Pengantar
Isu tentang perempuan selalu menjadi agenda yang menarik untuk diangkat. Betapa tidak? Di tengah-tengah gencarnya upaya kebangkitan dan seruan pembebasan perempuan, kehidupan kaum perempuan --termasuk di negeri-negeri Islam-- ternyata masih belum beranjak dari keterpurukan. Kemiskinan, kekerasan, diskriminasi, stereotype dan persoalan-persoalan lain yang selama ini diklaim sebagai persoalan perempuan tetap saja lekat dalam kehidupan kaum perempuan, bahkan umat Islam secara keseluruhan. Ironisnya, masih banyak yang percaya bahwa gagasan feminisme adalah jawaban final bagi masalah perempuan. Jika benar demikian, lantas dengan obat apa penyakit umat secara keseluruhan dapat disembuhkan?
Muslimah di Tengah Mainstream Feminisme
Sekalipun sering memunculkan pro dan kontra, gagasan feminisme senyatanya telah lama berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan kaum muslimin di dunia Islam. Bahkan bisa dikatakan bahwa kini perspektif ini telah menjadi mainstream berpikir umat, termasuk bagi hampir seluruh gerakan pembebasan perempuan --yang berlabel Islam sekalipun-- dalam berkiprah melakukan transformasi sosial di tengah-tengah masyarakat. Salah satu bukti yang menguatkan konklusi ini adalah betapa di Indonesia, perspektif jender telah terformalisasi sebagai hukum positif dengan dikeluarkannya Inpres no 9 tahun 2001 tentang Pengarus Utamaan Gender (PUG) yang mengharuskan dimasukkannya isu jender dalam setiap kebijakan pembangunan.
Sesungguhnya, penerimaan kaum muslim terhadap gagasan semacam ini merupakan hal yang niscaya, mengingat, di satu sisi, sistem kehidupan sekularistik yang mendominasi kehidupan mereka --dengan ide-ide turunannya semisal demokratisasi, liberalisme, materialisme dan egalitarisme-- serta lemahnya pemahaman mereka terhadap gagasan Islam ideologi, memang telah memberi ruang yang kondusif bagi perkembangan ide semacam ini. Dan di sisi lain, kompleksitas persoalan di seputar isu disparitas (ketimpangan) jender yang juga dialami perempuan Muslim, serta adanya kejenuhan yang luar biasa terhadap sistem nilai yang dianggap tak mampu mengadopsi kepentingan perempuan, juga telah menjadikan kehadiran ide –yang disuguhkan dengan gaya ‘ilmiah’ dan dikemas dengan jargon-jargon yang memikat-- ini sebagai ‘angin segar’ dan sekaligus harapan bagi upaya perbaikan nasib perempuan di dunia Islam.
Sebagaimana diketahui, kondisi perempuan di negeri-negeri Islam --termasuk Indonesia-- memang sedang berada dalam kondisi terpuruk. Hal ini kemudian dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam (Barat-Kapitalis) untuk menyerang Islam dan menjauhkan umat dari Islam. Melalui berbagai upaya politik dan mediasi pers yang nyaris seluruhnya mereka kuasai, serta dengan memanfaatkan jasa agen-agen mereka dari kalangan muslim yang sudah merasa 'tercerahkan' dengan aqidah sekulerisme-liberal, mereka bangun imej buruk tentang Islam. Antara lain dengan cara memberikan stereotype kepada ‘profil perempuan Muslim’ dengan Islamnya, sebagai ‘profil manusia paling tertindas dan terpinggirkan’. Kehidupan perempuan Muslim yang ‘terkurung di balik burdah dan tembok-tembok rumah batu’ di bawah rezim penguasa yang mengklaim diri sebagai negara Islam, seperti Arab dan Afghanistan, mereka blow-up sedemikian rupa, untuk memperlihatkan betapa tidak bahagianya menjadi seorang perempuan Muslim. Sementara itu disisi lain, aturan Islam yang mereka anggap mengandung potensi 'bias jender' seperti halnya aturan hijab, aurat dan jilbab, waris, kesaksian, perwalian dan nashab, thalaq, nusyuz dan poligami, maupun pengutamaan fungsi perempuan sebagai ummu wa rabbat al-bayt serta konsep qawwamah laki-laki atas perempuan dalam rumahtangga dan kekuasaan, kemudian mereka giring secara halus kearah diskursus (ghazwu al-fikr) mengenai persoalan ada-tidaknya pemihakan syari'at Islam terhadap perempuan.
Pada tahap inilah gagasan feminisme yang di negeri kelahirannya diklaim sebagai spirit bagi 'bangkitnya kesadaran eksistensial' kaum perempuan ini kemudian mendapat tempat dan lantas diadopsi mentah-mentah oleh sebagian kalangan muslim/ah yang kadung kecewa dengan (apa yang mereka sebut) 'kekolotan' agamanya. Begitu kentalnya pengaruh perspektif ini, hingga mereka sampai pada taraf menjadikan gagasan ini sebagai standar dalam menakar kelayakan syari'ah menjawab setiap persoalan kekinian yang dihadapi. Dalam konteks Indonesia misalnya, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) atau KHI Perempuan oleh Tim Pengarus Utamaan Gender (PUG) Departemen Agama dan UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) beberapa waktu lalu bisa diambil sebagai contoh. Sekalipun untuk sementara dianulir, namun inti gagasan CLD KHI yang dianggap banyak pihak 'sangat --atau bahkan terlalu-- berani' ini kadung menggelinding sedemikian rupa menjadi wacana di tengah-tengah umat. Setidaknya, ada sebagian umat yang terinspirasi untuk berpikir, bahwa ada yang salah dengan syariat. Apalagi para penggagasnya berasal dari institusi yang --selama ini-- dianggap mewakili entitas Islam. Demikian pula dengan kasus pengesahan UU PKDRT yang selain dinilai sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam mengenai keluarga, juga mengandung pasal-pasal rusak yang melegalkan perzinahan dan penyimpangan seksual. Sekalipun demikian, bagi kalangan feminis dan liberalis, kedua kasus ini tentu dianggap sebuah kemenangan.
Memang diakui bahwa, secara fakta feminisme dengan gagasan pembebasan dan pemberdayaan perempuannya telah memberi sisi positif bagi kalangan perempuan. Tetapi persoalannya, kita tidak dapat menutup mata, bahwa pada saat yang bersamaan, isu ini juga telah membawa berbagai dampak buruk bagi kaum perempuan dan masyarakat secara keseluruhan akibat kian rancunya relasi dan pembagian peran di antara laki-laki dan perempuan, yang tidak hanya berdampak secara individual seperti terjadinya disorientasi kaum perempuan terhadap peran-peran keibuan dan lembaga perkawinan, tetapi lebih dari itu ternyata berdampak pada terjadinya disfungsi keluarga yang mengarah pada goyahnya struktur masyarakat secara keseluruhan. Di dunia Islam, ide-ide semacam ini bahkan telah mengarah pada deideologisasi Islam yang tidak hanya berbahaya dari sisi aqidah karena berarti kian mengukuhkan aqidah sekularisme yang kufur, tapi juga berbahaya karena akan menjauhkan umat dari kemuliaan hidup yang secara pasti hanya akan diperoleh manakala Islam diterapkan dalam kehidupan secara purna dan utuh. Oleh karena itu, saatnya umat mempertimbangkan kembali pemihakan mereka terhadap gagasan batil ini dengan cara mendalami hakekat pemikiran-pemikirannya.
Menimbang Perspektif Feminisme
Perlu ditekankan, bahwa kritik atas perspektif feminisme yang menjadi nafas gerakan perempuan saat ini harus dilandaskan pada penelaahan objektif atas konsep dan realita penerapan praktisnya di lapangan. Dan yang paling penting, harus ada tolok ukur yang pasti (benar) untuk menstandarisasi keabsahannya hingga layak diperjuangkan dan direalisasikan dalam kehidupan ataukah tidak. Sebagai seorang Muslim, sepatutnyalah jika kita hanya menjadikan aqidah dan syariat Islam sebagai asas penilaian atas setiap pemikiran, sehingga hanya dengan standar ini kita memutuskan untuk menerima atau menolaknya.
Berdasarkan hal ini, setidaknya ada dua pendekatan yang bisa dilakukan untuk menimbang keabsahan perspektif feminisme, yakni (1) pendekatan faktual dan (2) pendekatan ideologis. Pendekatan faktual dilakukan dengan cara mencermati bagaimana kerangka berfikir feminisme dalam membangun pola hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat; sejauhmana kesesuaian paradigma feministik --termasuk logika pemberdayaannya-- dengan fakta aktual; dan sejauhmana pula feminisme mampu melakukan perubahan realitas ke arah yang diinginkan, berupa perbaikan nasib perempuan. Sementara, pendekatan ideologis dilakukan dengan cara menimbang perspektif feminisme dan seluruh ide turunannya dari kacamata kerangka berpikir Islam.
Secara faktual, banyak hal yang bisa dikritisi dari gagasan feminisme, antara lain:
Pertama, dari sisi pemikiran bahwa yang menjadi akar persoalan perempuan adalah ketidakadilan jender yang melembaga secara universal dalam struktur masyarakat yang patriarkhis. Sesungguhnya pemikiran ini terbantah oleh kenyataan bahwa berbagai fakta yang disebut-sebut sebagai persoalan perempuan ternyata juga dialami oleh kaum laki-laki. Bahkan di dunia ketiga yang mayoritas negeri kaum muslimin, persoalan-persoalan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, kebodohan, dan sebagainya kini menjadi persoalan-persoalan krusial yang dihadapi masyarakat secara keseluruhan sebagai implikasi dari penerapan sistem yang bobrok, yakni sistem kapitalis-sekuler yang sejatinya memang tidak akan pernah mungkin bisa memberi jaminan keadilan bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan.
Kedua, feminisme menganggap bahwa adanya perbedaan seks tidak boleh menjadi alasan untuk membedakan peran-peran sosialnya. Padahal secara fakta, adanya perbedaan jenis laki-laki dan perempuan bagaimanapun akan berimplikasi pada perbedaan fungsi dan peran; perempuan dengan peran keibuannya dan laki-laki dengan peran kebapakannya. Yang penting dipahami bahwa adanya perbedaan fungsi dan peran ini, tidak lantas berarti menunjukkan perbedaan derajat dan kedudukan di antara laki-laki dan perempuan, karena kedua jenis peran itu diperlukan ‘sama penting’ dalam mewujudkan tujuan-tujuan luhur masyarakat yang senyatanya terdiri dari laki-laki dan perempuan.
Ketiga, cara pandang feminisme yang cenderung individualistik dan emosional telah menempatkan persoalan perempuan seolah terpisah dari persoalan masyarakat secara keseluruhan. Cara pandang seperti ini terkait dengan gagasan (rusak) demokrasi yang menganggap bahwa masyarakat adalah kumpulan individu-individu yang merdeka dengan komunitas laki-laki di satu sisi dan komunitas perempuan di sisi yang lain. Tatkala muncul persoalan yang menyangkut komunitas perempuan, maka itu harus dianggap sebagai permasalahan internal kaum perempuan, yang memunculkan anggapan, bahwa ‘hanya perempuan yang mampu menyelesaikan persoalan perempuan’. Cara pandang seperti ini tentu hanya akan melahirkan solusi yang parsial dan tak akan pernah tuntas.
Keempat, ketika berbicara tentang arah pemberdayaan perempuan, maka gagasan ini tegak di atas asumsi yang salah tentang nilai peran domestik perempuan. Mereka berasumsi bahwa peran domestik merupakan peran yang tidak strategis (baca: tidak bernilai ekonomis) dan menjadi penjara bagi perempuan untuk maju. Karenanya, agar perempuan bisa maju dan sejajar dengan laki-laki, mereka harus dibebaskan dari peran ini dan didorong sekuat-kuatnya untuk meningkatkan peran publiknya, berkiprah secara aktif dan luas di berbagai bidang kehidupan, terutama bidang ekonomi dan politik. Hal ini sesuai dengan pandangan mereka yang rusak tentang konsep masyarakat yang berorientasi pada individu, serta konsep kebahagiaan dan standar prestise yang tegak di atas prinsip materialisme. Karenanya, wajar jika arah pemberdayaan yang mereka gagas justru terkesan kian tanpa arah dan tanpa batas.
Kelima, tatkala mereka berbicara tentang gagasan pemberdayaan peran politik perempuan sebagai solusi tuntas atas masalah perempuan, feminisme membatasi pengertian politik hanya pada tataran kekuasaan dan legislasi saja, sehingga arah pemberdayaan politik melulu diartikan sebagai upaya melibatkan perempuan dalam kedua ranah tersebut. Padahal, fakta politik tidak demikian, dan bahwa keberadaan perempuan di ranah tersebut sama sekali tidak berkorelasi positif dengan tuntasnya masalah perempuan. Yang menentukan justru adalah ada tidaknya perspektif yang seragam dan benar di seluruh ranah kehidupan masyarakat, sehingga masing-masing individu di dalamnya, apapun status dan kedudukannya, mengetahui secara pasti tujuan-tujuan luhur apa yang harus diperjuangkan secara bersama dan untuk kepentingan bersama.
Keenam, anggapan bahwa demokrasi merupakan jalan terbaik bagi penyelesaian persoalan perempuan merupakan anggapan yang lemah, sebab demokrasi dan demokratisasi sendiri, baik dari sisi teori maupun prakteknya mengandung banyak sekali ambivalensi. Gagasan kedaulatan di tangan rakyat, teori representasi, adanya prinsip liberalisme individualis dan pluralisme hanya merupakan gagasan absurd yang menempatkan perspektif perempuan hanya sebagai salah satu bagian saja dari sekian banyak perspektif yang ada, yang keberadaannya wajib dipertahankan.
Adapun dilihat dari aspek ideologi, senyatanya feminisme merupakan gagasan yang rusak, karena gagasan ini tegak di atas aqidah yang rusak pula, yakni paham sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan (fashl ad dîn ‘an al-hayâh). Hal ini bisa dimengerti jika dikaitkan dengan fakta bahwa feminisme sesungguhnya terlahir sebagai reaksi atas kondisi real masyarakat Barat abad pertengahan yang secara ekstrem memang telah membunuh potensi dan kemampuan kaum perempuan di bawah legitimasi agama (kristen).
Dari kenyataan bahwa yang menjadi asas perspektif feminisme adalah paham sekuler yang rusak, maka wajar jika cara pandang feminisme terhadap fakta yang dihadapi sebagai bentuk pemikiran cabangnya, akan rusak dan lemah pula. Ini karena gagasan-gagasan feminisme mengenai bagaimana mengatur hidup dan kehidupan terkait dengan pola relasi laki-laki dan perempuan hanya dilandaskan pada asas rasionalitas manusia yang lemah dan terbatas. Hal ini nampak dari gagasan-gagasannya yang berbicara mengenai persoalan perempuan, hakekat sosok perempuan, peran dan fungsinya dalam kehidupan, serta kiprah politik mereka dalam tataran kekuasaan dan legislasi yang akhirnya cenderung serba tidak jelas, serba pragmatis dan dilematis, tidak solutif dan kadang irrasional.
Berbeda halnya dengan Islam, dimana sebagai din yang sempurna, Islam tegak diatas keyakinan bahwa Allah SWT adalah Pencipta dan sekaligus sebagai Pengatur Kehidupan. Oleh karenanya, dari aspek syari’at bagi pengaturan kehidupan, termasuk tentang relasi perempuan dan laki-laki dan pembagian peran dan fungsi di antara keduanya, Islam dipastikan memiliki konsep yang ideal, lurus dan komprehensif, karena berasal dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna dan Maha Adil. Dan hal ini terbukti dari fakta keberadaan masyarakat Islam yang senantiasa muncul sebagai masyarakat ideal dan gemilang, dimana salah satunya, perempuan mendapat tempat yang sempurna dan selayaknya. Banyak bukti sejarah yang menunjukkan bagaimana kiprah kaum perempuan, termasuk kiprah politik mereka di masa keemasan Islam yang membuktikan terjaminnya kesetaraan hakiki yang diberikan Islam atas mereka.
Feminisme atau Islam Saja?
Dari penjelasan-penjelasan di atas, jelaslah bahwa secara fakta, ide-ide feminisme --dengan gagasan pemberdayaan perempuan sebagai isu sentralnya-- sangatlah rusak dan tidak bisa diharapkan. Sedangkan dari sisi ideologi, maka kerusakan dan bahayanya lebih jelas lagi, karena feminisme dan ide-ide turunannya tegak di atas asas yang batil, yakni aqidah sekularisme yang menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan; dan sebaliknya menetapkan manusia yang senyatanya sangat lemah dan terbatas sebagai Rabb al-‘Ālamîn. Tentu saja, ideologi seperti ini sangat bertentangan dengan idiologi Islam yang tegak di atas aqidah yang benar, yakni berupa keyakinan bahwa Allah Dzat Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur, dan bahwa aturan Islam merupakan aturan yang sahih dan unik, serta menjamin keadilan bagi siapapun, baik laki-laki maupun perempuan. Dalam hal ini aturan Islam tegak di atas pandangan bahwa tatkala Allah SWT menciptakan manusia dengan jenis laki-laki dan perempuan dengan tujuan tertentu (yakni beribadah kepaaNya), maka Allah telah memberikan seperangkat potensi yang sama kepada keduanya, berupa potensi akal yang berfungsi mamahami (bukan menghukumi) serta potensi hidup yang membuatnya bergelora (naluri dan kebutuhan jasmani), sekaligus memberikan solusi bagaimana cara pemenuhannya dalam bentuk aturan-aturan kehidupan (din al-Islam).
Perangkat aturan-aturan inilah yang sebenarnya mengarahkan manusia di manapun dan di jaman apapun --baik pria maupun wanita-- agar keduanya dapat terjun ke kancah kehidupan secara harmonis, penuh ketenangan dan ketentraman dalam kerangka ibadah tadi, karena aturan tersebut dibuat oleh yang Maha Menciptakan Manusia dan kehidupan ini seluruhnya. Oleh karena itu, ketika kita melihat, bahwa adakalanya Allah SWT menetapkan aturan yang sama antara pria dan wanita seperti kewajiban beribadah, menghiasi diri dengan akhlaq mulia, menuntut ilmu, berda’wah dan sebagainya, dan disaat lain Allah juga kadang membedakan hukum diantara keduanya, semisal waris, kepemimpinan, perwalian dan sebagainya, maka semua itu harus dipandang sebagai solusi atas permasalahan manusia secara keseluruhan. Dan persamaan ataupun perbedaan ini, sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan ada dan tidak adanya emansipasi dalam Islam, melainkan hanya terkait dengan pandangan Islam yang manusiawi terhadap keberadaan sisi insaniah dan sisi kondrat jenis diantara keduanya. Dengan kata lain, pada saat berkaitan dengan sisi insaniah manusia, maka Allah menyamakan peran dan tanggungjawab diantara keduanya. Namun jika menyangkut aspek jenis (tabiat fitri), maka Allah SWT memberikan aturan yang berbeda. Dan kesemuanya harus dipahami dalam konteks bahwa aturan syara’ adalah solusi bagi problematika manusia seluruhnya.
Selain itu, Islam juga memandang, bahwa masyarakat adalah sebuah kesatuan yang utuh, yang tidak mungkin dipilah menjadi komunitas pria dan wanita, dimana satu sama lainnya saling berebut peran dan posisi masing-masing. Justru adanya pembagian peran dan fungsi yang landasannya aturan-aturan Allah SWT itulah yang menyebabkan pria dan wanita dapat saling bekerja sama untuk meraih tujuan-tujuan luhur masyarakat secara bersama. Apalagi yang terpenting, dalam Islam, penilaian prestasi tidak didasarkan pada jenis peran yang dimainkan, dan seberapa banyak materi yang dihasilkan, melainkan diukur oleh tingkat ketaatan manusia, baik pria maupun wanita, terhadap aturan-aturan yang sudah Allah tetapkan, apapun jenisnya. Dengan demikian, kedua-duanya memiliki peluang yang sama untuk meraih ketinggian derajat orang-orang taqwa di sisi Allah SWT. Inilah makna kesetaraan hakiki yang sesungguhnya ditawarkan oleh Islam.
Tentu saja hal ini menyangkut aspek yang paling mendasar, yakni masalah aqidah. Namun sebenarnya hanya dengan kerangka mendasar inilah kita bisa mulai melacak, dimana sebenarnya letak akar permasalahan munculnya disharmoni hubungan antara pria dan wanita di dalam masyarakat sekarang. Kenapa pula kaum wanita yang banyak menjadi korban ? Apakah benar bahwa biang keladinya adalah ajaran Islam ?
Jika kita mau sedikit jujur, maka kita akan melihat, bahwa pangkal kekacauan ini sebenarnya terkait dengan ketidakmampuan sistem yang ada --yakni sistem kapitalisme sekuler-- dalam memecahkan persoalan-persoalan manusia secara mendasar dan gradual. Padahal kita tahu, bahwa prinsip sekularisme adalah menyerahkan pengaturan kehidupan kepada asas rasionalitas manusia. Sementara, bagaimanapun jeniusnya, manusia tidak akan mampu membuat aturan yang sempurna dengan memberi jaminan keadilan bagi semua orang, baik laki-laki maupun wanita tanpa kecuali, karena akal manusia sangat terbatas.
Jadi masalahnya bukan karena adanya pembedaan fungsi dan peran wanita dan pria dalam masyarakat, apalagi dikait-kaitkan dengan keberadaan struktur masyarakat patriarkhi yang salah satunya memberi peluang penuh kepada laki-laki untuk memegang tampuk kekuasaan. Karena sebenarnya apapun peran dan fungsinya menjadi tidak lagi penting, selama pembagiannya dilandaskan pada aturan-aturan main yang sahih, yakni yang berasal dari Allah SWT Sang Pencipta dan Pengatur.
Oleh harena itu, sangat tidak layak jika kemudian ajaran Islam dipersalahkan atas kondisi miris yang menimpa kaum perempuan saat ini. Karena faktanya aturan Islam kini tidak dipakai sebagai aturan kehidupan. Justru aturan kapitalisme lah yang sedang mendominasi kehidupan ini yang kemudian terbukti hanya melahirkan berbagai persoalan krusial di berbagai bidang kehidupan. Sehingga kaum muslimin seharusnya kembali meyakini, bahwa hanya Islamlah yang bisa menjadi solusi atas seluruh persoalan manusia dengan jalan yang sangat manusiawi dan memuliakan manusia (baik pria maupun wanita). Hanya saja, ajaran Islam hanya bisa tegak secara purna dalam habitatnya yang alami, yakni di dalam sebuah masyarakat Islam yang di dalamnya seluruh interaksi yang terjadi diatur oleh aturan-aturan Islam.
Dalam konteks pembentukan masyarakat Islami inilah sebenarnya isu kebangkitan perempuan dan arah pemberdayaan perempuan (muslimah) menjadi relevan untuk dibahas, yakni bagaimana kaum perempuan mengoptimalkan seluruh peran-perannya (baik peran domestik maupun publik) sesuai dengan Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam. Dengan demikian, arah pemberdayaan perempuan dalam Islam akan menjadi bagian dari arah pemberdayaan umat secara keseluruhan, karena dalam Islam perjuangan mewujudkan masyarakan Islam adalah tugas laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari komponen umat. Jadi tidak layak jika mereka malah berbondong-bondong mengadopsi pemikiran feminisme yang batil. Apalagi jika ditinjau lebih jauh, pemikiran dan dampak dari perspektif feminisme ini sangat berbahaya dilihat dari sudut pandang Islam; Pertama, Ide ini lahir dalam konteks sosio-historis khas di Barat, yang dilatarbelakangi pertarungan ide teologi-feodalistik (kristen) dengan sekularisme. Sehingga, upaya mentransformasikan ide-ide ini ke tengah-tengah umat Islam, berarti juga mentransformasikan sekularisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Kedua, Keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslimin untuk meridhai ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya sekalipun itu berarti mereka harus mengikis keyakinan akan kesempurnaan aturan Islam atau melakukan sinkretisme dengan dalih kemanfaatan yang dia lihat berdasarkan akalnya. Ketiga, Ide ini telah memunculkan keguncangan struktur keluarga dan masyarakat, akibat kian tidak jelasnya patron pembagian fungsi dan peran laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Feminismelah yang dianggap bertanggungjawab terhadap maraknya kasus perceraian, fenomena wanita karir, fenomena unwed, dekadensi moral seperti free sex, aborsi, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain, yang jika dilihat dari konteks kepentingan umat dan masa depan mereka, tentu hal ini sangat berbahaya. Keempat, keberadaan ide ini menjadi bagian dari perang pemikiran (ghazwu al-fikr) yang secara sistematis dan terencana dilancarkan kaum kafir agar kaum muslimin kian terjauhkan dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat Islam dengan aturan hubungan sosialnya yang manusiawi, sekaligus memadamkan cita-cita mereka untuk hidup dalam masyarakat Islam, yang tidak hanya memuliakan kaum perempuan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Hal ini nampak dari target isu-isu global tentang perempuan yang awalnya hanya mengarah pada perubahan orientasi individu, seperti disorientasi terhadap peran ibu dan lembaga perkawinan, kini sudah mengarah pada target penghancuran keluarga muslim sebagai satu-satunya benteng terakhir yang memberi harapan lahirnya generasi umat di masa depan.
Khotimah
Memang tidak mudah membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian. Apalagi hingga saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler, sementara pemahaman ummat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Tak heran jika, pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat.
Jika kita tengok kembali ke belakang, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang dialami kaum muslim generasi awal. Mereka --para aktivis gerakan Islam yang terdiri dari kalangan shahabat dan shahabiyat ra-- dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Akan tetapi dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan ‘kekufuran’, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam.
Oleh karenanya, dari merekalah sepatutnya hari ini kita mengambil teladan, apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang dipenuhi dengan semangat ruhiyyah dan nilai-nilai Ilahiyyah. Mereka radiyallahu ‘anhum, adalah generasi terbaik yang dikader dan dibina langsung oleh Rasulullah Saw, suri tauladan terbaik. Sehingga kita melihat bahwa kehidupan mereka juga senafas dengan kehidupan Rasulullah Saw, nafas perjuangan li 'ilaa-i kalimatillah. [HK]
-------5/5/2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar