INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Minggu, 02 Agustus 2009

COUNTER GENDER : PERAN GERAKAN MUSLIMAH

PERAN GERAKAN MUSLIMAH DALAM KEBANGKITAN UMMAT
Oleh : Husnul Khotimah*


Pendahuluan
Membincangkan peran gerakan muslimah dalam kebangkitan umat seakan membuka kembali catatan sejarah panjang perjuangan Islam. Sebagaimana diketahui, sejak Rasulullah saw diutus untuk menyebarluaskan risalah Islam, para muslimah generasi awal telah terlibat secara aktif dalam pergerakan dakwah bersama kaum muslimin lainnya untuk melakukan transformasi sosial, mengubah masyarakat jahiliyah yang paganistik menjadi masyarakat Islam yang Rabbani. Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah; melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah-tengah masyarakat, hingga atas pertolongan Allah akhirnya berhasil membangun masyarakat Islam yang agung di Madinah, yakni masyarakat yang tegak di atas landasan aqidah dan hukum-hukum Islam.
Sejarah mencatat nama-nama besar semisal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra, Sitti Fathimah Az-Zahra ra., Asma binti Abu Bakar ra., Sumayyah ra., Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra., Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah ra., Fathimah binti al-Khaththab ra., Ummu Jamil binti al-Khaththab ra., Ummu Syarik ra., dan lain-lain yang semenjak bersentuhan dengan Islam keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam. Tak satupun di antara mereka yang mau –meski sejenak-- tertinggal dari satu peristiwapun, apalagi berlepas diri dari tanggungjawab memperjuangkan dienul haq, seberapapun besarnya resiko yang harus mereka hadapi. Sebagian dari mereka ada yang harus kehilangan harta, terpisah dari orang-orang yang dicinta, bahkan rela ketikapun harus kehilangan nyawa. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang hakiki, yang layak menjadi teladan pergerakan muslimah dari jaman ke jaman.
Di atas pilar-pilar inilah muslimah generasi sesudah mereka membangun kekuatan. Hanya saja yang menjadi target perjuangan mereka tentu bukan lagi menegakkan sistem kehidupan Islam, melainkan bagaimana berupaya mempertahankan eksistensinya agar kemuliaan ummat tetap terjaga. Di masa Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah sesudahnya, peran pergerakan muslimah dalam kancah kehidupan, termasuk dalam percaturan politik tercatat demikian besar, baik dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, muhasabah (koreksi) terhadap penguasa, bahkan dalam aktivitas jihad dan futuhat. Akan tetapi uniknya, pada saat yang sama, merekapun ternyata berhasil mencetak generasi terbaik –generasi mujahid dan mujtahid- yang mampu membangun peradaban Islam yang tinggi, yang mengalahkan peradaban-peradaban lainnya di dunia dalam rentang waktu yang sangat panjang. Tak heran jika umat Islam pada rentang tersebut betul-betul bisa tampil sebagai “khoiru ummah” .
Inilah sekelumit frasa sejarah mengenai keberadaan gerakan muslimah generasi Islam awal. Sebuah gerakan yang sarat nilai-nilai Ilahiyah dan menjadi bagian pergerakan kolektif (jama’ah) Islam. Kiprah nyata mereka ini justru telah menafikan ‘keyakinan’ dan sekaligus ‘kecurigaan’ sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Islam sama sekali tak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk berkiprah di tengah-tengah umat, turut serta membangun masyarakatnya menuju kebangkitan yang hakiki.

Pasang Surut Gerakan Muslimah
Benar bahwa sepanjang rentang waktu itu, gerakan muslimah tidak selamanya berjalan mulus dan terus eksis ke permukaan. Bahkan sejalan dengan kemunduran ummat, yang berakar pada kian melemahnya apresiasi dan pemahaman mereka terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang jernih, baik dari sisi aqidah maupun syari’ahnya, gerakan muslimahpun mulai mengalami pasang surut.
Pada fase tertentu, yakni ketika ‘pemikiran-pemikiran ekstrim’ seputar ‘fitnah kaum wanita’ menjadi mainstream berpikir umat dalam membangun sistem interaksi sosial (an-nidzam al-ijtima’iy) di antara mereka, peran para muslimah mulai terpinggirkan. Muslimah saat itu, bukan saja telah kehilangan kesempatan untuk berkiprah ditengah-tengah umat sesuai dengan batasan-batasan syari’at. Bahkan banyak dari hak dan kewajiban syar’i yang akhirnya tak bisa tertunaikan; mencari ilmu, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mu’amalah di bidang ekonomi/pengembangan harta, dan lain-lain. Praktis, pergerakan muslimahpun nyaris tak terdengar.
Pada fase ini, gambaran peng-harem-an kaum perempuan di istana-istana para penguasa, ‘pemenjaraan’ mereka di balik burdah dan hijab mutlak, pemingitan mereka di rumah-rumah suaminya, justru kian menyeruak ke permukaan, seolah menjadi ‘budaya baru’ yang terlegitimasi atas nama agama. Fase inilah yang kemudian digambarkan sebagai fase sejarah buruk kaum perempuan muslim, dimana penindasan dan pemenjaraan kaum perempuan tidak hanya berdampak pada kian teralienasinya hak dasar dan peran sosial politik mereka, tetapi lebih jauh ternyata berdampak pada kian terpuruknya kondisi umat dengan lahirnya generasi ‘lemah’ tak berdaya dari rahim-rahim mereka. Akibatnya, sejak saat itu umat Islam terus mengalami kemunduran. Dan tragisnya, penyebab munculnya kondisi buruk ini sedikit demi sedikit mulai dinisbahkan pada Islam. Sehingga jadilah Islam sebagai pihak yang dipersalahkan!
Di sisi lain, ‘kebangkitan dunia Barat’ dengan sekularisme sebagai ruhnya, diakui banyak pihak telah berimbas ke dunia Islam yang sedang sekarat. Dunia Islam mulai melihat peradaban Barat sebagai peradaban yang lebih menjanjikan kemuliaan dan kebangkitan dibandingkan Islam. Ide-ide semisal demokrasi, liberalisme, pluralisme, manfaatisme dan isme-isme sekuleris lainnya tanpa ragu mereka ambil sebagai nyawa baru, bahkan sebagai tuhan-tuhan baru. Sementara dalam konteks keperempuanan, ide feminisme yang juga merupakan derivasi sekulerisme dan di negeri kelahirannya diklaim sebagai spirit bagi ‘bangkitnya kesadaran eksistensial’ kaum perempuan, kemudian diadopsi mentah-mentah oleh sebagian kalangan muslimah yang kadung kecewa dengan agama mereka yang kadung dicap agjaran 'kolot'.
Saat itulah gerakan muslimah kembali menggeliat. Tetapi kali ini gerakan muslimah tampil dengan format dan nafas yang baru, yakni nafas ‘kekufuran’ yang ditawarkan sekularisme. Tanpa tedeng aling-aling, mereka hujat agama sebagai biang ketidakadilan dan kejumudan kaum perempuan, sehingga menurut anggapan mereka agama sudah saatnya didaur ulang atau bahkan dipeti eskan. Lantas jargon ‘pembebasan perempuan’ pun mulai bergaung demikian kencang di dunia Islam, mengalahkan seruan untuk segera menetapi kembali ‘keseimbangan pembagian peran’ yang sesungguhnya ditawarkan Islam namun selama ini terabaikan.
Muslimah di era ini memang telah larut dalam euphoria pembebasan. Ibarat kran yang lepas, muslimah saling berebut kesempatan melepas segala atribut dan pagar pembatas kebebasan. Jilbab, perwalian, pewarisan, institusi perkawinan mulai dipertanyakan. Kesetaraan tanpa bataspun menjadi sebuah impian, sementara peran ‘tradisional’ sebagai isteri dan ibu berubah menjadi hal yang menakutkan. Disinilah sekulerisme memainkan peranan strategisnya: dalam urusan kehidupan agama tak perlu diberi tempat. Karena bagi mereka agama hanyalah layak menjadi sajian ‘pelengkap’ saat ritual perkawinan dan upacara penguburan dilangsungkan!
Bahagiakah mereka? Bisa jadi di awal ya. Akan tetapi pada akhirnya sebagian dari mereka tersentak kaget melihat kenyataan, bahwa feminisme ternyata hanya menjanjikan kebahagiaan maya. Perempuan muslim bukan bertambah mulia, dan umatpun bukan semakin berjaya. Kaum muslimah justru kian kehilangan jati diri, menjadi makhluk asing yang tak bisa membangun harmoni dalam habitat kemanusiaannya sendiri. Sementara umat dan masyarakat nyaris ambruk karena kehilangan pilar penyangga, setelah kaum perempuan mencampakkan tabiat fitrinya sebagai pengayom dan penjaga generasi. Sebuah pengakuan yang jujur, ketika seorang Danielle Crittenden, penulis buku bertajuk “What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women” (1999) mengungkap hasil dari 10 tahun meneliti fakta kehidupan perempuan modern di Amerika. Menurutnya, perempuan-perempuan itu ternyata tak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang menurutnya tak lebih dari sekedar mitos. Betapa tidak, keberhasilan meraih kesetaraan tanpa batas, ternyata harus mereka bayar dengan merebaknya kasus perceraian, kesendirian dimasa tua, anak-anak bermasalah, persaingan yang melelahkan, yang seluruhnya berarti ‘ketidakbahagiaan’.
Sayang, fakta rusaknya masyarakat dan kejujuran wanita barat akan ‘bullshitnya’ pemikiran feminisme ini tak lantas menyadarkan kaum muslimah di negeri-negeri Islam, bahwa apa yang mereka harap dari gemerlapnya dunia Barat beserta ide yang ditawarkannya hanyalah utopia belaka. Ketikapun muncul kesadaran, mereka tak sampai terhantarkan pada kesimpulan bahwa kebahagiaan hakiki hanya akan terwujud dengan kembalinya mereka pada kehidupan Islam. Pada taraf ini, mereka menganggap bahwa agama sudah terlanjur cacat. Sekulerisme rupa-rupanya sudah demikian kuat tertancap, hingga agama tidak lagi mendapat tempat, dan tolok ukur prestise maupun kebahagiaan pun tidak lagi bersandar pada ukuran-ukuran agama, melainkan bersandar pada hal-hal yang bersifat fisik dan materil. Dengan frame inilah gerakan muslimah terus menggeliat, berubah bentuk, berlari, akan tetapi tetap tanpa arah.

Gerakan Muslimah dan Potret Buram Umat Islam Kini
Ada satu kenyataan yang seharusnya dikritisi dengan akal jernih dan bening hati, bahwa persoalan umat hari ini sesungguhnya bukan sekedar persoalan ketertindasan perempuan. Kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, kebodohan, submission, mal nutrisi, dan seribu satu persoalan lain yang selama ini oleh kalangan feminis diklaim sebagai ‘persoalan perempuan’ senyatanya tidak hanya menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Bahkan kita mau jujur mengakui, justru inilah sesungguhnya potret keseluruhan wajah kita --umat Islam—pada hari ini!!!
Tentu saja, kesadaran akan kenyataan seperti ini semestinya tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan, tetapi juga oleh umat Islam secara keseluruhan. Yakni bahwa saat ini, umat memang sedang sakit! Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya perubahan dan kemajuan juga tidak hanya menjadi milik kaum perempuan saja atau laki-laki saja, tetapi menjadi milik semua komponen umat. Sebab jika tidak, maka yang akan terjadi adalah situasi blunder dan jalan ditempat. Masing-masing berkutat menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri, tanpa mau melihat bahwa sesungguhnya ada persoalan besar yang menjadi akar persoalan mereka secara keseluruhan.
Kesalahan kita selama ini, termasuk yang terjadi pada pergerakan muslimah adalah selalu berpikir dan memandang masalah dengan paradigma kacamata kuda –yang ironisnya kacamata itu kita pinjam dari PERADABAN Barat (bukan sekedar karena 'dari Barat')--; parsial, dikotomik, individualistik dan tidak mendasar (tidak ideologis). Ketika melihat apa yang mereka sebut dengan ’persoalan perempuan’ misalnya, mereka selalu melihat dari sudut pandang yang sama: sudut pandang feministik, sudut pandang keperempuanan! bahwa ada masalah disparitas gender disana, bahwa ada dominasi budaya patriarki disana, bahwa hanya perempuan yang harus mengatasi persoalan perempuan, dan sebagainya . Padahal yang sesungguhnya terjadi –sekali lagi—adalah, ini persoalan umat yang harus segera diselesaikan secara bersama-sama. Karena bukankah perempuan dan laki-laki adalah bagian dari ummat?
Dengan demikian, persoalannya sekarang bukan bagaimana agar gerakan perempuan berusaha memberdayakan perempuan, dengan sekedar misalnya mendorong mereka berperan aktif seluas-luasnya di ranah publik, termasuk di dunia politik sehingga terbangun bargaining yang sama kuat antara kaum perempuan dan laki-laki. Bukan pula sekedar berpikir bagaimana mendekonstruksi bangunan budaya (dalam hal ini yang dimaksud adalah agama Islam) yang dianggap terlalu memihak laki-laki hingga membuat kaum perempuan tersubordinasi. Karena ternyata persoalan ketertindasan (perempuan), diskriminasi (perempuan), kemiskinan (perempuan) dan sebagainya bukan sekedar persoalan perempuan versus laki-laki. Persoalan-persoalan tadi ternyata hanyalah merupakan bagian kecil saja dari sedemikian banyak problematika yang dihadapi umat, yang jika ditelusuri ternyata berpangkal pada akar yang sama yakni rusaknya tatanan kehidupan yang diterapkan saat ini, bukan lantaran kultur patriarkat yang mysoginik.
Tatanan hidup yang dimaksud tak lain adalah tatanan hidup sekuleristik yang tegak di atas aqidah sekuler yang senyatanya kini sedang mengungkung kehidupan kaum muslimin dimanapun. Aqidah ini menafikan peran Sang Khaliq dalam pengaturan kehidupan (fashlu ad-diin ‘an al-hayaah) dan pada saat yang sama justru memberikan hak prerogratif pengaturan kehidupan tersebut kepada manusia, sehingga manusia bertindak sebagai rabbul ‘aalamiin. Dari aqidah rusak ini, wajar jika kemudian lahir sistem hidup yang rusak pula; sistem ekonomi kapitalistik, tata sosial individualistic dan rancu, sistem politik opportunistik, sistem pendidikan materialistik, tatanan budaya yang hedonistik, serta aturan-aturan cabang lainnya yang tak kalah rusaknya dan kini terus memunculkan krisis multidimensi berkepanjangan.
Secara fakta, kerusakan ini adalah hal yang niscaya. Bagaimana bisa, manusia yang serba lemah dan terbatas mampu membuat aturan kehidupan yang sempurna tanpa cacat, yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi semua orang, sementara tentang hakekat penciptaan dirinyapun mereka tidak tahu? Sedangkan secara aqidah, Allah SWT telah mengingatkan kita, bahwa sepanjang manusia mengingkari hak Rubbubiyah Allah, maka manusia akan terperosok pada kehidupan yang serba sempit lagi hina.
Firman Allah Ta’ala :

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan (syari’at)Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" . (TQS. Thaha[20]:124)

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan “. (TQS. Al-Mujadilah[58] : 5)

Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir mendasar yang tidak dimiliki perspektif feministik; berpikir bahwa persoalan kita yang sedemikian banyak, ternyata berakar pada satu soal saja, yakni persoalan ideologis; Ketiadaan sistem Islam. Selama persoalan ini tidak terpecahkan, maka selama itu pula kita akan larut dalam krisis tak berkesudahan.
Dalam kerangka perjuangan mengembalikan sistem kehidupan Islam inilah seharusnya gerakan muslimah bangkit dan bergerak mengambil peran. Yakni dengan cara bersinergi dengan gerakan umat secara keseluruhan untuk melakukan perubahan yang bersifat mendasar. Gerakan muslimah tidak boleh lagi terus berkutat pada persoalan-persoalan cabang (‘persoalan perempuan’), karena selain hanya akan melalaikan umat dalam persoalan-persoalan yang parsial, lebih dari itu justru akan kian mengukuhkan dominasi sistem kufur dalam kehidupan kaum muslimin.

Gerakan Muslimah dan Tantangan Ke-Depan
Memang tidak mudah membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian. Apalagi hingga saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler, sementara pemahaman ummat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Tak heran jika, pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat.
Jika kita tengok kembali ke belakang, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang dialami kaum muslim generasi awal. Mereka --para aktivis gerakan Islam yang terdiri dari kalangan shahabat dan shahabiyat ra-- dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Akan tetapi dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan ‘kekufuran’, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam.
Oleh karenanya, dari merekalah sepatutnya hari ini kita mengambil teladan, apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena seperti yang sudah dijelaskan di awal, merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang dipenuhi dengan semangat ruhiyyah dan nilai-nilai Ilahiyyah. Mereka radiallahu ‘anhum, adalah generasi terbaik yang dikader dan dibina langsung oleh Rasulullah Saw, suri tauladan terbaik. Sehingga kita melihat bahwa kehidupan mereka juga senafas dengan kehidupan Rasulullah Saw, nafas perjuangan li ilaa’i kalimatillah.
Berkaca dari sejarah itulah maka, kita melihat ada beberapa hal yang harus diluruskan dari gerakan muslimah saat ini.
Pertama, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadikan aqidah dan hukum Islam sebagai landasan gerak dan perjuangannya, bukan ide feminisme ataupun ide-ide lainnya yang asumtif dan sekularistik. Harus diyakini, bahwa hanya dengan menjadikan aqidah dan hukum Islamlah gerakan muslimah akan membawa berkah berupa kemuliaan umat yang hakiki dibawah naungan ridha Illahi.
Kedua, pergerakan perempuan (muslimah) harus memiliki visi dan misi yang sama dengan pergerakan kolektif (jama’ah) Islam, yakni bertujuan menegakkan kalimah Allah, dengan cara membina dan menyebarkan pemikiran Islam yang jernih dan utuh (kaaffah) di tengah-tengah umat, terutama di kalangan muslimah lainnya; juga melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, sehingga kesadaran akan rusaknya sistem kehidupan yang mengungkung mereka saat ini dan keharusan kembali kepada sistem Islam akan tersebar menyeluruh di setiap komponen umat, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian yang menjadi titik tekan perjuangan gerakan perempuan --sebagaimana pergerakan umat secara umum--- ada pada tataran strategis, bukan hanya pada tataran bagaimana memperjuangkan agar perempuan berada pada posisi puncak pengambil kebijakan dengan dalih kesetaraan --karena Islam telah memberi kedudukan yang setara di antara keduanya (QS. 49:13)--, melainkan berupaya agar perpektif Islamlah yang menjadi landasan berpikir bagi para pengambil kebijakan dan pemegang kekuasaan, sehingga dipastikan hanya perspektif inilah yang akan mewarnai setiap interaksi masyarakatnya.
Ketiga, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadi bagian yang bersinergi dengan pergerakan kolektif Islam. Karena sebagaimana diketahui, para aktivis da’wah dimasa Rasulullah Saw, baik laki-laki maupun perempuan, dibina dan bergerak dengan mengikuti tanzhim tertentu yang langsung berada di bawah komando Rasulullah Saw sebagai pemimpin gerakan. Dengan demikian, pergerakan muslimah tidak harus menjadi pergerakan tersendiri yang terpisah dari pergerakan laki-laki, karena hal ini hanya akan menyulitkan koordinasi dan memperlemah kekokohan barisan perjuangan membangkitkan umat. Di samping itu, jika saat ini kita melihat bahwa gerakan-gerakan perempuan yang ada cenderung terpisah dari gerakan umat secara keseluruhan, ini karena mereka memang berangkat dari asumsi-asumsi yang bercorak individualistik, termasuk ketika memandang masalah yang menimpa perempuan sebagai masalah perempuan. Sementara itu, Islam memiliki perspektif yang khas dan universal, dimana setiap permasalahan yang muncul akan dipandang sebagai masalah manusia, tidak dibedakan sebagai masalah laki-laki saja atau perempuan saja yang harus menjadi tanggungjawab seluruh umat, dan harus dipecahkan dengan pemecahan yang sama yakni dengan Islam. Sistem Islam inilah yang akan memberi pemecahan yang holistic, tuntas dan sempurna, serta akan menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, karena sistem ini berasal dari Dzat yang menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang Maha adil dan Maha Sempurna. Dengan perspektif inilah, gerakan perempuan Islam menjadi bagian gerakan kolektif umat yang berjuang untuk mewujudkan sistem ini di tengah-tengah masyarakat.
Keempat, disamping harus memiliki kejelasan fikrah (konsep/pemikiran) dan thariqah (tatacara merealisasikan pemikiran), serta ikatan yang shahih di antara para aktivisnya, pergerakan perempuan (muslimah) --sebagaimana juga pergerakan jama’ah Islam yang menjadi induknya-- harus memiliki wawasan politik global, dalam arti memiliki kesadaran bahwa umat Islam di dunia adalah umat yang satu, dan harus menjadi umat yang satu, baik secara pemikiran maupun secara politis. Sehingga perjuangan pergerakan muslimah tidak boleh terbatasi oleh sekat-sekat imajiner bernama negara, melainkan lebur dalam aktivitas pergerakan muslimah dan umat Islam lainnya yang berjuang di seluruh pelosok bumi mewujudkan satu kepemimpinan politis yang menerapkan Islam atas seluruh umat.
Kelima, gerakan perempuan (muslimah) harus bersifat politis, yakni mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah-tengah masyarakat sesuai aturan Islam. Termasuk ke dalam konteks ini adalah mengarahkan upaya pemberdayaan politik perempuan pada target optimalisasi peran dan fungsi kaum perempuan sebagai pencetak dan penyangga generasi. Dengan demikian arah pemberdayaan tidak semata focus pada optimalisasi peran publik saja (sebagaimana perpektif feministic yang mendikotomiskan sektor publik dan domestik) melainkan mengarah pada upaya optimalisasi seluruh peran perempuan, baik di sektor publik maupun domestik sesuai tuntunan syariah. Pada tataran praktis, hal ini dilakukan dengan cara membina pemikiran dan pola sikap mereka dengan Islam, agar terbentuk muslimah berkepribadian Islam tinggi, disamping mengarahkan mereka agar memiliki kesadaran politik Islam yang juga tinggi. Yakni dengan memahamkan mereka akan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan umat, serta mendorong mereka agar senantiasa mengikuti perkembangan peristiwa politik dalam dan luar negeri mereka, karena kesadaran politik Islam yang dimaksud adalah mereka memahami dan meyakini bahwa pemeliharaan urusan-urusan umat (politik dalam maupun luar negeri) harus diatur dengan syari’at Islam. Dengan cara inilah kaum muslimah dipastikan akan mampu mendidik generasi pemimpin yang berkepribadian Islam mumpuni, cerdas dan berkesadaran politik tinggi. Dan jika ini berhasil, maka bisa dipastikan kepemimpinan dunia akan kembali ke tangan umat Islam, sebagaimana yang dulu pernah terjadi di masa-masa awal kebangkitan Islam, dimana dipastikan pada saat itu, kehidupan yang ideal dan membahagiakan akan dirasakan oleh seluruh umat, tidak hanya kaum laki-laki saja, tapi juga perempuan. Insya Allah []

Wallahu a’lam bi ash-shawwab

--------------------

Tidak ada komentar: