INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Sabtu, 27 Maret 2010

ANAK TERLANTAR, BUKTI PEMERINTAH ABAI


Oleh Siti Nafidah

Anak Terlantar RI capai 5,4 juta. Entah apa arti angka-angka ini bagi para pejabat berdasi yang duduk di kursi kekuasaan dan perwakilan rakyat sana. Perseteruan politik, perebutan pengaruh, dan tetek bengek perdebatan yang terus-menerus diekspose media dan ‘hanya’ berujung pada target pencitraan seakan membuktikan betapa nasib rakyat, termasuk nasib anak Indonesia hanyalah menjadi agenda kesekian dalam kamus kerja politik mereka.

Kesimpulan di atas tentu bukan tanpa bukti. Tahun 2009 Komisi Nasional Perlindungan Anak dari Departemen Sosial melansir jumlah anak terlantar di Indonesia ‘masih’ sekitar 3,4 juta. Namun belum genap satu tahun, angka ini bertambah sebanyak 2 juta anak hingga saat ini mencapai 5,4 juta. Sebuah angka yang sangat fantastis dan tak urung memunculkan pertanyaan, selama ini pemerintah ada dimana? Terlebih, data di atas bisa jadi hanya merupakan fenomena gunung es. Karena realitasnya, kehadiran anak terlantar –termasuk di antaranya anak-anak jalanan-- kini kian mudah kita temui di mana saja dan kapan saja. Wajar jika ada anekdot terkait pasal 34 ayat 1 UUD 1945, “fakir miskin dan anak terlantar (memang) dipelihara (keberadaannya) oleh negara”.

Yang ironi, meningkatnya jumlah anak terlantar yang fantastik ini tak sepadan dengan klaim pemerintah tentang menurunnya tingkat kemiskinan di Indonesia. Tahun 2009 lalu, pemerintah mengklaim telah berhasil menurunkan angka kemiskinan hingga level 14,15%, bahkan berani memprediksi angka ini turun menjadi 13,5% di tahun 2010. Logikanya, jika tingkat kemiskinan benar menurun, berarti tingkat kesejahteraan masyarakat seharusnya meningkat. Sementara, tak bisa dipungkiri jika problem anak terlantar justru menjadi potret atau cerminan bagi realitas masyarakat dengan tingkat kesejahteraan rendah. Itulah kenapa Kementrian Sosial sendiri (dulu : Depsos) mengkatagorikan anak terlantar ke dalam kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS). Pertanyaannya, jika klaim pemerintah soal menurunnya tingkat kemiskinan yang berarti meningkatnya tingkat kesejahteraan itu benar, lantas siapa yang menikmatinya? Atau, jangan-jangan hitungannya memang salah?

Seperti diketahui, selama ini pemerintah, dalam hal ini BPS mematok ukuran untuk mengkategorikan penduduk miskin adalah mereka yang memiliki pendapatan per kapita per hari di bawah USD 1,5 atau sekitar Rp. 15.000,-. Artinya, dengan pendapatan rata-rata sedikit di atas Rp. 15.000 per hari, seseorang dianggap cukup bisa memenuhi kebutuhan mendasarnya akan sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dll, alias tidak miskin. Padahal, realita bahwa hari ini semua kebutuhan serba langka dan mahal, membuat uang Rp. 15.000 seolah tak ada artinya. Begitupun, standar USD 1,5 yang digunakan pemerintah senyatanya juga tak bisa menggambarkan kenyataan bahwa setiap penduduk pasti berpendapatan sama, karena angka itu realitasnya hanyalah ‘angka rata-rata’ semata.

Seharusnya, sebagai sebuah problem sosial, keberadaan anak terlantar tentu tak boleh diabaikan. Banyaknya persoalan yang dihadapi anak terlantar seharusnya membuat kita prihatin karena mereka adalah bagian aset generasi penerus bangsa. Anak terlantar dekat dengan kasus gizi buruk, putus sekolah, dan kualitas kesehatan yang rendah. Anak terlantar juga dekat dengan dunia kekerasan, ancaman trafficking dan pergaulan bebas termasuk narkoba, kebiasaan nge-lem dan seks bebas yang berujung pada ancaman penyakit semacam PMS dan HIV/AIDS. Di kalangan anak jalanan, bahkan tak sedikit anak-anak perempuan di bawah umur yang hamil di luar nikah dan melahirkan generasi anak-anak jalanan berikutnya dengan kualitas hidup yang tak jauh berbeda dari kedua orang tuanya.

Atas fakta ini, pemerintah memang mengklaim telah berbuat banyak hal. Satu diantaranya adalah apa yang dicanangkan Kementrian Sosial berupa Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) sebagai program unggulan yang fokus pada pelayanan dan perlindungan khusus bagi anak-anak telantar, termasuk di dalamnya anak-anak jalanan. Bersama NGO Internasional Save The Children US, Kemensos sudah menguji coba program ini di 7 kota di 5 provinsi di Indonesia dan sudah merangkul 1.250 anak telantar. Sekalipun upaya pemerintah ini tak bisa dinihilkan, namun apa arti angka 1.250 ini jika dibandingkan dengan angka 5,4 juta anak terlantar?!

Sejauhmana perhatian pemerintah terhadap nasib anak terlantar setidaknya juga bisa dilihat dari keberpihakan politik anggaran dan pencitraan anggaran APBN pada kelompok penyandang masalah kesejahteraan sosial. Sebagaimana diketahui, di luar dana subsidi energy (listrik, BBm, dll) sebesar Rp. 106,5 T dan dana subsidi pangan dan pupuk sebesar Rp. 51,3T, alokasi APBN 2010 untuk bantuan sosial disepakati ‘hanya’ Rp.69,6 T. Angka ini jauh di bawah alokasi anggaran untuk belanja pegawai sebesar Rp.158,1 T dan pembayaran bunga utang dalam dan luar negeri sebesar Rp. 115,6 T.

Dari dana sebesar Rp. 69,6 T itu pun, ternyata tak ada alokasi spesifik untuk penanganan anak terlantar. Dana itu justru dialokasikan untuk cadangan penanggulangan bencana alam (Rp. 3,0 T), Program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) bagi 44,1 juta siswa ( tentu tidak mencakup anak terlantar yang rata-rata putus sekolah) sebesar Rp. 19,8 T, Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp1,3 T, program Jamkesmas sebesar Rp. 5,1 T dan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM Mandiri) sebesar Rp12,9 T. Yang memprihatinkan, realisasi program-program inipun seringkali tak sesuai dengan rencana. Program PNPM Mandiri misalnya, alih-alih mengarah pada upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat, program ini malah identik dengan program semenisasi gang-gang desa yang justru hanya memperluas areal banjir di mana-mana.

Fakta-fakta di atas setidaknya menunjukkan, bahwa pemerintah memang masih abai terhadap persoalan anak terlantar, hingga wajar jika dalam waktu belum genap satu tahun angkanya bisa meningkat hingga 2 juta. Bahkan ada kesan pemerintah ingin lepas tangan dengan mencoba melempar tanggungjawab atas masalah ini kepada masyarakat termasuk LSM-LSM, yayasan-yayasan sosial, organisasi-organisasi masyarakat, dan lain-lain atas nama ‘peningkatan kesadaran partisipatif’ masyarakat.

Bahwa persoalan anak terlantar bukan semata tanggungjawab pemerintah memang iya. Masyarakat, baik secara individu maupun kelompok memiliki kewajiban moral untuk peduli dan berperan serta dalam mengentaskan anak-anak terlantar sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun dilihat dari sisi keberadaan penguasa/pemerintah sebagai pengatur urusan masyarakat yang dalam Islam berfungsi sebagai junnah (perisai, pelindung), maka porsi tanggungjawab pemerintah tentu jauh lebih besar dan jauh lebih strategis dalam penanganan anak terlantar. Terlebih, persoalan anak terlantar bukan hanya menyangkut persoalan sosial semata, melainkan terkait dengan persoalan lainnya secara sistemik, seperti persoalan ekonomi (kemiskinan beserta penanganannya), kebijakan politik (political will), kebijakan budaya, pendidikan, hukum dan lain-lain.

Karenanya, jika kita sepakat bahwa persoalan 5,4 juta anak terlantar adalah ancaman. Dan ancaman ini berpeluang besar untuk menghancurkan, maka sudah saatnya pemerintah sebagai pengemban amanah kepemimpinan yang tidak hanya akan dipertanggungjawabkan secara duniawi, tetapi juga ukhrawi, mengambil langkah-langkah strategis dan paradigmatis. Sudah saatnya, pemerintah mulai menerapkan kebijakan yang berperspektif penyelamatan generasi. Dalam aspek ekonomi, pemerintah harus memastikan seluruh kebijakannya mengarah pada upaya mensejahterakan rakyat, bukan malah pro kapitalis. Karenanya, kekayaan alam yang melimpah ruah dan asset-aset strategis yang dimiliki harus benar-benar digunakan bagi kesejahteraan mereka, bukan malah diprivatisasi atau dijual kepada asing. Begitupun dengan aspek-aspek yang lainnya. Politik, pendidikan, budaya, dll, semua harus mengarah pada penjagaan dan pembentukan generasi yang kuat dan bermartabat. Karena hanya dengan itu, terbentuknya masyarakat dan negara yang kuat bermartabat di masa depan, tak lagi hanya menjadi angan dan jargon semata. []

Rabu, 10 Maret 2010

AROMA PRAGMATISME DIBALIK RUU NIKAH SIRI

Oleh : Siti Nafidah

Rencana pemerintah dan DPR mensahkan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama bidang Perkawinan (RUU HMPA) yang lebih dikenal sebagai RUU Nikah Siri tak urung memunculkan kontroversi. Pihak yang pro menganggap bahwa praktik nikah siri merugikan anak-anak dan perempuan sehingga sudah saatnya diatur dan dibatasi. Sementara yang kontra menganggap bahwa RUU ini selain bertentangan dengan hukum-hukum Islam, juga membuka celah kriminalisasi praktik perkawinan yang akan menggoyah konstruksi keluarga Muslim.

Sebagaimana diketahui, RUU HMPA termasuk salah satu dari 58 RUU target prioritas pembahasan Prolegnas 2010 di DPR. RUU ini dianggap sebagai penyempurna bagi Kompilasi Hukum Islam yang ‘hanya’ berstatus Inpres, sekaligus menjadi pelengkap bagi UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Selama ini, KHI dan UU Perkawinan memang menjadi acuan utama bagi para hakim di lembaga Peradilan Agama dalam memutus perkara-perkara terkait perkawinan. Hanya saja, kedua produk hukum tersebut dianggap masih belum mengakomodir kepentingan anak dan perempuan serta belum memberi jaminan perlindungan atas anak dan perempuan yang dianggap sering menjadi korban dalam persoalan relasi perkawinan semisal pada kasus nikah siri dan poligami.

Bahwa praktik nikah siri telah membawa banyak persoalan memang tak bisa dinafikan. Penelantaran isteri dan anak akan mudah terjadi tanpa bisa dituntut. Tanpa buku nikah, seorang istri siri yang ditelantarkan, dicerai talak atau cerai mati akan mengalami kesulitan untuk menuntut hak hukumnya berupa nafkah di masa iddah atau hak waris karena tak memiliki bukti tertulis yang menjelaskan keabsahan satusnya sebagai isteri. Begitupun dengan si anak. Mereka akan sulit memperoleh berbagai hak hukum terkait ayah kandungnya (semisal nafkah, waris dan perwalian) karena merekapun tak memiliki identitas jelas berupa akta kelahiran yang secara administratif pembuatannya mensyaratkan keberadaan akta nikah dari kedua orangtuanya.

Persoalan-persoalan seperti inilah yang melatarbelakangi penyusunan RUU HMPA. Kelahirannya dipandang sebagai bukti keseriusan pemerintah untuk terus memberikan jaminan pemenuhan hak-hak kaum perempuan dan anak, sekaligus memberi perlindungan terhadap dampak relasi perkawinan yang (dianggap selalu) merugikan mereka. Pertanyaannya, bisakah RUU yang antara lain membatasi nikah siri melalui pemidanaan pelaku dengan pemberian sanksi penjara dan denda ini meng-cover persoalan-persoalan yang diklaim sebagai dampak nikah siri? Sementara, konten yang ditawarkan dalam RUU sama sekali tak menyentuh akar persoalan mengapa nikah siri menjadi pilihan banyak orang. Terlebih pada faktanya kasus-kasus penelantaran isteri dan anak pun tak jarang didapati pada pernikahan yang sah tercatat oleh negara.

Jika ditelusuri, setidaknya ada 2 hal yang menjadi alasan kenapa nikah siri dilakukan. Pertama, bagi banyak kalangan terutama rakyat miskin, menikah di KUA, selain tidak mudah (karena prosedural) juga tidak murah alias mahal. Selain harus ruwet mengurus administrasi, merekapun harus siap merogoh kocek minimal 300 ribu rupiah bahkan lebih agar pernikahan sakral mereka mendapat legalitas dari negara. Dan ini, tentu bukan hal ringan buat mereka.

Kedua, nikah siri banyak dipilih oleh para pelaku poligami dikarenakan aturan yang ada masih mempersulit praktik nikah seperti ini. Dalam UU No.1 tahun 1974 pasal 3 ayat 2, pasal 4 dan pasal 5, serta dalam KHI Pasal 55 dan 56 sampai 59, diatur bahwa selain harus mengantongi izin dari isteri-isteri sebelumnya, peminat poligami juga harus memperoleh izin dari Pengadilan Agama sebelum melakukan pernikahan poligami. Izin inipun hanya akan diberikan jika memenuhi kondisi-kondisi yang membolehkan seorang suami berpoligami sebagaimana disebutkan dalam UU, seperti si isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, cacat atau sakit yang tidak bisa sembuh atau mandul. Selain itu, suami juga harus memenuhi syarat-syarat lainnya, seperti bisa menjamin keperluan para isteri dan bisa bertindak adil. Khusus bagi pegawai negeri atau ABRI, praktik poligami bahkan menjadi hal yang haram, yang jika ketahuan, pelakunya harus siap dimakzulkan.

Ironisnya, alih-alih dipermudah agar pelaku poligami tidak memilih nikah siri, RUU HMPA malah memperkuat pembatasan poligami dengan mengkriminalisasi para pelaku dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Padahal sudah jelas, bahwa adanya pembatasan poligami menjadi salah satu alasan kenapa seseorang memilih nikah siri. Inilah yang menjadi pertanyaan banyak orang, apa yang sebenarnya dimaui pemerintah jika RUU ini benar-benar disahkan? Mengingat lepas dari pro dan kontra, praktek poligami sudah menjadi realita sosial yang diniscayakan bahkan diakui keabsahannya secara syar’i. Berharap praktik poligami bisa dihilangkan dari muka bumi, sama saja dengan mimpi di siang bolong. Tentunya pemerintah tidak ingin jika akhirnya masyarakat lebih merasa aman hidup bersama tanpa nikah alias kumpul kebo daripada nikah siri atau poligami tapi dihadapkan pada resiko dikriminalisasi.

Karenanya, jika benar bahwa rencana pengesahan RUU HMPA adalah untuk meminimalisir persoalan seputar anak dan perempuan, maka solusi seharusnya fokus pada akar masalah kenapa nikah siri menjadi pilihan, bukan pada nikah siri dan poligaminya itu sendiri. Nikah siri --termasuk yang dilakukan para pelaku poligami—hanyalah akibat. Akar penyebabnya justru biaya dan prosedur yang menyulitkan serta adanya aturan-aturan yang membatasi poligami. Sehingga solusinya menjadi sederhana; permudah dan permurah pernikahan resmi oleh KUA, dan permudah pula jalan bagi orang yang menghendaki poligami. Maka yakin, masyarakat kecil dan pelaku poligamipun akan dengan senang hati melegalkan perkawinannya. Implikasi positifnya, para isteri dan anak-anak pun akan beroleh hak-hak hukum yang sama dan kuat karena memiliki bukti legalitas atas status mereka. Bahkan dengan cara ini pula klaim dan stereotipe poligami sebagai kejahatan terselubung atas perempuan dan anak, dengan sendirinya akan terhapus oleh pelegalan poligami. Terlebih faktanya tak sedikit perempuan yang sebetulnya rela dipoligami.

Hanya saja di luar itu semua, ada persoalan prinsip yang tak bisa diabaikan, bahwa rencana pengesahan RUU Nikah Siri oleh pemerintah telah memaksa kalangan Muslim berada dalam posisi dilematik. Di satu sisi, mereka tak mungkin mengabaikan keyakinan akan ajaran Islam yang membolehkan dan mensahkan pernikahan siri dan poligami sepanjang semua syarat dan rukunnya terpenuhi. Namun di sisi lain mereka dipaksa oleh undang-undang/hukum positif untuk percaya, bahwa pernikahan yang tidak dicatatkan (nikah siri) dan poligami adalah sebuah tindak kriminal dan cacat hukum alias tidak sah. Artinya dengan aturan semacam ini, persoalan administratif yang dalam pandangan syariat hukumnya ‘boleh’ ternyata digunakan oleh penguasa untuk menganulir keabsahan sebuah penikahan sehingga seolah menjadi ‘haram’. Ironisnya, di saat yang sama, RUU ini justru tidak mengatur hal yang lebih krusial yakni bagaimana mencegah dan mempidana pelaku perzinahan yang kini sudah merajalela dengan pemidanaan sebagaimana dituntut oleh Islam. RUU ini justru terkesan melegalkan perzinahan dengan dimuatnya aturan yang memaksa seorang laki-laki untuk menikahi perempuan yang dizinahinya.

Selain membuat bingung, ambiguitas peraturan semacam ini tentu akan berdampak besar terhadap kadar religiusitas masyarakat. Mereka akan selalu gamang menempatkan loyalitas mereka antara kepada syari’at atau pada negara. Dan ini merupakan syndrom masyarakat sekuler yang secara sadar telah menerima peminggiran agama dalam penyelesaian masalah kehidupan. Padahal, penerapan sistem sekularisme oleh penguasa, jelas bertentangan dengan iman Islam. Karena prinsip sekulerisme adalah fashl ad-din ‘an al- hayah wa ad-dawlah (pemisahan agama dengan urusan hidup dan negara), sementara Islam tak pernah memisahkan keduanya.

Seharusnya, jika negeri ini konsisten dengan politik hukumnya yang menempatkan Islam sebagai (salah satu) sumber rujukan, maka tak boleh ada kebijakan yang bertentangan dengan hukum Islam. Sayangnya ini tak terjadi. Hukum Islam yang sudah lama dikebiri menjadi sekedar hukum-hukum perkawinan (NTCR), waris dan wakaf-pun, kini kian terkebiri oleh aturan-aturan pragmatik seperti RUU HMPA ini. Pertanyaannya, sebenarnya pemerintah memihak pada Umat Islam atau tidak? []

MENYOAL PEREMPUAN DI HARI PEREMPUAN

Oleh : Siti Nafidah

Tak banyak yang tahu, bahwa 8 Maret merupakan Hari Perempuan Internasional. Sebagian aktivis perempuan (feminis) menggunakannya sebagai momentum untuk mengingat-kan, bahwa perempuan masih harus berjuang keras memperbaiki keadaannya yang masih terpuruk. Terkait dengan hal ini, ada beberapa asumsi yang dibangun oleh kalangan feminis.

Pertama, masih banyak persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan, mulai dari subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, kekerasan dan pelabelan negatif. Kesemuanya, disebut-sebut sebagai dampak dari struktur masyarakat patriarki yang menciptakan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan dan akhirnya menciptakan ketimpangan gender yang merugikan kaum perempuan. Dalam masyarakat seperti ini, perempuan, ‘dipaksa’ menerima pembagian peran gender yang terposisi sebagai sub ordinat bagi peran gender laki-laki, seperti ‘sekedar’ menjadi isteri dan ibu. Relasi di antara keduanya pun lantas dibangun sebagai hubungan penguasa dan yang dikuasai. Perempuan cuma menjadi ‘pelayan’ yang hidupnya bergantung penuh kepada laki-laki. Akibatnya, perempuan termarginalisasi, menjadi korban kekerasan dan harus rela mendapat sebutan miring dari makhluk bernama ‘laki-laki’.

Kedua, Struktur masyarakat patriarki berikut peran gender yang diciptakannya dianggap sebagai produk budaya. Tercakup di dalamnya adalah pemahaman keagamaan (terutama Islam) dan adat istiadat yang melekat di bawah alam sadar dan dikukuhi sebagai kebenaran. Konsep tentang kodrat perempuan dan laki-laki adalah contohnya. Begitupun ajaran-ajaran yang mengatur relasi perempuan dan laki-laki, termasuk pembedaan hak dan kewajiban, pembagian hak waris, aturan terkait pernikahan (wali, hak talak, aturan iddah, masalah aurat dan poligami, dll). Bagi kalangan feminis, konsep-konsep yang dikukuhi masyarakat sebagai kebenaran semacam inilah yang dianggap melanggengkan ketidakadilan berbasis gender.

Ketiga, masyarakat yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan gender dianggap sebagai bentuk masyarakat ideal. Dalam masyarakat seperti ini digambarkan, relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan bukan hanya sejajar, tetapi masing-masing memiliki hak secara adil untuk memilih peran gender yang diminatinya tanpa mempertimbangkan jenis kelamin mereka. Dalam kacamata feminis, peran gender memang tak ada hubungannya dengan jenis kelamin biologis. Peran gender yang secara sederhana diartikan sebagai jenis kelamin sosial dianggap cuma produk budaya yang masing-masing bisa dipertukarkan. Jika seseorang berjenis kelamin laki-laki berkenan memilih peran ibu dan seseorang yang berjenis kelamin perempuan berkenan memilih peran kepala keluarga, sejauh dibangun dengan prinsip kesetaraan maka tidak menjadi soal. Begitupun ketika dua orang perempuan atau dua orang laki-laki ‘menyatu sebagai pasangan’ dan masing-masing memilih peran gender yang berbeda, yang satu berperan sebagai ibu, dan yang lain menjadi kepala keluarga, itu juga tak mengapa. Yang penting, setiap orang diberi kesempatan secara adil (meski faktanya dzalim) untuk menentukan pilihan-pilihan.

Keempat, mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender menjadi cita-cita tertinggi para pejuang perempuan. Dengan berbagai cara, mereka menuntut diberi kesempatan luas untuk berperan di berbagai bidang kehidupan sebagaimana laki-laki. Merekapun menuntut pemberangusan berbagai hal yang menghalangi upaya mereka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Ajaran Islam menjadi salah satu sasaran bidik karena dianggap sebagai sumber ketidakadilan sistemik bagi perempuan. Ajaran-ajarannya dianggap sangat sexist (bias gender) dan melegitimasi ‘penjajahan’ laki-laki atas perempuan. Itulah yang mendasari gerakan-gerakan rekonstruksi yang sejatinya merupakan gerakan dekonstruksi fiqih dengan dalih membela hak-hak perempuan. Manuver Amina Wadud yang mengimami shalat Jumat dengan jamaah campur antara laki-laki dan perempuan yang sebagian menutup aurat dan sebagiannya tidak, kehadiran Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam yang kontroversial, keduanya merupakan contoh dari upaya yang mereka lakukan. Dan untuk kasus CLD KHI, meski sudah dianulir, ruhnya masih berhasil dialirkan dalam produk hukum lain semisal UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kesehatan dan sangat kental terlihat dalam draft RUU HMPA (RUU Nikah Siri) yang hingga hari ini sedang terus mereka perjuangkan dan diindikasi kuat bergesekan dengan banyak hukum-hukum Islam tentang keluarga.

Bahwa ada banyak persoalan yang menimpa kaum perempuan memang tak bisa dinafikan. Namun mengklaim semua persoalan ini spesifik sebagai persoalan perempuan merupakan bentuk ketidaktepatan membaca peta permasalahan. Dan ini akan berimplikasi pada solusi yang nantinya akan diperjuangkan.

Realitasnya, semua persoalan yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan sesungguhnya menjadi potret buram mayoritas masyarakat yang diniscayakan terjadi dalam sistem yang tak memihak pada keadilan. Sistem kapitalisme liberal yang saat ini diterapkan, nyata-nyata hanya memihak kepentingan para pemilik modal yang jumlahnya minoritas dan menyisakan sedikit untuk dibagi pada individu masyarakat yang jumlahnya mayoritas. Masyarakat yang mayoritas ini ‘dipaksa’ bersaing satu sama lain memperebutkan sedikit celah akses ke mesin ekonomi kapitalisme-liberalisme untuk kemudian diperas energinya dan diperbudak demi kepentingan para pemilik modal. Jadilah kemiskinan sebagai potret bersama. Sementara ketidaknyamanan ini berbuntut pada munculnya masalah sosial yang tidak hanya dirasakan satu-dua orang saja, atau sebagian entitas saja. Pendidikan bermutu dan fasilitas kesehatan yang bisa membangun SDM berdaya saing, semua menjadi barang mahal. Kekerasan, diskriminasi, sub-ordinasi dan marginalisasipun menjadi dampak ikutan dari ketidakadilan sistemik yang diciptakan kapitalisme. Kalaupun muncul yang disebut masyarakat patriarki, maka relasi kuasa yang sebenarnya terjadi adalah antara para kapitalis yang menjadi ordinat dan masyarakat kebanyakan sebagai sub ordinat, bukan antara laki-laki versus perempuan. Jikapun akhirnya perempuan yang dibandingkan laki-laki banyak menjadi korban, maka itu hanyalah cabang persoalan yang sejatinya akan selesai jika akar persoalan ketidakadilan yang bersumber dari sistem kapitalisme tertuntaskan. Dengan demikian, akar persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan serta soal penyebab munculnya patriar-kisme dalam masyarakat menjadi clear. Kapitalisme-liberalismelah biangkerok dari semuanya.

Persoalan berikutnya adalah ketika agama -terkhusus Islam-- dipersalahkan. Selain salah kaprah, lagi-lagi asumsi ini menunjukkan ketidakmampuan kalangan feminis membaca peta masalah. Sejak awal, Islam sudah menetapkan paradigma syumuli (holistik) tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Selain menetapkan prinsip kesetaraan hakiki (bukan maknawi sebagaimana diyakini feminisme), Islam juga menganut prinsip ta’awwun (kerjasama saling membantu) antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan dilihat secara proporsional, tidak secara subjektif, dikotomik bahkan asumtif sebagaimana pandangan para feminis. Dari sisi insaniyah mereka dipandang secara sama karena keduanya memiliki akal dan potensi hidup yang sama. Kesamaan inilah yang memungkinkan bagi keduanya diberi beban hukum yang sama, semisal sama-sama wajib beriman kepada apa-apa yang wajib diimani, beribadah, berdakwah, menuntut ilmu, dibolehkan bekerja, mengembangkan harta, dan lain-lain. Namun disisi lain, Islam tidak menafikan adanya perbedaan jenis yang realitanya membawa konsekuensi pada perbedaan peran sosial sebagaimana yang dinafikan kalangan feminis. Realita bahwa perempuan punya alat reproduksi dan karenanya berkemampuan untuk haid, hamil, melahirkan, menyusui dan sebagainya, mengharuskan adanya hukum-hukum yang berbeda dengan laki-laki, termasuk ketika perempuan akhirnya diberi peran sosial khusus sebagai isteri dan ibu sementara laki-laki diberi peran khusus sebagai kepala keluarga berikut hak dan kewajiban serta aturan-aturan menyangkut relasi keduanya yang berbeda.

Perbedaan-perbedaan ini tidak dipandang sebagai pegistimewaan yang satu daripada yang lain atau sebagai diskriminasi Islam atas kaum perempuan, melainkan disinilah letak keadilan Islam. Karena Islam memberi nilai kemuliaan bukan pada jenis peran sosialnya, tetapi pada sejauhmana kedua pihak melaksanakan peran-peran sosial ini sesuai tuntunan Allah SWT (Itulah yang disebut dengan kadar ketakwaan. Dengan begitu, keduanya bisa bekerjasama (ta’awun) saling mengisi, secara adil dan setara untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan dan karenanya kebahagiaan hakiki bisa dirasakan semua pihak tanpa kecuali. Lebih dari itu, Islam, memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk meraih kebahagiaan hakiki berupa keridhaan Allah dan SurgaNya. Sehingga wujud kesetaraan yang ditawarkan Islam tidak hanya bersifat maknawi dan fana, melainkan hakiki dan abadi.

‘Ala kulli hal, jika realita kehidupan kapitalistik liberalistik hanya melahirkan ketidakadilan, bahkan tidak hanya untuk kaum perempuan, sementara Islam menawarkan keadilan dan kebahagiaan hakiki bagi semua, maka sudah sangat jelas kemana seharusnya perempuan melangkahkan kaki dan mengarahkan orientasi.[][]