INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 27 Juni 2012

Bencana Moral di Balik Kampanye Kondom

Oleh : Siti Nafidah Anshory

Rencana Menkes Nafsiah Mboi untuk melakukan kampanye kondom terus menuai kontroversi. Meski akhirnya menkes mengklarifikasi pernyataannya, bahwa yang menjadi sasaran program bukan kalangan remaja melainkan kelompok seks beresiko seperti para pelacur,  tetap saja penjelasannya menunjukkan bahwa remaja pun akan menjadi obyek kampanye, karena realitasnya, seks bebas yang marak dilakukan remaja sejatinya adalah seks beresiko.
Sebagaimana dirilis berbagai media nasional termasuk situs resmi bkkbn.or.id, kampanye kondom dipandang oleh menkes bisa menjadi obat mujarab untuk mengatasi tingginya tingkat penularan HIV/AIDs dan tingginya angka kehamilan tak direncanakan (KTD) yang berimplikasi pada maraknya aborsi. Terlebih, hingga saat ini pemerintah Indonesia masih dipandang aprestatif dalam upaya penanggulangan HIV/AIDs yang menjadi salah satu butir kesepakatan MDGs.
Berbagai persiapan pun sudah dilakukan, termasuk menyiapkan anggaran sebesar Rp.  25,2 milyar dari APBN 2012 yang dialokasikan untuk pengadaan kondom dan Rp. 28,4 milyar untuk kampanye melalui media,seperti radio, televise, billboard, dan acara cerdas cermat yang tentunya akan menyasar seluruh kelompok masyarakat, termasuk remaja.  Bahkan, sebagaimana disampaikan Koordinator Investigasi dan Advokasi FITRA Uchok Sky Khadafi, lelang untuk pengadaan kondom 2012 ini sudah selesai. Pemenangnya adalah PT Kimia Farma Trading and Distribution dengan harga Rp24,8 miliar yang penandatanganan kontraknya sendiri sudah dilakukan mulai 7 Februari sampai 17 Februari 2012, (metrotvnews.com, 25/6).
Banyak pihak yang memandang, bahwa paradigma berpikir pemerintah yang diwakili menkes ini  sangat sekuler dan liberal. Pemerintah nampaknya lebih peduli terhadap kesepakatan-kesepakatan internasional yang tak jarang bernuansa konspiratif melemahkan  negara dunia ke-tiga yang mayoritas merupakan negeri kaum muslimin, daripada peduli terhadap potret generasi yang kian carut marut akibat dekadensi moral yang melanda kehidupan mereka sebagai dampak dari penerapan system sekuler dan budaya liberal yang dibiarkan bahkan seolah difasilitasi  oleh negara.
Sebagaimana diketahui, seks bebas di kalangan remaja memang sudah merajalela. Temuan BKKBN tahun 2010-2011 saja sudah menunjukkan lebih dari 50 persen remaja putri usia 13-18 tahun sudah melakukan seks pra nikah. Padahal, seks bebas ini seringkali berujung pada KTD dan aborsi.  Saat ini tercatat ada 2,3 juta kasus aborsi yang 30 persennya dilakukan oleh remaja.
Program-program penanggulangan yang digagas pemerintah semacam Kesehatan Reproduksi Remaja/seks edukasi dengan konsep ABCD yang include di dalamnya konten kampanye penggunaan  kondom, alih-alih mampu menjadi solusi, malah program semacam ini kian memicu minat remaja untuk melakukan seks bebas. Terbukti , angka pelaku seks bebas dan angka aborsi di kalangan remaja dari tahun ke tahun terus meningkat.
Hal ini diperparah dengan berbagai kebijakan lain yang bisa dikata mengokohkan kerusakan moral di tengah remaja dan masyarakat secara umum. Melalui kekuatan undang-undang, pernikahan dini dicegah, tapi di sisi lain pornoaksi-pornografi yang memupuk naluri seksual remaja dibiarkan merajalela. Dengan dalih HAM dan jaminan atas privacy, pelaku seks bebas/perzinahan tak ditindak apa-apa. Pelacuran  bisa beroperasi dengan izin dan terbuka bahkan dibina dan dijaga aparat penguasa. Profesinya pun diakui sebagai salah satu sub-item pendapatan Negara.
Di pihak lain, sistem pendidikan yang diterapkan pun kian tak jelas tujuannya kemana. Sementara nasib pendidikan agama kian termarginalkan karena dipandang tak berpengaruh terhadap  produktivitas bangsa. Bahkan sejalan dengan agenda Amerika, gagasan deradikalisasi Islam dan isu melawan terror digagas dimana-mana, hingga para remajapun takut belajar agama, karena kian shalih remaja, dia kian dicuriga.
Jika demikian halnya, cita-cita menyelamatkan generasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong. Pemerintah terbukti tak serius menyelesaikan problem bencana moral yang senyatanya mengancam masa depan bangsa. Bahkan kasus ini, menambah panjang daftar ketidakmampuan pemerintah dalam mengatasi berbagai persoalan yang dihadapi bangsa, dimana pada banyak kasus, pemerintah seringkali hanya cari mudah dengan memilih jalan pintas melalui solusi-solusi pragmatic yang alih-alih bisa mengatasi masalah, malah justru seringkali menambah masalah.
Inilah wajah buruk Negara kapitalis-demokrasi yang tegak di atas asas sekularisme. Yang menjadikan akal manusia sebagai sumber aturan kehidupan, menjadikan nilai-nilai materi sebagai standar  kebahagiaan dan disisi lain justru meminggirkan peran agama dari penyelesaian masalah-masalah kehidupan. Negara semacam ini hanya bisa melahirkan kebijakan sesat dan menyesatkan, dan akhirnya akan menuai bencana sebagaimana yang kita saksikan sekarang, mulai dari bencana politik, kepemimpinan, bencana ekonomi dan social serta bencana moral. Bahkan Negara semacam ini, pada akhirnya akan menjadi Negara tanpa daya dan  terus menjadi korban konspirasi Negara-negara adidaya melalui berbagai kesepakatan dan konvensi internasional yang sejatinya melanggengkan penjajahan mereka.
Karenanya, sudah saatnya bangsa ini, khususnya umat Islam bangkit dari keterpurukannya dan kembali meraih kemuliaan. Caranya adalah dengan mencampakkan system kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme dalam seluruh aspek kehidupan mereka, termasuk dalam aspek bernegara dan sesegera mungkin kembali kepada system yang sahih, yakni sistem Islam. Karena Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah, Dzat Pencipta Kehidupan, Pemilik segala kesempurnaan dan keadilan, Dzat Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana, yang aturan-aturannya merupakan tuntunan dan solusi atas seluruh problema kehidupan dalam seluruh aspeknya (poleksosbudhanhukkam).
Tegaknya aturan Islam secara kaffah (integratif dan komprehensif/sistemik) dalam naungan khilafah  inilah yang dipastikan akan menjamin terwujudnya kebahagiaan hakiki dan kesejahteraan bagi umat manusia, menghindarkan manusia dari berbagai bencana, termasuk bencana moral yang melanda generasi penerus bangsa. Dan ini adalah suatu hal yang niscaya. Apalagi sejarah telah membuktikan, selama belasan abad, umat Islam mampu tampil sebagai sebaik-baik umat dan adidaya, bahkan menjadi pionir dan mercusuar  peradaban dunia, termasuk dalam hal ketinggian moral dan kemajuan material. [][]
  

Jumat, 15 Juni 2012

FORMALISASI SYARIAH, HANYA SEKEDAR PILIHAN ?


By Siti Nafidah Anshory

          Wacana formalisasi syariah Islam dalam wadah negara Khilafah terus menggelinding bak bola salju. Sekalipun kuat berupaya, para penolak gagasan ini pun tak mampu membendung arus kesadaran Islam ideologis yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Pelan tapi pasti kesadaran ini kian mengkristal sejalan dengan upaya gigih para penyeru kebaikan dan realita krisis yang tak kunjung reda dan senyatanya tak mampu diselesaikan oleh sistem buatan manusia. Cahaya keimananpun mulai memancar. Dan kegelapan yang diciptakan sistem sekular jahiliyahpun lambat laun sirna dengan sendirinya.
Tentu saja bukan berarti  bola perubahan menggelinding tanpa penghalang. Para penjajah dan pejaganya terus membuat barikade yang mereka harap tak hanya akan menghentikan arus perubahan, tapi juga menghancurkan. Di antara barekade itu ada yang berupa pemikiran. Ketidakniscayaan penerapan syariah dalam konteks kekinian karena alasan pluralitas dan multi-interpretatifnya Islam sering diangkat sebagai sentral perdebatan. Dalam pandangan mereka, Islam adalah agama multi versi; bisa versi anda, bisa versi saya. Pemaksaan  sebuah interpretasi tentang Islam pada masyarakat plural diopinikan hanya akan berujung pada konflik berkepanjangan. Dan itu adalah sebuah kerugian, sekaligus pelanggaran atas prinsip-prinsip kebebasan yang lagi-lagi katanya dijamin oleh Islam.
Sebagai bagian dari komunitas yang mencita-citakan hidup dalam naungan sistem Islam, saya sendiri memahami bahwa persoalan penerapan syariah adalah persoalan aqidah, persoalan keyakinan.  Tatkala seseorang secara sadar, yakni melalui proses berpikir cemerlang (al-fikr al-mustanir) menetapkan dirinya menjadi seorang muslim yang mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Ilah, sekaligus mengakui Muhammad sebagai utusan pembawa risalah (aturan)-Nya, maka pada saat yang sama dia harus meyakini, bahwa hanya Allah-lah yang berhak mengatur diri dan kehidupannya dengan jalan merealisasikan seluruh aturan (syariah) Allah yang dibawa oleh Rasul-Nya.  Dengan kata lain, pengakuan akan kalimah syahadah sesungguhnya secara otomatis membawa konsekwensi terikatnya seorang muslim kepada aturan-aturan Allah SWT (syariah).  Sehingga jelas tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim selain menerima hukum Islam, tanpa reserve (tasliiman).
 Firman Allah SWT :  “Maka demi Tuhan-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya”  (QS. An-Nisa : 65)
  .... Barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir “ (QS. Al-Maidah : 44)
          Persoalannya, sampai pada tataran ini boleh jadi semua sepakat, karena tak ada seorang (yang mengaku) muslim pun yang mau dikatakan kafir. Akan tetapi ketika sudah berbicara tentang syariah dan implementasinya,  orang sering berdalih dengan masalah multi-interpretatifnya Islam  tadi  untuk mencari pengabsahan atas penolakan mereka terhadap formalisasi syariat Islam.   Padahal  diakui atau tidak, yang sebenarnya terjadi adalah adanya keraguan yang  mendalam terhadap kesempurnaan dan kemampuan syariah dalam menjawab seluruh problema kehidupan manusia kapan dan dimanapun, baik muslim maupun non muslim, termasuk masalah kemampuan syariah dalam menjamin keadilan, keamanan dan  kesejahteraan bagi manusia.  Jika demikian halnya, jelas inipun menyangkut persoalan aqidah, karena seorang yang mengaku muslim, tidak selayaknya berpikir, bahwa sistem hidup yang dibuat oleh Rabb-Nya cacat dan tidak layak pakai (out of date).  Karena itu berarti, pada saat yang sama dia berpikir, bahwa Tuhan yang dia sembah tidak tahu apa-apa dan bahkan bisa salah.  Na’udzubillah !
          Sayangnya, kerangka berpikir yang sederhana seperti ini menjadi sangat sulit dimengerti tatkala seseorang telah terlanjur menjadikan paham sekularisme sebagai state of mind bagi dirinya.  Karena dengan sekularisme, seseorang diarahkan untuk berpikir bahwa agama hanya ada di wilayah individu (privat), sementara di luar wilayah individu; menyangkut aspek sosial, ekonomi, politik, hukum dan sebagainya, agama tidak boleh turut campur (fashl ad-din ‘an al-hayah, pemisahan agama dari kehidupan).   Sayangnya, kerangka berpikir seperti inilah yang justru mewarnai mayoritas kaum muslimin, termasuk para tokohnya, sehingga wajar jika upaya formalisasi syariah Islam justru sering kandas di kaki kaum muslimin sendiri, sekalipun dengan kadar dan alasan penolakan yang beragam.
          Di antara alasan penolakan yang sering mengemuka adalah pernyataan bahwa Islam tak lebih dari sekedar spiritual belief/sets of belief saja dan bukan worldly belief (ideologi/mabda’).  Mereka yakin, bahwasannya Islam hanya mengatur masalah kepercayaan (aqidah ruhiyah) semata sebagaimana agama dan kepercayaan lain di luar Islam.  Kalaupun mereka mengakui bahwa Islam mengandung aspek syariah, maka syariah tersebut pun hanya dipahami sebatas aturan ibadah dan akhlaq semata. Wajarlah jika dengan kerangka pemahaman seperti ini, muncul penolakan sengit terhadap wacana formalisasi syariah, apalagi  dalam bentuk penegakkan sebuah negara Islam (ad-daulah al-khilafah al-Islamiyyah) sebagai sebuah sistem kenegaraan yang khas sekaligus sebagai versus bagi sistem-sistem kenegaraan yang ada sekarang. Ini karena, dalam kerangka berpikir mereka memang tidak ada satu aturan kehidupan Islam pun yang bisa diformalkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat !
Tentu saja hal ini  sangat bertentangan dengan realitas yang ada, karena kalau mau, siapapun bisa membuktikan, bahwa ditinjau dari sisi konsep maupun dari aspek penerapannya,  Islam adalah din yang syamil (menyeluruh) dan kamil (paripurna). Dari sisi konsep,  jelas bahwa  Islam tidak cuma mengajarkan masalah aqidah, ibadah dan moral, tapi juga membahas masalah sosial kemasyarakatan (mu’amalah), seperti aturan mengenai hubungan sosial (an-nizham al-ijtima’iy), masalah ekonomi (an-nizham al-iqtishadi), masalah hukum pemerintahan  (an-nizham al-hukmi), masalah pendidikan, hubungan luar negeri, pertahanan, uqubat dan lain-lain.   Bahkan bila dipersentasekan, aturan-aturan yang menyangkut masalah mu’amalah ini jumlahnya justru jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan aturan yang berkaitan dengan masalah ibadah dan akhlaq.
Dengan kata lain, jelas bahwa sesungguhnya Islam adalah sebuah ideologi (mabda’), yang bukan cuma mencakup aspek aqidah saja (yakni sebagai aqidah ruhiyah/spiritual dan aqidah siyasiyah/politis) tapi sekaligus juga mencakup aturan kehidupan (nizham al-hayat) yang tegak di atas landasan aqidahnya tadi. (QS. Al-Maidah : 3, Al-An’am : 38, An-Nahl : 89). Dan selayaknya sebagai sebuah ideologi, maka formalisasi aturan menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.  Karena jaminan bagi eksistensi ideologi manapun secara pasti hanya akan diperoleh manakala dia menampilkan  dirinya secara formal dalam bentuk sebuah negara/sistem.
Berkenaan dengan hal ini, di dalam konsep Islam sendiri dikenal adanya kaidah ushul fiqih yang berbunyi  maa laa yatimmul waajib illa bihi, fa huwa waajib”,  perkara apapun yang menghantarkan pada sempurnanya sebuah kewajiban, menjadikan perkara tersebut wajib pula. Sehingga, jika mengingat begitu banyak aturan Islam yang pelaksanaannya hanya menjadi wewenang negara saja, seperti penerapan aturan uqubat, penerapan kebijakan sosial, ekonomi dan politik atas setiap warga negara, pelaksanaan aturan politik luar negeri dalam rangka da’wah dan jihad, dan sebagainya, maka dengan kaidah ini kita akan mudah memahami mengapa formalisasi syariah dalam kerangka ad-daulah al-Islamiyah menjadi hal yang wajib pula, sekalipun memang tidak ada satu nashpun yang secara langsung dan letterlijk memerintahkan kaum muslimin untuk mendirikan ad-daulah al-Islamiyah. 
Oleh karena itu, jelaslah bahwa tidak ada alasan syar’i sedikitpun yang bisa digunakan untuk menolak formalisasi syariah.  Bahkan dengan uraian tadi, jelas pula bahwa seruan untuk mengambil syariah Islam sebatas aturan ibadah dan moral (baca : upaya de-ideologisasi Islam) seperti yang sering dilontarkan sebagian ‘tokoh ‘ Islam, sebenarnya sama artinya dengan seruan untuk meninggalkan sebagian besar syariah Islam.  Dan hal ini tentu saja sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam yang memerintahkan setiap muslim untuk menerima Islam secara total (kaaffah) dan sekaligus melarang keras mengambil sebagian hukum dan meninggalkan sebahagian yang lainnya.
Itu dari sisi konsep. Adapun dari sisi penerapannya, maka siapapun tak bisa memungkiri sejarah, bahwa  Islam selama berabad abad telah tampil dalam bentuk sebuah sistem kenegaraan yang dimulai sejak jaman Rasulullah SAW hingga masa-masa setelahnya yakni berupa sistem khilafah Islamiyah (Salah satu referensi yang bisa ditelaah adalah Kitab Sirah Ibnu Hisyam dan Tarikh khulafa). Sehingga salah besar jika dikatakan, bahwa Islam tidak mengenal konsep kenegaraan. Justru ketika Islam tampil dalam bentuk sistem inilah Islam mampu melahirkan sebuah peradaban agung, seraya menjadikan kaum muslimin  sebagai sebuah komunitas yang unik, solid dan disegani di tengah-tengah masyarakat dunia saat itu. Bahkan, Islamlah yang kemudian menjadi lokomotif sekaligus trend setter (bukan follower) bangkitnya peradaban manusia, sehingga pada saat itu terbuktikan bahwa Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Sampai-sampai, da’wah Islam begitu mudah diterima, dan orang-orang yang memilih tetap kafirpun berbondong-bondong minta dihukumi dengan hukum Islam. Masalahnya, saat ini sejarah memang tidak berpihak pada Islam, sehingga fakta-fakta ril tersebut seolah raib tanpa bekas.  Yang tersisa dalam catatan sejarah dan benak kaum muslimin hanyalah cerita-cerita muram seputar penerapan syariah Islam : kedzaliman penguasa, penindasan perempuan, hukum pidana yang menyeramkan, dan sebagainya.
Sayangnya, hal ini diperkuat oleh upaya ghazwul-fikr (perang pemikiran) yang dilancarkan secara intens dan sistematis oleh negara-negara kapitalis yang jelas-jelas memusuhi Islam secara ideologis, baik melalui berbagai media massa yang senyatanya memang mereka kuasai, maupun melalui pendidikan formal yang formulasi strategisnya secara sadar selama ini kita jiplak dari mereka.   Dengan sarana-sarana tersebut, berbagai  upaya pendangkalan pemahaman serta (bahkan) tuduhan yang mengarah pada stigmatisasi miring tentang (syariah) Islam dan kaum muslimin terus mereka lancarkan.  Terakhir,  bak kehilangan akal, upaya mereka bahkan langsung terarah secara fisik pada semua pihak (person maupun harakah) yang istiqamah mengusung ide penerapan syariah, yakni dengan memblow up issu terorisme dan mengarahkannya secara membabi buta pada pihak-pihak tadi, hanya karena musuh-musuh Islam itu melihat fakta, bahwa perang pemikiran yang selama ini mereka lancarkan hanya berhasil melemahkan sebagian saja dari kaum muslimin.  Sementara arus kesadaran untuk kembali kepada Islam, sekalipun nampaknya masih sebatas semangat,  tak mampu mereka bendung.  Dan untuk melancarkan perang babak akhirnya ini, atas nama perjanjian (baca : tekanan) politik plus berbagai iming-iming, mereka tak segan-segan menggunakan tangan kaum muslimin sendiri (dalam hal ini para penguasa di negeri-negeri Islam) untuk ‘menghadapi’ anak-anak dan saudara-saudara kandung mereka di negeri-negeri mereka sendiri. itulah yang saat ini sedang terjadi di Uzbekistan, Dagestan, Jordania, Malaysia, bahkan Indonesia dan lain-lain.   Tragis memang.
Adapun alasan penolakan formalisasi syariah lain yang juga sering mengemuka adalah seputar jaminan syariah dalam menyelesaikan seluruh problema kehidupan manusia, termasuk dalam konteks kehidupan manusia yang plural dan sarat konflik seperti saat ini.  Hal ini terutama, ketika pada faktanya sistem kapitalistik yang sekarang diterapkan di seluruh dunia tidak lagi mampu menutupi kebobrokannya, sementara untuk berpaling kepada ideologi lain (komunisme) orang sudah merasa emoh.  Mampukah Islam menjadi solusi ?  Pertanyaan inilah yang seharusnya dijawab dengan gamblang oleh para pejuang penegakan syariah, yakni dengan mengungkapkan hakekat syariah secara detil dan menyeluruh, sekaligus menjelaskan bagaimana fakta penerapannya sejak masyarakat Islam pertama dibangun oleh Rasulullah SAW (yang jelas sangat heterogen) hingga masa-masa sesudahnya.  Dengan demikian akan tergambar secara utuh  dalam benak masyarakat bagaimana gambaran masyarakat Islam Ideal yang akan terbentuk manakala syariah Islam diterapkan.  Karena bisa jadi, penolakan mereka selama ini adalah akibat tidak jelasnya hakekat syariah dalam benak mereka.  Sehingga ketikapun mereka sepakat, kesepakatan tersebut tak lebih hanya didasarkan pada dogma dan slogan-slogan kosong semata yang justru pada akhirnya  bisa kontraproduktif bagi upaya penerapan syariah dan jaminan keberlangsungannya di kemudian hari.
Berdasarkan hal ini, maka kajian-kajian mengenai syariah Islam beserta rinciannya sudah saatnya  dimulai, seperti mengenai bagaimana formula Islam dalam menyelesaikan masalah ekonomi (termasuk jaminan kesejahteraan bagi seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim/ahl adz-dzimmah), bagaimana aturan Islam mengenai pemerintahan (termasuk jaminan dalam mewujudkan good governace dan clean goverment), bagaimana Islam mengatur masalah hubungan sosial, masalah hak dan kewajiban warga negara (baik muslim maupun non muslim/ahl adz-dzimmah), masalah hankam, hubungan luar negeri, jaminan Islam atas penegakkan hukum  dan lain-lain.  Karena fakta yang terjadi saat ini, mayoritas masyarakat hanya mengenal syariah Islam sebatas masalah  NTCR dan uqubat saja  (seperti qishahsh, hukum rajam, potong tangan dan semisalnya).  Itupun dalam konteks yang seringkali ‘miring’ dan minimal.  Padahal Islam sesungguhnya merupakan agama yang sangat purna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia secara holistik, universal dan senantiasa up to date, dimana penerapannya secara total dipastikan akan menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang secara fitrah menjadi dambaan manusia tanpa kecuali.  Hal ini tidak lain karena, Islam datang dari Dzat yang Maha Adil dan Maha Sempurna, sehingga Islam bisa menjadi rahmat bagi semua.
Selain itu, perlu dijelaskan pula, bahwa sebagaimana yang ditulis oleh Dr. Hafidz Abdurrahman dalam bukunya Islam Politik dan Spiritual (Lisan al-Haq, Singapore 1998), setidaknya ada 4 kemaslahatan yang akan diperoleh manakala syariah Islam diterapkan secara total, yakni (1) Maslahat dharuriyat, yaitu kemaslahatan yang akan diperoleh manusia untuk mempertahankan kehidupannya, mencakup (a) terpeliharanya aqidah, yakni antara lain dengan adanya sanksi (had) atas orang yang murtad dan atas orang-orang yang menyebarkan pemikiran/ideologi rusak, (b) terpeliharanya negara, yakni dengan adanya sanksi atas orang yang melakukan bughat/pemberontakan, (c) terpeliharanya keamanan, yakni dengan adanya sanksi atas para perompak, perusuh dan lain-lain, (d) terpeliharanya kekayaan, yakni dengan adanya sanksi atas pencuri dengan nishab pencurian tertentu, hukum ta’zir bagi pelaku suap menyuap dan koruptor,  dan lain-lain, (e) terpeliharanya keturunan, yakni dengan adanya sanksi bagi pezina, adanya hukum pernikahan, dan lain-lain, (f) terpeliharanya kemuliaan, yakni dengan adanya sanksi atas pelaku qadzaf (pemfitnah), hukum menjaga iffah/kesucian diri, dan lain-lain, (g) terpeliharanya akal, yakni dengan adanya sanksi bagi peminum khamr, dan lain-lain, (h) terpeliharanya nyawa, yakni dengan adanya hukum qishash, (2) Maslahat Hajiyat, yakni kemaslahatan yang diperoleh manusia saat menghadapi kesulitan hidup, yakni berkenaan dengan adanya berbagai rukhshah yang diberikan oleh Allah SWT kepada manusia, (3) Maslahat Tahsiniyat, yakni kemaslahatan yang diperoleh manusia ketika melaksanakan hukum yang berkenaan dengan sifat akhlaq dan adab, seperti perintah menjaga kebersihan badan dan pakaian, perintah membatasi makan pada makanan yang halal dan thayib, perintah berakhlaq mulia, dan lain-lain, serta (4) Maslahat Takmiliyat, yakni maslahat yang berkenaan dengan penyempurnaan maslahat yang diperoleh manusia ketika menyempurnakan tiga kemaslahatan yang lain, yaitu dengan diperintahkannya dan dilarangnya hal-hal yang menjadi cabang daripada kewajiban atau keharaman yang asal.  Misalnya ketika Allah mengharamkan zina, maka semua hal yang bisa menghantarkan kepada zina, seperti tabarruj, menyebarnya pornografi dan pornoaksi juga diharamkan.
Dengan penjelasan seperti ini, diharapkan tidak akan ada lagi kegamangan, atau bahkan phobi di kalangan kaum muslimin ketika Islam diterapkan.  Bahkan, melalui penguatan aspek aqidah, yakni dengan memahamkan bahwa masalah penerapan syariah Islam bukan sekedar pilihan melainkan kewajiban yang akan dipertanggungjawabkan,  maka kaum muslimin akan dengan rela hati ikut mendukung upaya tersebut, sekalipun banyak hal yang harus dikorbankan. Tentu saja dalam tataran praktis,  ini bukan hal yang mudah untuk direalisasikan.  Tapi setidaknya,  munculnya kesadaran akan  “agenda besar”  yang sama, pada akhirnya akan mengarahkan umat pada muara yang sama juga, yakni tegaknya kalimah Allah di muka bumi. Tinggal, hari ini kita pastikan, kitalah motor perubahan, BUKAN jadi  yang tertinggal  apalagi batu penghalang.  Fastabiqul-khairat!

-----------------------------