INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 10 Maret 2010

MENYOAL PEREMPUAN DI HARI PEREMPUAN

Oleh : Siti Nafidah

Tak banyak yang tahu, bahwa 8 Maret merupakan Hari Perempuan Internasional. Sebagian aktivis perempuan (feminis) menggunakannya sebagai momentum untuk mengingat-kan, bahwa perempuan masih harus berjuang keras memperbaiki keadaannya yang masih terpuruk. Terkait dengan hal ini, ada beberapa asumsi yang dibangun oleh kalangan feminis.

Pertama, masih banyak persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan, mulai dari subordinasi, marginalisasi, diskriminasi, kekerasan dan pelabelan negatif. Kesemuanya, disebut-sebut sebagai dampak dari struktur masyarakat patriarki yang menciptakan relasi kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan dan akhirnya menciptakan ketimpangan gender yang merugikan kaum perempuan. Dalam masyarakat seperti ini, perempuan, ‘dipaksa’ menerima pembagian peran gender yang terposisi sebagai sub ordinat bagi peran gender laki-laki, seperti ‘sekedar’ menjadi isteri dan ibu. Relasi di antara keduanya pun lantas dibangun sebagai hubungan penguasa dan yang dikuasai. Perempuan cuma menjadi ‘pelayan’ yang hidupnya bergantung penuh kepada laki-laki. Akibatnya, perempuan termarginalisasi, menjadi korban kekerasan dan harus rela mendapat sebutan miring dari makhluk bernama ‘laki-laki’.

Kedua, Struktur masyarakat patriarki berikut peran gender yang diciptakannya dianggap sebagai produk budaya. Tercakup di dalamnya adalah pemahaman keagamaan (terutama Islam) dan adat istiadat yang melekat di bawah alam sadar dan dikukuhi sebagai kebenaran. Konsep tentang kodrat perempuan dan laki-laki adalah contohnya. Begitupun ajaran-ajaran yang mengatur relasi perempuan dan laki-laki, termasuk pembedaan hak dan kewajiban, pembagian hak waris, aturan terkait pernikahan (wali, hak talak, aturan iddah, masalah aurat dan poligami, dll). Bagi kalangan feminis, konsep-konsep yang dikukuhi masyarakat sebagai kebenaran semacam inilah yang dianggap melanggengkan ketidakadilan berbasis gender.

Ketiga, masyarakat yang menjunjung tinggi kesetaraan dan keadilan gender dianggap sebagai bentuk masyarakat ideal. Dalam masyarakat seperti ini digambarkan, relasi yang terbangun antara laki-laki dan perempuan bukan hanya sejajar, tetapi masing-masing memiliki hak secara adil untuk memilih peran gender yang diminatinya tanpa mempertimbangkan jenis kelamin mereka. Dalam kacamata feminis, peran gender memang tak ada hubungannya dengan jenis kelamin biologis. Peran gender yang secara sederhana diartikan sebagai jenis kelamin sosial dianggap cuma produk budaya yang masing-masing bisa dipertukarkan. Jika seseorang berjenis kelamin laki-laki berkenan memilih peran ibu dan seseorang yang berjenis kelamin perempuan berkenan memilih peran kepala keluarga, sejauh dibangun dengan prinsip kesetaraan maka tidak menjadi soal. Begitupun ketika dua orang perempuan atau dua orang laki-laki ‘menyatu sebagai pasangan’ dan masing-masing memilih peran gender yang berbeda, yang satu berperan sebagai ibu, dan yang lain menjadi kepala keluarga, itu juga tak mengapa. Yang penting, setiap orang diberi kesempatan secara adil (meski faktanya dzalim) untuk menentukan pilihan-pilihan.

Keempat, mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender menjadi cita-cita tertinggi para pejuang perempuan. Dengan berbagai cara, mereka menuntut diberi kesempatan luas untuk berperan di berbagai bidang kehidupan sebagaimana laki-laki. Merekapun menuntut pemberangusan berbagai hal yang menghalangi upaya mereka mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender. Ajaran Islam menjadi salah satu sasaran bidik karena dianggap sebagai sumber ketidakadilan sistemik bagi perempuan. Ajaran-ajarannya dianggap sangat sexist (bias gender) dan melegitimasi ‘penjajahan’ laki-laki atas perempuan. Itulah yang mendasari gerakan-gerakan rekonstruksi yang sejatinya merupakan gerakan dekonstruksi fiqih dengan dalih membela hak-hak perempuan. Manuver Amina Wadud yang mengimami shalat Jumat dengan jamaah campur antara laki-laki dan perempuan yang sebagian menutup aurat dan sebagiannya tidak, kehadiran Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam yang kontroversial, keduanya merupakan contoh dari upaya yang mereka lakukan. Dan untuk kasus CLD KHI, meski sudah dianulir, ruhnya masih berhasil dialirkan dalam produk hukum lain semisal UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kesehatan dan sangat kental terlihat dalam draft RUU HMPA (RUU Nikah Siri) yang hingga hari ini sedang terus mereka perjuangkan dan diindikasi kuat bergesekan dengan banyak hukum-hukum Islam tentang keluarga.

Bahwa ada banyak persoalan yang menimpa kaum perempuan memang tak bisa dinafikan. Namun mengklaim semua persoalan ini spesifik sebagai persoalan perempuan merupakan bentuk ketidaktepatan membaca peta permasalahan. Dan ini akan berimplikasi pada solusi yang nantinya akan diperjuangkan.

Realitasnya, semua persoalan yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan sesungguhnya menjadi potret buram mayoritas masyarakat yang diniscayakan terjadi dalam sistem yang tak memihak pada keadilan. Sistem kapitalisme liberal yang saat ini diterapkan, nyata-nyata hanya memihak kepentingan para pemilik modal yang jumlahnya minoritas dan menyisakan sedikit untuk dibagi pada individu masyarakat yang jumlahnya mayoritas. Masyarakat yang mayoritas ini ‘dipaksa’ bersaing satu sama lain memperebutkan sedikit celah akses ke mesin ekonomi kapitalisme-liberalisme untuk kemudian diperas energinya dan diperbudak demi kepentingan para pemilik modal. Jadilah kemiskinan sebagai potret bersama. Sementara ketidaknyamanan ini berbuntut pada munculnya masalah sosial yang tidak hanya dirasakan satu-dua orang saja, atau sebagian entitas saja. Pendidikan bermutu dan fasilitas kesehatan yang bisa membangun SDM berdaya saing, semua menjadi barang mahal. Kekerasan, diskriminasi, sub-ordinasi dan marginalisasipun menjadi dampak ikutan dari ketidakadilan sistemik yang diciptakan kapitalisme. Kalaupun muncul yang disebut masyarakat patriarki, maka relasi kuasa yang sebenarnya terjadi adalah antara para kapitalis yang menjadi ordinat dan masyarakat kebanyakan sebagai sub ordinat, bukan antara laki-laki versus perempuan. Jikapun akhirnya perempuan yang dibandingkan laki-laki banyak menjadi korban, maka itu hanyalah cabang persoalan yang sejatinya akan selesai jika akar persoalan ketidakadilan yang bersumber dari sistem kapitalisme tertuntaskan. Dengan demikian, akar persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan serta soal penyebab munculnya patriar-kisme dalam masyarakat menjadi clear. Kapitalisme-liberalismelah biangkerok dari semuanya.

Persoalan berikutnya adalah ketika agama -terkhusus Islam-- dipersalahkan. Selain salah kaprah, lagi-lagi asumsi ini menunjukkan ketidakmampuan kalangan feminis membaca peta masalah. Sejak awal, Islam sudah menetapkan paradigma syumuli (holistik) tentang relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Selain menetapkan prinsip kesetaraan hakiki (bukan maknawi sebagaimana diyakini feminisme), Islam juga menganut prinsip ta’awwun (kerjasama saling membantu) antara laki-laki dan perempuan.

Dalam pandangan Islam, laki-laki dan perempuan dilihat secara proporsional, tidak secara subjektif, dikotomik bahkan asumtif sebagaimana pandangan para feminis. Dari sisi insaniyah mereka dipandang secara sama karena keduanya memiliki akal dan potensi hidup yang sama. Kesamaan inilah yang memungkinkan bagi keduanya diberi beban hukum yang sama, semisal sama-sama wajib beriman kepada apa-apa yang wajib diimani, beribadah, berdakwah, menuntut ilmu, dibolehkan bekerja, mengembangkan harta, dan lain-lain. Namun disisi lain, Islam tidak menafikan adanya perbedaan jenis yang realitanya membawa konsekuensi pada perbedaan peran sosial sebagaimana yang dinafikan kalangan feminis. Realita bahwa perempuan punya alat reproduksi dan karenanya berkemampuan untuk haid, hamil, melahirkan, menyusui dan sebagainya, mengharuskan adanya hukum-hukum yang berbeda dengan laki-laki, termasuk ketika perempuan akhirnya diberi peran sosial khusus sebagai isteri dan ibu sementara laki-laki diberi peran khusus sebagai kepala keluarga berikut hak dan kewajiban serta aturan-aturan menyangkut relasi keduanya yang berbeda.

Perbedaan-perbedaan ini tidak dipandang sebagai pegistimewaan yang satu daripada yang lain atau sebagai diskriminasi Islam atas kaum perempuan, melainkan disinilah letak keadilan Islam. Karena Islam memberi nilai kemuliaan bukan pada jenis peran sosialnya, tetapi pada sejauhmana kedua pihak melaksanakan peran-peran sosial ini sesuai tuntunan Allah SWT (Itulah yang disebut dengan kadar ketakwaan. Dengan begitu, keduanya bisa bekerjasama (ta’awun) saling mengisi, secara adil dan setara untuk mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat secara keseluruhan dan karenanya kebahagiaan hakiki bisa dirasakan semua pihak tanpa kecuali. Lebih dari itu, Islam, memberi kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan untuk meraih kebahagiaan hakiki berupa keridhaan Allah dan SurgaNya. Sehingga wujud kesetaraan yang ditawarkan Islam tidak hanya bersifat maknawi dan fana, melainkan hakiki dan abadi.

‘Ala kulli hal, jika realita kehidupan kapitalistik liberalistik hanya melahirkan ketidakadilan, bahkan tidak hanya untuk kaum perempuan, sementara Islam menawarkan keadilan dan kebahagiaan hakiki bagi semua, maka sudah sangat jelas kemana seharusnya perempuan melangkahkan kaki dan mengarahkan orientasi.[][]

Tidak ada komentar: