PERDAGANGAN PEREMPUAN, AKANKAH BERAKHIR??
Oleh : Husnul Khotimah (Ditulis 22/4/2008
Pendahuluan
Membaca buku Perdagangan Perempuan dalam Jaringan Pengedaran Narkotika yang ditulis Sulityowati Irianto dkk ( Penerbit: Buku Obor, Jakarta 2005) Cukup membuat kita miris. Betapa tidak? Fakta-fakta yang diangkat dalam buku tersebut setidaknya bisa menggambarkan bahwa kasus komoditisasi perempuan ternyata sudah sampai pada taraf yang mengerikan. Perempuan tidak hanya dijadikan objek (baca : korban) perdagangan, tetapi pada saat yang sama mereka diseret untuk dimanfaatkan dalam jaringan pengedaran narkoba berskala internasional.
Fakta-fakta ini memang disebut-sebut sebagai modus operandi baru. Sebelumnya, kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak (children and women trafficking) lebih banyak terkait dengan tujuan-tujuan eksploitasi seksual (seperti dijadikan pelacur, korban para pedophil, pengantin pesanan laki-laki asing /mail order bride, industri pornografi-pornoaksi, dan lain-lain), untuk tujuan eksploitasi ekonomi (seperti dijadikan buruh migran legal maupun ilegal, PRT dengan jam kerja panjang, sebagai pekerja jermal/penangkapan ikan di laut lepas, pengemis dan lain-lain), serta untuk tujuan adopsi dan pemindahan organ tubuh. Adanya unsur rekrutmen melalui tipudaya dan pemanfaatan posisi kerentanan, penyekapan dan atau pembatasan gerak, migrasi, memberi pekerjaan yang berbahaya, kekerasan dan perendahan yang ditemukan pada beberapa kasus perempuan yang terlibat peredaran narkoba yang diteliti, dianggap cukup membuktikan bahwa mereka sebenarnya merupakan korban perdagangan perempuan.
Ada beberapa faktor resiko yang mengemuka dalam laporan penelitian tersebut sebagai penyebab terjadinya trafficking dalam pengedaran narkotika, antara lain (1) faktor ekonomi berupa kemiskinan yang berimplikasi pada rendahnya tingkat pendidikan dan tingginya tingkat pengangguran, (2) faktor budaya yang menempatkan perempuan sebagai ‘survivor’ untuk mengatasi kemiskinan keluarga, disamping adanya hubungan kekuasaan yang timpang antara laki-laki dan perempuan yang membuat perempuan dalam posisi tertekan secara fisik dan psikologis sehingga mudah dimanfaatkan (budaya patriarkhi), serta (3) faktor struktur dan sistem penegakan hukum yang tidak adil, tidak tegas dan inkonsisten.
Lebih jauh, tim penulis banyak menyoroti aspek penegakkan hukum terhadap perempuan-perempuan pelaku pengedaran narkotika yang tertangkap, yang dianggap tidak berperspektif jender. Akibatnya, kenyataan bahwa para perempuan tersebut merupakan korban perdagangan yang sengaja dimanfaatkan untuk tujuan pengedaran narkotika, menjadikan mereka harus mengalami kekerasan ganda, yakni sebagai korban perdagangan manusia, sekaligus sebagai korban ketidakadilan hukum, karena merekalah yang umumnya harus menanggung hukuman berat atau menjadi tumbal atas perbuatan yang ‘terpaksa’ mereka lakukan –-yakni dengan menerima hukuman seumur hidup hingga mati—, sementara pada saat yang sama, hukum tidak mampu menjerat pelaku yang sesungguhnya.
Perdagangan Perempuan, Persoalan Sistem!
Maraknya perdagangan perempuan, termasuk yang terkait dengan pengedaran narkotika, sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari carut-marutnya sistem kehidupan yang kini sedang dijalankan. Sistem dimaksud adalah sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang menafikan peran agama dalam pengaturan kehidupan. Dengan asas yang rusak ini, wajar jika kapitalisme sejatinya melahirkan berbagai kerusakan pula.
Beberapa hal yang disebut-sebut sebagai faktor resiko terjadinya trafiking tadi sebenarnya hanya merupakan sebagian kecil saja dari bukti kebobrokan sistem ini. Masalah kemiskinan misalnya, justru menjadi hal lumrah dalam masyarakat yang menerapkan sistem kapitalisme. Betul bahwa, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan kemiskinan. Kemiskinan alamiah, biasanya terkait dengan kondisi alami seseorang yang menyebabkannya tidak mampu bekerja, seperti cacat, jompo, dan lain-lain. Kemiskinan kultural diakibatkan rendahnya kualitas SDM sebagai hasil kultur tertentu, seperti kebiasaan malas, tergantung pada warisan, dan lain-lain. Dan kemiskinan struktural terjadi akibat kesalahan sistem yang digunakan negara dalam mengatur urusan rakyat. Apa yang menggejala saat ini, jelas bukan kemiskinan alamiah dan kultural, melainkan lebih bersifat struktural yakni akibat penerapan sistem ekonomi kapitalistik yang rusak.
Sebagaimana diketahui, sistem ekonomi kapitalistik tegak di atas beberapa prinsip/ paradigma yang salah, antara lain (1) prinsip mengenai kebebasan hak milik yang memungkinkan para pemilik modal kuat menguasai aset-aset dan akses/peluang ekonomi, termasuk aset-aset yang seharusnya menjadi milik rakyat dan dimanfaatkan untuk kepentingan mensejahterakan rakyat. Konsep ini telah memunculkan ketimpangan sosial yang sangat lebar di tengah-tengah masyarakat, bahkan di negara-negara yang kaya sumberdaya alam sekalipun. Sebagai gambaran, 14 konglomerat terbesar di Indonesia (Salim Grup, Sinar Mas Grup, dll) menguasai asset senilai Rp.47,2 Trilyun yang setara dengan 83% nilai APBN Indonesia pada tahun 1993.
(2) Tolok ukur pembangunan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, dimana keberhasilan pembangunan melulu dinilai dari tingkat produktivitas masyarakat/negara tiap tahun (GNP/GDP) secara rata-rata, yang tentu tidak bisa mencerminkan pemerataan kesejahteraan, bahkan telah menjadikan kemiskinan tersembunyi di balik angka rata-rata tersebut. (3) prinsip meminimalisir peran negara di bidang sosial ekonomi dan membatasinya dalam peran pengawasan dan penegakan hukum semata. Peran ini telah menghilangkan fungsi dan tanggungjawab negara sebagai pemelihara urusan rakyat dan menyerahkannya kepada masyarakat dan pihak swasta. Akibatnya, dalam bidang ekonomi terjadi liberalisasi yang menafikan realitas adanya orang kuat dan lemah, dan di bidang sosial bermunculan LSM-LSM/yayasan-yayasan yang menangani berbagai persoalan yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara. Sementara itu, peran pegawasan dan penegakan hukumpun, pada kenyataannya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya, karena dalam sistem ini negara lebih banyak merepresentasikan kepentingan para kapitalis –termasuk negara-negara kapitalis melalui berbagai tekanan dan intervensi politik-- dibandingkan mayoritas rakyatnya.
Dalam tataran kebijakan, prinsip-prinsip di atas juga telah membawa efek buruk langsung kepada masyarakat. Kebijakan ekonomi yang diterapkan misalnya, lebih banyak bertumpu pada pertumbuhan sektor non ril (seperti sektor perbankan dan keuangan ribawi) yang bukan saja tidak bisa mendorong peningkatan lapangan kerja, tapi malah berresiko tinggi --seperti terjadinya krisis moneter beberapa waktu lalu, diikuti krisis ekonomi yang mengganggu pertumbuhan sektor ril dengan banyaknya perusahaan yang gulung tikar dan menyebabkan PHK besar-besaran--, serta berupa pengelolaan sumberdaya alam yang salah yang menguntungkan sebagian kecil kelompok saja. Akibatnya mayoritas masyarakatlah yang harus menanggung resikonya; terjebak dalam lingkaran setan kemiskinan tak berujung pangkal:
Pendidikan dan jaminan sosial rendah --> kualitas SDM rendah --> bargaining rendah --> tingkat upah rendah --> pendapatan keluarga rendah/miskin --> pendidikan rendah, dst.
Kondisi inilah yang akhirnya banyak mendorong masuknya anak-anak dan perempuan ke bursa tenaga kerja dengan tingkat kompetisi yang sangat tinggi dan rentan terhadap komoditisasi, termasuk menjadi korban perdagangan manusia. Hal ini diperkuat dengan merebaknya pemikiran-pemikiran sekuler seperti materialisme dan manfaatisme yang meniscayakan berkembangnya berbagai bisnis haram semacam prostitusi, pornografisme dan narkotika, yang oleh sebahagian pihak dijadikan sebagai jalan pintas untuk meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya, sementara dalam konteks makro tetap ‘dihitung’ sebagai sumber ekonomi bayangan yang memberi keuntungan dan kontribusi luar biasa besar terhadap pertumbuhan ekonomi.
Adapun faktor budaya, jika ditelusuri sistem pulalah yang telah membentuknya dalam rentang waktu yang sangat panjang. Artinya, banyaknya perempuan yang menjadi korban bukan semata-mata karena mereka perempuan, tetapi sistemlah yang mengkondisikan demikian. Terlebih jika dicermati, apa yang menimpa perempuan seperti kemiskinan, diskriminasi, kekerasan, dan lain-lain justru menjadi potret bersama mayoritas masyarakat dimanapun. Sehingga, kalaupun ketimpangan jender memang ada, maka hal tersebut hanya menjadi salah satu faktor saja yang senyatanya –lagi-lagi—merupakan ekses dari penerapan sistem yang salah, bukan semata budaya, apalagi agama (baca: Islam).
Tak bisa dipungkiri, bahwa praktek kolonialisme yang dilakukan negara-negara kapitalis atas negeri-negeri kaya sumber daya --baik yang dilakukan secara fisik di masa lalu, maupun kolonialisme gaya baru seperti yang terjadi saat ini berupa dominasi sistem yang berasal dari ideologi kapitalisme-- bukan hanya telah menyebabkan kemiskinan struktural luar biasa, tetapi pada saat yang sama, berhasil membentuk budaya rusak seperti mental inferior, submissif, apatis dan fatalis, disamping juga berhasil membentuk mental srigala --memanfaatkan yang lemah--, individualistis, materialistis, hedonis, berpikir dan bertindak atas asas manfaat, dan lain-lain. Budaya-budaya rusak inilah yang kental mewarnai praktek-praktek interaksi sosial di tengah-tengah masyarakat hingga kini, termasuk yang mewarnai kasus-kasus perdagangan perempuan. Dimana sebagian pihak (baik personal maupun sindikasi) sengaja ‘memanfaatkan’ kondisi sulit yang --antara lain-- dialami kaum perempuan akibat kesalahan sistem tadi, untuk kepentingan bisnis pribadi/kelompok mereka. Dengan demikian, jika dalam kasus-kasus ini perempuan yang banyak dijadikan korban, tidak lain karena pada konteks ini ‘perempuan’lah yang dianggap bisa ‘dimanfaatkan’ untuk mencari keuntungan. Sementara pada kasus lain, tak sedikit laki-laki yang dikorbankan.
Persoalan ini penting ditekankan, mengingat penggunaan sudut pandang jenderis dalam menganalisis akar berbagai pemasalahan yang selama ini diklaim sebagai masalah perempuan seringkali membuat persoalan justru menjadi bias. Alih-alih mampu menyelesaikan persoalan secara tuntas dan mendasar, yang terjadi malah muncul permasalahan-permasalahan baru akibat kian tajamnya dikotomi laki-laki-perempuan dan polemik seputar kepentingan laki-laki dan perempuan. Padahal jelas, bahwa persoalan yang dihadapi adalah persoalan masyarakat secara keseluruhan dan seharusnya dipandang sebagai permasalahan masyarakat secara keseluruhan, dimana akarnya adalah akibat penerapan sistem kapitalisme, yang dengan asasnya yang rusak, sejatinya tidak akan mampu memberi solusi atas persoalan yang dihadapi, bahkan justru menjadi biang kerok merebaknya berbagai permasalahan di tengah-tengah masyarakat.
Adapun mengenai faktor penegakkan hukum, persoalannya juga jelas bukan terkait dengan masalah ada atau tidaknya keberpihakan hukum dan para penegaknya terhadap kaum perempuan (berperspektif jender atau tidak), melainkan pada masalah bisa atau tidaknya sistem hukum yang lahir dari kapitalisme memberi jaminan kepastian dan keadilan hukum kepada masyarakat secara keseluruhan. Faktanya, berbagai instrumen hukum yang ada, terlebih sistem penegakkannya, tak ubah seperti macan ompong. Sementara berbagai komitmen politis untuk memerangi segala bentuk ketidakadilan seolah hanya retorika di atas kertas atau panggung (sandiwara) politik belaka.
Sebagian pihak memang percaya bahwa instrumen hukum yang telah ada sudah memadai untuk mencegah dan menuntaskan kasus-kasus kriminal semacam perdagangan perempuan dan pengedaran narkotika. Menurut mereka, persoalannya tinggal masalah goodwill para penegak hukumnya saja (aspek penegakkannya). KUHP misalnya, sudah memuat pasal-pasal mengenai masalah kekerasan, yang sekalipun dianggap banyak mengandung kekurangan dan kelemahan, masih bisa di back-up dengan menggunakan instrumen hukum yang lain, seperti berbagai konvensi hukum internasional yang telah diratifikasi, yang terkait masalah perdagangan manusia (termasuk perempuan dan anak) dan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, serta berbagai undang-undang atau peraturan di bawahnya yang dibuat untuk mencegah kasus-kasus yang sama seperti UU KDRT, dan lain-lain. Pertanyaannya, benarkah kian merebaknya berbagai kejahatan adalah semata persoalan goodwill yang senyatanya memang bermasalah, sementara banyaknya instrumen hukum yang dibuat dari waktu ke waktu menunjukkan betapa lemahnya produk hukum yang dibuat dalam menuntaskan berbagai persoalan?
Sebenarnya ada hal paradigmatik yang harus diselesaikan dalam sistem hukum kita, baik yang terkait dengan produk hukum, penegak hukum maupun sistem peradilan dan sanksinya. Karena sebagaimana aspek yang lainnya, sistem hukum kitapun lahir sebagai derivasi sistem kapitalisme yang tegak di atas asas sekularisme yang rusak. Karena asas ini menolak campur tangan Tuhan (agama) dalam mengatur kehidupan, maka dalam sistem ini, hukum diserahkan pembuatannya kepada manusia dengan akalnya yang serba lemah dan terbatas. Terlebih sejak awal, pembuatannyapun memang hanya ditujukan untuk mengukuhkan terlaksananya aturan main kehidupan ala kapitalisme, yang sekalipun secara konsep mengenal prinsip keadilan, kesetaraan di hadapan hukum, dan lain sebagainya, tetapi tetap mendefinisikan prinsip-prinsip tersebut dalam konteks keadilan dan kesetaraan versi kapitalisme yang –lagi-lagi—sejatinya memihak pada kepentingan para kapitalis. Wajar jika yang terjadi adalah ketidakadilan-ketidakadilan dan hegemoni minoritas (kapitalis) atas mayoritas, dengan bukti –antara lain—maraknya mafia peradilan, vonis tanpa dasar dan lain-lain. Dalam konteks perdagangan perempuan dan pengedaran narkobapun, berbagai ketidakadilan terjadi dimana-mana. Sebagian divonis dengan berat, sementara yang lain dibiarkan bebas berkeliaran (unthouchable).
Walhasil, maraknya perdagangan perempuan dalam pengedaran narkoba sebenarnya bukan hanya terkait dengan masalah kemiskinan, budaya dan hukum semata, melainkan lebih bersifat sistemik, yakni akibat penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini tidak hanya bertanggungjawab terhadap ketiga hal tadi, bahkan terhadap seluruh kerusakan yang terjadi di berbagai bidang kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain. Sehingga dengan demikian satu-satunya solusi untuk keluar dari permasalahan-permasalahan ini hanyalah dengan mencampakkan sistem kapitalisme sekuler dari pegaturan kehidupan dan menggantinya dengan sistem kehidupan yang sempurna, yakni sistem Islam.
Islam, Solusi Tuntas
Berbeda dengan kapitalisme, Islam tegak di atas paradigma yang shohih (benar dan rasional), yakni pemikiran mendasar/akidah yang meyakini bahwa di balik alam semesta, manusia dan kehidupan yang luar biasa ini ada Allah SWT, Sang Maha Pencipta, Yang Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Segalanya; Dan bahwa hakekat kehidupan manusia terkait dengan misi penciptaan sebagai khalifatullah fil-ardh, yang satu saat di kehidupan akhirat akan dimintai pertanggungjawaban sekaligus diberi balasan setimpal atas apa yang telah dilakukan. Akidah inilah yang menguatkan keyakinan, bahwa kehidupan manusia di dunia wajib terikat dengan aturan Allah SWT, Sang Pemilik Kehidupan, yakni Syariat Islam.
Karena syariat Islam diturunkan untuk mengatur kehidupan manusia sejalan dengan misi penciptaannya, maka syariat Islam hakekatnya merupakan solusi atas seluruh aspek kehidupan, dengan solusi yang sempurna dan menyeluruh. Syariat Islam bersifat universal (berlaku kapanpun di manapun), lengkap (mencakup berbagai aspek kehidupan) dan terpadu (hukum yang satu saling berkaitan dengan hukum yang lainnya). Sehingga jika syariat ini diterapkan secara utuh (kaffah), maka dipastikan manusia akan bisa meraih kebahagiaan hakiki yang secara fitrah diinginkannya, baik di kehidupan dunia dengan diraihnya kesejahteraan dan jaminan keadilan, maupun di kehidupan akhirat berupa diperolehnya keridhoan Allah SWT.
Hal-hal di atas terkait dengan fakta bahwa syariat Islam berfungsi menjaga hal-hal mendasar dan urgen bagi manusia tanpa kecuali (muslim-non muslim, laki-laki-perempuan), seperti menjaga jiwa, keturunan, akal, kehormatan, agama, harta, menjaga keamanan dan negara . Sebagai contoh, Islam mengharamkan pembunuhan dan kekerasan, perzinahan dan hal-hal yang bisa menjadi washilah terjadinya perzinahan –termasuk porografi-pornoaksi, mengharamkan khamr/minuman yang memabukkan dan merusak akal (termasuk narkoba), mendorong manusia menuntut ilmu, melarang menuduh zina –apalagi menyuruh berzina seperti pada kasus trafiking--, mengghibah, melakukan fitnah, melarang murtad meski non muslim tidak dipaksa menjadi muslim, melarang mencuri dan membelanjakan harta di jalan haram, menyuruh amar ma’ruf dan nahi mukar, melarang tindakan yang mengganggu keamanan, melarang bughot/pemberontakan dan lain-lain. Dan sebagai jaminan bagi tegaknya hukum-hukum tersebut, Islam menetapkan sistem sanksi yang sangat tegas, adil dan konsisten, disamping menetapkan berbagai hukum yang bersifat strategis seperti politik ekonomi Islam, aturan pemerintahan Islam, politik dalam dan luar negeri Islam, politik pendidikan Islam, sistem pergaulan Islam, dan lain-lain, yang satu sama lain saling mengukuhkan dan secara praktis diterapkan oleh negara.
Dengan gambaran di atas, bisa dipastikan bahwa masyarakat yang menerapkan syariat Islam secara utuh akan menjadi masyarakat yang bersih, sehat dan sejahtera. Kalaupun ada kemaksiatan, maka hanya akan bersifat kasuistik saja dan bukan menjadi potret buram seperti saat ini. Setiap orang, tanpa kecuali, akan terlindungi hak-haknya. Begitupun kaum perempuan akan terjaga kehormatannya. Sehingga, kasus-kasus komoditisasi perempuan yang merebak saat ini pun, termasuk perdagangan perempuan dalam pengedaran narkotika, akan tercegah dengan sendirinya. Hal ini karena apa yang tadi disebut-sebut sebagai faktor resiko terjadinya trafiking dalam pengedaran narkotika juga tidak akan muncul dalam sistem masyarakat yang menerapkan Islam yakni Daulah Khilafah Islamiyah, sebagaimana telah terbukti di masa lalu.
Sebagai gambaran, tatkala negara menerapkan sistem politik ekonomi Islam, maka kebutuhan dasar setiap warga negara, baik yang bersifat primer seperti pangan, sandang dan papan, maupun yang bersifat sekunder seperti pendidikan, kesehatan dan keamanan akan terpenuhi dengan baik. Hal ini karena sistem politik ekonomi Islam tegak di atas beberapa prinsip yang benar, seperti (1) adanya konsep kepemilikan yang jelas, memisahkan mana pemilikan individu, umum dan negara, sehingga aset-aset sumber daya yang menjadi milik umum dan harus digunakan untuk kepentingan umum tidak akan jatuh pada pihak swasta. Dengan demikian, akan banyak sumber-sumber pemasukan keuangan negara yang dapat digunakan untuk menjamin kesejahteraan rakyat, termasuk penyediaan fasilitas-fasilitas sosial yang murah. (2) bahwa problem ekonomi bukan terletak pada masalah kelangkaan barang/sumberdaya untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia sebagaimana pandangan kapitalis (sehingga akhirnya mereka fokus pada upaya meningkatkan produktivitas), melainkan terletak pada masalah buruknya distribusi akibat kapitalisasi (3) Optimalisasi peran negara sebagai penanggungjawab pengurusan umat baik dalam bidang politik, ekonomi, sosial, maupun dalam fungsi pengawasan dan penegakkan sistem hukumnya. Negara dalam hal ini berkewajiban menerapkan kebijakan-kebijakan yang memihak kepada kepentingan rakyat berdasarkan hukum syara, seperti menerapkan kebijakan yang mendorong investasi di sektor ril yang halal sehingga tersedia lapangan kerja yang cukup, menerapkan sistem distribusi kekayaan yang adil dan canggih, termasuk bagi kelompok masyarakat yang secara alamiah termiskinkan, menerapkan kebijakan moneter yang kokoh berdasarkan mata uang emas dan perak, melarang praktek kotor seperti monopoli, riba dan suap meyuap, mencegah ketergantungan kepada pihak asing, menerapkan sistem pendidikan Islam yang mampu melahirkan SDM berkualitas dan terjangkau oleh semua, menerapkan sistem sosial yang bersih, dan lain-lain. Dan untuk menjamin penegakkannya, negara juga wajib menerapkan sistem hukum Islam (sistem uqubat) yang tegas, adil dan konsisten berlandaskan ketaatan kepada Allah SWT sebagai Al-Hakim dan Al-Adil.
Terkait dengan sistem hukum Islam, tak sedikit orang yang meragukan kemampuannya dalam mengentaskan berbagai kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Pandangan ini ‘wajar’, mengingat sistem hukum positif yang kini diterapkan dimanapun tak ada yang mampu memberi solusi atas merebaknya kriminalitas.
Yang perlu dipahami adalah, ada perbedaan mendasar antara sistem hukum positif dengan sistem hukum Islam. (1) Sistem hukum Islam bersumber dari Allah SWT, Dzat Yang Maha Tahu hakekat kebaikan dan keburukan, Dzat Yang Menciptakan Manusia secara keseluruhan, Dzat Yang Maha Adil dan Bijaksana, bukan berasal dari hasil daya pikir manusia yang lemah. Karenanya, dipastikan bahwa sistem hukum ini bisa menjadi solusi atas seluruh permasalahan –termasuk perdagangan perempuan dan pengedaran narkotika--, bersifat tetap dan pasti, serta memiliki perspektif yang menjamin keadilan bagi siapapun, bukan hanya untuk laki-laki atau perempuan. (2) Sistem hukum Islam hanya berpihak pada kebenaran dan keadilan, karena pelaksanaannya tegak di atas landasan taqwa, bukan kepentingan pihak bermodal. (3) Hukum Islam berfungsi sebagai zawajir (pencegah merebaknya kejahatan karena sanksi yang sangat berat ) dan jawabir (penebus dosa, sehingga tercegah dari siksa akhirat), sementara sistem hukum positif –secara teoritis-- hanya berfungsi sebagai pencegah saja, meski faktanya telah gagal mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran.
Khotimah
Dari paparan diatas, jelas bahwa solusi tuntas atas merebaknya kasus perdagangan perempuan termasuk yang terkait dengan pengedaran narkotika, bahkan atas berbagai krisis yang dialami umat manusia secara keseluruhan hanyalah dengan kembali kepada sistem Islam, yakni dengan menerapkan seluruh aturan Islam secara kaafah dalam kehidupan individu dan bermasyarakat. Hanya saja agar seluruh hukum Islam ini bisa dilaksanakan secara utuh, setidaknya ada tiga pilar penerapan hukum Islam yang harus terwujud dalam kehidupan umat, yakni (1) ketaqwaan individu, yang mendorongnya selalu terikat kepada hukum syara, (2) Kontrol masyarakat, yakni adanya tradisi amar ma’ruf nahi munkar baik antar sesama umat maupun kepada penguasa, sehingga kemaksiatan tidak akan merajalela, dan (3) Kendali negara sebagai penerap dan pelaksana hukum, yang dengan cara itu aqidah dan perilaku seluruh warga akan terjaga, dan seluruh hak-hak warga negara akan terpenuhi secara adil dan menyeluruh.
Ketiga pilar ini harus ada secara bersama. Sebab jika ada individu atau masyarakat yang bertaqwa, begitu pula ada kontrol masyarakat, namun tidak ada negara yang menerapkan hukum Islam tentu mustahil hukum Islam tersebut dapat diterapkan. Begitu pula apabila ada negara yang menerapkan Islam, tetapi tidak dikawal dengan adanya kontrol masyarakat dan ketakwaan individu, maka sedikit demi sedikit
penerapan Islam yang dilakukan oleh negara tersebut akan diselewengkan.
Mengembalikan sistem Islam inilah yang seharusnya menjadi titik fokus perjuangan umat saat ini. Yakni dengan cara membangkitkan pemikiran mereka dengan Ideologi Islam, sebuah ideologi yang selama berabad-abad mampu menjadikan umat Islam sebagai sebaik-baik umat. Dimana pada saat itu seluruh masyarakat, laki-laki dan perempuan, hidup dalam jaminan keadilan dan kesejahteraan, di bawah sistem negara yang bersih dan mendapat ampunan Allah SWT. Sistem negara dimaksud adalah Daulah Khilafah Islamiyah. Wallahu a’lam.
"Dan taatilah Allah dan Rasul, supaya kamu diberi rahmat. Dan bersegeralah kamu kepada Ampunan dari Tuhanmu dan kepada syurga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran[3]:132-133) [][][]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar