INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Minggu, 02 Agustus 2009

OPINI MEDIA : SAVE OUR NATION

SEKULARISASI POLITIK DAN MIMPI MENYELAMATKAN BANGSA
Oleh : Siti Nafidah HK

(Peminat Masalah Politik, tinggal di Bandung)


Menarik menyimak perbincangan di acara Save Our Nation MetroTV pada Rabu malam, 17 Oktober 2008 bertajuk “Sekularisasi Politik Islam di Indonesia”. Selain menggagas keharusan melakukan sekularisasi politik dan menolak gagasan ideologisasi politik (Islam) dalam konteks ‘penyelamatan bangsa’, acara yang dipandu Rizal Mallarangeng dan menghadirkan tamu seorang aktivis demokrasi, professional dan Direktur LSI ini juga mencermati kecenderungan moderasi parpol-parpol Islam, termasuk yang awalnya dikenal kental dengan ruh ideologis atau bahkan dikenal sebagai kelompok “garis keras” (versi sdr Rizal) semisal PKS.
Selain itu, diskusi juga menukik pada sebuah kesimpulan bahwa proses moderasi ini adalah sebuah keniscayaan, bahkan keharusan jika parpol Islam mau bersaing dan keluar sebagai pemenang dalam pesta demokrasi. Terlebih, seperti disitir Rizal dan Saiful Mujani, mesin politik besI yang ada (system demokrasi?) memang akan memaksa siapapun untuk melakukan kompromi-kompromi, sehingga mau tidak mau parpol Islampun ketika ingin tetap bermain, maka dia harus mau bermain di tengah dan siap bersikap moderat dengan cara melakukan kompromi tadi. Dengan kata lain, dalam konteks ini, parpol Islam tak boleh lagi bicara ideologi dan ideologisasi (dengan Islam), bahkan harus siap menerima kenyataan bahwa sekularisasi politik adalah final, meski kata Saiful, itu akan menjadikan parpol Islam tak ada beda dengan parpol lain. Ditekankan pula, bahwa sikap “keukeuh” pada ideology dan cita-cita membumikan ideology (sikap anti sekularisasi) adalah merupakan bentuk kontra penyelamatan bangsa, sekaligus upaya penentangan pada sejarah. Padahal menurut Rizal, menentang sejarah akan beresiko dilindas sejarah.
Menyimak diskusi tersebut, banyak pertanyaan menggelitik di benak saya seputar hubungan sekularisasi politik dan keinginan menyelamatkan bangsa, serta masalah parpol-parpol Islam yang dalam kenyataan saya akui memang kian tak ada beda dengan partai-partai sekuler yang ada.
Bahwa bangsa ini harus diselamatkan, saya sangat setuju. Terlebih, kita tak bisa menutup mata bahwa begitu banyak persoalan dan krisis yang harus dihadapi bangsa ini, sehingga cita-cita luhur bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan hakiki dengan jaminan diperolehnya kesejahteraan dan kemakmuran oleh seluruh rakyat hingga kini masih jadi mimpi. Kemiskinan, masih jadi kekayaan terbesar negeri ini. Kebodohan, krisis moral, konflik horizontal, disintegrasi, masih jadi ancaman. Belum lagi penjajahan politik dan ekonomi, ketergantungan pada asing dan bentuk ketidakberdayaan politik lain begitu kental mengungkung negeri ini. Tapi haruskah diselamatkan dengan sekularisasi?
Bagi saya, sebenarnya sangat mudah memahami bahwa konklusi ini (maaf) sangat serampangan. Bukankah selama ini –sejak bangsa ini “merdeka”- kita (baca: para penguasa kita) sudah begitu konsisten memegang teguh sekularisme? Dan bukankah krisis multidimensi –yang faktanya tidak hanya terjadi di negeri ini- justru bermunculan saat kita ‘istiqamah’ mengabdi dan mendewakan sekularisme? Lantas, sekularisme versi mana lagi yang kita harapkan bisa menyelamatkan bangsa ini?
Nampak jelas, bahwa selama ini analisis kita masih berputar di permukaan, belum pada akar. Padahal jelas, bahwa selain persoalan person, krisis multidimensi yang terjadi selama ini adalah akibat kesalahan system; bagaimana kekayaan negeri yang melimpah ruah ini dikelola, bagaimana sumberdaya manusia yang sangat besar ini diberdayakan, bagaimana kewibawaan dan keutuhan negeri ini dibangun dipertahankan, dan lain-lain. Dan ini semua berbicara tentang penerapan system yang dipakai; system ekonomi, system politik, system pendidikan, system social, system hokum, system hankam, dan lain-lain.
Faktanya, dengan sekularisme, selama ini kita hanya memiliki dua opsi tentang system apa yang akan dipakai mengatur hidup ini; apakah system kapitalisme dengan segala turunannya atau sosialisme dengan berbagai turunannya juga? Dan faktanya pula, kita sudah bereksperimen dengan kedua ideology ini. Di masa Soekarno, kita sudah ‘bermain-main’ dengan sosialisme –meski diversi Indonesiakan-, dan hasilnya kita gagal. Masa Soeharto, bahkan hingga sekarang, kitapun mencoba mengadopsi kapitalisme, dan buktinya kita collaps. Bahkan, kita justru terjebak dalam permainan kapitalisme global, yang sayangnya bukan jadi subyek, tapi menjadi obyek Negara-negara kapitalis! Dan buah dari itu semua, kekayaan kita dirampas dan kehormatan kita diinjak-injak ! Lantas, apalagi pilihan kita, sementara selain kedua ideology ini, tak ada opsi lain yang ditawarkan sekularisme?
Jawabannya, memang tak mungkin berharap pada sekularisme!. Sebagai sebuah ide, sekularisme jelas batil, karena selain mengajarkan keharusan menjauhkan agama dari pengaturan kehidupan (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh), termasuk politik, secara aqidah juga telah menafikan hak prerogative Sang Pencipta dalam mengatur kehidupan ini, dan sebaliknya justru memberi hak penuh pengaturan tersebut pada manusia. Padahal, tak ada yang bisa memungkiri betapa terbatasnya akal manusia, terutama dalam memahami kebahagiaan dan keadilan hakiki yang diinginkan seluruh manusia serta jalan mewujudkannya. Hal ini terbukti dengan aturan-aturan yang kemudian dibuat oleh manusia di atas landasan sekularisme (yakni sosialisme-kapitalisme) yang tidak hanya telah gagal memberi jaminan keadilan dan menghantarkan manusia pada kebahagiaan hakiki, tapi bahkan telah menjerumuskan manusia pada kehancuran.
Harapan satu-satunya justru terletak pada Islam. Tentu saja Islam yang dimaksudkan adalah Islam yang bukan hanya ritual, akan tetapi Islam sebagai sebuah ideology (aqidah dan system hidup) dan menjadi versus bagi ideology sosialisme kapitalisme. Karena itu, jika benar-benar berniat tulus ingin menyelamatkan bangsa, seharusnya siapapun memperlakukan Islam ideology ini secara fair, yakni dengan cara memberinya kesempatan membuktikan kemampuannya memberi solusi atas persoalan-persoalan yang dihadapi. Jangan sampai, jargon kebebasan dan demokrasi yang selama ini digembar-gemborkan para pengabdi sekularisme hanya menjadi jargon belaka.
Sayangnya, itulah yang terjadi. Phobia mereka atas Islam, telah membuat mereka secara sadar berbuat tidak adil. Islam, mereka tuding sebagai biang konflik, anti modernisasi, tidak manusiawi, mengungkung kebebasan, merendahkan perempuan, dan lain-lain. Bahkan, atas semua krisis yang terjadi saat ini, mereka lemparkan kesalahan pada Islam ideology sebagai pihak yang bertanggungjawab. Padahal, siapapun bisa melihat fakta, bahwa saat ini Islam tidak diterapkan, dan berbagai krisis ini terjadi saat Islam justru tidak diterapkan. Fairkah jika demikian? Sayangnya, klaim mereka selama ini atas keagungan ilmu, semangat intelektual dan fakta-fakta ilmiah, tak cukup mampu mendorong mereka mau secara objektif mempelajari dan menilai, serta secara legowo mengakui kepurnaan system Islam, baik secara konsep maupun aplikasinya. Padahal secara konsep, Islam bisa dikomparasikan dengan konsep system-sistem lain. Dan secara factual, sejarah mencatat, sepanjang 13 abad Islam telah berhasil membangun peradaban manusia, lepas dari adanya fakta-fakta kesalahan penerapan yang seharusnya justru membuktikan betapa manusiawinya system Islam.
Oleh karena itu, jika dikembalikan pada pernyataan sdr Rizal mengenai penentangan sejarah tadi, maka saya ingin bertanya, sejarah mana yang dimaksudkan? Sejarah justru mencatat, banyak bangsa yang hancur setelah menenggak racun sekularisme. Peradaban Islam yang sudah tegak belasan abad, hancur saat Turki sebagai pusat kekhilafahan termakan propaganda Barat untuk mengadopsi sekularisme. Hingga kini, nama Turki (Utsmani) yang dulu tampil sebagai pusat negara pertama dan ditakuti semua bangsa tak pernah bisa berhasil bangkit dengan sekularisme. Begitupun negeri-negeri Islam yang awalnya dipersatukan dalam satu kekhilafahan dan memilih berpecah-belah dengan sekularisme, tak ada satupun yang mampu bangkit dengan kebangkitan hakiki. Bahkan Negara-negara adidaya yang dianggap Negara maju dan menjadi orientasi para pengabdi sekulerismepun hanya berhasil mengalami kebangkitan semu, dimana kemajuan di bidang saintek yang mereka raih tak mampu mencegah kehancuran moral dan spiritual yang menimpa kehidupan mereka. Inikah yang dicari dari sekularisme?
Oleh karena itu, penting meyakinkan umat bahwa hanya Islamlah satu-satunya solusi. Hanya saja, keyakinan ini akan terwujud jika mereka paham tentang kepurnaan system Islam sebagai system yang datang dari Sang Maha Pencipta Manusia dan Kehidupan ini seluruhnya, Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Maha Sempurna. Hal ini mengharuskan adanya upaya sosialisasi tentang gambaran rinci system Islam dan bagaimana metoda penerapan rilnya, mulai dari bagaimana Islam mengatur masalah individu, masalah ekonomi termasuk pengelolaan SDA, politik, pendidikan, budaya, hankam, mencegah pelanggaran (system hokum), menciptakan clean government and good governance, dan lain-lain. Dan tugas berat ini sesungguhnya merupakan tugas hakiki parpol Islam! Dengan kata lain, parpol Islamlah yang seharusnya menjadi pioneer keyakinan dan pioneer perjuangan menegakkan Islam di tengah-tengah umat, bukan malah menanggalkan Islam demi kekuasaan!
Memang sangat disayangkan jika parpol Islam yang ada sekarang terjebak dengan mesin politik besi yang ada dan akhirnya cenderung menanggalkan ideology atau bersikap kompromistik dengan sekularisme dengan dalih strategi atau keinginan bermain cantik. Meskipun bisa dipahami bahwa mengusung ideology Islam memang berat, terlebih di tengah propaganda negatif Negara-negara adidaya yang ketakutan akan munculnya kekuatan Islam sebagai ancaman hegemoni mereka. Akan tetapi, selain tuntutan syara’, konsistensi terhadap ideology ini justru akan menjadi kunci diraihnya kepercayaan dan simpati masyarakat. Karena sesungguhnya masyarakat sudah muak dengan keadaan dan siap menerima Islam, sepanjang Islam disampaikan dengan gamblang dan dengan uslub yang baik serta tetap bermain cantik (tanpa kekerasan). Konsistensi terhadap ideology inilah pulalah yang akan memunculkan loyalitas mereka terhadap perjuangan parpol dan menjadikan mereka siap dipimpin oleh parpol . Karena umat melihat parpol yang demikian, pasti hanya akan berjuang demi Islam dan masyarakat secara keseluruhan, bukan demi kelompok atau kekuasaan.
Oleh karena itu, applause dan apresiasi para pengusung sekularisme pada kiprah parpol Islam yang mereka nilai kian moderat hendaknya tidak diartikan sebagai pujian. Akan tetapi seharusnya justru menjadi bahan introspeksi dan evaluasi; sudah sejauhmana kita melangkah atasnama Islam dan kepentingan umat/masyarakat? Karena sesungguhnya, tak ada sedikit langkahpun yang akan luput dari pertanggungjawaban!

-----

Tidak ada komentar: