INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Kamis, 31 Maret 2011

Menjawab Tudingan Miring Seputar Ide Khilafah



Penulis : M. Shiddiq Al-Jawi
(Dipublish dengan niat turut menyebarkan dakwah Syari'ah Khilafah. Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)

Pendahuluan
Setelah Khilafah Islamiyah hancur di Turki tahun 1924, umat Islam dicengkeram dan didominasi oleh peradaban Barat yang kafir, khususnya sistem demokrasi yang lahir dari paham sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Karena itu, tidak heran kalau cara pandang dan cara berpikir mereka dipengaruhi oleh nilai-nilai peradaban Barat yang berpangkal pada sekularisme itu. Ide-ide Barat seperti sekularisme, demokrasi, dan pluralisme diterima lebih dulu sebagai kebenaran absolut secara taken for granted, lalu dijadikan standar untuk menilai dan menghakimi ajaran Islam. Jika suatu ajaran Islam cocok dengan nilai-nilai peradaban Barat, bolehlah diamalkan. Tapi kalau tidak cocok, ajaran Islam itu wajib diubah, diadaptasikan, dimodifikasi, dan bahkan dihancurkan agar sesuai dengan nilai-nilai peradaban Barat (William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, 1997:147-256).

Cara berpikir sesat seperti itulah yang merasuki kaum sekular-liberal yang membenci dan sekaligus takut dengan konsep Khilafah. Sekularisme yang merupakan pengalaman sempit dan lokal dari Barat, dianggap suci, mutlak benar, dan dapat berlaku universal. Sekularisme inilah yang kemudian digunakan untuk menghakimi dan memvonis Khilafah. Kesimpulan sidang absentia mereka, Khilafah harus dihukum dengan mengeluarkannya dari bagian ajaran Islam. Penolakan ini tentu bukan karena Khilafah bertentangan dengan Al-Qur`an dan Al-Hadits, tapi karena Khilafah tidak cocok dengan logika sekularisme yang menghapuskan peran agama dalam pengaturan kehidupan publik.
Selain itu, kewajiban Khilafah juga ditolak karena katanya sejarah Khilafah penuh konflik yang berdarah-darah, otoriter, dan gagal. Khilafah juga dikatakan sekedar ijtihad sahabat sepeninggal Nabi SAW, yang bisa saja berubah-ubah sesuai waktu dan tempat. Dan seterusnya bla bla bla... (Luthfi Assyaukanie, Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim, www.islamlib.com; Jajang Jahroni, Khilafah Islam : Khilafah Yang Mana? www.islamlib.com).

Tulisan ini bertujuan memberikan jawaban dan penjelasan seputar Khilafah itu. Fokusnya adalah menjelaskan paradigma berpikir kaum sekular, yaitu paham sekularisme, yang mendasari berbagai tuduhan dan keraguan itu, serta menjawab secara langsung sejumlah tuduhan dan keraguan yang dilontarkan.

Menyoal Paradigma Sekularisme
Anda tidak bisa berpikir secara konsisten dan sistematis tanpa paradigma. Tanpa paradigma, konsep Anda akan sangat rapuh dan ringkih. Ibarat bangunan yang tidak ada pondasinya. Paradigma adalah pemikiran dasar (al-fikr al-asasi) yang menjadi asumsi dasar atau basis bagi segala pemikiran cabang. Dalam bahasa Taqiyuddin An-Nabhani (w. 1977), paradigma itu diungkapkannya dengan istilah qa’idah fikriyah, yaitu suatu pemikiran asasi yang menjadi landasan bagi pemikiran-pemikiran lain (An-Nabhani, 2001:25).

Segala macam penolakan Khilafah, sesungguhnya terbit dari satu paradigma saja, yaitu sekularisme, tidak ada yang lain. Sekularisme itulah yang dijadikan paradigma pemikiran oleh kaum sekular-liberal yang membenci Khilafah. Maka dari itu, bisa dimaklumi mengapa kaum sekular-liberal sangat memuja-muja Ali Abdur Raziq (w. 1966), bekas ulama dan hakim agama di Mesir, yang dalam bukunya Al-Islam wa Ushul Al-Hukm : Bahts fi al-Khilafah wa Al-Hukumah (terbit 1925) telah menolak sistem Khilafah sebagai bagian ajaran Islam (Luthfi Assyaukanie, Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966) Peletak Dasar Teologi Modern, www.islamlib.com).

Padahal, secara sosio-historis, sekularisme adalah pengalaman lokal Barat, tidak universal, dan jelas tidak bisa dipaksakan atas Dunia Islam yang berbeda karakteristiknya. Th. Sumartana secara jujur mengakui :
”Apa yang sudah terjadi di Barat sehubungan dengan hubungan agama dan negara sesungguhnya sejak awal bercorak lokal dan berlaku terbatas, tidak universal. Dan prinsip-prinsip yang dilahirkannya bukan pula bisa dianggap sebagai resep yang mujarab untuk mengobati komplikasi yang terjadi antara agama dan negara di bagian dunia yang lain...”
(Th. Sumartana, ”Pengantar”, dalam Robert Audi, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, 2002:xiv)

Mengapa sekularisme bersifat lokal, tidak universal, dan tak bisa dianggap berlaku bagi dunia lain, seperti Dunia Islam? Sebab, sekularisme lahir karena ada sejumlah faktor-faktor pendorong yang bersifat khas dan unik dalam masyarakat Kristen Barat. Paling tidak ada 3 (tiga) faktor pendorong lahirnya sekularisme :

Pertama, problem teks Bible,
Kedua, problem teologis Kristen,
Ketiga, problem trauma rejim agama (religious regim). (Lihat Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).

Problem teks Bible (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) muncul antara lain karena Bible bermasalah dari segi orisinalitasnya, dan dari segi pengertiannya bila dicocokkan dengan realitas ilmu pengetahuan dan teknologi. Wajar kemudian kalau Jim Walker dan Shabir Ali (2005) menemukan 101 kontradiksi dalam Bible baik tentang kisah amoralitas, sadisme, terorisme, maupun pornografi. Bahkan jauh sebelumnya, majalah Times edisi 30 Desember 1974 memuat artikel How True is The Bible yang menyatakan, dalam Bible ada 50.000 kesalahan (Deedat, 1999:29).

Dari segi orisinalitas, teks Bible tidak bisa dipertanggungjawabkan. Sebab Bible kini ditulis dan dibaca bukan lagi dalam bahasa aslinya. Bahasa asli Perjanjian Lama adalah Hebrew (Ibrani), dan bahasa asli Perjanjian Baru adalah Greek (Yunani). Sedang Nabi Isa AS sendiri, berbicara dalam bahasa Aramaik. Bible ini kemudian diterjemahkan keseluruhannya ke dalam bahasa Latin, lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Jerman, Inggris, Perancis, dan lain-lain. Tunggu. Ini belum selesai. Dari terjemahan Inggrisnya itu, Bible lalu diterjemahkan lagi ke dalam bahasa Indonesia (Ugi Suharto, Apakah Al-Qur`an Memerlukan Hermeneutika, www.insistnet.com).

Dari segi relevansi Bible dengan sains, kita dapati juga setumpuk problem. Betapa tidak, karena banyak ayat-ayat Bible yang tidak relevan dengan fakta atau kemajuan sains dan teknologi. Menurut ajaran gereja resmi, bumi itu adalah pusat tatasurya (konsep geosentris). Ini karena, menurut Bible, bumi itu tidak bergerak sehingga berbagai benda langit (seperti matahari) dianggap mengelilingi bumi. Dalam Mazmur (Psalm) pasal 93 ayat 1 dikatakan,”Yea, the world is established, it shall never be moved.” Jelas ayat ini problematis karena bertabrakan dengan fakta sains, yaitu matahari sebagai pusat tatasurya (konsep heliosentris ) seperti yang dikemukakan oleh Nicolaus Copernicus (w. 1543) dan Galileo Galilei (w. 1642).

Contoh lain, menurut ajaran resmi gereja, bumi itu datar, seperti meja dengan empat sudutnya. Bumi bukan bulat, seperti penemuan sains dan teknologi hasil pelayaran Magellan. Dalam Bible dikatakan :
“Kemudian daripada itu, aku melihat empat malaikat berdiri pada keempat penjuru angin bumi dan mereka menahan keempat angin bumi, supaya jangan ada angin bertiup di darat, atau di laut, atau di pohon-pohon.” (Wahyu-Wahyu 7:1)
Kalau konsisten berpegang teguh dengan Bible, maka fakta sains bahwa bumi bulat tentu harus dikalahkan oleh teks Bible. Problem teks inilah yang kemudian mendorong kaum Kristen Eropa untuk melakukan sekularisasi. Mereka memisahkan ajaran Kristen dengan ilmu pengetahuan dan pemikiran manusia.

Problem teologis Kristen, merupakan implikasi yang wajar dari problem teks Bible. Sebab jika teks Bible-nya sendiri bermasalah, maka konsep teologis yang lahir dari teks itu jelas akan semakin absurd dan tidak jelas. Contohnya adalah doktrin Trinitas (Tritunggal), yang lahir bukan sejak awal sejarah Kristen, tapi diputuskan ratusan tahun sesudah wafatnya Nabi Isa AS (30 M). Trinitas lahir dalam Konsili Nicea tahun 325 M pada saat Romawi di bawah Kaisar Konstantine (L. Berkhof, 1992:7, Cave, 2000:19). Doktrin Trinitas ini, menurut Thomas Aquinas, pemikir Kristen abad ke-13, dijelaskannya dengan kalimat,”Responsio dicendum quod deum esse trinum et unum est solum creditum, et nullo modo potest demonstrative probari.” (That God is three and one is only known by belief, and it is no way possible to demonstratively proven by reason) [Bahwa Tuhan itu tiga dan sekaligus satu, hanya bisa diketahui dengan keimanan. Tidak ada cara yang memungkinkan untuk membuktikannya dengan akal). (Douglas C. Hall, The Trinity, Leiden : EJ Brill, 1992, hal. 67-68, dalam Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).

Karena sangat mustahilnya Trinitas itu, tokoh-tokoh Kristen sendiri gagal memberikan penjelasan dan argumentasi yang memuaskan akal (Lubis, 1990:38; Syalaby, t.t. : 88). Maka satu-satunya cara memahami Trinitas, adalah membunuh akal, tidak ada jalan lain. Tertullian berkata,”Credo quia absurdum!” (aku beriman [pada Trinitas] justru karena doktrin itu tersebut memang tidak masuk akal). Saint Augustine menyatakan,”Credo ut intellegam.” (aku percaya [Trinitas] supaya aku bisa mengerti). Sementara itu, Saint Jerome menyatakan,”De Mysterio Trinitates recta confessio est ignoratio scientia.” (Misteri Trinitas hanya dapat diimani dengan mengakui bahwa kita memang tidak bisa memahaminya) (Syamsuddin Arif, Jejak Kristen Dalam Islamic Studies, www.insistnet.com).
Problem teologis Kristen inilah yang kemudian mendorong Eropa untuk menyingkirkan agama dari arena kehidupan. Sebab agama dianggap irasional dan melumpuhkan bahkan membunuh akal manusia.

Problem trauma rejim agama, lahir sebagai akibat berikutnya dari akumulasi problem teks Bible dan problem teologi Kristen. Ajaran Kristen yang absurd itu lantas diterapkan dalam pemerintahan berlandaskan agama (religious regime) yang merupakan kolaborasi antara gereja dan negara (para raja dan kaisar) di Eropa sepanjang Abad Pertengahan. Raja dianggap wakil Tuhan di bumi, berdasarkan hak-hak ketuhanan yang dipunyai raja (Divine Rights of King). Karena itu, segala kata dan perbuatan raja tak bisa salah (infallible) (ingat sembnoyan The King can do no wrong). Rejim agama ini terjadi sejak tahun 325 ketika Kaisar Konstantine mengadopsi Kristen sebagai agama negara, dan berakhir ketika meledak Revolusi Perancis tahun 1789 yang bersemboyankan seruan Voltaire (w. 1778) : ”Gantunglah Raja terakhir dengan usus pendeta terakhir!” (George Weigel, 2003:45).

Barat mengalami trauma dengan banyaknya pengalaman buruk dan mengerikan ketika mereka menerapkan religious regimes tersebut. Rejim ini telah menimbulkan pembantaian jutaan manusia lewat inquisisi terhadap orang yang dianggap heresy (keluar dari doktrin resmi gereja), pengucilan anggota gereja yang dianggap sesat (ex-communication), penjualan surat pengampunan dosa (Afflatbriefen), dan lain-lain. Orang Perancis akan terus mengenang pembantaian kaum Protestan oleh kaum Katolik di Paris tahun 1527, yang dikenal dengan The St. Bartholomew’s Day Massacre. Hanya dalam satu malam, sekali lagi satu malam, sekitar 10.000 orang Protestan mati disembelih orang Katolik. Selama berminggu-minggu, jalan-jalan di Paris berlumuran darah dan dipenuhi dengan ratusan ton mayat kaum Protestan yang bergelimpangan dan membusuk (Abdullah Nashih Ulwan, 1996:75). Lembaga Inquisisi di dataran Katolik dan Protestan Eropa antara tahun 1450 hingga 1800 telah menyiksa dengan kejam dan menghilangkan sekitar 5.000.000 nyawa, di mana 85 % korban penyiksaan adalah kaum wanita. Sekitar 2.000.000 sampai 4.000.000 wanita dibakar hidup-hidup (Peter de Rosa, Vicars of Christ, London : Bantam Press, 1991, hal. 239, dalam Adian Husaini, Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal, www.insistnet.com).

Jadi dalam sejarah Barat, ketika agama dan negara disatukan dalam sebuah religious regim, memang menimbulkan malapetaka dan penderitaan yang sedemikian dahsyatnya. Sehingga wajar dan sangat bisa dimaklumi, kalau Barat lalu menyerukan sekularisme agar agama dan negara terpisah.

Nah, tiga faktor di atas, yaitu problem teks Bible, problem teologis Kristen, dan trauma rejim agama Kristen, semuanya berakumulasi dan berujung pada satu titik yang tidak boleh tidak memang harus terjadi dalam sejarah Barat yang Kristen, yaitu sekularisasi. Dari sinilah kita dapat memahami, mengapa Friedrich Gogarten (w. 1967) seorang teolog Protestan Jerman menyimpulkan,”[Secularization] is a legitimate consequence of the Christian faith.” (Sekularisasi adalah konsekuensi yang sah dari keimanan Kristen) (Lihat bukunya Verhagnis und Hoffnung der Neuzeit : die Sakularisierung als Theologhisches Problem [Nasib dan Harapan Zaman Kita : Sekularisasi Sebagai Suatu Problem Teologis], Stuttgart : 1958).

Maka, benarlah bahwa sekularisme memang bersifat lokal, tidak universal, dan tak bisa dianggap berlaku di Dunia Islam. Sebab faktor-faktor pendorong sekularisme yang telah diterangkan tadi, memang bersifat unik dan khas sebagai problem Dunia Kristen Barat. Islam sungguh tidak pernah mempunyai faktor-faktor tersebut, atau tidak pernah mengalami faktor-faktor tersebut dalam kadar yang mendekati atau setara dengan pengalaman Barat. Teks Al-Qur`an tidak pernah mengalami nasib sedemikian tragis dan mengenaskan seperti teks Bible. Teks Al-Qur`an yang kita baca saat ini, adalah betul-betul sama dengan yang pernah dibaca oleh Rasulullah SAW (w. 632 M). Teologi Islam (ilmu kalam) tidak pernah pula mengalami perbedaan pandangan yang sedemikian mendasar seperti teologi Kristen. Teologi Islam sepakat tuhan itu satu, berbeda dengan teologi Kristen yang masih memperdebatkan apakah tuhan itu satu atau tiga dalam Konsili Nicea tahun 325. Khilafah Islam pun sepanjang sejarahnya selama 13 abad tidak pernah melakukan satu pun kezaliman yang kejamnya mendekati (apalagi melampaui) kekejaman luar biasa dari rejim-rejim agama Kristen di Abad Pertengahan.
Jadi, secara sosio-historis sekularisme itu betul-betul asli dan alamiah made in peradaban Barat yang Kristen. Tidak lahir dari Dunia Islam. Karena itu, kalau kemudian kaum liberal kerasukan paham sekularisme ini, lalu menjadikannya paradigma berpikir untuk menolak konsep Khilafah, berarti mereka telah terjerumus ke dalam jurang kesesatan dan kebodohan yang tiada bandingannya. Na’uzhu billah min dzalik !

Sejumlah Tuduhan dan Jawabannya
Sejumlah kecaman, tuduhan, dan fitnahan telah dilontarkan oleh kaum sekuler untuk menyerang konsep Khilafah. Jika ditelaah dengan cermat dan seksama, berbagai tuduhan itu menyiratkan 3 (tiga) hal penting :

Pertama, paradigma yang melandasi bermacam tuduhan itu adalah sekularisme, bukan yang lain.
Kedua, berbagai tuduhan itu secara implisit telah menggunakan perspektif nilai-nilai Barat dan didasarkan pada pengalaman historis Barat.
Ketiga, seringkali tuduhan itu menunjukkan bahwa penuduhnya tidak memahami persoalan, atau memang sengaja melakukan disinformasi untuk kepentingan penyesatan.

Sesungguhnya berbagai tuduhan itu akan gugur dengan sendirinya setelah kita tahu bahwa bahwa paradigmanya (yaitu sekularisme) adalah paradigma yang keliru dan sesat. Berbagai tuduhan itu dapat diumpamakan cabang dan ranting pohon yang berasal dari akar yang sama. Jika akarnya telah tercerabut dari tanah, maka seluruh bagian pohon tidak akan bisa berdiri tegak dan akan roboh dengan sendirinya. Firman Allah SWT (artinya) :
”Dan perumpamaan kalimat yang buruk seperti pohon yang buruk, yang telah dicabut dari akar-akarnya dari permukaan bumi, tidak dapat tetap (tegak) sedikit pun.” (QS Ibrahim [14] : 26)

Berikut ini beberapa tuduhan terhadap Khilafah yang berasal dari berbagai sumber, terutama www.islamlib.com, dan juga jawabannya dari berbagai sumber, terutama www.hizbut-tahrir.or.id :

Tuduhan 1 : Khilafah itu utopis dan absurd, karena mengandaikan satu payung politik untuk negeri-negeri muslim di seluruh dunia

Jawaban :
(1) Kalau mewujudkan Khilafah dikatakan sulit, memang benar. Kalau utopis, tidak. Menggunakan kata ”utopis” untuk sesuatu yang masih mungkin, adalah suatu kesalahan. Sebab utopis itu artinya adalah cita-cita yang yang tak mungkin tercapai (Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1982:1139). Utopis berasal dari kata utopia yang awalnya adalah judul buku penulis Inggris Thomas More (1478-1535) yang terbit tahun 1516 (Ebenstein & Fogelman, 1994:208). Isinya menjelaskan suatu negara yang serba indah dan baik, yang hanya ada dalam angan-angan (W. Surya Endra, Kamus Politik, hal. 323).

(2) Khilafah yang merupakan satu negara untuk seluruh kaum muslimin di dunia, pembentukannya tentu tidak serta merta dan dalam satu waktu. Kalau ini jelas tak mungkin dan suatu hil yang mustahal. Caranya, menurut An-Nabhani, adalah dengan lebih dulu mendirikan Khilafah di sebuah negeri muslim di Dunia Islam, lalu Khilafah itu terus berekspansi untuk memperluas wilayahnya dengan menyatukan negeri-negeri Islam lainnya (An-Nabhani, At-Takattul Al-Hizbi, 2001:6-7). Ini tidak mustahil, sebab dulu Rasul pun lebih dulu mendirikan Dawlah Islamiyah hanya sebatas kota Madinah. Tapi saat beliau wafat, wilayah Islam telah meluas meliputi seluruh jazirah Arab, yang kini meliputi Arab Saudi, Yaman, Oman, Qatar, Bahrain, dan UEA. Perluasan wilayah Islam terus dilanjutkan para khalifah sesudahnya hingga wilayah kekuasaan keKhilafahan meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropa.

(3) Banyak ayat dan hadits yang memprediksikan kembalinya Khilafah. Misalkan QS 24 : 55, dan hadits Nabi SAW riwayat Ahmad dan Al-Bazzar bahwa setelah masa Nubuwwah, ada fase Khilafah Rasyidah, lalu mulkan ‘adhan (kekuasaan yang menggigit), mulkan jabriyan (kekuasaan yang memaksa), dan setelahnya akan muncul lagi Khilafah ala minhajin nubuwwah.

Tuduhan 2 : Khilafah tidak populer dan feasible (layak), karena bertentangan dengan konsep negara bangsa (nation state) yang disepakati semua manusia modern

Jawaban :
(1) Kalau pun konsep negara bangsa telah disepakati semua manusia, bukan berarti konsep itu benar dalam pandangan Islam. Sebaliknya, sesuatu yang tidak disukai oleh seluruh manusia, belum tentu merupakan kekeliruan dalam Islam (lihat QS 2:216). Siapa yang bisa menjamin bahwa sesuatu yang disepakati seluruh manusia adalah suatu kebenaran yang tidak boleh dibantah? Bahkan Allah SWT berfirman (artinya) :
”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS Al-An’aam [6] : 116)

(2) Format Dunia Islam yang kini terpecah belah menjadi lebih dari 50 negara berdasarkan konsep negara bangsa, adalah hasil rekayasa penjajah kafir. Terutama pasca PD I dan PD II. Kondisi ini sungguh bertentangan dengan ajaran Islam dari Al-Qur`an, Al-Hadits, dan Ijma’ Shahabat yang mewajibkan persatuan umat di bawah satu negara. Firman Allah SWT (artinya) :
”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah bercerai berai.” (QS Ali ’Imran [3] : 103)

Sabda Rasulullah SAW,”Jika dibaiat dua orang khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.” (HR Muslim)

Dalam kitab Al-Fiqh Ala Mazahib Al-Arba’ah Juz V hal. 416 disebutkan, ”Para imam yang empat sepakat...bahwa kaum muslimin tidak boleh pada waktu yang sama di seluruh dua mempunyai dua imam (khalifah), baik keduanya sepakat atau bertentangan.”
Jadi, mendukung konsep negara bangsa artinya adalah mendukung terpecah belahnya umat Islam. Itu adalah dukungan terhadap hegemoni dan dominasi kaum penjajah yang kafir.
(3) Menyatukan umat Islam memang berat, tapi bukan utopis. Masalahnya terletak pada kesadaran umat untuk bersatu dalam sebuah visi dan misi kenegaraan yang diyakininya. Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa bisa bersatu karena meyakini visi dan misi yang sama yakni nasionalisme Indonesia. Sebaliknya disintegrasi bisa terjadi kalau masyarakat tidak lagi satu visi seperti terjadi saat lepasnya Timor Timur dan runtuhnya Negara komunis. Demikian halnya umat Islam sekarang. Kalau muncul kesadaran untuk menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka dibawah naungan Daulah Khilafah, pastilah mereka akan bersatu. Dan ini bukan utopis karena Rasulullah SAW dan KeKhilafahan berikutnya berhasil menyatukan ini. Apalagi dengan kecanggihan teknologi global saat ini justru menolong persatuan umat Islam sedunia (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id).

Tuduhan 3 : Khilafah telah gagal dan tidak berjalan sempurna, karena terbukti 3 khalifahnya dalam Khilafah Rasyidah (Umar, Ali, Utsman) mati terbunuh

Jawaban :
(1) Cara mengukur gagal tidaknya sebuah negara yang melaksanakan ideologi tertentu, adalah dengan mengukur dari segi fikrah (konsep) dan thariqah (metode pelaksanaan konsep). Bukan dengan melihat sejauh mana kelangsungan hidup kepala negaranya dari ancaman pembunuhan. Dengan kata lain, berhasil tidaknya negara ideologis diukur dari segi konseptual dan praktikalnya, yaitu sejauh mana negara itu mempunyai dan memahami konsep hidup yang sahih, dan sejauh mana negara itu berpraktik mengaplikasikan konsep itu untuk mencapai tujuan-tujuan negara yang telah digariskan dalam konsep idealnya. Itulah cara mengukur keberhasilan negara, bukan diukur hanya dengan cara melihat sejauh mana keselamatan jiwa kepala negaranya. Itu terlalu naif.

(2) Tuduhan itu terlampau menggeneralisir (over generalization) dan menyederhanakan masalah (over simplification), seakan-akan sejarah keKhilafahan Islam semuanya penuh dengan darah dan konflik. Apakah kita akan menutup mata terhadap kemajuan dan peradaban Islam di masa keKhilafahan Abbasiyah pada tahun 700 – 1400 M? Kita seharusnya menghindari generalisasi masyarakat dari sejarah perorangan. Seakan-akan seluruh masa pemerintahan Bani Umayyah adalah gelap dengan hanya memfokuskan pada sejarah Yazid saja. Kemudian kita menutup diri dari kemajuan yang dicapai oleh Bani Umayyah.

(3) Keliru pula menyimpulkan bahwa karena ada pembunuhan terhadap kepala negara berarti tidak ada mekanisme politik yang menjamin keamanan kepala negara dan masyarakatnya. Padahal seharusnya kita harus meneliti lebih mendalam apakah hal tersebut terjadi karena ketidakmampuan sistem idealnya atau karena penyimpangan dari sistem ideal tersebut. Apa yang terjadi dalam konflik-konflik berdarah dalam Islam, justru karena menyimpang dari sistem ideal Islam yakni syariah Islam, bukan karena akibat penerapan syariat Islam itu sendiri.

(4) Sejarah negara-negara demokrasi, seperti halnya sejarah Khilafah Islam, bukanlah tanpa konflik. AS yang sering diklaim sebagai kampiun demokrasi pernah mengalami Perang Saudara yang berdarah-darah pada abad ke-19. Kalau pembunuhan terhadap Khalifah sebagai kepala negara menjadi soroton, apakah AS sepi dari hal itu? Bagaimana dengan pembunuhan terhadap Abraham Lincoln, pembunuhan John F. Kennedy, percobaan pembunuhan terhadap Ronald Reagan dan pemimpin-pemimpin politik AS lainnya? Revolusi Perancis sebagai peristiwa penting demokrasi juga penuh darah. Runtuhnya negara komunis yang kemudian berubah menjadi negara demokrasi, juga penuh dengan pertumpahan darah dan konflik seperti yang terjadi di Balkan saat ini. Hal ini secara mendalam dibahas Jack Snyder dalam bukunya From Voting to Violence yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Dari Pemungutan Suara ke Pertumpahan Darah (Jakarta: KPG, 2003). Apakah ini dengan sederhana dijadikan kenyataan sejarahnya ini menjadi argumentasi untuk menolak sistem ideal demokrasi ? (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id)

Tuduhan 4 : Khilafah hanya mungkin diterapkan dalam wilayah geografi sempit dengan komunitas politik yang relatif seragam


Jawaban :
(1) Untuk menjawabnya, cukup pihak penuduh disadarkan, bahwa dia tidak paham fakta sejarah. Apakah kita menutup mata bagaimana wilayah kekuasaan keKhilafahan yang meliputi Timur Tengah, Afrika, sampai ke Eropa? Untuk perbandingan sederhana saja, negara Islam yang berpusat di Madinah saat Rasulllah SAW wafat saja wilayahnya telah meliputi jazirah Arab yang kini meliputi kurang dari 7 negara bangsa ( Arab Saudi, Yaman, Uni Emirat Arab, Qatar, Oman, Bahrain). Ini berarti empat kali luas gabungan negara Perancis dan Jerman.Apalagi kalau dibandingkan dengan negara kecil seperti Singapura, Swiss, Brunai. Apakah kita masih mengatakan wilayah geografis terbatas terbatas?

(2) Masalah homogenitas, juga terjadi kekeliruan pada pihak penuduh. Di Madinah saja, sebagai pusat negara Islam yang pertama, penduduknya sangat heteregon : terdiri dari berbagai kabilah, suku, termasuk terdapat komunitas Yahudi. Saat keKhilafahan meluas, di Mesir, Irak, Iran, Syiria, Spanyol terdapat komunitas Kristen, Yahudi, pemeluk keyakinan Zoroaster dan lainnya. Argumentasi kondisi faktual umat Islam sekarang yang tersebar dalam begitu banyak negara dengan beragam karakter dan kepentingan politik yang berbeda juga lemah untuk menolak keberadaan Khilafah. Perlu diketahui di masa Rasulullah juga terdapat banyak kabilah dengan berbagai karakter dan kepentingan politik yang berbeda, tapi Rasulullah SAW berhasil menyatukannya dengan menyamakan visi dan misi kenegaraan mereka berdasarkan Islam. (Farid Wadjdi, Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie, www.hizbut-tahrir.or.id)

Tuduhan 5 : Khilafah bukan sebuah bentuk kekuasaan yang diwajibkan agama, tapi hanya ijtihad politik sahabat sepeninggal Nabi, terbukti dari tidak adanya sistem pengangkatan khalifah yang baku antara Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali

Jawaban :
(1) Benar, bahwa tidak ada tatacara teknis yang baku dalam pengangkatan khalifah. Tapi menyimpulkan tidak adanya sistem pemerintahan Islam dari kenyataan itu jelas sangat gegabah. Sebab, yang berbeda hanyalah tatacara teknis pembaiatan (uslub ba’iah), bukan metode pengangkatan khalifah (thariqah nashb al-khalifah), yaitu baiat. Jadi, harus dibedakan antara baiat (sebagai metode yang baku), dengan prosedur teknis sebelum baiat yang boleh berubah-ubah. Semua khalifah yang empat (Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali) menjadi khalifah hanya dengan baiat. Tidak ada metode lain. Tidak ada yang tanpa baiat. Yang berbeda hanyalah prosedur teknis yang ditempuh sebelum baiat dilakukan. Abu Bakar dibaiat oleh umat dari hasil syura di Saqifah Bani Saidah. Umar dibaiat oleh umat, setelah sebelumnya dicalonkan oleh Abu Bakar berdasarkan mandat umat kepada Abu Bakar. Utsman dibaiat oleh umat setelah Umar (atas mandat umat) membentuk komisi pemilihan khalifah yang bertugas memilih satu khalifah di antara mereka. Ali dibaiat oleh umat setelah Utsman wafat dan muncul dukungan dan tuntutan langsung dari umat untuk membaiat Ali (Abdul Qadim Zallum, Nizham Al-Hukm fi Al-Islam, hal. 72-85)

(2) Khilafah bukanlah ijtihad sahabat, melainkan Ijma’ Sahabat. Jika benar Khilafah ijtihad sahabat, niscaya Khilafah tidak mengikat dan para sahabat pun akan ada yang berbeda pendapat, yaitu ada yang tidak mewajibkan Khilafah. Kenyataannya, tidak ada satu pun dari kalangan sahabat yang menolak wajibnya Khilafah. Yang ada hanyalah perbedaan pendapat, apakah si A atau si B yang akan menjadi khalifah. Bukan perbedaan pendapat Khilafah itu wajib atau tidak. Walhasil, kenyataannya, dan yang terjadi, Khilafah itu didasarkan pada kesepakatan semua sahabat (ijma’ sahabat), bukan ijtihad sahabat. Padahal Ijma’ Sahabat adalah sumber hukum syariah (dalil syar’i) ketiga setelah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Adapun fakta sejarah yang terjadi setelah masa sahabat, tidak mempunyai nilai sedikit pun dalam penetapan hukum syara’. Sebab kenyataan sejarah bukanlah sumber hukum. Jadi, andaikan setelah Khilafah Rasyidah terjadi proses pewarisan turun temurun dalam Khilafah Bani Umayyah dan Abbasiyah, maka itu hanya sekedar fakta, bukan suatu dalil syar’i. Andaikata saja setelah Khilafah Rasyidah sistem pemerintahan berganti menjadi selain Khilafah (ini andaikata saja), bukan berarti sistem selain Khilafah itu lantas boleh menurut syariah. Itu hanya fakta sejarah, bukan sumber hukum.

Tuduhan 6 : Khilafah dalam sejarah itu despotis (sewenang-wenang) dan tidak bisa dimintai pertanggung jawaban, karena khalifahnya adalah wakil Tuhan di muka bumi


Jawaban :
(1) Tuduhan bahwa dalam sistem Khilafah tidak ada mekanisme kritik dan pertanggungjawaban menunjukkan penuduh tidak mengerti tentang sistem Khilafah. Dalam sistem Khilafah, kritik bukan hanya boleh bahkan ia telah menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan politik dan pemerintahan Islam. Mekanisme kritik ada 3 (tiga) :

Pertama, bisa dilakukan secara individual oleh setiap muslim. Tidak kurang Rasulullah SAW sendiri pernah mendapatkan kritik dari para sahabat-sahabatnya berkaitan dengan kebijakannya dalam perjanjian Hudaibiyah yang dinilai terlalu menguntungkan kafir Quraisy. Khalifah Abu Bakar juga pernah secara langsung dikritik oleh Umar bin Khatab dalam kebijakannya memerangi orang yang tidak mau membayar zakat. Sementara, saat menjadi khalifah, Umar bin Khatab juga tidak sepi dari kritik. Di antaranya bahkan datang dari sekelompok wanita yang memprotes kebijakan Umar dalam membatasi jumlah mahar maksimal 400 dirham. Umar menerima kritik itu seraya mengatakan, “Wanita itu benar, Umar salah”.

Kedua, kritik juga bisa dilakukan melalui wakil rakyat (majelis al-ummah) yang dipilih langsung oleh rakyat. Dalam sistem Khilafah, anggota majelis ummah berhak secara langsung mengkritik khalifah berkaitan dengan keputusan atau kebijakannya yang dinilai tidak tepat dan merugikan rakyat.

Ketiga, rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan khalifah bisa mengajukannya ke Mahkamah Madzhalim, yakni sebuah pengadilan yang memutuskan perselisihan antara rakyat dan penguasa (khalifah). Tentu saja khalifah harus tunduk kepada keputusan mahkamah ini.

(2) Muncul pertanyaan, bagaimana kalau khalifah tidak mau mendengar kritik rakyatnya dan tidak pula mau mentaati keputusan pengadilan? Apakah rakyat boleh turun tangan secara langsung? Jawabnya, boleh karena rakyat adalah pemilik kekuasaan. Rakyat boleh turun tangan secara langsung untuk menjatuhkan khalifah setelah terbukti bahwa khalifah menyimpang dari syariat Islam. Bahkan kalau penyimpangan yang dilakukan oleh khalifah sampai pada batas yang menunjukkan penentangannya secara nyata terhadap syariat Islam, rakyat boleh angkat senjata (menggunakan kekerasan) untuk menjatuhkan khalifah. Soal ini pernah ditanyakan para sahabat kepada Rasulullah, dan Rasul menjawab tegas boleh bila memang khalifah tersebut telah menunjukkan kekufuran yang nyata (kufran bawahan).

(3) Jadi jelaslah bahwa dalam sistem Khilafah terdapat mekanisme yang sangat gamblang tentang bagaimana cara mengkoreksi penguasa. Namun, memang harus diakui pelaksanaan syariah Islam di masa pemerintahan keKhilafahan pada kenyataannya tidaklah selalu berjalan mulus. Ini tidak lepas dari kenyataan bahwa sistem pemerintahan Khilafah adalah sistem manusiawi (basyariah), yang bagaimana pun tetap dijalankan oleh manusia biasa yang bisa keliru atau menyimpang. Bukan oleh para malaikat atau orang yang maksum (infallible). Oleh karena itu, penting untuk diingat bahwa menilai sistem Khilafah hanya didasarkan pada adanya penyimpangan praktek sistem ini di masa lalu tidaklah tepat, tapi haruslah merujuk kepada sumber ide dan hukumnya yakni al-Quran dan as-Sunnah sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sistem politik apapun, selama masih dijalankan oleh manusia sangat mungkin menyimpang.

Demikian juga dengan sistem Khilafah. Karena itulah dalam sistem Khilafah ada kewajiban mengkritik agar penguasa ini tidak menyimpang. Menyimpulkan bagaimana sistem Khilafah hanya berdasarkan penyimpangan pelaksanannya di masa lalu seperti yang dilakukan oleh penuduh jelas akan menyebabkan kekeliruan dalam melihat bagaimana sistem Khilafah ini sesungguhnya. Kecuali kalau itu memang sengaja dilakukan untuk maksud tertentu.

(4) Penuduh telah menggunakan perspektif Barat bahwa Khilafah adalah sistem teokrasi, di mana raja adalah wakil tuhan di bumi. Padahal sistem Khilafah sangat berbeda dengan sistem teokrasi yang dijelaskan di atas. Syekh Taqiyuddin an Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dalam kitabnya Nizhamul Hukmi fi al Islam (sistem pemerintah Islam) memberikan gambaran yang jernih tentang perbedaan antara sistem khilafah dan sistem teokrasi. Sistem khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam, membedakan antara kedaulatan (al-siyadah) dan kekuasaan (al-sultan). Dalam sistem khilafah, kedaulatan (al-siyadah) memang ditangan syaari’ (pembuat hukum, yakni Allah SWT), namun kekuasaan (al-sultan) tetaplah di tangan rakyat. Berbicara tentang kedaulatan berarti berhubungan dengan siapa yang berhak membuat hukum atau siapa yang menjadi sumber hukum (source of legislation). Sedang bicara tentang kekuasaan berarti berhubungan dengan siapa yang menjadi sumber kekuasaan (source of power).

Dalam Islam yang menjadi sumber hukum adalah Allah SWT yang telah menurunkan Al-Qur’an dan as-Sunnah guna mengatur kehidupan manusia. Sementara, makna bahwa kekuasaan (al-sultan) di tangan rakyat adalah tak boleh seorang pun mengaku sebagai penguasa (khalifah) kecuali atas pilihan rakyat. Dan ketika seorang khalifah dipilih oleh rakyat, ia semata dipilih untuk melaksanakan hukum-hukum Allah (syariah Islam). Karena itu kata-kata, kebijakan atau aturan yang ditetapkan oleh Khalifah bukanlah otomatis sebagai kata-kata Tuhan yang lantas mutlak harus diikuti dan tidak boleh dikritik, apalagi bila nyata-nyata ucapan dan perintah itu bertentangan dengan syariah. Rasullah Muhammad saw sendiri pernah menyatakan: “Tiada ketaatan kepada manusia dalam maksiat kapada Allah swt”. Maka, khalifah saat mengambil keputusan tetap harus merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Artinya, keputusan khalifah baru boleh ditaati selama merujuk kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kalau tidak, bukan hanya tidak boleh, bahkan wajib ditolak dan dikritik keras. Karena itulah dalam Islam ada kewajiban mengoreksi penguasa (khalifah) yang dikenal dengan konsep muhasabah lil hukkam. Bahkan Islam menempatkan derajat yang sangat tinggi bagi aktifitas untuk mengkoreksi penguasa ini. Dalam hadits disebutkan, “Sebaik-baik jihad adalah menyampaikan kata-kata yang hak di depan penguasa yang jair/dhalim (kejam)”. Mereka yang dibunuh akibat mengoreksi penguasa yang keliru bahkan diberi gelar setara saiyyudusyuhada (pemimpin para syahid) (M. Ismail Yusanto, Khilafah Islam, Sistem Tiranik? Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah, www.hizbut-tahrir.or.id).

Penutup
Sebagai penutup, ada baiknya kita mengetahui tujuan tuduhan-tuduhan kaum sekular-liberal yang membenci Khilafah itu. Sesungguhnya, berbagai tuduhan itu tujuannya adalah : Pertama, agar umat Islam tersesat dan tertipu lalu menolak Khilafah yang sebenarnya sudah diketahui merupakan bagian ajaran Islam yang sangat penting (ma’luum min al-din bi al-dharurah). Kedua, agar umat Islam terus menerus menderita di bawah tindasan sistem sekuler yang kufur yang dipaksakan penjajah kafir atas umat Islam.

Jadi, segala macam tuduhan itu dimaksudkan untuk menjegal perjuangan umat yang ikhlas untuk mengembalikan Khilafah, serta untuk menjustifikasi dominasi penguasa sekuler yang menjadi antek-antek kaum penjajah kafir, khususnya Amerika Serikat. [ ]
-------

DAFTAR PUSTAKA
Arif, Syamsuddin. Jejak Kristen Dalam Islamic Studies. www.insistnet.com
Assyaukanie, Luthfi. Ali Abd Ar-Raziq (1888-1966) Peletak Dasar Teologi Modern. www.islamlib.com
----------. Perlunya Mengubah Sikap Politik Kaum Muslim, www.islamlib.com.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 2001. Nizhamul Islam. T.tp. : Hizbut Tahrir.
Audi, Robert. 2002. Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal. Yogyakarta : UII Press.
Berkhof, L. 1992. Sejarah Perkembangan Ajaran Trinitas (The History of Christian Doctrines). Bandung : Sinar Baru.
Cave, M.A.C. 2000. Is The Trinity Doctrine Divinely Inspired? Al-Mansoura : Al-Dar Al-Islamiyah.
Deedat, Ahmad. 1999. The Choice : Dialog Islam-Kristen. Jakarta : Pustaka Al-Kautsar.
Ebenstein, William & E. Fogelman. 1994. Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms). Jakarta : Erlangga.
Endra, W. Surya. 1979. Kamus Politik Serta Penjelasannya. Surabaya : Study Group.
Husaini, Adian. Mengapa Barat Menjadi Sekular-Liberal. www.insistnet.com
Jahroni, Jajang. Khilafah Islam : Khilafah Yang Mana? www.islamlib.com
Lubis, HM. Arsjad Thalib. 1990. Keesaan Tuhan Menurut Ajaran Islam dan Kristen. Jakarta : Media Da’wah.
Suharto, Ugi. Apakah Al-Qur`an Memerlukan Hermeneutika. www.insistnet.com
Syalaby, Ahmad. Tanpa Tahun. Perbandingan Agama : Agama Kristen. Bandung : PT Alma’arif.
Ulwan, Abdullah Nashih. 1996. Islam Syariat Abadi. Jakarta : Gema Insani Press.
Wadjdi, Farid. Menepis Keraguan Terhadap Khilafah : Tanggapan Untuk Luthfi Assyaukanie. www.hizbut-tahrir.or.id
Walker, Jim & Shabir Ali. 2005. The Dark Bible. Jakarta : Immanuel Press.
Watt, William Montgomery.1997. Fundamentalisme Islam dan Modernitas (Islamic Fundamentalism and Modernity). Terjemahan oleh Taufik Adnan Amal. Jakarta : Rajagrafindo Persada.
Weigel, George. 2003. ”Katolikisme Roma di Era Paus John Paul II”. Dalam Peter L. Berger (Ed.) Kebangkitan Agama Menantang Politik Dunia (The Desecularization of The World). Yogyakarta : Ar-Ruzz.
Yusanto, M. Ismail. Khilafah Islam, Sistem Tiranik? Menjawab Kritikan Terhadap Konsep Khilafah. www.hizbut-tahrir.or.id
Zallum, Abdul Qadim. 2002. Nizham Al-Hukm fi Al-Islam. T.tp. : Hizbut Tahrir.


Oleh : KH.M. Shiddiq Al-Jawi**
- - - - - - -
*Makalah disampaikan dalam dalam Seminar Nasional Sehari Bertema Meneropong Perjalanan Spiritual Dan Politik An-Nabhani Dan Sayyid Qutb Dalam Merekonstruksi Khilafah, Sub Tema Menjawab Tuduhan Dan Keraguan Seputar Khilafah Islamiyah, hasil kerjasama MT-FUNA Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya dan KSPEI Malang, pada Sabtu 26 Maret 2005, di Widyaloka Convention Hall Universitas Brawijaya.
**M. Shiddiq Al-Jawi, lahir di Grobogan (Jateng), 31 Mei 1969. Alumnus Fakultas MIPA IPB Bogor dan pernah menjabat Ketua Umum Badan Kerohanian Islam (BKI) IPB Bogor tahun 1990-1991. Saat kuliah, menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Imdad dan Al-Azhhar, Bogor. Telah menerjemahkan sekitar 15 buku (berbahasa Arab), di antaranya Demokrasi Sistem Kufur karya Abdul Qadim Zallum. Buku yang telah ditulisnya antara lain Membangun Kepribadian Islam (Jakarta : Khairul Bayan), dan Prinsip-Prinsip Dasar Pemahaman Al-Qur`an dan Al-Hadits (Jakarta : Khairul Bayan). Sekarang dosen STEI (Sekolah Tinggi Ekonomi Islam) HAMFARA Yogyakarta, dan staf pengajar LPI (Lembaga Pendidikan Insani) Yogyakarta. Sedang menyelesaikan thesis pada program pascasarjana Magister Studi Islam UII, Yogyakarta. Aktivis di Hizbut Tahrir Indonesia.

Rabu, 30 Maret 2011

SEKEDAR RENUNGAN



by Siti Nafidah Anshory on Friday, March 25, 2011 at 8:02am

Sahabat hati,
tak seorangpun bisa menghindar dari kmatian.Peristiwa besar itu seharusnya mengingatkan kita pada fananya hidup & masa depan sesungguhnya. Jika hari ini kita berpikir bhw harta, ilmu, kecantikan, status sosial & bahkan amal yg kita pikir mrp "kebaikan" adalah sumber kebahagiaan, maka kematian akan memupus dan memutusnya.

Seorang kawan pernah menghitung,bahwa hidup kita di dunia yang rata2 60-70 th,ternyata hanya setara dengan 2 menit 1 detik dibanding relativitas waktu di padang mahsyar. Jadi hidup ini memang singkat & sangat berharga. Sehingga jika kita cerdas,kita akan sekuatnya menjauhi kesia2an, fokus beramal yg bernas dengan pahala kebaikan, berdakwah dan gigih berjuang di jalan Islam yang dijanjikan kemuliaan.

Sahabat hati,
tak sedikit yang Allah takdirkan dengan kematian tiba-tiba. Peristiwa ini seharusnya menyadarkan kita, bhw bukan sakit, bencana dan musibah yg mengakhiri jatah hidup seseorang. Sungguh Allah telah mengajarkan, bhw ajal kita telah ditetapkan. Tp Allah tak mengkabarkan saat kapan ajal itu datang. Bukankah kita sering merasa heran ketika ada kabar kawan meninggal padahal sebelumnya sempat akrab berbincang? Kita juga sering dibuat menyesal, saat orang yang dicinta wafat tiba-tiba, sementara ada haknya yg terlanggar atau dosa yg belum trbebaskan?

Sahabat hati,
banyak mengingat mati memang sangat dianjurkan,agar hati yang keras bisa lunak menerima kebenaran,agar hati yang kasar menjadi mudah memaafkan, dan hati yang gemar mengagumi diri dan mengecilkan orang lain menjadi bersih penuh ketawadhuan

Semoga Allah, berkenan menganugrahi kita akhir hidup yang baik dan kematian yang dirahmati.

Rabu, 23 Maret 2011

AKAR FILSAFAT PEMIKIRAN ISLAM “KONTEMPORER”



Oleh : Siti Nafidah Anshory
(ditulis Januari tahun 2000 lalu, tapi mudah2n gagasannya masih up-to date)


Kontroversi Ghazwul-fikr

Sesungguhnya seluruh aspek kehidupan kaum muslimin saat ini sedang berada dalam kondisi terpuruk akibat rendahnya taraf berpikir mereka Hal ini terutama terjadi sejak berlangsungnya perang pemikiran dan perang kebudayaan (ghazwul-fikr dan ghazwuts-tsaqafi) yang gencar dilancarkan Barat dan kafir musta’mir lain sebagai pengganti perang fisik yang sebelumnya tidak menghasilkan kemenangan apapun buat mereka. Dalam hal ini, pemikiran-pemikiran Islam yang sebelumnya menuntun kaum muslimin dan membuat mereka mampu membangun sebuah peradaban yang gemilang dalam kurun yang sangat panjang, seolah telah terkubur oleh pemikiran-pemikiran asing yang merasuk ke dalam benak mereka dan kemudian mengungkung sistem kehidupan mereka. Seolah-olah, pemikiran-pemikiran Islam hanyalah sebuah masa lalu yang tidak lagi layak untuk membangun masa depan peradaban ummat manusia ditengah-tengah fakta pluralitas (kemajemukan) dan universalitas (globalisasi) kehidupan manusia modern.

Salah satu cara yang mereka gunakan dalam perang pemikiran tadi adalah dengan melontarkan berbagai gagasan, baik yang menohok Islam secara langsung, yakni dengan cara menampilkan wajah buruk pemikiran-pemikiran Islam, maupun yang bersifat halus dan kompromistis untuk mengaburkan ide-ide Islam dan membentuk image bahwa Islam sangat elastis dan terbuka. Dan euphoria demokratisasi yang saat ini sedang hangat-hangatnya dinikmati oleh kaum muslimin di sebagian besar negeri Islam telah memberikan suasana yang kondusif bagi penyebaran gagasan-gagasan tersebut di tengah-tengah mereka, sehingga benar-benar menjadi bahan polemik, yang sebenarnya merupakan manifestasi dari fenomena ghazwul-fikr dan ghazwuts-tsaqafi seperti yang dikehendaki para perancangnya. Tujuannya tidak lain adalah menjauhkan kaum muslimin dari pemahaman Islam yang murni, karena mereka menyadari, bahwa inti kekuatan kaum muslimin sebagai musuh utama mereka sesungguhnya terletak pada kekuatan dan kejernihan pemikiran-pemikirannya, baik dari sisi aqidah sebagai pemikiran pokoknya, maupun dari sisi syari’ah sebagai pemikiran cabangnya.

Kondisi ini kemudian diperburuk oleh ungkapan-ungkapan sebagian pemikir Islam kontemporer, baik yang jelas-jelas bertindak sebagai agen para penjajah, maupun mereka yang ‘ikhlas’ dan bersikap ‘husnudzan’ terhadap pihak Barat/asing. Mereka menyatakan, bahwa apa yang oleh sebagian kalangan disebut dengan fenomena ghazwul-fikr tadi, sesungguhnya bukan merupakan kenyataan yang harus disikapi secara negatif, melainkan seharusnya menjadi sarana pendewasaan serta pengentalan ghirah dan persepsi keagamaan ummat. Karena dalam kacamata mereka, selama ini semangat dan persepsi keagamaan mayoritas ummat Islam lebih didasari oleh sentimen dan berbagai mitos, sehingga terkesan sangat kaku, letterlijk, simbolik dan bahkan khayali. Akibatnya (menurut mereka) Islam dan kaum Muslimin seolah menjadi sebuah ajaran dan komunitas yang sangat eksklusif dan anti perubahan, sekaligus anti pencerahan dan modernisasi, sehingga dianggap layak menyandang berbagai sebutan, seperti kelompok Islam konservatif, skriptualis dan bahkan fundamentalis jika sudah mengarah kepada upaya mewujudkan Islam sebagai sebuah sistem.

Dengan kerangka pikir seperti itulah, mereka lantas mempertanyakan tentang keabsahan konsep universalisme Islam yang tersirat dalam konsep Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Karena dengan fakta demikian, mereka melihat (berupaya memperlihatkan), bahwa seolah-olah ada ketidak sinkronan antara konsep disatu sisi dan fakta di sisi lain, yakni jika Islam dipahami dan direalisasikan “apa adanya”, secara pasti Islam akan kehilangan keuniversalannya dan kemudian termarjinalisasikan sebagaimana filsafat usang yang ditinggalkan banyak orang. Dan hal ini menurut mereka, tentu sangat kontraproduktif bagi masa depan Islam dan kaum Muslimin, sehingga adanya rekonstruksi paradigma berpikir dalam beragama menjadi satu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dalam hal ini, mereka kemudian menyebut gagasannya tersebut dengan istilah tajdid.


Kekaburan Konsep Tajdid

Semangat pembaharuan (tajdid) dalam perspektif Islam seperti ini, sebenarnya telah berlangsung sejak lama, yakni sejalan dengan perkembangan sejarah Islam itu sendiri. Akan tetapi pembaharuan yang dikembangkan oleh ulama salaf di masa lalu dan sebagian ulama khalaf (kontemporer) yang lurus, justru lebih mengarah pada upaya “memurnikan” ajaran Islam dan mengembalikannya ke perspektif Islam “apa adanya”, setelah dianggap bahwa Islam telah tersusupi pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran baru (bid’ah) atau bahkan sesat, yang diyakini tidak relevan dengan kehendak wahyu (tasyri’). Sementara, sebagian pemikir Islam “kontemporer” lainnya, yang sering juga disebut kelompok Islam esensialis justru lantang menyerukan upaya pembaharuan yang mengarah kepada keharusan untuk “membaca” wahyu dalam konteks kekinian melalui seruan-seruan untuk melakukan upaya reinterpretasi, reaktualisasi atau bahkan rekonstruksi teks-teks nash syara. Untuk itu, mereka intens juga menyerukan penggunaan berbagai pendekatan di luar konteks kaidah ushul fiqih yang selama ini dikenal (ijtihad syar’i) seperti melalui pendekatan ilmiah melalui sudut pandang antropologi historis, sosiologis dan psikologis dalam memahami konsep-konsep ajaran Islam. Tujuannya adalah demi membangun kembali citra Islam yang kadung dicap miring oleh Barat dengan berbagai stereotipe, seperti kuno, sadis, penuh kekerasan, menghinakan wanita dan sebagainya, menjadi nampak lebih ramah, humanis dan modern.

Inilah rupanya yang menjadi obsesi para pemikir Islam kontemporer-esensialis : “membebaskan Islam dari kekeliruan konsep dan persepsi Barat tentang Islam”. Caranya adalah dengan membuka diri terhadap berbagai diskursus dan polemik tentang pemikiran Islam, demi dan atas nama kebebasan berpikir, pencerahan dan kepentingan ilmiah. Sehingga berbagai wacana dikembangkan, bahkan terkadang seolah tanpa batas, karena sampai menyentuh hal-hal yang sangat mutlak dan mendasar (tataran aqidah) yang nantinya akan sangat berpengaruh pada tataran syari’ah. Di antara konsep-konsep yang menjadi polemik hangat dan intens dilontarkan adalah konsep tentang relativisme beragama, pluralisme, universalisme/kosmopolitanisme dan humanisme, dan sekularisme. Dan sekalipun konsep-konsep tersebut sangat filsafatis, akan tetapi justru menjadi dasar dan penguat bagi pemikiran-pemikiran asing yang saat ini digembar-gemborkan musuh-musuh Islam untuk meracuni pemikiran kaum muslimin, seperti ide kebebasan, demokrasi, HAM, dialog antar agama dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, pemikir-pemikir yang intens terlibat langsung dalam diskursus tersebut, antara lain Nurcholis Madjid, Abdurrahman Wahid, Azyumardi Azra, Quraisy Shihab, Alwi Shihab, Masdar F. Mas’udi, dan lain-lain Sedangkan pemikir Islam “luar” yang menjadi referensi antara lain adalah Mohammed Arkoun (Paris, Perancis), Fazlurrahman (AS) dll. Berikut pemikiran-pemikiran tersebut akan dibahas satu persatu, Insya Allah dari sisi fakta, kerangka berpikir, implikasi serta mengenai bagaimana pandangan Islam. Hal ini, semata-mata agar kita mengetahui kerancuan pemikiran dan bahayanya bagi Islam dan kaum muslimin, terutama selain karena ide-ide tersebut ditampilkan sebagai ‘pemikiran Islam’, juga karena akan menjauhkan jarak di antara mereka dengan cita-cita kebangkitan dan kembalinya Islam dalam realitas kehidupan. Dan justru inilah yang menjadi obsesi musuh-musuh Islam, karena mereka memandang bahwa saat ini Islam adalah satu-satunya ancaman bagi hegemoni (kapitalisasi) mereka atas dunia setelah sosialime yang menjadi tandingannya hancur dengan runtuhnya kekuasaan Sovyet beberapa waktu lalu.


a. Relativisme Beragama

Secara umum, konsep relativisme menerangkan bahwa apa yang dianggap baik atau buruk, benar atau salah, adalah relatif, tergantung kepada pendapat tiap individu, keadaan setempat, institusi sosial dan agama. Oleh karena itu, konsep yang berawal pada abad kelima sebelum masehi ini, tidak mengenal kebenaran absolut atau kebenaran abadi.

Cak Nur dalam bukunya Pintu-Pintu Menuju Tuhan (p. 242) menulis mengenai relativisme beragama seperti ini : Pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai suatu agama tentu diakui oleh yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan paling benar mengenai agama itu. Tetapi, sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka adalah tak masuk akal (absurd) untuk melihat kedua-duanya sebagai identik dan bisa saling tukar (interchangeable). Jadi, pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah dengan sendirinya senilai dengan agama itu sendiri. Ini lebih-lebih lagi benar jika suatu agama diyakini hanya datang dari Tuhan (wahyu, agama samawi) dan bukannya hasil akhir suatu proses historis dan sosiologis (dengan istilah “agama wahyu” atau “agama samawi” maka wewenangmenetapkan agama atau tasyri’ seharusnya hanya ada pada Tuhan atau berasal “dari langit”, sementara yang datang dari manusia atau dari arah bumi juga seharusnya dipandang sebagai relatif belaka).

Dengan tulisan tersebut nampaknya Cak Nur ingin mengatakan, bahwa tidak boleh bagi seseorang atau suatu kelompok untuk mengklaim bahwa kebenaran adalah milik diri dan kelompoknya saja, karena ternyata hakekat kebenaran dalam pandangan manusia sangatlah relatif, serelatif persepsi manusia terhadap sesuatu yang dianggap benar tadi. Dengan kata lain, benar bagi seseorang, belum tentu benar bagi yang lain, sehingga, apa yang dianggap benar tadi bukanlah kebenaran itu sendiri, melainkan hanyalah persepsi seseorang tentang kebenaran yang sifatnya ternyata sangat relatif. Dan hal ini, menurutnya, merupakan fakta yang tidak terbantah, tak terkecuali dalam konteks kebenaran agama dalam pandangan manusia. Apalagi jika mengingat, bahwa agama-agama besar seperti Yahudi, Nasrani dan Islam dianggap sama-sama merupakan agama wahyu yang berasal dari Tuhan sebagai pemilik mutlak kebenaran.

Sejalan dengan itu, menurut Alwi Shihab (sekalipun dia kurang setuju dengan relativisme mutlak), doktrin agama harus dinyatakan benar dan sama, karena kebenaran agama-agama, walaupun berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetap harus diterima. Untuk itu seorang relativis tidak akan mengenal, apalagi menerima suatu kebenaran yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa, karena inti dari paham ini adalah menolak absolutisme dan monopoli kebenaran serta pemaksaan kebenaran tersebut kepada pihak lain. Hal ini mengingat, pemutlakan kebenaran agama yang diistilahkan Arkoun sebagai tirani kepercayaan dan tirani pikiran, dianggap hanya akan memunculkan ketidakpercayaan dan perselisihan yang berkepanjangan. Hal ini pulalah yang diduga kuat oleh Alwi Shihab sebagai pemicu perselisihan panjang hubungan Muslim Kristen di Indonesia dan di negeri manapun hingga sekarang. Bahkan beliau menggambarkan, bahwa agama seolah telah menjadi elemen utama dalam mesin penghancuran manusia, dimana tidak ada alat komunikasi lain bagi antar agama tadi kecuali senjata (Baca : Islam Inklusif). Oleh karena itulah kemudian para pemikir Islam modern menganjurkan dilakukannya upaya-upaya menginteraksikan berbagai pemikiran agama secara terus-menerus agar tercapai keterbukaan, saling pengertian dan toleransi (inklusivisme) melalui berbagai format seperti Dialog Antar Agama. Dengan demikian, jelas bahwa ide relativisme beragama secara otomatis akan menuntut keharusan untuk menerima konsep pluralisme.


b. Pluralisme

Sesungguhnya, inti dari pluralisme adalah penerimaan dan apresiasi terhadap kemajemukan yang ada di dalam masyarakat. Bagi penganut ide ini, pluralitas (kepelbagaian/kemajemukan) masyarakat adalah merupakan suatu fakta, dan bahwa pluralitas tidak mungkin dihilangkan juga merupakan fakta, sehingga adanya kesadaran akan pluralitas tadi merupakan satu keharusan.

Tentang pluralisme agama sendiri, Alwi Shihab menyatakan, bahwa pada dasarnya lahir dilatarbelakangi oleh serangkaian pertanyaan yang cukup mendasar. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain : apabila Tuhan itu Esa, tidakkah sebaiknya agama itu tunggal saja? Dan apabila pluralisme agama tidak dapat dielakkan, maka yang mana di antara agama-agama ini yang benar, ataukah semuanya sesat ? Lalu, mengapa kita memeluk satu agama dan tidak ikut agama yang lain? Dan mungkinkah terdapat persamaan doktrin atau kesamaan tujuan di antara aneka macam agama yang ada?. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu memunculkan kontroversi, mengingat setiap agama mengajarkan, bahwa doktrinnyalah yang paling benar, unik, ekslusif dan superior. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada upaya menjembatani kesenjangan yang ada diantara agama-agama tadi.

Setiap Pluralis (termasuk Alwi) meyakini, bahwa jawaban tuntas terhadap semua pertanyaan diatas tidak lain adalah penerimaan terhadap ide pluralisme yang direalisasikan dalam bentuk kesiapan untuk saling membuka diri dan berdialog dalam rangka mencari persamaan-persamaan yang dapat dijadikan landasan hidup rukun dalam suatu masyarakat. Dan dalam tataran praktisnya, Alwi menekankan peran penting Islam sebagai agama mayoritas dan kaya dengan sekte untuk mempelopori upaya-upaya tersebut. Apalagi, menurutnya pula sebagai agama formal, Islam memang mengajarkan kebebasan beragama, yang dalam pandangan Cak Nur, itu merupakan pintu pluralisme dan kemanusiaan.
Dengan memahami konsep di atas, maka jelas ada keterkaitan yang erat antara pluralisme dengan relativisme, sekalipun sekali lagi, Alwi tidak sepakat jika keduanya dipersamakan. Keterkaitan dimaksud adalah, bahwa dalam pluralisme pun terkandung unsur relativisme, yakni ketidakbolehan mengklaim pemilikan tunggal atas satu kebenaran. Selain itu, pada dasarnya relativisme dan pluralisme sama-sama mengarah pada penyatuan manusia dalam kepelbagaian kepercayaan dan kepelbagaian identitas di masa modern, dimana tentang identitas ini, Gus Dur (dalam sebuah kesempatan) dan Azyumardi Azra (dalam Konteks Berteologi di Indonesia, p. ?) pernah menyatakan, bahwa modernisasi suatu masyarakat mensyaratkan penerimaan terhadap pluralisme, baik paham ajaran agama, budaya, politik dan sebagainya.

Lepas dari pernyataan tersebut, inilah pluralisme murni. Sedangkan pluralisme yang dikembangkan Alwi Shihab di Indonesia, (katanya) adalah pluralisme agama yang menolak sinkretisme dan bersyarat, yaitu keharusan adanya komitmen yang kokoh terhadap agama masing-masing, yang disandarkan pada Al-Qur’an Surat Saba’ (34) ayat 24-26. Namun, kemudian muncul pertanyaan mengenai sejauhmana batasan “commited” yang beliau maksud, mengingat faktanya Islam bukan sekedar agama ritual seperti halnya agama lain, melainkan merupakan “ad-din” (sistem hidup) yang diantaranya mengatur tentang pola hubungan yang jelas antara Islam-non Islam, Muslim dan non-Muslim di dalam masyarakat Islam.


c. Universalisme/kosmopolitanisme dan Humanisme

Mohammed Arkoun adalah seorang pemikir yang intens menyebarkan ide universalisme. Menurutnya tidak ada yang dapat disebut pinggiran atau pusat, tidak ada kelompok yang terpinggirkan atau yang dominan, tidak ada kepercayaan yang dapat dikatagorikan sebagai rendah maupun agung, karena pikiranlah yang menciptakan kebenaran. Dalam hal ini, secara sinis dan retoris dia mempertanyakan hal (yang menurut penulis) berbahaya, sekalipun boleh jadi dalam kacamata “ilmiah” adalah sah-sah saja, seperti pertanyaan: dapatkan identitas umat Islam yang beragam disatukan, baik antara sesama umat Islam maupun dengan masyarakat non Islam? Apakah pemaksaan “identitas kultural” selama ini berarti bahwa dunia ini perlu dibagi antara Syi’ah dan Sunni, mistik dan tradisionalis, Islam, Kristen dan Yahudi, Arab dan Eropa? Dan sebagainya.

Sesungguhnya dalam tataran inilah universalisme menekankan idealismenya, yakni bagaimana menghilangkan berbagai identitas kultural (termasuk perbedaan agama) yang dianggap sebagai tirani bagi kemanusiaan. Karena menurut penganutnya, sejarah dunia ini pada dasarnya satu, dan sejarah kepercayaan (agama)-pun pada dasarnya satu. Kalaupun kemudian terjadi partikularisasi (pembagian/pengkotakkan) dalam bentuk berbagai identitas, itu hanyalah merupakan hasil sejarah manusia yang dipengaruhi aspek politis, tradisi dan sebagainya. Sehingga, Arkoun misalnya, mengatakan, bahwa sesungguhnya sejarah masyarakat Islam sangat berkaitan dengan sejarah Barat. Dan bahwa tidak ada dikotomi antara pemikiran Barat dan pemikiran Islam, karena keduanya telah saling menyatu, sehingga keduanyapun harus dihargai sekaligus dievaluasi, serta harus dipandang dalam konteks satu sejarah mengenai “kelompok ahli-ahli kitab” (yaitu masyarakat dengan tradisi Yahudi, Nasrani dan Islam). Dan bahwa berbagai kekuatan yang dominan masa kini harus dihindari, termasuk nasionalisme, separatisme dan islamisme.

Tentang hal ini misalnya, Arkoun mencoba berhujjah, bahwa kata ‘Islam’ bisa berarti banyak hal bagi banyak orang pada epos yang berbeda, seperti yang tersirat didalam salah satu bab bukunya bertajuk “Islam dan Muslim” (Rethinking Islam, p. 17). Disitu dia menulis, bahwa ketika Al-Qur’an mengatakan, bahwa Ibrahim adalah seorang Muslim, maka hal tersebut jelas tidak menunjuk kepada Islam sebagaimana yang didefinisikan oleh para teolog dan juris (ahli hukum/fiqih) dalam penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an dan ajaran-ajaran Muhammad. Dalam konteks ini, menurutnya, “Muslim” lebih menunjukkan sebuah “sikap religius” yang ideal seperti yang disimbolkan oleh perilaku Ibrahim dan kemudian menjadi landasan bangunan ritual bagi ketiga agama monoteis.

Berbeda dengan Arkoun yang mengangkat secara kasar universalisme Islam ke arah sinkretisme agama-agama, Gus Dur mencoba mengangkat visi ini dengan bahasan yang lebih halus. Beliau mengatakan, bahwa universalisme Islam menampakkan diri dalam ajaran-ajarannya, yang memiliki kepedulian sangat besar kepada unsur-unsur utama kemanusiaan (humanisme Islam), seperti halnya prinsip keadilan sosial. Hanya saja, beliau menekankan kemustahilan mengaktualisasikan universalitas ajaran Islam dalam tataran praktis jika tidak didukung oleh apa yang beliau sebut dengan kosmopolitanisme peradaban Islam, yakni kearifan peradilan dunia Islam yang muncul dari proses saling pengaruh-mempengaruhi dengan peradaban lain. Menurutnya, kosmopolitanisme peradaban Islam ini telah muncul dalam sejumlah unsur dominan (yang wataknya telah nampak sejak awal perkembangan), seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya dan heterogenitas politik, serta jaminan akan kehidupan beragama yang eklektik (kesiapan Islam untuk menyerap hal-hal yang baik dari luar) dan dialektik (dialogis dan bahkan penuh perdebatan sengit) selama berabad-abad.

Dalam pandangannya, pada saat kaum Muslimin tidak lagi memiliki keseimbangan antara kecenderungan normatif (keyakinan agama dan formalisasi ajaran agama, pen.) dan kebebasan berfikir (termasuk mengakui kebebasan berpikir pada non-muslim) seperti sekarang, yakni kaum muslimin mulai terjebak pada ekslusivisme, maka pada saat itu hilanglah sifat kosmopolitanisme Islam. Sehingga menurutnya, yang seharusnya menjadi agenda untuk dikembangkan ke depan adalah bagaimana meningkatkan kembali universalisme dan kosmopolitanisme peradaan Islam ini di masa datang agar Islam bisa mengambil bagian dalam membangun peradaban manusia. Dalam bahasa lain Arkoun mengatakan, bahwa Islam tidak boleh terpuruk dalam “kekhususan”, partikularisme dan singularisme. Bahkan menurutnya, pemikiran sekular yang terbuka yang dipahami sebagai pencarian akan bentuk ekspresi yang paling tidak ideologis dan paling netral serta lahir dari rasa hormat terhadap kebebasan kehendak orang lain adalah merupakan kemajuan pemikiran yang penting.


d. Sekularisme

Jika dicermati, sesungguhnya ide-ide sebelumnya akan berakhir pada muara yang sama, yaitu sekularisme. Dalam hal ini, sekalipun Cak Nur misalnya menolak menyamakan ide sekularisasi -yang secara istiqomah diperjuangkannya hingga sekarang- dengan sekularisme (yang menurutnya berujung pada penghapusan kepercayaan kepada Tuhan), namun ternyata intinya tetap sama, yakni meniadakan peran Al-Khalik dalam mengatur kehidupan dunia, yakni sekularisme itu sendiri. Sebab sekularisasi yang beliau maksud tersebut didefinisikan sebagai suatu proses sejarah dimana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari kung-kungan atau asuhan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang tertutup. Artinya sekularisasipun pada akhirnya tidak meniscayakan peran agama dalam kehidupan, sebagaimana sekularisme.

Terlepas dari masalah terminologi, Cak Nur memiliki keyakinan besar akan kemampuan rasio untuk memecahkan persoalan-persoalan keduniawian, dengan dalih bahwa justru karena faktor rasionalitas inilah Tuhan memilih manusia sebagai khalifah-Nya. Sehingga menurutnya, sekularisasi adalah niscaya, dan sekularisasi dengan rasionalisasi jelas memiliki konsistensi (Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, p. 229). Dalam hal ini beliau mengemukakan beberapa hujjah, antara lain konsep Islam tentang (pemilahan) “hari dunia” dan “hari agama”, “ar-Rahman” dan “ar-Rahim”,”hablum minallah” dan “hablum minannas” dan sebagainya, yang beliau anggap sebagai dasar penetapan pembagian wilayah otoritatif Tuhan (agama) dengan otoritas manusia (dunia).

Selain pada pemikiran Cak Nur, sekularisme juga ditemukan pada pemikir yang lain. Gus Dur misalnya dengan tegas menolak menyamakan agama (termasuk Islam) dengan Ideologi. Menurutnya, agama merupakan sets of belief/spiritual belief, sedangkan ideologi merupakan wordly belief (Zaman Baru Islam Indonesia, p.86). Artinya, bagi beliau mungkin agama dan dunia merupakan dua sisi mata uang yang berbeda; satu, tapi tidak dapat disatukan pada sisi yang sama. Sementara itu, sekularisme dalam pemikiran Arkoun nampak ketika dia mengatakan, bahwa hakekatnya “muslim” yang lebih menunjukkan sikap hidup, adalah berbeda dengan Islam (sebagai konsep) dan bahwa fakta Quran (sebagai firman Tuhan) berbeda dengan fakta Islam (sebagai sejarah). Menurutnya Quran memiliki perspektif religius. Lalu ketika bercampur dengan kepentingan profan (duniawiyah), pemikiran Islam akhirnya mengklaim bahwa jaringan religius, profan dan politik (din, dunya dan daulah) merupakan karakteristik Islam dan sekaligus menjadi fakta Islam, dan bukan Islam itu sendiri. Karena itu katanya, masyarakat muslim harus melakukan kajian kritis dan ilmiah terhadap dirinya, sehingga Islam sebagai agama akan dibebaskan dari problem dan tanggungjawab yang merupakan wilayah khusus para pelaku sosial, bukan tuhan. (Rethinking Islam, p. 20).


Bukan Sekedar Masalah Terminologi

Sesungguhnya, sekalipun sampai saat ini ide-ide tersebut lebih dianggap sebagai sebuah wacana ilmiah, namun ternyata cukup memberikan implikasi yang mendasar bagi pembentukan kerangka berpikir ummat dalam beragama dan sekaligus akan menentukan langkah-langkahnya dalam kehidupan. Sehingga kemunculan ide-ide tersebut tidak boleh dipandang sekedar sebagai masalah terminologi, mengingat di balik ide-ide tersebut tersembunyi kerangka pandang tertentu mengenai kehidupan (hadlarah). Artinya, tak ada yang bebas nilai di sini, sehingga hal tersebut tentu membutuhkan perhatian dan kajian agar kita dapat menentukan satu sikap terhadapnya, yakni apakah akan menerima atau menolak. Dan tentu, sebagai seorang muslim/ah selayaknyalah kita hanya menggunakan Islam sebagai satunya landasan berpikir (qa’idah fikriyyah) yang menjadi tolok ukur terhadap segala bentuk pemikiran dan di atasnya kita bangun seluruh pemikiran cabang tentang kehidupan, sekaligus sebagai tuntunan berpikir (qiyadah fikriyah) yang menuntun manusia dalam menghadapi segala problema kehidupannya

Jika kita cermati, semua ide tersebut ternyata memiliki kesamaan ciri, yakni sangat kental dengan pola pikir filsafatis yang biasa menonjolkan sisi rasionalitas (logika/silogisme/mantik) dan sekaligus menjadikannya sebagai asas berpikir mereka dalam proses penarikan kesimpulan Ketika mengungkapkan ide relativisme misalnya, Cak Nur berangkat dari beberapa pemikiran (yang dijadikannya sebagai premis), seperti : Karena Tuhan adalah kebenaran mutlak dan agama samawi adalah wahyu Tuhan, maka agama samawi (Yahudi, Nasrani dan Islam) adalah kebenaran mutlak.

Sampai disini tentu tidak ada masalah sejauh konklusi tadi diletakkan dalam konteks masa berlakunya masing-masing agama tersebut. Namun ketika beliau hubungkan dengan formulasi lain, bahwa pandangan manusia adalah relatif dan beragama hanya merupakan persepsi manusia mengenai suatu kebenaran sehingga kebenaran dalam pandangan manusia menjadi relatif juga, tentu kesimpulan ini perlu dikaji lebih lanjut. Karena ini berarti, bahwa saat ini mau tidak mau manusia harus menerima beberapa kenyataan, bahwa apa yang diyakininya belum tentu benar, atau sama benar seperti yang diyakini orang lain atau bahkan sama-sama salah, sehingga dia tidak boleh mengklaim kebenaran sebagai milik (agama)-nya semata.

Dengan logika yang sama sebagian pemikir membangun konsep universalisme, yakni dengan menambah premis, bahwa karena seluruh agama samawi berasal dari satu Tuhan, maka manusia harus membangun kesadaran berdasarkan prinsip universalitas. Sedangkan mengenai universalisme yang dikembangkan Gus Dur (universalisme Islam) saya kira lebih dekat kepada silogisme dalam konsep relativisme yang menolak klaim kebenaran (absolutisme), sehingga Islam harus dipahami dari prinsip-prinsipnya yang bersifat universal, terutama dari aspek humanismenya saja.

Adapun silogisme dalam ide pluralisme nampak dalam pernyataan, bahwa pluralitas masyarakat merupakan suatu fakta dan sekaligus kehendak Tuhan. Dan karena Tuhan adalah kebenaran mutlak, maka pluralitas masyarakat juga merupakan kebenaran yang harus diterima. Sehingga oleh karenanya, penolakan terhadap pluralisme dianggap sebagai penolakan terhadap kenyataan dan rasio.

Yang lebih parah lagi, ialah bahwa konsep-konsep tersebut jelas saling memiliki keterkaitan, bahkan saling kukuh mengkukuhkan, karena berpangkal pada kerangka berpikir yang sama, yakni filsafat kebenaran dan berujung pada konsep yang sama pula, yakni sekularisme. Sebagaimana diketahui, dalam filsafat, definisi dan ukuran “kebenaran” merupakan salah satu topik kajian yang cukup banyak memunculkan polemik yang kemudian memunculkan banyak madzhab. Misalnya, dari sisi ukuran kebenaran, para penganut skeptisisme mengatakan, bahwa sesungguhnya tidak ada satupun ukuran tentang kebenaran, sedangkan penganut dogmatisme berpendirian sama gigihnya dengan mengatakan, bahwa ukuran yang dipunyainya merupakan ukuran yang dapat dipercaya secara mutlak. Adapun penganut idealisme dan realisme mengambil sikap kompromistis, bahwa ukuran yang mereka punyai, meskipun tidak selalu merupakan ukuran terakhir serta penutup, namun ukuran tersebut memberikan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai kemungkinan benar-sesatnya suatu pernyataan. Sedangkan mengenai definisi kebenaran, maka paham empiris misalnya menjadikan kenyataan empirik (pengalaman indrawi) seseorang sebagai dasar pendefinisian kebenaran. Artinya sesuatu dianggap benar jika seseorang dapat membuktikannya secara indra, sehingga kebenaran menjadi pengertian yang sangat subyektif. Sementara itu, paham koherensi menyatakan, bahwa sesuatu dianggap benar jika semua kenyataan dalam keadaan saling berhubungan. Dan paham pragmatisme, menyatakan, bahwa kebenaran merupakan gagasan yang berguna atau dapat dilaksanakan dalam suatu situasi. Artinya, karena kebenaran itu merupakan gagasan, maka sesungguhnya kebenaran itu tidak nyata dan sangat subyektif, mengingat bisa jadi sesuatu berguna bagi seseorang, tetapi tidak bagi yang lain.

Sebagai konsekuensi dari keragaman –atau lebih tepat dikatakan sebagai pertentangan- pendapat mengenai definisi dan ukuran kebenaran tersebut adalah menjadikan “kebenaran” itu sendiri menjadi sesuatu yang sangat relatif. Hal ini dimungkinkan karena filsafat sendiri melandaskan pemikirannya kepada rasionalitas manusia yang pasti sangat relatif pula, termasuk dalam mendefinisikan dan menetapkan ukuran suatu kebenaran. Sehingga dalam kerangka berpikir filsafatis, sampai kapanpun klaim kebenaran akan tetap dianggap sebagai sesuatu yang sangat absurd (tidak masuk akal). Dan pemikiran inilah rupanya yang mempengaruhi produk-produk gagasan para pemikir Islam kontemporer, yang demi mempertahankan idealismenya tersebut, mereka tak segan-segan menjadikan nash-nash syara’ plus penafsirannya (atau justru lebih tepat disebut ‘penakwilan’?) sebagai asas legalitas. Ayat-ayat yang biasa digunakan, antara lain :

“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tiada pula mereka bersedih hati” (QS. 2 : 62, 5:69)

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap ummat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS. 5 : 48)

“Kalau saja Allah menginginkan, niscaya Dia akan menciptakan manusia satu bangsa yang monolitik. Tapi mereka senantiasa menunjukkan perbedaan” (QS. 11 : 118) ====> Tafsir “pluralisme” versi Alwi Shihab (Islam Inklusif, p. 56)

Kemudian tentang universalitas, misalnya Alwi mengungkapkan, bahwa Islam juga (sebagaimana Kristen dalam Perjanjian Baru) menyatakan suatu pandangan universal tentang kebenaran yang berasal dari wahyu Tuhan. Al-Qur’an menegaskan bahwa tak satu kelompok kaumpun yang lepas dari seorang pembawa peringatan, yaitu nabi. Lebih jauh Al-Qur’an juga membela kebajikan Ilahiyah akan perbedaan-perbedaan kebudayaan, agama dan bahasa. Tujuan dari perbedaan ini bagi manusia adalah untuk saling bekerjasama dalam sebuah kehidupan yang baik, karena kebaikan tidak dapat dinilai oleh identitas kesukuan atau keagamaan, melainkan sebagaimana Al-Qur’an menegaskan, Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di depan Tuhan adalah siapa saja yang berlaku lurus (QS. 49 : 13)” (Islam Inklusif, p. 97).

Adapun terhadap ayat-ayat yang ditengarai sering dijadikan hujjah untuk mengklaim kebenaran absolut hanya pada Islam, yakni oleh kelompok Islam eksklusif/skriptualis (begitu mereka menyebut), seperti ayat-ayat : “Barangsiapa yang mencari agama selain Islam maka sekali-kali tidak akan diterima, dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi “. (QS 3 : 85), dan Surat Ali Imran : 19 yang berbunyi : “Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam”, mereka sengaja membawa ayat-ayat tersebut ke dalam wilayah kontroversi penafsiran (yang padahal tidak boleh), baik di antara pandangan tafsir klasik dan modern yang memiliki semangat ekslusivisme, seperti tafsir Ibnu Abbas r.a yang dirujuk oleh (al) Ibnu Katsir dan Sayyid Quthb, maupun pandangan klasik dan modern yang “berbau” inklusif, seperti tafsir Syaikh Muhammad Abduh, Al-Zamakhsari dan Rasyid Ridha. Bahkan Alwi Shihab sendiri, seperti halnya Cak Nur dan Arkoun, dengan berani berusaha menakwilkan kata “Islam” hanya sekedar sebagai suatu sikap penyerahan diri di hadapan kehendak Tuhan yang tidak hanya ditujukan bagi Muslim saja, tetapi bagi segenap mereka yang percaya kepada Tuhan sepanjang sejarah umat manusia (Islam Inklusif, p. 103; Pintu-Pintu Menuju Tuhan, p. 2; dan Rethinking Islam, p. 18)

Adapun bahwa semua kerangka berpikir dari ide-ide tadi berujung pada konsep yang sama, yakni sekularisme, maka ini nampak ketika para penggagasnya berusaha mengebiri ajaran Islam yang purna (sistemik) ke tataran ajaran ritual plus nilai-nilai etika dan moral saja. Dalam hal ini mereka jelas-jelas telah mensejajarkan Islam dengan agama-agama lain, dengan penekanan fungsi yang sama, yakni sekedar sebagai jalan pendekatan diri menuju Tuhan (qurbah). Bahkan dalam bukunya, Cak Nur menyatakan, bahwa pemaksaan pemikiran bahwa Islam adalah ad-Din yang berarti bukan agama semata-mata, melainkan meliputi seluruh aspek kehidupan, dan akhirnya melahirkan apresiasi ideologis-politis totaliter, itu hanya merupakan ungkapan apologetis (pembelaan diri) yang muncul sebagai kompensasi dari rasa rendah diri ummat Islam di hadapan ideologi-ideologi Barat (modern) yang secara faktual memang mendominasi mereka. Padahal menurutnya, Islam adalah agama, sebagaimana agama-agama yang lain yang juga disebut dengan ad-din. Sehingga tatkala sikap apologetis tadi diapresiasikan dalam tuntutan legalisasi fiqhiyyah, misalnya dalam bentuk tuntutan “negara Islam”, maka itupun beliau anggap sebagai pikiran apologetis yang sudah kehilangan relevansinya dengan pola kehidupan jaman sekarang, mengingat legalisme menurutnya merupakan kelanjutan dari fiqihisme yang terus berkembang mengikuti perubahan realitas zaman. Bahkan beliau menyamakan tuntutan legalisme fikih dalam bentuk negara sebagai tindakan yang mengarah pada ke kekuasaan ruhani (rabbaniyyah) yang tidak dibenarkan Islam, karena berarti merupakan tindakan menyaingi Tuhan (musyrik!!!!).

Pernyataan Cak Nur tersebut juga merefleksikan gagasan-gagasan pemikir Islam kontemporer lain yang saat ini intens disuarakan untuk membendung ghirah sebagian kaum muslimin yang ikhlas untuk kembali ke pangkuan Islam dengan menghidupkan sistem Islam sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah saw dan generasi terbaik sesudahnya. Dan kenyataannya, apa yang mereka dengungkan cukup memberi pengaruh dalam memperburuk kondisi kaum muslimin, tidak hanya dalam pemahaman mereka tentang aqidah, tapi juga syari’ah. Dalam tataran aqidah, misalnya gagasan mereka telah mereduksi keyakinan bahwa Allah bukan hanya sebagai Khaliq tapi juga sebagai al-Mudabbir (Yang Maha Pengatur) –yang seharusnya berimplikasi pada keyakinan bahwa apa yang diwahyukan (Al-Qur’an dan As-Sunnah) sudah lebih dari cukup untuk menjadi pedoman hidup manusia hingga akhir jaman; Juga mereduksi keyakinan, bahwa Allah sesungguhnya Maha Adil dan Maha Mengetahui, sehingga apapun ketetapan Allah yang disyari’atkan kepada manusia akan sesuai dengan fitrah manusia dengan menjamin rasa keadilan bagi siapapun, dimanapun dan kapanpun. Dengan kata lain, mereka telah mereduksi aqidah Islam yang sesungguhnya merupakan aqidah ruhiyah dan sekaligus merupakan aqidah siyasiyah menjadi sekedar aqidah ruhiyyah semata. Padahal, banyak nash yang secara jelas menetapkan keharusan untuk merealisasikan keimanan dalam bentuk amal shaleh, yaitu amal-amal yang sesuai dengan ketetapan-ketetapan syara’ yang kesempurnaannya telah diproklamirkan sendiri oleh Allah SWT dalam QS. Al-Maidah ayat 3. Dan jelas, bahwa amal shaleh disini tidak hanya menyangkut masalah ritual dan akhlaqiyyah (humanisme) saja, karena Islam juga mengatur aspek kehidupan lain tanpa kecuali, seperti aspek politik, ekonomi, sosial dan lain-lain, yang penerapannya tidak boleh secara parsial, seperti yang diperingatkan Allah Azza wa Jalla dalam QS. Al-Baqarah : 208 dan QS. Al-Hasyr :7.

Namun, mengingat gagasan-gagasan mereka sudah rusak dari akarnya, maka secara pasti kita pun akan menemukan kerusakan yang sama dalam masalah cabangnya. Artinya kalau pemahaman tentang aqidahnya sudah rusak, maka dalam tataran syari’ah yang hakekatnya merupakan pancaran dari aqidah tadi akan rusak juga. Dalam hal ini, jelas mereka menafikan tentang kesempurnaan aturan-aturan Islam, dengan membatasi peran-peran/otoritas agama hanya dalam persoalan ritual dan moral semata. Adapun dalam mengatur kehidupan dunia (poleksosbud) maka mereka mengharuskan untuk menyerahkannya kepada manusia berdasarkan asas rasionalitas, yakni dengan mengikuti perkembangan jaman dan tempat.

Padahal dengan logika sederhanapun, pemikiran-pemikiran tadi sangat mudah dibantah. Misalnya, sekiranya semua agama hanya mengandung aspek-aspek aqidah ruhiyah dan aturan moral saja, dimana mereka mengakui bahwa semua agama samawi mengajarkan aqidah tauhid dan bahwa aturan-aturan moral bersifat universal, maka dimana relevansinya dengan alasan kenapa Allah mengutus Rasul-Rasul dengan ajaran yang berbeda ? dan dimana letak kesempurnaan dan keistimewaan Islam sebagai din yang terakhir, jika Islam pada akhirnya disejajarkan dengan agama lain dalam hal tauhid dan moral saja ?

Disinilah nampak kedangkalan cara berpikir mereka, yang muncul akibat kekaguman berlebihan (bahkan penuhanan) akan kemampuan akal, dan disertai dengan sikap ‘ikhlas’ untuk menerima pola pikir Barat yang sesungguhnya berkehendak untuk merusak Islam dan menghalangi jalan kebangkitan Islam dibalik slogan-slogan kebebasan berpendapat dan beraqidah (demokrasi dan HAM), pencerahan dan kepentingan ilmiah yang gencar mereka serukan ke negeri-negeri Islam melalui berbagai cara. Mengenai hal ini, Syaikh Abdul Majid Abdussalam al-Muhtasib dalam bukunya Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer memaparkan, bahwa Islam masa kini telah berjalan melalui fase-fase sebagaimana masa-masa awalnya, yakni :
1. Fase dimana Islam dianggap sebagai pihak tertuduh yang harus dibela, yakni ketika Islam dituduh
dalam keterkungkungan, lalu dibela dengan menyatakan, bahwa Islam tidak menolak kemajuan dan
juga tidak bertentangan dengan sains dan logika.
2. Fase dimana Islam telah disejajarkan dengan standar-standar lain dan dinilai dengan nilai-nilai lainseraya berusaha menggali nilai-nilai Islam dengan nilai-nilai yang kita pinjam dari aliran-aliran tersebut. Misalnya dengan mengatakan, bahwa Islam layak survive dan abadi, karena dia dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi yang dinamis.
3. Fase independensi Islam, dimana Islam kembali berdiri di atas paradigma-paradigmanya sendiri, yang diyakini akan menjadi fase Islam pada kurun mendatang, Insya Allah !

Dengan kerangka demikian, maka melalui perenungan yang mendalam dan dilandasi kejujuran serta sikap hanif, kita sendiri akan bisa menjawab, siapa yang sesungguhnya berpikir apologetik ?


Jawaban Islam

Sesungguhnya, sekalipun Islam mengharuskan keimanan seseorang disandarkan pada akal yang dikaitkan dengan naluri beragama yang merupakan fitrah (thariqah aqliyah), namun hal ini berbeda jauh dengan apa yang dimaksudkan oleh para pemikir tadi sebagai ‘asas rasionalitas’. Karena rasionalitas yang mereka maksud ternyata adalah penggunaan logika (mantik/silogisme) dan pola pikir ilmiah (sains) sebagai asas berpikirnya. Padahal ‘logika’ dan ‘sains’ tidak bisa dijadikan sebagai asas berpikir, karena sesungguhnya dia hanya merupakan cabang dari pola berpikir aqli (thariqah aqliyah). Sehingga jika tidak dikembalikan pada pola pikir aqli sebagai dasarnya, memungkinkan untuk terjadinya penyimpangan yang sangat jauh dari hakekat kebenaran. Sedangkan thariqah aqliyah sendiri, sesungguhnya merupakan satu-satunya metoda yang alami dalam diri manusia untuk memahami segala sesuatu, dimana jika berkaitan dengan persoalan mengenai ‘ada-tidaknya’ sesuatu maka hasilnya pasti benar, sedangkan bila berkaitan dengan ‘hakekat’ sesuatu, maka benar tidaknya akan tergantung pada informasi (memori dalam benak) yang dijadikannya sebagai salah satu perangkat perpkir. Oleh karena itu, dalam tataran aqidah, yang salah satunya berkaitan dengan pembuktian tentang eksistensi Al-Khaliq bersama sifat-Nya, maka thariqah ini akan menghasilkan kesimpulan yang benar (yakni sampai pada kebenaran mutlak aqidah Islam), sedangkan bila berkaitan dengan tataran syari’at, yakni yang berkaitan dengan hakekat aturan yang akan mampu memecahkan seluruh permasalahan kehidupan, maka penggunaan thariqah ini mensyaratkan penggunaan informasi-informasi yang sumbernya telah dibuktikan secara akal sebagai benar-benar wahyu Allah (sebagai sumber penetapan hukum), yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Adapun Ijma’ Sahabat dan Qiyas dapat juga dijadikan sebagai sumber dalil, karena keabsahannya telah ditetapkan oleh nash-nash yang qath’i.

Dengan kata lain, dalam hal ini Islam telah membatasi peran akal pada fungsi untuk memahami saja, dan bukan sebagai pemutus suatu hukum syara. Hal ini mengingat, akal manusia memiliki keterbatasan dalam memahami hakekat segala sesuatu, termasuk dalam menyelesaikan seluruh permasalahan kehidupan yang muncul dari potensi hidup yang ada dalam dirinya, sehingga mengharuskan bagi dia untuk menyerahkan penetapan aturan kehidupannya pada Allah SWT yang telah menciptakan kehidupan ini seluruhnya.

Lebih dari itu, keberadaan Islam sebagai risalah terakhir, tentu mengharuskannya memiliki kelebihan-kelebihan di bandingkan dengan agama-agama samawi yang turun sebelumnya, termasuk dalam bentuk jaminan kesempurnaan dan keuniversalan ajaran-ajarannya. Sehingga upaya-upaya sebagian pemikir Islam kontemporer untuk mensejajarkan agama-agama tadi, hanya dengan mensandarkan pada sisi keberadaannya sebagai sama-sama agama wahyu, justru merupakan bentuk penolakan terhadap kenyataan dan akal. Demikian pula ketika mereka berusaha memformulasikan kesejajaran tersebut dalam bentuk gagasan seperti relativisme, pluralisme, universalisme dan sekularisme, pada akhirnya justru makin menjauhkan Islam dari pemikiran-pemikiran aslinya yang purna dan paripurna. Hal ini mengingat, gagasan-gagasan tersebut jelas-jelas tidak berasal dari Islam dan tidak pula dibangun berdasarkan kerangka berpikir Islam, sekalipun penerapannya dipaksakan atas Islam.

Tentang relativisme misalnya, Islam jelas menolak konsep ini secara tegas, karena baik dalam tataran aqidah maupun syari’ah, kebenaran itu hanya satu, yakni pada Islam, sebagai dinullah semata. Dan kebenaran ini akan diketemukan oleh siapapun, selama dia mensandarkan pencariannya kepada akal (melalui cara berpikir cemerlang) yang sekaligus akan menuntun naluri beragama yang secara fitrah dia miliki ke arah pemenuhan yang hakiki/sahih pula, yaitu Islam. Selain itu, sebagai din yang terbukti secara akal berasal dari Allah SWT, maka secara pasti syari’at yang terkandung di dalamnya merupakan syari’at yang adil dan sempurna, serta dipastikan akan mampu memecahkan seluruh problema kehidupan manusia sejak diturunkannya hingga akhir jaman. Dengan bersandarkan pada syari’at yang lahir dari aqidah aqliyah inilah, maka manusia akan memiliki standar yang sama dalam menilai kebaikan dan keburukan, benar dan salah mengenai segala sesuatu. Sehingga corak kehidupan yang terbentukpun akan khas selama standar tersebut digunakan dalam masyarakatnya, yakni dalam bentuk sebuah masyarakat Islam.

Demikian pula dengan ide pluralisme, universalisme dan kosmopolitanisme. Islam jelas-jelas menentang ide-ide tersebut, karena selain lahir dari pola berpikir yang salah (menjadikan fakta sebagai sumber berpikir), juga karena sangat menyalahi prinsip-prinsip ajaran Islam berkenaan dengan kesempurnaan syariat dan keuniversalannya dalam konteks bahwa Islam berlaku bagi setiap tempat dan jaman. Selain itu, keberadaan ide-ide tersebut, termasuk juga konsep relativisme, justru memustahilkan penerapan sistem Islam dalam kehidupan, sehingga masyarakat Islam akan menjadi masyarakat yang unik dan mulia. Padahal, disamping memang merupakan kewajiban, penerapan Islam dalam kehidupan bukanlah hal yang asing, karena sejarah telah membuktikan kecemerlangan peradaban masyarakat Islam ketika mereka hidup dalam naungan sistem Islam selama belasan abad. Bahkan, kondisi ini tidak saja dinikmati oleh kaum muslimin saja, akan tetapi juga dinikmati oleh orang-orang non muslim yang hidup di dalam naungan sistem Islam tadi sebagai ahludz-dzimmah. Sehingga wajar jika penerapan Islam secara nyata ini justru mendorong mereka secara alami berbondong-bondong masuk ke dalam Islam. Dan umat-umat lainpun secara sukarela menyerahkan pengaturan urusan kehidupan mereka kepada pemerintahan Islam, sebagaimana yang terjadi pada masa Umar bin Khathab ra dan masa-masa sesudahnya. (Maha Benar Allah dengan firman-Nya dalam QS. An-Nashr). Dan justru umat ini berubah menjadi hina di tengah-tengah umat lain tatkala mereka meninggalkan penerapan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupannya, seperti yang faktanya sedang kita alami saat ini.

Dengan demikian, ide sekularisasi yang kemudian menjadi muara dari gagasan-gagasan tadi jelas sangat berbahaya, baik dilihat dari sisi aqidah yang menafikan otoritas Allah SWT sebagai Pengatur kehidupan, maupun dilihat dari tataran syari’ah, yakni dengan adanya upaya untuk menjadikan akal manusia yang terbatas sebagai sumber penetapan aturan kehidupan. Dalam hal ini, sebagian dari mereka menganggap, bahwa mereka berhak untuk memiliki pendapat tersendiri mengenai hukum Allah, dengan alasan bahwa Islam memberikan berbagai aturan dalam bentuk yang sangat umum (global) sehingga dengan demikian Islam juga memberikan keleluasaan untuk melakukan berbagai ijtihad (rekayasa fiqhiyyah) sebagai salah satu bentuk upaya pembaharuan (tajdid). Padahal, sekalipun pendapat tersebut benar, namun mereka memahami secara keliru (dan bahkan terkesan emosional) mengenai konsep tajdid, sehingga mereka memutlakan proses ijtihad tersebut tanpa batasan yang jelas.

Mengenai hal ini, sesungguhnya Islam telah memberikan rambu-rambu yang sangat pasti; yakni bahwa tajdid merupakan upaya untuk mengembalikan pemahaman ummat pada ajaran Islam yang sesungguhnya, setelah ternyata, bahwa Islam dipahami secara menyimpang. Dengan demikian, tajdid tidak boleh dipahami sebagai upaya menyesuaikan Islam dengan jaman dan tempat, karena aturan Islam harus diyakini bersifat tetap dan baku, mengingat keberadaannya berfungsi sebagai pemecahan bagi seluruh problema kehidupan manusia yang terlahir dari potensi kehidupan mereka, yakni naluri dan kebutuhan fisik, yang bersifat tetap dan baku pula. Adapun berkenaan dengan proses ijtihad yang memang dimungkinkan dalam Islam, maka Islam \pun telah membatasi wilayah ijtihad ini hanya berkisar pada hal-hal yang memang mengandung unsur ketidakpastian (dzanni). Adapun pada ajaran yang sudah pasti (qath’I), maka mujtahid manapun tidak berhak untuk menjamahnya.

Lebih dari itu, untuk bisa melakukan proses ijtihad ini, maka seseorang diharuskan memenuhi kriteria-kriteria tertentu yang cukup berat, baik dari sisi aqliyah (penguasaan atas fakta, nash syara dan perangkat ilmu alat)-nya maupun nafsiyah (keterikatan terhadap hukum syara dalam perilaku)-nya, mengingat seluruh hasil ijtihadnya akan menjadi ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi dirinya maupun bagi orang lain. Sehingga merupakan suatu keberanian terhadap Allah dan RasulNya manakala seseorang berupaya untuk ‘menterjemahkan’ kehendak Allah SWT sesuai dengan kehendak hawa nafsunya. Karena Allah SWT telah menyeru seluruh kaum mu’minin dengan firman-Nya :


“Maka putuskanlah perkara menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang padamu”. (QS. Al-Maidah : 48)

“Maka hendaknya kamu memutuskan hukum di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap (tipu daya) mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah SWT kepadamu ….. (QS. Al-Maidah : 49)

Kemudian di ayat lain, Allah SWT berfirman :

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Rasul) sebagai pemutus terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya” (QS. An-Nissaa’ :65)

“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?” (QS. Al-Maidah :50).


Khotimah

Dengan memahami berbagai fakta berkenaan dengan gagasan-gagasan yang dilontarkan oleh para pemikir Islam kontemporer beserta bahaya-bahaya yang akan ditimbulkannya, maka kaum muslimin tidak akan mudah terkecoh untuk menerima ide-ide yang dilontarkan, sekalipun dikemas dalam bentuk yang ‘seolah-olah’ Islami dan diungkapkan oleh orang-orang yang dianggap sebagai ‘pemikir Islam’. Karena penerimaan terhadap ide-ide tersebut hanya akan menjauhkan umat Islam dari pemikiran-pemikiran Islam yang bersih dan tinggi sekaligus ‘amaliyan (praktis). Padahal hanya dengan pemikiran-pemikiran Islam yang seperti inilah mereka akan bangkit dengan kebangkitan yang hakiki.

Adapun upaya-upaya yang bisa dilakukan untuk membendung penyebaran ide-ide seperti ini di tengah-tengah kaum muslimin, tidak lain adalah dengan melalui aktivitas shiraul-fikr (pergolakan pemikiran) dengan jalan membongkar kebusukan dan bahaya pemikiran-pemikiran asing tersebut, agar kaum muslimin menyadari apa yang diingini musuh Islam terhadap mereka serta menyadari berbagai tipu daya terhadap mereka. Selain itu, harus juga dilakukan upaya-upaya untuk meningkatkan taraf berpikir ummat yakni dengan membina aqliyah mereka dan mengisinya dengan ide-ide Islam saja, serta membina nafsiyah mereka melalui proses da’wah terstruktur yang mengikuti pola da’wah Rasulullah saw. Sehingga mereka memiliki pemahaman, bahwa hanya pemikiran-pemikiran Islam-lah yang benar, dan bahwa hanya dengan Islam mereka akan mampu menyelesaikan seluruh problema kehidupan yang dihadapi. Sehingga dengan demikian, mereka akan memiliki kesadaran politik yang mumpuni, yang mengarah pada satu tujuan dan pengharapan, yakni terwujudnya Islam dalam kehidupan mereka. Kesadaran politik ini pulalah yang sekaligus akan menjadi barier bagi masuknya ide-ide sejenis ke tengah-tengah kaum muslimin dimanapun mereka berada.

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan” (QS. Al Anfal : 36)


Wallahu a’lam bish-shawab.

_____________________________________________________________________________________
Rujukan fakta :

- Islam Inklusif, Dr. Alwi Shihab, Mizan, Cet. III, 1998.
- Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan, Nurcholis Madjid, Mizan, 1987.
- Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah, Cak Nur, Gusdur, dkk, Paramadina, 1994.
- Rethinking Islam, Dr. Mohammed Arkoun, Pustaka Pelajar, 1996.
- Pengantar Filsafat, Louis O. Kattsoff, Tiara Wacana, Cet. VII, 1996.
- Pintu-Pintu Menuju Tuhan, Nurcholis Madjid, Paramadina, Cet. III, 1995.
- Zaman Baru Islam Indonesia Pemikiran dan Aksi Politik, Gus Dur, dkk, Zaman Wacana Mulia, 1997.
- Kamus Istilah Filsafat, A. Kuswari, Alva Gracia, 1987.
- Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer, Dr. Abdul Majid Abdussalam al-Mihtasib, Al-Izzah, 1997.
- Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Resensi), Azyumardi Azra, Paramadina, 1999.
-

Kamis, 17 Maret 2011

Nafâits Tsamârat: Hati-hati Kehilangan Surga



(Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 16/02/2011)

Seorang lelaki di antara orang-orang shalih melakukan shalat malam. Kemudian ia membaca firman Allah SWT:


وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.” (TQS. Ali Imran [3] : 133).

Lelaki tersebut terus mengulang bacaan ayat itu sambil menangis hingga pagi. Dikatakan padanya: “Sungguh sebuah ayat telah membuatmu menangis. Mengapa ayat seperti itu membuatmu menangis. Padahal ia menjelaskan bahwa surga itu luas dan lebar.” Lelaki itu berkata: “Wahai putra saudaraku (keponakanku)! Betapapun luasnya surga itu, tidak ada gunanya bagiku jika aku di sana tidak memiliki tempat pijakan bagi kedua kakiku.”

Siapakah seseorang yang lebih butuh untuk menangis dan lebih dekat pada penderitaan dari pada seseorang yang menyakini bahwa surga tempat kembalinya dan kenikmatan tempat peristirahatannya. Kemudian yang ia dapati justru berbeda dari apa yang telah ia yakini; atau seorang yang telah kehilangan ketaatan yang membuka jalannya menuju surga dan yang mendekatkannya pada surga.

Dalam hal ini, seperti menagisnya Yunus bin Ubaid ketika menjelang kematiannya ia memandangi kedua kakinya sambil menangis. Dikatakan kepadanya: “Apa yang membuatmu menangis?” Yunus berkata: “Kedua kakiku tidak ada bekas debu bahwa keduanya telah digunakan di jalan Allah!”.

Kamis, 10 Maret 2011

PENJAJAHAN BANGSA LEWAT PEREMPUAN (Retrospeksi di Hari Perempuan Internasional 8 Maret 2011)



Oleh : Siti Nafidah Anshory


Pengantar
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda : ”Bersegeralah kalian melakukan amal shaleh. Sebab akan datang fitnah-fitnah laksana malam yang kelam. Seseorang beriman pada pagi hari, namun menjadi kafir pada sore harinya. Beriman pada sore hari, namun kafir pada pagi keesokan harinya” (HR. Bukhori).

Sinyalemen Rasulullah SAW yang dinyatakan lebih dari 14 abad yang lalu tersebut nampaknya kini sudah menjadi kenyataan. Berbagai fitnah dan permasalahan rumit datang silih berganti mendera kaum muslimin, sampai-sampai tidak ada satu aspek kehidupanpun yang luput dari deraannya. Secara pemikiran, umat sudah kehilangan jatidirinya. Pola pikir kaum muslimin kian terjauhkan dari tuntunan Islam. Berbagai pemikiran kufur semisal nasionalisme, kebebasan, demokrasi, HAM dan globalisasi seolah menjadi agama baru yang layak menggantikan Islam. Padahal pemikiran-pemikiran inilah yang telah bertanggungjawab atas keterpecah-belahan umat dan kerusakan masyarakatnya. Pemikiran-pemikiran ini pulalah yang telah sedikit demi sedikit mengikis perasaan mereka sebagai seorang muslim dan membelokkan orientasi kehidupan mereka, sehingga benci-ridha, suka-tidak suka, bahagia-tidak bahagia, tidak lagi bersandar pada syari’at, yakni terhadap apa yang dibenci dan diridahi Allah atau apa yang disukai dan tidak disukai Allah, melainkan lebih banyak diukur oleh standar kemanfaatan yang sifatnya materi dan fana. Ketikapun perasaan Islam mereka masih tersisa, maka keberadaan perasaan itu pun tidak lagi berpengaruh terhadap ketundukan mereka secara total kepada Islam. Sehingga tidak aneh, jika di satu sisi mereka melakukan sebagian tuntunan syari’at, namun pada saat yang sama, dengan enteng mereka langgar aturan syari’at yang lainnya.

Adapun secara budaya, pola hidup kaum muslimpun kian terasingkan dari Islam. Kehidupan mereka nyaris didominasi aturan-aturan dan budaya kufur, sehingga kemuliaan mereka sebagai umat Islam tak lagi nampak. Umat Islam justru sering tampil sebagai pembebek dan mengidap sindrom inferiority complex (mental terjajah) yang amat parah. Mereka bahkan sudah terbiasa menjadi bulan-bulanan asing dan menjadi objek nafsu imperialisme mereka; yang penguasanya dimandulkan, sumber daya alamnya dikuras, sumberdaya manusianya dirusak dan dibaratkan, peradabannya dihapus, dan masa depannya dihancurkan. Wajar jika umat --yang sebenarnya telah Allah beri predikat sebagai umat terbaik (khoyru ummah)—ini, kini tampil menjadi umat yang serba ’ganjil’, terpuruk dan amburadul. Kemiskinan menjadi potret bersama, kemunkaran dan demoralisasi kian telanjang dan merajalela, dominasi asing kian mencengkram, kaum sekularis-liberalis tanpa rasa malu mempropagandakan ajaran sesatnya, kaum salibis tanpa rasa takut membuat makar penghancuran aqidah umat, lembaga-lembaga asing pun berkeliaran dengan bebas menyebarkan berbagai kekejian. Mirisnya, negara dan penguasa umat ini tak punya kewibawaan sedikitpun untuk menghadapi semuanya.


Faktor-Faktor Pelemah
Jika dianalisa, kondisi ini sebenarnya tidak terjadi begitu saja. Secara eksternal, Barat dengan genuitas imperialistiknya memang berkepentingan untuk selalu memastikan hegemoninya atas dunia tetap terjaga. Melalui apa yang disebut perang pemikiran dan budaya (ghazwu al-fikr dan ghazwu ats-tsaqafi) --yang dimediasi dengan berbagai cara dan sarana, termasuk dukungan media massa--, mereka ekspor budaya dan ide-ide kufur mereka ke dunia Islam. Dengan cara ini, mereka bermaksud menggempur pertahanan asasi kaum muslimin (yakni aqidah Islam dan syari'atnya), hingga umat sedikit demi sedikit mencampakkan Islam sebagai sumber kekuatan dan kemuliaannya, untuk kemudian tunduk menjadi pembebek atas peradaban Barat dan menjadi pengabdi bagi kepentingan Barat (AS).

Memang, ada sebagian kalangan yang menafikan fakta ini. Mereka menuding bahwa pendapat yang meyakini adanya konspirasi asing dibalik kehancuran masyarakat Islam adalah pendapat yang asumtif, mengada-ada dan mengarah pada sebuah pharanoia. Bahkan mereka menuding pendapat ini sebagai wujud sikap eskapis (lari dari kenyataan) umat dan upaya pengkambinghitaman atas fakta bahwa sumber masalah sebenarnya ada pada diri mereka sendiri. Namun tudingan ini terbantahkan oleh kenyataan, bahwa pertarungan ideologi merupakan realita yang tidak bisa dinafikan keberadaannya. Terlebih, secara i’tiqodi hal ini sudah banyak diperingatkan oleh Allah SWT dalam firman-firmanNya.

Sebagaimana diketahui, sejak keruntuhan Sovyet di tahun 90-an, polarisasi kekuatan dunia yang dulu dikenal dengan blok Barat (pengemban ideologi kapitalisme, diwakili AS) dan blok Timur (pengemban ideologi sosialisme-komunis, diwakili Sovyet) memang sudah tidak ada lagi. Karena itu, AS melalui think-tanknya dari jajaran Council for Foreign Relation (CFR, sebuah lembaga kajian kebijakan luar negeri AS) lantas mensetting perubahan lingkungan strategis yang baru tersebut dengan memposisikan AS sebagai the single fighter, dimana semua negara dipaksa untuk berputar searah dengan putaran AS (monopolar). Hanya saja, mereka sadar, bahwa --mengutip pernyataan Charles E. Carlson , seorang the War-makers di dalam CFR-- sesudah runtuhnya imperium Uni Sovyet "...selected the far-flung nations of Islam as a replacement for the old Marxist-Leninist ... The Red Peril has 'greatly abated' to be replaced by a new Green Peril" (“ …terpilihlah negara-negara Islam yang sangat luas itu sebagai pengganti posisi Marxist-Leninist lama …. Bahaya merah yang telah mereda kini digantikan oleh bahaya hijau yang baru muncul”). Dalam rangka meredam potensi bahaya hijau (Islam) menggantikan bahaya merah (Soskom) inilah, AS kemudian segera menyusun grand strategy yang akan mengarahkan semua potensi musuh (terutama Islam) tercengkram dalam genggamannya. Taktik yang digunakan adalah dengan melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan secara total dan universal --di samping sesekali menggunakan serangan militer-- dengan target menjauhkan umat Islam dari potensi kekuatan mereka yang tidak lain terletak pada ideologinya, menghapus peradaban Islam hingga ke akar-akarnya, sekaligus menjauhkan secara dini peluang tampilnya kembali Daulah Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam --yang kekuatannya sulit ditandingi-- dari peta politik dunia .

Apa yang getol dilakukan AS di dunia Islam hingga hari ini, seperti kampanye anti terorisme dengan sequel terbarunya bertajuk 'war on evil ideology' (baca : kampanye anti ideologi Islam yang mereka sebut dengan ideologi setan), gelombang infiltrasi (baca : peracunan/tasymim) pemikiran dan budaya sekuler di negeri-negeri Islam dengan memanfaatkan jasa para antek lokal dari kalangan liberalis sekuler yang mereka danai dan mereka mediasi secara besar-besaran dan kontinyu (terutama melalui isu demokratisasi, liberalisasi dan globalisasi budaya permissif-hedonis), politik adu domba yang mereka rancang di negeri-negeri Islam (divide et impera), berbagai intervensi politik dan ekonomi di berbagai negeri Islam termasuk dalam pembuatan undang-undang, menjadi bukti betapa AS yang kampiun kapitalisme ini terobsesi dengan impiannya menjadi penguasa tunggal dalam Tata Dunia Barunya. Dan untuk memuluskan serangan total peradaban kapitalis sekuler dalam kerangka perang ideologi inilah, isu-isu semisal globalisasi mereka blow up sedemikian rupa, sehingga menjadi sarana efektif untuk tidak hanya mematikan kekuatan perekonomian kaum muslimin dengan senjata modal mereka, tapi lebih jauh ditujukan untuk merusak seluruh sendi-sendi kehidupan kaum muslimin sejak dari asasnya, yakni kekuatan ideologis yang dimiliki Islam.

Sayangnya, serangan yang begitu dahsyat dan mematikan atas nama ‘globalisasi kekufuran peradaban Barat’ ini seolah terjadi tanpa perlawanan. Hal ini karena secara internalpun, kondisi pemahaman umat akan agama Islam --terutama Islam sebagai ideologi-- senyatanya memang lemah luar biasa. Kebanyakan mereka hanya mengenal Islam sebagai aqidah ruhiyah saja atau ajaran yang mengatur ibadah ritual saja. Sementara itu, konsep-konsep yang menunjukkan Islam sebagai aqidah siyasiyah, aqidah problem solving, tidak lagi mereka pahami. Wajar jika, keimanan yang ada pada diri umat –tak terkecuali para penguasa dan kaum intelektualnya-- seolah menjadi keimanan yang kering, tak memberi pengaruh dalam kehidupan dan tak mampu menjadi solusi atas seluruh permasalahan kehidupan. Akibatnya, umat secara individu kian kehilangan pertahanan dan self-controlnya, sedangkan umat sebagai masyarakat kian kehilangan sense of controlnya, hingga keduanya bisa dengan mudah menerima umpan beracun yang ditawarkan musuh tanpa bisa membaca bahayanya. Yang lebih parah, hilangnya gambaran Islam sebagai sebuah ideologi ini dan keengganannya menjadikan Islam sebagai asas dan aturan kehidupan, menjadikan negara dan penguasa muslim kehilangan haybah (kewibawaan) di hadapan orang-orang kafir. Bahkan keduanya kerap bertindak sebagai pengukuh atas terjadinya kejahatan ini. Padahal sebagaimana sabda Nabi SAW, hakekat keberadaan negara dan penguasa/pemimpin bagi umat adalah laksana perisai (junnah) yang akan menjadi benteng pelindung dari serangan-serangan musuh mereka.


Perempuan Di Balik Konspirasi Penghancuran Islam
Inilah wajah umat kita hari ini. Dan pada kondisi inilah kaum perempuan (muslim) saat ini berada. Mereka tak terkecuali, ikut pula terjebak pada kondisi yang sama, pola pikir dan pola sikap yang sama. Sebagian sama-sama menjadi pembebek, sebagian sama-sama menjadi antek, dan sebagian lagi sama-sama cuek.

Secara fakta, sebenarnya banyak hal yang bisa membuktikan betapa imperialis telah secara sengaja 'memanfaatkan' kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka menghancurkan Islam melalui penghancuran institusi masyarakat Islam. Mereka sadar betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan, karena perempuan merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Disisi lain, merekapun melihat bahwa upaya menjauhkan umat dari ideologi Islam masih belum berhasil sepenuhnya. Selama ini, mereka memang telah berhasil menjauhkan umat dari aturan-aturan Islam menyangkut masalah politik, ekonomi, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Akan tetapi masih ada sisa-sisa pemikiran Islam yang hingga kini tetap dikukuhi masyarakat, tetapi dianggap mengandung potensi bahaya bagi hegemoni mereka di masa depan. Yakni hukum-hukum yang menyangkut keluarga, yang pada saat ini menjadi satu-satunya benteng terakhir pertahanan umat Islam setelah benteng utamanya, yakni Daulah Khilafah Islam dihancur-leburkan.

Dalam kerangka penghancuran keluarga muslim inilah perempuan muslim dimanfaatkan. Dimana seperti dahulu mereka menghancurkan Daulah Khilafah Islam, merekapun menggunakan upaya peracunan pemikiran untuk menanamkan aqidah sekuler di benak-benak perempuan muslim sebagai strategi utamanya (seperti ide kebebasan, HAM, dll). Targetnya adalah, ’membebaskan’ mereka dari ’kungkungan’ peran-peran keibuan, atau setidaknya menghilangkan aspek strategis-politis peran keibuan, dengan cara menggambarkan peran tersebut sebagai peran tidak penting, menjijikkan dan merupakan simbol ketertindasan yang layak disingkirkan. Dalam konteks keluarga, target mereka adalah merobohkan pola interaksi islami yang ada di dalamnya, sehingga keluarga tidak bisa lagi berfungsi sebagai pemelihara ikatan aqidah umat sekaligus camp ideal bagi berlangsungnya pendidikan generasi, sehingga akhirnya harapan bangkitnya kembali peradaban Islam yang gemilang di masa depan bisa dihapuskan.
Adapun cara yang mereka tempuh adalah dengan memanfaatkan banyaknya kenyataan buruk yang menimpa perempuan (muslim) hari ini, seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya sebagai alat untuk masuk ke jantung perhatian umat. Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, mereka juap aket 'kemajuan perempuan Barat' dengan ide KKGnya yang rusak dan asumtif itu untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim, sekaligus pada saat yang sama melakukan berbagai ’uji kritis’ terhadap aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan, seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, nafkah dan sebagainya. Tak lupa pula mereka tawarkan paket-paket tambahan berupa 'program bantuan', berikut kucuran dana yang sangat besar untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia ketiga itu (baca : dunia Islam) dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia semacam PBB sebagai event organizernya, serta forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka. Selanjutnya, atasnama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan, dan program-program ’bermadu’ lainnya, mereka suntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jatidirinya sebagai muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi. Sehingga kemudian, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Baratpun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan.

’Prestasi’ ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari peran ’agen misi’ dari kalangan gerakan-gerakan perempuan (feminis) muslim yang berjejaring dengan berbagai LSM komprador lain, yang sengaja disponsori foundation kapitalis untuk 'berjuang' pada tataran praktis dengan mindframe dan jobdes yang mereka inginkan. Yakni mindframe dan jobdes feministik dan liberalis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam! Itulah kenapa, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis muslim dan kaum liberalis yang tergabung dalam LSM-LSM tadi –-baik secara lembaga, maupun melalui individu-individu yang mereka blow-up ketokohannya-- sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atasnama pembebasan perempuan, yang hakekatnya menyerukan pembebasan dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam. Disamping itu, merekapun intens melakukan mainstreaming (pengarus utamaan) opini feministik dan liberalis ini di semua lini hingga ke level bawah --termasuk melalui kurikulum pendidikan maupun melalui berbagai kebijakan publik seperti Undang-Undang berperspektif gender dan anti syari’at-- untuk kian menguatkan opini bahwa ide KKG adalah solusi, sementara Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan atau dipeti-eskan. Dalam konteks Indonesia, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting KHI yang sempat memicu kontroversi, disahkannya UU No. 23/2004 tentang KDRT, disahkannya UU Kewarganegaraan dan Perlindungan Anak yang memuat materi kontradiktif dengan syari’at, serta Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional --termasuk rencana pengesahan UU Kesehatan Reproduksi dalam waktu dekat yang salah satu itemnya memuat isu legalisasi aborsi dan UU gender lainnya-- merupakan bukti 'keberhasilan' upaya mereka meraih target ini.

Hanya saja, jika dicermati serangan imperialis kapitalis ini sebenarnya tidak hanya memiliki satu target. Selain target politis-ideologis berupa pencegahan tampilnya kekuatan Islam ideologi, serangan AS ini juga memiliki target ekonomi sebagaimana watak aslinya sebagai negara pengemban kapitalisme. Dalam hal ini kaum perempuan muslim sengaja dimanfaatkan sebagai objek eksploitasi kapitalisme global, dimana dengan peracunan pemikiran tadi plus melalui serangan budaya yang dilancarkan secara intens lewat majalah-majalah, koran-koran, televisi, internet, film-film hingga penyelenggaraan event ratu-ratuan, yang senyatanya memang mereka (para kapitalis) monopoli, kaum muslimah digiring untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme. Dengan cara ini pula, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Yang padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan dan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketing produk-produk mereka dimana perempuan-perempuan muslimah menjadi sasarannya.

Tentu saja, demi meraih target-target strategis ini kaum imperialis rela melakukan apapun, termasuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Republika (17/10/2003) misalnya, pernah melansir berita bagaimana upaya AS memsekulerkan Arab, yang berarti jaminan negeri-negeri itu tetap berada di bawah pengaruhnya. Dalam hal ini, Departemen Luar Negeri AS sangat memahami betul peran sentral media massa, baik cetak maupun elektronik untuk kegiatan propaganda. Untuk itulah misalnya, Kongres AS menyetujui kucuran dana sebesar 62 juta dolar AS untuk membangun jaringan televisi Timur Tengah, setelah sebelumnya mendanai penerbitan majalah Hi dengan anggaran 6,2 juta dolar. Adapun targetnya adalah untuk memperkenalkan kebudayaan global 'baru' yang jauh dari budaya 'kekerasan' melalui penayangan berita-berita mengenai perkembangan fashion, tren musik, film, budaya, kehidupan selebritis Amrik, dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi target politisnya adalah menampilkan citra 'lebih lembut' bangsa Amerika di mata bangsa Arab, sehingga lambat laun bisa meredam rasa kebencian orang-orang Arab terhadap Amerika yang selama ini terbangun, terutama setelah operasi-operasi militer AS di Timur Tengah. Ironisnya, rencana AS ini segera diamini oleh para penguasa dan pengusaha/kapitalis di negeri-negeri Arab itu. Bahkan sebagai gambaran betapa antusiasnya sambutan mereka, seorang Kapitalis asal Mesir menyatakan siap mendanai pembuatan film Baywatch versi Mesir yang dibintangi artis lokal setipe David Hasselhoff dan Pamela Anderson!!!
Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman : ”Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan” (TQS. Al-Anfal [8]:36)


Pentingnya Meningkatkan Kewaspadaan
Kondisi yang telah dipaparkan di atas tentu saja membuat kita miris. Karena tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib umat ini nanti, jika saat ini kaum muslimah merasa jijik dengan ajaran agamanya dan justru bangga menjadi pengusung ide-ide kufur yang bertentangan dengan Islam? Bagaimana pula wajah generasi umat ini ke depan, jika hari ini para muslimah merasa alergi dengan peran keibuan dan aturan-aturan Islam yang memuliakan? Hari ini saja, berbagai kerusakan akibat merebaknya pemikiran-pemikiran kufur tadi sudah sedemikian mengerikan. Pergaulan bebas nyaris menjadi budaya, praktek aborsi, MBA, perceraian dan single parentpun menjadi hal biasa. Disamping itu, tingkat kriminalitas, termasuk pelecehan dan kekerasan seksual meningkat sedemikian rupa, hingga seolah tak ada satupun tempat yang aman bagi siapapun. Sementara anak-anak dan generasi muda kita kian akrab dengan tawuran dan narkoba akibat hilangnya pengasuhan dan kasih sayang para ibu. Semua fakta ini jelas menambah rumit persoalan yang kini senyatanya sedang dialami umat Islam secara keseluruhan akibat penerapan sistem hidup kapitalisme yang dipaksakan. Sehingga jika hal ini dibiarkan, tentu kehancuran keluarga, masyarakat dan peradaban Islam sebagaimana yang diinginkan kafir imperialis benar-benar akan menjadi kenyataan.

Karena itulah sudah saatnya kita meningkatkan kewaspadaan, bahwa umat ini, termasuk kaum perempuan sesungguhnya tengah menjadi korban konspirasi asing (AS) yang memusuhi Islam. Sudah saatnya pula kita bergerak membangunkan umat dari keterlenaan. Karena ketakjuban mereka akan peradaban barat selama ini senyatanya telah membawa mereka ke jurang kehancuran.

Yang menggembirakan, kesadaran akan adanya konspirasi destruktif dan imperialisme gaya baru AS ini sebenarnya bukan tidak ada sama sekali di tengah-tengah umat. Bahkan saat ini, kesadaran akan pentingnya perubahan mulai menggeliat sejalan dengan kian nampaknya berbagai kebobrokan ideologi dan sistem hidup yang mereka terapkan.
Arus kesadaran identitas yang dipelopori gerakan-gerakan Islam ideologis --pelan tapi pasti-- juga mulai menyelusup sedemikian rupa, mengetuk akal-akal dan nurani sebagian kaum muslim, melewati batas-batas politik dan sekat-sekat imajiner bernama negara, serta pada akhirnya membentuk koneksi 'semangat dan kesadaran yang sama' untuk melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh dengan ideologi Islam.

Hanya saja, saat ini kesadaran dan ghirah akan perubahan fundamental seperti ini masih menjadi milik sebagian kecil umat Islam saja, yang sebagian kecil di antaranya adalah kaum perempuan. Tentu saja hal ini belum sebanding dengan jumlah kaum muslimin yang sedemikian besar dan belum sebanding pula dengan begitu beratnya persoalan yang harus diselesaikan, termasuk dengan arus opini yang 'dibentuk' oleh Barat tentang Islam dan umat Islam yang frekuensinya sudah per detik!. Umat dalam hal ini, masih begitu asyik dengan euphoria 'kebebasan' dan demokratisasi yang ditawarkan Barat. Sebagian lagi asyik berkutat dengan persoalan-persoalan cabang dan perseteruan murahan. Sementara itu, kaum perempuan asyik pula dengan dunianya sendiri, persoalannya sendiri. Seolah-olah ada jarak yang lebar antara perempuan, kesadaran politik --apalagi politik global--, dan kontribusi atas perubahan, betapapun fakta-fakta rusaknya masyarakat sudah ada di depan mata atau bahkan menimpa mereka.

Oleh karena itu, setidaknya ada dua pekerjaan yang harus kita selesaikan dalam waktu yang bersamaan. Yakni (1) mengcounter serangan-serangan konspiratif dan makar dari luar semisal konspirasi di balik isu KKG, berikut membongkar 'wajah busuk' para penguasa muslim dan agen komprador yang menjadi penjaga kepentingan kaum imperialis di negeri mereka sendiri, sekaligus (2) mempercepat tumbuhnya kesadaran ideologis berdasarkan aqidah Islam di kalangan umat, termasuk di kalangan perempuan, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk membaca bahwa kondisi buruk yang mereka hadapi saat ini sebenarnya bukan merupakan kondisi alamiah mereka sebagai khoyru ummah; bahwa akar permasalahan semua problematika yang mereka hadapi –termasuk persoalan-persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan—bukan berasal dari Islam tapi ada pada tatanan hidup kapitalis-sekuler yang rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka oleh para penguasa antek imperialis; bahwa solusi tuntas atas seluruh problematika kehidupan mereka saat ini hanyalah dengan kembali kepada Islam, yakni dengan menerapkan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan dalam wadah Khilafah Islam, yang dengan itu Islam sebagai rahmatan li al-’âlamîn dapat terwujud; bahwa memproses perubahan yang revolusioner (menyeluruh dan mendasar) ke arah terwujudnya masyarakat dan khilafah Islam tersebut bukan cuma penting tapi juga wajib; serta bahwa mereka punya tanggungjawab yang sama untuk berproses dalam gerakan perubahan (perjuangan) menegakkan syari’at Islam ini. Artinya, umat --termasuk kaum perempuan-- harus disadarkan dengan kesadaran yang tumbuh dari aqidah Islam (motivasi ruhiyah) untuk siap dan bersegera memposisikan diri sebagai agen perubahan, dan bukan bersikap rela terposisi sebagai obyek perubahan seperti yang selama ini terjadi.

Untuk itu, di kalangan umat secara keseluruhan harus dibangun kesadaran politik dengan kesadaran politik yang benar dan menyeluruh pula. Kesadaran politik yang benar berarti kesadaran politik yang dilandasi pemahaman terhadap aqidah dan syari’at Islam, bahwa Islam adalah din yang benar dan sempurna dan bahwa keimanannya terhadap Islam membawa konsekuensi keharusan menyelesaikan seluruh persoalan hidupnya hanya dengan aturan-aturan Islam saja (baik secara pribadi, kelompok, keluarga, masyarakat, maupun negara; baik yang menyangkut urusan dalam maupun luar negeri). Karena hakekat politik Islam adalah bagaimana mengatur seluruh urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri hanya dengan Islam saja. Adapun kesadaran politik yang menyeluruh artinya kesadaran politik yang berdasarkan pada cara pandang yang universal/mendunia, yakni kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari umat yang satu tak terpilah, yakni umat Islam, dan menjadi bagian dari umat manusia secara keseluruhan.

Disinilah umat --termasuk kalangan perempuan-- tidak hanya diharuskan untuk mengetahui dan menguasai persoalan-persoalan yang menyangkut diri (personal) dan masyarakat di negerinya saja (politik regional), tetapi juga harus mengetahui dan memahami keterkaitan persoalan-persoalan yang melingkupi dirinya --baik secara personal maupun regional-- dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada skala dunia, di samping memahami bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap permasalahan tersebut. Karena, sebagaimana fakta-fakta yang telah diurai sebelumnya, termasuk mengenai isu perempuan dan KKG, justru nampak bahwa seluruh persoalan yang menimpa umat hari ini sesungguhnya merupakan ekses dari tipu daya dan konspirasi internasional yang berlangsung sejak lama dan global dalam upaya menghambat kebangkitan kembali umat.

Dengan demikian, kesemuanya itu juga membuktikan tentang urgensitas pembinaan dan peningkatan wawasan dan kesadaran politik internasional pada tiap diri individu umat, termasuk di kalangan perempuan, sekaligus mengarahkannya pada target/kepentingan membangun sebuah kekuatan politis umat dalam bentuk institusi politik ril yang bersifat internasional pula. Yakni kekuatan adidaya baru, yang tegak di atas landasan yang benar dan akan membangun kehidupan dengan tatanan yang benar pula, disamping akan menjadi kekuatan yang mampu menandingi kekuatan kafir imperialis sekaligus melawan konspirasi mereka. Karena jika tidak, sampai kapanpun umat akan berkutat pada persoalan-persoalan yang sama, menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir barat, serta menjadi budak jajahan mereka, yang satu saat akan dihancurkan dan tidak akan pernah kembali bangkit menjadi khoyru ummah sebagaimana seharusnya.


Yakin, Islam Memuliakan Perempuan!
Terkait konteks perempuan, proses penyadaran juga harus mengarah pada upaya mengembalikan kepercayaan diri mereka bahwa Islam adalah satu-satunya solusi kehidupan, termasuk solusi masalah keterpurukan perempuan. Mengambil dan memperjuangkan pemikiran-pemikiran kufur, termasuk ide kebebasan perempuan dan KKG, sama sekali bukan solusi. Bahkan sama halnya dengan menggiring masyarakat pada keambrukan sosial sebagaimana yang telah dialami negara-negara pengusungnya.

Seperti banyak diberitakan, negara-negara liberal yang demikian gigih memperjuangkan kebebasan, termasuk kebebasan perempuan kini tengah mengalami permasalahan besar. Selain melahirkan karakter perempuan-perempuan yang individualis, liberalis dan materialistis, ide ini juga telah menyebabkan kebijakan tentang keluarga di AS dan Eropa luar biasa kacau. Di Swedia misalnya, kebijakan agar setiap wanita, termasuk para ibu yang memiliki anak kecil memiliki pekerjaan, justru menjadikan lebih dari 50% perkawinan berakhir dengan perceraian. Bahkan data juga menunjukkan bahwa 50% bayi-bayi di sana lahir dari ibu yang tidak menikah. Di AS, keberadaan UU Perceraian yang membolehkan setiap pasangan menceraikan isterinya atau suaminya tanpa melihat siapa yang salah dan negara tidak boleh ikut campur (dikenal dengan slogan No fault diforce) ditengarai menjadi penyebab meningkatnya angka perceraian dan menjadi bumerang bagi para wanita karena hukum perceraian ini menghapuskan kewajiban suami memberi tunjangan pada istri yang diceraikannya. Adanya konsep ERA (Equal Rights Amandement) yang menolak pemberlakukan UU yang memberi proteksi kepada wanita karena dianggap merendahkan mereka (seperti aturan cuti hamil, jam kerja malam, dan lai-lain) pun pada akhirnya membuat para wanita di AS menderita. Di negara-negara Skandinavia, program welfare state (diantaranya day care centre) telah berhasil mendongkrak partisipasi wanita di sektor kerja. Akan tetapi pada saat yang sama, keberhasilan ini diikuti dengan runtuhnya institusi keluarga. Perceraian meningkat 100% (tahun 1960-1980), persentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan meningkat, kenakalan remaja meningkat, kriminalitas meningkat 400% (1950-1970), anak bermasalah alkoholik, obat bius dan tindak kekerasan meningkat 400% (tahun 1970-1980). Jika demikian faktanya, masih layakkah kita mengusung ide yang sama untuk menjatuhkan diri pada lubang yang sama?

Maha Suci Allah yang telah memberi aturan Islam yang bersifat tetap dan sempurna. Yakni aturan yang telah memuliakan kaum perempuan setelah sebelumnya mereka dihinakan dan direndahkan. Islam datang pada saat budaya masyarakat mensubordinasi perempuan. Dimana pada saat itu perempuan tak lebih dari benda yang bisa dimiliki dan diwariskan, bahkan hanya dianggap sebagai pemuas nafsu laki-laki yang tak boleh berkeinginan. Yang lebih mengerikan, pada saat itu perempuan menjadi simbol kehinaan, sehingga kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib luar biasa besar, dan membunuhnya menjadi budaya yang diwajarkan.

Jelas, sebuah revolusi besar ketika Islam justru datang dengan mengungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia dengan segala potensi hidup dan akalnya. Sebagai manusia, perempuan juga mengemban tugas hidup yang sama sebagaimana laki-laki, yakni beribadah melakukan penghambaan kepada Allah Dzat Pencipta sekaligus mengemban misi kekhalifahan di muka bumi berdasarkan aturan hidup yang telah ditentukan. Islam juga menetapkan bahwa standar kemuliaan seseorang tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, kedudukan dan materi, melainkan terkait dengan kadar ketaqwaan seseorang di hadapan Allah. Dan dalam kerangka pemuliaan ini, Islam menetapkan berbagai aturan yang adil dan harmonis yang akan menjamin kemuliaan hidup keduanya, baik di dunia maupun di akhirat.

Memang benar, bahwa adakalanya Allah memberi aturan yang sama di antara laki-laki dan perempuan. Dan adakalanya pula Allah memberi aturan yang berbeda. Sama, manakala sebagai hamba Allah keduanya dipandang dari sisi insaniyahnya yang memiliki potensi dan akal yang sama. Misalnya sama-sama wajib menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, menegakkan shalat, membayar zakat, bershaum, berhaji, mengemban dakwah, dan lain-lain. Berbeda, manakala keduanya dipandang dari sisi tabiat keduanya yang memang berbeda sebagai laki-laki dan perempuan, baik berkaitan dengan fungsi, kedudukan maupun posisi masing-masing dalam masyarakat. Misalnya Allah telah membebankan kewajiban mencari nafkah dan melindungi keluarga kepada laki-laki karena hal itu berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumahtangga, dan kewajiban ini tidak dibebankan kepada perempuan, walaupun Islam tidak mengharamkan perempuan bekerja. Sebaliknya, Allah telah menjadikan tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengelola rumahtangga sesuai dengan tabiat keperempuanannya; dimana perempuan telah dikaruniai kemampuan memikul tanggungjawab sebagai ibu, seperti hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak. Kemampuan ini tidak terdapat pada laki-laki.

Namun demikian, yang penting dipahami bahwa Islam tidak memandang perbedaan ini menjadikan yang satu lebih tinggi derajatnya dari pada yang lain. Dan tidak bisa juga dijadikan dalih untuk menuding bahwa syari’at Islam diskriminatif terhadap perempuan. Karena semua aturan ini ditetapkan oleh Allah sesuai dengan fitrahnya masing-masing semata-mata demi kemaslahatan dan kelanggengan hidup manusia, bukan laki-laki saja atau perempuan saja. Justru inilah kesetaraan hakiki yang ditawarkan Islam, dimana keduanya dipandang memiliki tanggungjawab dan peran yang seimbang. Terlebih seperti sudah dijelaskan, kemuliaan seseorang dalam pandangan Islam tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang, melainkan diukur oleh derajat ketaqwaannya, sebagaimana Firman Allah SWT : ”Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (TQS. Al-Hujurat[49] : 13).


Mendudukan Kembali Posisi Perempuan Dalam Islam
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memandang tidak ada yang lebih tinggi antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah SWT. Keberadaan keduanya di dunia ini justru dipandang sebagai makhluk Allah yang harus saling melengkapi dan bekerjasama (ta’awun) dalam menjalani kehidupan dengan pembagian peran yang jelas, seimbang dan tetap mengacu pada aturan yang telah Allah berikan. Dengan begitulah manusia dapat meraih tujuan-tujuan luhur masyarakat --yang senyatanya terdiri dari laki-laki dan perempuan-- demi kemaslahatan bersama, dan pada akhirnya mereka bisa meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: ”Janganlah kalian iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (TQS. A-Nisa’[4] : 32).

Adapun tentang peran (fungsi dan kedudukan) perempuan, Islam telah menetapkan bahwa disamping sebagai hamba Allah yang mengemban kewajiban-kewajiban individual sebagaimana halnya laki-laki, seorang perempuan secara khusus telah dibebani tanggungjawab kepemimpinan sebagai ibu dan pengatur rumahtangga (ummun wa rabbat al-bayt). Perempuan sebagai ibu berarti dia wajib merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah. Sebagai pengatur rumahtangga, berarti dia berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumahtangganya agar memberikan ketentraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain, sekaligus menjadi mitra utama laki-laki sebagai pemimpin rumahtangganya berdasarkan hubungan persahabatan dan kasih sayang, bukan hubungan buruh dan majikan sebagaimana sabda Rasul SAW ”Wanita adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa-i).

Dengan peran-peran khususnya ini, sesungguhnya perempuan dipandang telah memberikan sumbangan besar kepada umat dan masyarakatnya. Bahkan kegemilangan peradaban sebuah masyarakat --sebagaimana yang pernah dicapai belasan abad oleh umat Islam terdahulu-- tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan peran para ibu. Sebab dengan begitu, berarti mereka telah berhasil mendidik dan memelihara generasi umat sehingga tumbuh menjadi individu-individu yang mumpuni, yakni generasi yang shalih dan mushlih, generasi mujtahid dan mujahid yang telah berhasil membangun masyarakat dan peradaban Islam hingga mengalami kegemilangan-kegemilangan tadi. Oleh karena itu, jelas bahwa menjadi ibu sesungguhnya merupakan peran yang sangat mulia dan memiliki nilai politis yang tinggi (strategis), karena dari para ibu inilah akan lahir pemimpin-pemimpin umat yang cerdas dan berkualitas. Tentu dengan catatan para ibu inipun harus menjadi ibu yang cerdas dan berkualitas, bukan sekedar ibu yang hanya siap melahirkan anak tetapi tidak siap mencetak generasi cerdas berkualitas. Hal inilah yang tidak dipahami para pengemban ide feminisme, dimana mereka menganggap posisi ibu adalah posisi yang rendah, tidak produktif dan tersubordinasi. Hal ini karena mereka mengukur kemuliaan dan produktivitas seseorang hanya dengan standar materi, yakni dari seberapa besar materi yang dihasilkan. Padahal, tentu saja nilai keberhasilan seorang ibu mencetak generasi yang cerdas berkualitas tidak akan pernah bisa ditandingi dengan materi sebanyak apapun!

Justru dalam rangka menjamin keberhasilan pelaksanaan peran mulia dan strategis inilah, Islam juga telah menetapkan seperangkat aturan khusus bagi perempuan, antara lain mencakup hukum-hukum tentang haid, kehamilan, melahirkan (wilâdah), penyusuan (radhâ’ah), pengasuhan (hadhânah) dan pendidikan pertama bagi anak. Bahkan hukum-hukum yang menyangkut individu laki-laki dan perempuan secara umum, hukum-hukum yang menyangkut kewajiban khusus laki-laki, maupun hukum-hukum kemasyarakatan secara keseluruhanpun (poleksosbudhankam) sebenarnya terkait dengan jaminan atas keberlangsungan terlaksananya fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh seorang yang sedang hamil dan menyusui, mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di waktu yang lain. Seorang suami wajib menjamin kebutuhan istri dan mempergaulinya dengan baik. Demikian juga dengan negara, berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat tanpa kecuali. Sampai-sampai dalam penegakkan uqubatpun, ibu-ibu hamil dan menyusui mendapatkan perlakuan khusus dari negara sesuai tuntunan syari’at. Ini semua menunjukkan, betapa Islam mendudukan fungsi dan peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumahtangga demikian penting dan mulia.

Tentu saja, sekalipun Islam menetapkan bahwa tugas utama perempuan adalah menjadi ibu dan pengatur rumahtangga, bukan berarti kaum perempuan tidak punya kewajiban lain menyangkut masyarakatnya. Justru Islam memandang, bahwa selain sebagai seorang hamba Allah, ibu dan pengatur rumahtangga, perempuan juga adalah bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dimana keduanya bertanggungjawab menghantarkan kaum muslim untuk menjadi umat terbaik di dunia. Dan ini, hakekatnya merupakan salah satu aktivitas politik yang harus dilaksanakan baik oleh laki-laki dan perempuan secara bersama-sama dan berkesinambungan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini terdapat kesalahanpahaman terhadap aktivitas politik perempuan. Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan politik bukan milik dan bagian perempuan. Ini karena politik dalam kacamata mereka identik dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipu muslihat yang hanya pantas menjadi milik laki-laki saja atau bahkan dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam. Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat muslimah tidak mau berpolitik. Alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkannya pun mereka tidak mau. Akhirnya kaum perempuan hanya mencukupkan diri memikirkan dan beraktivitas dalam urusan dirinya, anaknya, dan keluarganya, sementara pada saat yang sama, mereka tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Tetapi sebaliknya, di sisi lain sebagian berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa terkecuali, termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatasi pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Sehingga aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa jika kekuasaan ataupun penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan, maka suara perempuan tidak akan di dengar dan diperjuangkan sehingga wajar bila akhirnya jalan yang ditempuh adalah harus menguasai suara di legislatif ataupun langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan.

Adanya pendapat yang berbeda ini sebenarnya berpangkal dari pemahaman yang salah terhadap makna politik yang disandarkan kepada realitasnya dalam kehidupan, disamping merupakan akibat pemahaman yang salah terhadap aturan-aturan Islam. Mengenai definisi politik misalnya, banyak kalangan yang mengungkapkan pemahaman mereka tentang politik dengan pemaknaan yang sempit dan terbatas, yakni hanya terkait dengan masalah kekuasaan dan legislasi saja. Padahal makna politik atau As-Siyâsah yang benar adalah, pengaturan urusan umat, dimana negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi (muhasabah) terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya . Dengan demikian, ketika kaum muslimin berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat, maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.

Berdasarkan pengertian ini, maka jelas, bahwa terjun ke dalam aktivitas politik bukan hanya kewajiban laki-laki saja, melainkan juga merupakan kewajiban kaum perempuan sebagai bagian dari umat. Hal inipun secara tegas diungkap dalam beberapa nash yang bersifat umum, diantaranya QS. Ali Imran 104: “Dan hendaknya ada di antara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada al-khoir (Islam) dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang menang”. Kemudian di dalam hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah ra Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka. Dan barangsiapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah golongan mereka” (HR. Ath-Thabari)

Hanya saja untuk merealisasikan kewajibannya berkiprah dalam aktivitas politik, maka ada beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh seorang muslimah, diantaranya Pertama, harus disadari bahwa terjunnya mereka ke kancah politik hanyalah semata-mata untuk melaksanakan perintah dari Allah SWT. Kedua, bahwa Allah telah menetapkan bentuk-bentuk aktivitas politik yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang muslimah, yaitu (1) Yang dibolehkan : (a) Hak dan Kewajiban Baiat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyyah ra bahwa “Kami telah membaiat Nabi. Beliau kemudian memerintahkan kepada kami untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun dan melarang kami untuk melakukan niyahah …”(HR. Bukhari). (b) Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummah, yaitu suatu badan di dalam negara Islam yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat dan pendapat ummat kepada negara. Hal ini didasarkan pada apa yang terjadi pada pasca peristiwa baiat Aqabah II, dimana Rasulullah meminta 12 orang dari ke-75 orang pelaku baiat yang 2 orang di antaranya adalah wanita untuk menjadi penjamin atas berbagai tanggungan mereka. (c) Kewajiban berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana tertera pada QS. 3:104 dan QS. 9:71. (d) Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa, berdasarkan hadits : “Sesungguhnya agama itu nasehat, bagi Allah, Rasul dan kaum mu’minin ….” (2) Yang diharamkan yakni duduk dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan) berdasarkan hadits dari Abi Bakrah ra : “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para wanita” (HR. Bukhari-Muslim). Ketiga, Ketika dalam pelaksanaannya terjadi benturan antara kewajiban melakukan aktivitas politik dengan kewajiban yang lainnya, maka Islam telah memberikan aturan berupa fiqih prioritas (al-Aulaawiyaat) yang harus dipahami oleh mereka.

Sebagai catatan, adanya pengaturan tertentu dalam aktivitas politik perempuan di atas tidak bisa dipandang sebagai adanya perlakuan diskriminatif syari’at Islam sebagaimana yang digembar-gemborkan feminisme. Karena dalam Islam, posisi apapun menjadi tidak penting sepanjang keduanya berjalan sesuai tuntunan syari’at. Dengan kata lain, Islam tidak memandang bahwa posisi penguasa (penentu kebijakan) lebih tinggi atau lebih mulia dibandingkan posisi sebagai rakyat, karena keduanya memiliki tanggungjawab yang sama dalam memajukan Islam dan umat Islam serta memiliki tanggungjawab yang sama dalam menyelesaikan seluruh problematika umat berdasarkan syari’at Islam tanpa membedakan apakah problema itu menimpa laki-laki atau perempuan. Justru melalui penerapan syari’at Islam secara utuh dan konsisten oleh penguasa dan penjagaan/pengawasan yang ketat dari umat inilah yang akan menghantarkan pada tercapainya kemaslahatan hidup yang rahmatan lil ’alamin sebagaimana yang Allah janjikan. Tidak hanya perempuan yang termuliakan, bahkan umat secara keseluruhan akan memperoleh kebahagiaan dan kebangkitan yang hakiki sebagaimana yang pernah dialami semenjak masa Rasulullah SAW hingga Khilafah diruntuhkan.

Dalam konteks mengembalikan aturan-aturan Islam dalam kehidupan inilah sebenarnya isu kebangkitan perempuan dan arah pemberdayaan perempuan (muslimah) menjadi relevan untuk dibahas, yakni bagaimana kaum perempuan mengoptimalkan seluruh peran-perannya (baik peran domestik maupun publiknya) sesuai dengan Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam. Dengan demikian, arah pemberdayaan perempuan dalam Islam akan menjadi bagian dari arah pemberdayaan umat secara keseluruhan, karena dalam Islam perjuangan mewujudkan masyarakan Islam adalah tugas laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari komponen umat. Jadi tidak layak jika mereka malah berbondong-bondong mengadopsi pemikiran feminisme yang batil. Apalagi jika ditinjau lebih jauh, pemikiran dan dampak dari perspektif feminisme ini sangat berbahaya dilihat dari sudut pandang Islam; Pertama, Ide ini lahir dalam konteks sosio-historis khas di Barat, yang dilatarbelakangi pertarungan ide teologi-feodalistik (kristen) dengan sekularisme. Sehingga, upaya mentransformasikan ide-ide ini ke tengah-tengah umat Islam, berarti juga mentransformasikan sekularisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Kedua, Keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslimin untuk meridhai ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya sekalipun itu berarti mereka harus mengikis keyakinan akan kesempurnaan aturan Islam atau melakukan sinkretisme dengan dalih kemanfaatan yang dia lihat berdasarkan akalnya. Ketiga, Ide ini telah memunculkan keguncangan struktur keluarga dan masyarakat, akibat kian tidak jelasnya patron pembagian fungsi dan peran laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Feminismelah yang dianggap bertanggungjawab terhadap maraknya kasus perceraian, fenomena wanita karir, fenomena unwed, dekadensi moral seperti free sex, aborsi, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain, yang jika dilihat dari konteks kepentingan umat dan masa depan mereka, tentu hal ini sangat berbahaya. Keempat, keberadaan ide ini menjadi bagian dari perang pemikiran (ghazwu al-fikr) yang secara sistematis dan terencana dilancarkan kaum kafir agar kaum muslimin kian terjauhkan dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat Islam dengan aturan hubungan sosialnya yang manusiawi, sekaligus memadamkan cita-cita mereka untuk hidup dalam masyarakat Islam, yang tidak hanya memuliakan kaum perempuan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Hal ini nampak dari target isu-isu global tentang perempuan yang awalnya hanya mengarah pada perubahan orientasi individu, seperti disorientasi terhadap peran ibu dan lembaga perkawinan, kini sudah mengarah pada target penghancuran keluarga muslim sebagai satu-satunya benteng terakhir yang memberi harapan lahirnya generasi umat di masa depan.


Belajar Dari Para Shahabiyat
Sejarah telah mencatat bagaimana para wanita di masa Rasulullah (para shahabiyat dan ummul mu’minin ra) melakukan aktivitas dan perjuangan politik bersama-sama Rasulullah saw dan para shahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan shahabatnya sekaligus tanpa melupakan peran strategis mereka sebagai pencetak generasi berkualitas prima yang siap berjuang membela Islam. Kehidupan mereka cukup memberi gambaran yang jelas bagaimana seharusnya seorang Muslimah berpikir dan bersikap, dimana keyakinan yang kokoh terhadap kebenaran Islam, telah menjadikan mereka siap menerima apapun ketentuan yang telah Allah bebankan kepada mereka, tanpa memperhitungkan lagi nilai-nilai manfaat dan kebenaran relatif yang muncul dari akal dan hawa nafsunya. Ketika Allah menetapkan peran dan fungsi tertentu atas mereka, mereka tak lantas berpikir bahwa Allah dan RasulNya telah bersikap dzalim atas mereka. Sehingga kalaupun pada satu saat muncul pertanyaan mengenai pembedaan peran dan fungsi perempuan atas laki-laki sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh Asma kepada Rasulullah saw, maka itu semata-mata didorong oleh kerakusan mereka akan pahala dan kedudukan yang tinggi di hadapan Allah SWT. Karena mereka demikian yakin, bahwa kemuliaan tertinggi adalah kemuliaan di hadapan Allah SWT.

Salah satu teladan penting yang dapat kita ambil dari mereka adalah, kemampuan mereka mensinergiskan keseluruhan peran dan fungsi yang telah Allah bebankan atas mereka, baik dia sebagai seorang hamba Allah, sebagai istri dan ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Seluruh kewajiban yang terkait dengan peran-peran dan fungsi itu mampu mereka tunaikan tanpa mengabaikan yang satu dari yang lainnya. Kesibukan dan beratnya beban mereka dalam mengurus kehidupan rumahtangganya tidak lantas membuat mereka abai terhadap tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan terlebih-lebih lagi sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki tanggungjawab besar untuk bersama-sama kaum Muslimin yang lain membangun kehidupan yang mulia. Demikian pula sebaliknya, kepeduliannya yang besar terhadap persoalan-persoalan masyarakat, yang terwujud dalam keterlibatannya dalam aktivitas politik, tidak lantas pula membuat mereka lalai terhadap kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Semua, mereka lakukan dengan kesadaran penuh bahwa pelaksanaan atas seluruh peran-peran dan fungsi itu, adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban yang telah Allah bebankan kepada mereka yang suatu saat akan mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak.

Fakta inilah yang hari ini belum kita temukan pada sebagian besar kalangan Muslimah. Keta’juban mereka akan modernisme Barat dan tersibghahnya pemikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran asing, (termasuk feminisme) telah membuat mereka lebih suka mengadopsi gaya hidup dan pola pikir yang jauh dari tuntunan Islam. Keimanan mereka terhadap aqidah Islam, ternyata belum cukup memberi dorongan agar mereka mau terikat dengan aturan-aturan Islam sebagai satu-satunya solusi kehidupan mereka, sebagaimana yang nampak pada setiap sosok shahabiyat yang mulia. Sehingga jangankan bercita-cita untuk berjuang demi Islam sebagai pelaksanaan kewajibannya atas masyarakat, terikat dengan hukum-hukum yang bersifat individualpun sangat sulit untuk diharapkan.

Kuatnya dominasi kehidupan kapitalis-sekularistik di seluruh aspeknya, dipastikan menjadi akar utama kian kokohnya kondisi ini. Karena dengan aqidah dan sistem kapitalistik-sekuler ini, kaum Muslim telah dituntun untuk senantiasa mensandarkan kebahagiaan dan kemuliaan hudupnya pada nilai-nilai manfaat yang muncul dari asas rasionalitas manusia. Sementara disisi lain, keberadaan Islam sebagai ideologi kian tertutupi oleh minimnya pengetahuan yang shahih tentang Islam. Kian lama, mereka kian kehilangan gambaran yang utuh dan holistik tentang bagaimana indahnya sosok kehidupan yang terbangun oleh Islam. Bahkan yang lebih menyedihkan, sebagian dari mereka merelakan dirinya menjadi antek dan corong asing. Yang tanpa pembayaran sedikitpun mereka mau menjadi pengukuh dan penjaga atas dominasi pemikiran asing di negeri-negeri kaum Muslimin. Sementara pada saat yang sama, mereka campakkan pemikiran dan hukum-hukum Islam dengan penuh rasa jijik dan malu, sehingga seakan-akan tak ada yang tersisa dari Islam selain nama dan sejarah masa lalu saja. Mereka bangga menjadi penyeru kekufuran, sekalipun dengan itu, mereka harus membayarnya dengan murka Allah yang tak tertandingkan.

Kondisi inilah yang seharusnya membuat kita sadar; bahwa sudah saatnya kita bergerak untuk membenahi kehidupan yang carut marut dan jauh dari berkah Illahiyah ini dengan segera mewujudkan sistem Islam. Caranya tidak lain dengan melakukan proses penyadaran, bahwa fakta rusaknya kehidupan yang senyatanya juga mereka rasakan ini adalah akibat dari jauhnya mereka dari sistem Islam; Sebuah sistem yang tegak di atas landasan yang shahih, yakni pengakuan atas keberadaan hak mutlak Allah sebagai Pencipta Yang Maha Tahu dan Maha Adil atas pengaturan kehidupan manusia di bumi miliknya ini. Sistem inilah yang sebelumnya telah membawa kaum Muslim kepada sebuah kebangkitan hakiki, yang secara dzahir muncul dalam bentuk peradaban yang agung selama berabad-abad. Justru tatkala kaum Muslim meninggalkan Islam, kehinaanlah yang kemudian mereka dapatkan. Sehingga, selama kaum Muslim terbuai oleh janji-janji manis sekularisme, dengan seluruh pemikiran yang tercabang darinya, sekecil apapun, maka hal tersebut menjadi jaminan pasti atas berlangsungnya keterpurukan dan kehinaan yang dialami umat ini sampai kapanpun.


Khotimah: Pentingnya Membangun Sinergi
Melakukan proses perubahan dengan membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian, termasuk masalah keterpurukan perempuan, tentu tidak mudah. Apalagi, jika perubahan yang dimaksud adalah perubahan masyarakat ke arah terwujudnya sistem Islam. Ini mengingat, saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler, sementara pemahaman umat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Sehingga tak heran jika pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat. Terlebih lagi, pihak asing tentu tak akan begitu saja membiarkan ‘gerakan’ perubahan ini berjalan mulus, sementara ‘kemenangan mereka hari ini’ merupakan hasil kerja keras dan perjuangan panjang mereka selama berabad-abad.

Karena itulah maka, sinergisme langkah setiap komponen masyarakat yang sudah tersadarkan, baik laki-laki maupun perempuan menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Disamping itu, harus dipastikan pula bahwa langkah-langkah yang ditempuh saat ini merupakan langkah-langkah yang secara pasti pula akan menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Langkah dimaksud tidak lain adalah langkah da’wah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Saw sebagai teladan terbaik umat Islam. Dimana atas bimbingan wahyu, beliau bersama para shahabat dan shahabiyat ra. telah berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam yang agung yang mampu mengungguli umat-umat yang lainnya sekalipun awalnya, mereka dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Hanya dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan kekufuran, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam.

Pada akhirnya, masa depan kaum Muslim saat ini, memang terletak pada pundak kita bersama. Sehingga keterlibatan kita dalam ‘proyek besar ini’ menjadi bagian dari wujud tanggungjawab kita atas ‘nasib’ Islam dan kaum Muslim. Rasulullah Saw bersabda : “Siapa saja yang bangun di pagi hari sedangkan dia tidak peduli terhadap urusan (nasib) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)”(HR. al-Hakim dan al-Khatib). []

---------------