seorang muslim kepada
aturan-aturan Allah SWT (syariah).
Sehingga jelas tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim selain
menerima hukum Islam, tanpa reserve (tasliiman).
Firman Allah SWT : “Maka demi Tuhan-mu, mereka
(pada hakekatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim
dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan
dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan
sepenuhnya” (QS. An-Nisa : 65)
“ .... Barangsiapa
yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang kafir “ (QS. Al-Maidah : 44)
Persoalannya, sampai pada tataran ini boleh jadi semua
sepakat, karena tak ada seorang (yang mengaku) muslim pun yang mau dikatakan
kafir. Akan tetapi ketika sudah berbicara tentang syariah dan
implementasinya, orang sering berdalih
dengan masalah multi-interpretatifnya Islam
tadi untuk mencari pengabsahan
atas penolakan mereka terhadap formalisasi syariat Islam. Padahal
diakui atau tidak, yang sebenarnya terjadi adalah adanya keraguan
yang mendalam terhadap kesempurnaan dan
kemampuan syariah dalam menjawab seluruh problema kehidupan manusia kapan dan
dimanapun, baik muslim maupun non muslim, termasuk masalah kemampuan syariah
dalam menjamin keadilan, keamanan dan
kesejahteraan bagi manusia. Jika
demikian halnya, jelas inipun menyangkut persoalan aqidah, karena seorang yang
mengaku muslim, tidak selayaknya berpikir, bahwa sistem hidup yang dibuat oleh
Rabb-Nya cacat dan tidak layak pakai (out
of date). Karena itu berarti, pada
saat yang sama dia berpikir, bahwa Tuhan yang dia sembah tidak tahu apa-apa dan
bahkan bisa salah. Na’udzubillah !
Sayangnya, kerangka berpikir yang sederhana seperti ini
menjadi sangat sulit dimengerti tatkala seseorang telah terlanjur menjadikan
paham sekularisme sebagai state of mind
bagi dirinya. Karena dengan sekularisme,
seseorang diarahkan untuk berpikir bahwa agama hanya ada di wilayah individu
(privat), sementara di luar wilayah individu; menyangkut aspek sosial, ekonomi,
politik, hukum dan sebagainya, agama tidak boleh turut campur (fashl ad-din ‘an al-hayah, pemisahan
agama dari kehidupan). Sayangnya,
kerangka berpikir seperti inilah yang justru mewarnai mayoritas kaum muslimin,
termasuk para tokohnya, sehingga wajar jika upaya formalisasi syariah Islam
justru sering kandas di kaki kaum muslimin sendiri, sekalipun dengan kadar dan
alasan penolakan yang beragam.
Di antara alasan penolakan yang sering mengemuka adalah
pernyataan bahwa Islam tak lebih dari sekedar spiritual belief/sets of belief saja dan bukan worldly belief (ideologi/mabda’). Mereka yakin, bahwasannya Islam hanya
mengatur masalah kepercayaan (aqidah
ruhiyah) semata sebagaimana agama dan kepercayaan lain di luar Islam. Kalaupun mereka mengakui bahwa Islam mengandung
aspek syariah, maka syariah tersebut pun hanya dipahami sebatas aturan ibadah
dan akhlaq semata. Wajarlah jika dengan kerangka pemahaman seperti ini, muncul
penolakan sengit terhadap wacana formalisasi syariah, apalagi dalam bentuk penegakkan sebuah negara Islam (ad-daulah al-khilafah al-Islamiyyah)
sebagai sebuah sistem kenegaraan yang khas sekaligus sebagai versus bagi
sistem-sistem kenegaraan yang ada sekarang. Ini karena, dalam kerangka berpikir
mereka memang tidak ada satu aturan kehidupan Islam pun yang bisa diformalkan
dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat !
Tentu saja hal ini sangat
bertentangan dengan realitas yang ada, karena kalau mau, siapapun bisa
membuktikan, bahwa ditinjau dari sisi konsep maupun dari aspek
penerapannya, Islam adalah din yang syamil (menyeluruh) dan kamil (paripurna). Dari sisi
konsep, jelas bahwa Islam tidak cuma mengajarkan masalah aqidah,
ibadah dan moral, tapi juga membahas masalah sosial kemasyarakatan (mu’amalah), seperti aturan mengenai
hubungan sosial (an-nizham al-ijtima’iy),
masalah ekonomi (an-nizham al-iqtishadi),
masalah hukum pemerintahan (an-nizham al-hukmi), masalah pendidikan,
hubungan luar negeri, pertahanan, uqubat dan lain-lain. Bahkan bila dipersentasekan, aturan-aturan
yang menyangkut masalah mu’amalah ini jumlahnya justru jauh lebih banyak jika
dibandingkan dengan aturan yang berkaitan dengan masalah ibadah dan akhlaq.
Dengan kata lain, jelas bahwa sesungguhnya Islam adalah sebuah
ideologi (mabda’), yang bukan cuma
mencakup aspek aqidah saja (yakni sebagai aqidah
ruhiyah/spiritual dan aqidah
siyasiyah/politis) tapi sekaligus juga mencakup aturan kehidupan (nizham al-hayat) yang tegak di atas
landasan aqidahnya tadi. (QS. Al-Maidah : 3, Al-An’am : 38, An-Nahl : 89). Dan
selayaknya sebagai sebuah ideologi, maka formalisasi aturan menjadi hal yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena
jaminan bagi eksistensi ideologi manapun secara pasti hanya akan diperoleh
manakala dia menampilkan dirinya secara
formal dalam bentuk sebuah negara/sistem.
Berkenaan dengan hal ini, di dalam konsep Islam sendiri dikenal
adanya kaidah ushul fiqih yang berbunyi
“ maa laa yatimmul waajib illa
bihi, fa huwa waajib”, perkara
apapun yang menghantarkan pada sempurnanya sebuah kewajiban, menjadikan perkara
tersebut wajib pula. Sehingga, jika mengingat begitu banyak aturan Islam yang
pelaksanaannya hanya menjadi wewenang negara saja, seperti penerapan aturan uqubat, penerapan kebijakan sosial,
ekonomi dan politik atas setiap warga negara, pelaksanaan aturan politik luar
negeri dalam rangka da’wah dan jihad, dan sebagainya, maka dengan kaidah ini
kita akan mudah memahami mengapa formalisasi syariah dalam kerangka ad-daulah
al-Islamiyah menjadi hal yang wajib pula, sekalipun memang tidak ada satu
nashpun yang secara langsung dan letterlijk
memerintahkan kaum muslimin untuk mendirikan ad-daulah al-Islamiyah.
Oleh karena itu, jelaslah bahwa tidak ada alasan syar’i
sedikitpun yang bisa digunakan untuk menolak formalisasi syariah. Bahkan dengan uraian tadi, jelas pula bahwa
seruan untuk mengambil syariah Islam sebatas aturan ibadah dan moral (baca :
upaya de-ideologisasi Islam) seperti yang sering dilontarkan sebagian ‘tokoh ‘
Islam, sebenarnya sama artinya dengan seruan untuk meninggalkan sebagian besar
syariah Islam. Dan hal ini tentu saja
sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang memerintahkan
setiap muslim untuk menerima Islam secara total (kaaffah) dan sekaligus melarang keras mengambil sebagian hukum dan
meninggalkan sebahagian yang lainnya.
Itu
dari sisi konsep. Adapun dari sisi penerapannya, maka siapapun tak bisa
memungkiri sejarah, bahwa Islam selama
berabad abad telah tampil dalam bentuk sebuah sistem kenegaraan yang dimulai
sejak jaman Rasulullah SAW hingga masa-masa setelahnya yakni berupa sistem khilafah Islamiyah (Salah satu
referensi yang bisa ditelaah adalah Kitab Sirah Ibnu Hisyam dan Tarikh
khulafa). Sehingga salah besar jika dikatakan, bahwa Islam tidak mengenal
konsep kenegaraan. Justru ketika Islam tampil dalam bentuk sistem inilah Islam
mampu melahirkan sebuah peradaban agung, seraya menjadikan kaum muslimin sebagai sebuah komunitas yang unik, solid dan
disegani di tengah-tengah masyarakat dunia saat itu. Bahkan, Islamlah yang
kemudian menjadi lokomotif sekaligus trend
setter (bukan follower) bangkitnya
peradaban manusia, sehingga pada saat itu terbuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Sampai-sampai,
da’wah Islam begitu mudah diterima, dan orang-orang yang memilih tetap kafirpun
berbondong-bondong minta dihukumi dengan hukum Islam. Masalahnya, saat ini
sejarah memang tidak berpihak pada Islam, sehingga fakta-fakta ril tersebut
seolah raib tanpa bekas. Yang tersisa
dalam catatan sejarah dan benak kaum muslimin hanyalah cerita-cerita muram
seputar penerapan syariah Islam : kedzaliman penguasa, penindasan perempuan,
hukum pidana yang menyeramkan, dan sebagainya.
Sayangnya,
hal ini diperkuat oleh upaya ghazwul-fikr
(perang pemikiran) yang dilancarkan secara intens dan sistematis oleh
negara-negara kapitalis yang jelas-jelas memusuhi Islam secara ideologis, baik
melalui berbagai media massa yang senyatanya memang mereka kuasai, maupun
melalui pendidikan formal yang formulasi strategisnya secara sadar selama ini
kita jiplak dari mereka. Dengan
sarana-sarana tersebut, berbagai upaya
pendangkalan pemahaman serta (bahkan) tuduhan yang mengarah pada stigmatisasi
miring tentang (syariah) Islam dan kaum muslimin terus mereka lancarkan. Terakhir,
bak kehilangan akal, upaya mereka bahkan langsung terarah secara fisik
pada semua pihak (person maupun harakah) yang istiqamah mengusung ide
penerapan syariah, yakni dengan memblow
up issu terorisme dan mengarahkannya secara membabi buta pada pihak-pihak
tadi, hanya karena musuh-musuh Islam itu melihat fakta, bahwa perang pemikiran
yang selama ini mereka lancarkan hanya berhasil melemahkan sebagian saja dari
kaum muslimin. Sementara arus kesadaran
untuk kembali kepada Islam, sekalipun nampaknya masih sebatas semangat, tak mampu mereka bendung. Dan untuk melancarkan perang babak akhirnya
ini, atas nama perjanjian (baca : tekanan) politik plus berbagai iming-iming,
mereka tak segan-segan menggunakan tangan kaum muslimin sendiri (dalam hal ini
para penguasa di negeri-negeri Islam) untuk ‘menghadapi’ anak-anak dan
saudara-saudara kandung mereka di negeri-negeri mereka sendiri. itulah yang
saat ini sedang terjadi di Uzbekistan, Dagestan, Jordania, Malaysia, bahkan
Indonesia dan lain-lain. Tragis memang.
Adapun
alasan penolakan formalisasi syariah lain yang juga sering mengemuka adalah
seputar jaminan syariah dalam menyelesaikan seluruh problema kehidupan manusia,
termasuk dalam konteks kehidupan manusia yang plural dan sarat konflik seperti
saat ini. Hal ini terutama, ketika pada
faktanya sistem kapitalistik yang sekarang diterapkan di seluruh dunia tidak
lagi mampu menutupi kebobrokannya, sementara untuk berpaling kepada ideologi
lain (komunisme) orang sudah merasa emoh. Mampukah Islam menjadi solusi ? Pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab
dengan gamblang oleh para pejuang penegakan syariah, yakni dengan mengungkapkan
hakekat syariah secara detil dan menyeluruh, sekaligus menjelaskan bagaimana
fakta penerapannya sejak masyarakat Islam pertama dibangun oleh Rasulullah SAW
(yang jelas sangat heterogen) hingga masa-masa sesudahnya. Dengan demikian akan tergambar secara
utuh dalam benak masyarakat bagaimana
gambaran masyarakat Islam Ideal yang akan terbentuk manakala syariah Islam
diterapkan. Karena bisa jadi, penolakan
mereka selama ini adalah akibat tidak jelasnya hakekat syariah dalam benak
mereka. Sehingga ketikapun mereka
sepakat, kesepakatan tersebut tak lebih hanya didasarkan pada dogma dan
slogan-slogan kosong semata yang justru pada akhirnya bisa kontraproduktif bagi upaya penerapan
syariah dan jaminan keberlangsungannya di kemudian hari.
Berdasarkan
hal ini, maka kajian-kajian mengenai syariah Islam beserta rinciannya sudah
saatnya dimulai, seperti mengenai
bagaimana formula Islam dalam menyelesaikan masalah ekonomi (termasuk jaminan
kesejahteraan bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim/ahl adz-dzimmah), bagaimana aturan Islam
mengenai pemerintahan (termasuk jaminan dalam mewujudkan good governace dan
clean goverment), bagaimana Islam mengatur masalah hubungan sosial, masalah hak
dan kewajiban warga negara (baik muslim maupun non muslim/ahl adz-dzimmah), masalah hankam, hubungan luar
negeri, jaminan Islam atas penegakkan hukum
dan lain-lain. Karena fakta yang
terjadi saat ini, mayoritas masyarakat hanya mengenal syariah Islam sebatas
masalah NTCR dan uqubat saja (seperti qishahsh, hukum rajam, potong tangan
dan semisalnya). Itupun dalam konteks
yang seringkali ‘miring’ dan minimal.
Padahal Islam sesungguhnya merupakan agama yang sangat purna yang
mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara holistik, universal dan
senantiasa up to date, dimana penerapannya secara total dipastikan akan
menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang secara fitrah menjadi dambaan
manusia tanpa kecuali. Hal ini tidak
lain karena, Islam datang dari Dzat yang Maha Adil dan Maha Sempurna, sehingga
Islam bisa menjadi rahmat bagi semua.
Selain
itu, perlu dijelaskan pula, bahwa sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Hafidz
Abdurrahman dalam bukunya Islam Politik dan Spiritual (Lisan al-Haq, Singapore
1998), setidaknya ada 4 kemaslahatan yang akan diperoleh manakala syariah Islam
diterapkan secara total, yakni (1) Maslahat
dharuriyat, yaitu kemaslahatan yang akan diperoleh manusia untuk
mempertahankan kehidupannya, mencakup (a) terpeliharanya aqidah, yakni
antara lain dengan adanya sanksi (had)
atas orang yang murtad dan atas orang-orang yang menyebarkan pemikiran/ideologi
rusak, (b) terpeliharanya negara, yakni dengan adanya sanksi atas orang
yang melakukan bughat/pemberontakan, (c) terpeliharanya keamanan, yakni
dengan adanya sanksi atas para perompak, perusuh dan lain-lain, (d)
terpeliharanya kekayaan, yakni dengan adanya sanksi atas pencuri dengan
nishab pencurian tertentu, hukum ta’zir bagi pelaku suap menyuap dan
koruptor, dan lain-lain, (e) terpeliharanya
keturunan, yakni dengan adanya sanksi bagi pezina, adanya hukum pernikahan,
dan lain-lain, (f) terpeliharanya kemuliaan, yakni dengan adanya sanksi
atas pelaku qadzaf (pemfitnah), hukum
menjaga iffah/kesucian diri, dan
lain-lain, (g) terpeliharanya akal, yakni dengan adanya sanksi bagi
peminum khamr, dan lain-lain, (h) terpeliharanya nyawa, yakni dengan
adanya hukum qishash, (2) Maslahat
Hajiyat, yakni kemaslahatan yang diperoleh manusia saat menghadapi
kesulitan hidup, yakni berkenaan dengan adanya berbagai rukhshah yang diberikan
oleh Allah SWT kepada manusia, (3)
Maslahat Tahsiniyat, yakni kemaslahatan yang diperoleh manusia ketika
melaksanakan hukum yang berkenaan dengan sifat akhlaq dan adab, seperti
perintah menjaga kebersihan badan dan pakaian, perintah membatasi makan pada
makanan yang halal dan thayib, perintah berakhlaq mulia, dan lain-lain, serta
(4) Maslahat Takmiliyat, yakni
maslahat yang berkenaan dengan penyempurnaan maslahat yang diperoleh manusia
ketika menyempurnakan tiga kemaslahatan yang lain, yaitu dengan
diperintahkannya dan dilarangnya hal-hal yang menjadi cabang daripada kewajiban
atau keharaman yang asal. Misalnya
ketika Allah mengharamkan zina, maka semua hal yang bisa menghantarkan kepada
zina, seperti tabarruj, menyebarnya pornografi dan pornoaksi juga diharamkan.
Dengan
penjelasan seperti ini, diharapkan tidak akan ada lagi kegamangan, atau bahkan phobi di kalangan kaum muslimin ketika
Islam diterapkan. Bahkan, melalui
penguatan aspek aqidah, yakni dengan memahamkan bahwa masalah penerapan syariah
Islam bukan sekedar pilihan melainkan kewajiban yang akan
dipertanggungjawabkan, maka kaum
muslimin akan dengan rela hati ikut mendukung upaya tersebut, sekalipun banyak
hal yang harus dikorbankan. Tentu saja dalam tataran praktis, ini bukan hal yang mudah untuk
direalisasikan. Tapi setidaknya, munculnya kesadaran akan “agenda besar” yang sama, pada akhirnya akan mengarahkan umat
pada muara yang sama juga, yakni tegaknya kalimah Allah di muka bumi. Tinggal,
hari ini kita pastikan, kitalah motor perubahan, BUKAN jadi yang tertinggal apalagi batu penghalang. Fastabiqul-khairat!
-----------------------------