
Oleh : Siti Nafidah Anshory
Pengantar
Diriwayatkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda : ”Bersegeralah kalian melakukan amal shaleh. Sebab akan datang fitnah-fitnah laksana malam yang kelam. Seseorang beriman pada pagi hari, namun menjadi kafir pada sore harinya. Beriman pada sore hari, namun kafir pada pagi keesokan harinya” (HR. Bukhori).
Sinyalemen Rasulullah SAW yang dinyatakan lebih dari 14 abad yang lalu tersebut nampaknya kini sudah menjadi kenyataan. Berbagai fitnah dan permasalahan rumit datang silih berganti mendera kaum muslimin, sampai-sampai tidak ada satu aspek kehidupanpun yang luput dari deraannya. Secara pemikiran, umat sudah kehilangan jatidirinya. Pola pikir kaum muslimin kian terjauhkan dari tuntunan Islam. Berbagai pemikiran kufur semisal nasionalisme, kebebasan, demokrasi, HAM dan globalisasi seolah menjadi agama baru yang layak menggantikan Islam. Padahal pemikiran-pemikiran inilah yang telah bertanggungjawab atas keterpecah-belahan umat dan kerusakan masyarakatnya. Pemikiran-pemikiran ini pulalah yang telah sedikit demi sedikit mengikis perasaan mereka sebagai seorang muslim dan membelokkan orientasi kehidupan mereka, sehingga benci-ridha, suka-tidak suka, bahagia-tidak bahagia, tidak lagi bersandar pada syari’at, yakni terhadap apa yang dibenci dan diridahi Allah atau apa yang disukai dan tidak disukai Allah, melainkan lebih banyak diukur oleh standar kemanfaatan yang sifatnya materi dan fana. Ketikapun perasaan Islam mereka masih tersisa, maka keberadaan perasaan itu pun tidak lagi berpengaruh terhadap ketundukan mereka secara total kepada Islam. Sehingga tidak aneh, jika di satu sisi mereka melakukan sebagian tuntunan syari’at, namun pada saat yang sama, dengan enteng mereka langgar aturan syari’at yang lainnya.
Adapun secara budaya, pola hidup kaum muslimpun kian terasingkan dari Islam. Kehidupan mereka nyaris didominasi aturan-aturan dan budaya kufur, sehingga kemuliaan mereka sebagai umat Islam tak lagi nampak. Umat Islam justru sering tampil sebagai pembebek dan mengidap sindrom inferiority complex (mental terjajah) yang amat parah. Mereka bahkan sudah terbiasa menjadi bulan-bulanan asing dan menjadi objek nafsu imperialisme mereka; yang penguasanya dimandulkan, sumber daya alamnya dikuras, sumberdaya manusianya dirusak dan dibaratkan, peradabannya dihapus, dan masa depannya dihancurkan. Wajar jika umat --yang sebenarnya telah Allah beri predikat sebagai umat terbaik (khoyru ummah)—ini, kini tampil menjadi umat yang serba ’ganjil’, terpuruk dan amburadul. Kemiskinan menjadi potret bersama, kemunkaran dan demoralisasi kian telanjang dan merajalela, dominasi asing kian mencengkram, kaum sekularis-liberalis tanpa rasa malu mempropagandakan ajaran sesatnya, kaum salibis tanpa rasa takut membuat makar penghancuran aqidah umat, lembaga-lembaga asing pun berkeliaran dengan bebas menyebarkan berbagai kekejian. Mirisnya, negara dan penguasa umat ini tak punya kewibawaan sedikitpun untuk menghadapi semuanya.
Faktor-Faktor Pelemah
Jika dianalisa, kondisi ini sebenarnya tidak terjadi begitu saja. Secara eksternal, Barat dengan genuitas imperialistiknya memang berkepentingan untuk selalu memastikan hegemoninya atas dunia tetap terjaga. Melalui apa yang disebut perang pemikiran dan budaya (ghazwu al-fikr dan ghazwu ats-tsaqafi) --yang dimediasi dengan berbagai cara dan sarana, termasuk dukungan media massa--, mereka ekspor budaya dan ide-ide kufur mereka ke dunia Islam. Dengan cara ini, mereka bermaksud menggempur pertahanan asasi kaum muslimin (yakni aqidah Islam dan syari'atnya), hingga umat sedikit demi sedikit mencampakkan Islam sebagai sumber kekuatan dan kemuliaannya, untuk kemudian tunduk menjadi pembebek atas peradaban Barat dan menjadi pengabdi bagi kepentingan Barat (AS).
Memang, ada sebagian kalangan yang menafikan fakta ini. Mereka menuding bahwa pendapat yang meyakini adanya konspirasi asing dibalik kehancuran masyarakat Islam adalah pendapat yang asumtif, mengada-ada dan mengarah pada sebuah pharanoia. Bahkan mereka menuding pendapat ini sebagai wujud sikap eskapis (lari dari kenyataan) umat dan upaya pengkambinghitaman atas fakta bahwa sumber masalah sebenarnya ada pada diri mereka sendiri. Namun tudingan ini terbantahkan oleh kenyataan, bahwa pertarungan ideologi merupakan realita yang tidak bisa dinafikan keberadaannya. Terlebih, secara i’tiqodi hal ini sudah banyak diperingatkan oleh Allah SWT dalam firman-firmanNya.
Sebagaimana diketahui, sejak keruntuhan Sovyet di tahun 90-an, polarisasi kekuatan dunia yang dulu dikenal dengan blok Barat (pengemban ideologi kapitalisme, diwakili AS) dan blok Timur (pengemban ideologi sosialisme-komunis, diwakili Sovyet) memang sudah tidak ada lagi. Karena itu, AS melalui think-tanknya dari jajaran Council for Foreign Relation (CFR, sebuah lembaga kajian kebijakan luar negeri AS) lantas mensetting perubahan lingkungan strategis yang baru tersebut dengan memposisikan AS sebagai the single fighter, dimana semua negara dipaksa untuk berputar searah dengan putaran AS (monopolar). Hanya saja, mereka sadar, bahwa --mengutip pernyataan Charles E. Carlson , seorang the War-makers di dalam CFR-- sesudah runtuhnya imperium Uni Sovyet "...selected the far-flung nations of Islam as a replacement for the old Marxist-Leninist ... The Red Peril has 'greatly abated' to be replaced by a new Green Peril" (“ …terpilihlah negara-negara Islam yang sangat luas itu sebagai pengganti posisi Marxist-Leninist lama …. Bahaya merah yang telah mereda kini digantikan oleh bahaya hijau yang baru muncul”). Dalam rangka meredam potensi bahaya hijau (Islam) menggantikan bahaya merah (Soskom) inilah, AS kemudian segera menyusun grand strategy yang akan mengarahkan semua potensi musuh (terutama Islam) tercengkram dalam genggamannya. Taktik yang digunakan adalah dengan melancarkan perang pemikiran dan kebudayaan secara total dan universal --di samping sesekali menggunakan serangan militer-- dengan target menjauhkan umat Islam dari potensi kekuatan mereka yang tidak lain terletak pada ideologinya, menghapus peradaban Islam hingga ke akar-akarnya, sekaligus menjauhkan secara dini peluang tampilnya kembali Daulah Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam --yang kekuatannya sulit ditandingi-- dari peta politik dunia .
Apa yang getol dilakukan AS di dunia Islam hingga hari ini, seperti kampanye anti terorisme dengan sequel terbarunya bertajuk 'war on evil ideology' (baca : kampanye anti ideologi Islam yang mereka sebut dengan ideologi setan), gelombang infiltrasi (baca : peracunan/tasymim) pemikiran dan budaya sekuler di negeri-negeri Islam dengan memanfaatkan jasa para antek lokal dari kalangan liberalis sekuler yang mereka danai dan mereka mediasi secara besar-besaran dan kontinyu (terutama melalui isu demokratisasi, liberalisasi dan globalisasi budaya permissif-hedonis), politik adu domba yang mereka rancang di negeri-negeri Islam (divide et impera), berbagai intervensi politik dan ekonomi di berbagai negeri Islam termasuk dalam pembuatan undang-undang, menjadi bukti betapa AS yang kampiun kapitalisme ini terobsesi dengan impiannya menjadi penguasa tunggal dalam Tata Dunia Barunya. Dan untuk memuluskan serangan total peradaban kapitalis sekuler dalam kerangka perang ideologi inilah, isu-isu semisal globalisasi mereka blow up sedemikian rupa, sehingga menjadi sarana efektif untuk tidak hanya mematikan kekuatan perekonomian kaum muslimin dengan senjata modal mereka, tapi lebih jauh ditujukan untuk merusak seluruh sendi-sendi kehidupan kaum muslimin sejak dari asasnya, yakni kekuatan ideologis yang dimiliki Islam.
Sayangnya, serangan yang begitu dahsyat dan mematikan atas nama ‘globalisasi kekufuran peradaban Barat’ ini seolah terjadi tanpa perlawanan. Hal ini karena secara internalpun, kondisi pemahaman umat akan agama Islam --terutama Islam sebagai ideologi-- senyatanya memang lemah luar biasa. Kebanyakan mereka hanya mengenal Islam sebagai aqidah ruhiyah saja atau ajaran yang mengatur ibadah ritual saja. Sementara itu, konsep-konsep yang menunjukkan Islam sebagai aqidah siyasiyah, aqidah problem solving, tidak lagi mereka pahami. Wajar jika, keimanan yang ada pada diri umat –tak terkecuali para penguasa dan kaum intelektualnya-- seolah menjadi keimanan yang kering, tak memberi pengaruh dalam kehidupan dan tak mampu menjadi solusi atas seluruh permasalahan kehidupan. Akibatnya, umat secara individu kian kehilangan pertahanan dan self-controlnya, sedangkan umat sebagai masyarakat kian kehilangan sense of controlnya, hingga keduanya bisa dengan mudah menerima umpan beracun yang ditawarkan musuh tanpa bisa membaca bahayanya. Yang lebih parah, hilangnya gambaran Islam sebagai sebuah ideologi ini dan keengganannya menjadikan Islam sebagai asas dan aturan kehidupan, menjadikan negara dan penguasa muslim kehilangan haybah (kewibawaan) di hadapan orang-orang kafir. Bahkan keduanya kerap bertindak sebagai pengukuh atas terjadinya kejahatan ini. Padahal sebagaimana sabda Nabi SAW, hakekat keberadaan negara dan penguasa/pemimpin bagi umat adalah laksana perisai (junnah) yang akan menjadi benteng pelindung dari serangan-serangan musuh mereka.
Perempuan Di Balik Konspirasi Penghancuran Islam
Inilah wajah umat kita hari ini. Dan pada kondisi inilah kaum perempuan (muslim) saat ini berada. Mereka tak terkecuali, ikut pula terjebak pada kondisi yang sama, pola pikir dan pola sikap yang sama. Sebagian sama-sama menjadi pembebek, sebagian sama-sama menjadi antek, dan sebagian lagi sama-sama cuek.
Secara fakta, sebenarnya banyak hal yang bisa membuktikan betapa imperialis telah secara sengaja 'memanfaatkan' kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka menghancurkan Islam melalui penghancuran institusi masyarakat Islam. Mereka sadar betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan, karena perempuan merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Disisi lain, merekapun melihat bahwa upaya menjauhkan umat dari ideologi Islam masih belum berhasil sepenuhnya. Selama ini, mereka memang telah berhasil menjauhkan umat dari aturan-aturan Islam menyangkut masalah politik, ekonomi, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Akan tetapi masih ada sisa-sisa pemikiran Islam yang hingga kini tetap dikukuhi masyarakat, tetapi dianggap mengandung potensi bahaya bagi hegemoni mereka di masa depan. Yakni hukum-hukum yang menyangkut keluarga, yang pada saat ini menjadi satu-satunya benteng terakhir pertahanan umat Islam setelah benteng utamanya, yakni Daulah Khilafah Islam dihancur-leburkan.
Dalam kerangka penghancuran keluarga muslim inilah perempuan muslim dimanfaatkan. Dimana seperti dahulu mereka menghancurkan Daulah Khilafah Islam, merekapun menggunakan upaya peracunan pemikiran untuk menanamkan aqidah sekuler di benak-benak perempuan muslim sebagai strategi utamanya (seperti ide kebebasan, HAM, dll). Targetnya adalah, ’membebaskan’ mereka dari ’kungkungan’ peran-peran keibuan, atau setidaknya menghilangkan aspek strategis-politis peran keibuan, dengan cara menggambarkan peran tersebut sebagai peran tidak penting, menjijikkan dan merupakan simbol ketertindasan yang layak disingkirkan. Dalam konteks keluarga, target mereka adalah merobohkan pola interaksi islami yang ada di dalamnya, sehingga keluarga tidak bisa lagi berfungsi sebagai pemelihara ikatan aqidah umat sekaligus camp ideal bagi berlangsungnya pendidikan generasi, sehingga akhirnya harapan bangkitnya kembali peradaban Islam yang gemilang di masa depan bisa dihapuskan.
Adapun cara yang mereka tempuh adalah dengan memanfaatkan banyaknya kenyataan buruk yang menimpa perempuan (muslim) hari ini, seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya sebagai alat untuk masuk ke jantung perhatian umat. Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, mereka juap aket 'kemajuan perempuan Barat' dengan ide KKGnya yang rusak dan asumtif itu untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim, sekaligus pada saat yang sama melakukan berbagai ’uji kritis’ terhadap aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan, seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, nafkah dan sebagainya. Tak lupa pula mereka tawarkan paket-paket tambahan berupa 'program bantuan', berikut kucuran dana yang sangat besar untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia ketiga itu (baca : dunia Islam) dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia semacam PBB sebagai event organizernya, serta forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka. Selanjutnya, atasnama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan, dan program-program ’bermadu’ lainnya, mereka suntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jatidirinya sebagai muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi. Sehingga kemudian, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Baratpun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan.
’Prestasi’ ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari peran ’agen misi’ dari kalangan gerakan-gerakan perempuan (feminis) muslim yang berjejaring dengan berbagai LSM komprador lain, yang sengaja disponsori foundation kapitalis untuk 'berjuang' pada tataran praktis dengan mindframe dan jobdes yang mereka inginkan. Yakni mindframe dan jobdes feministik dan liberalis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam! Itulah kenapa, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis muslim dan kaum liberalis yang tergabung dalam LSM-LSM tadi –-baik secara lembaga, maupun melalui individu-individu yang mereka blow-up ketokohannya-- sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atasnama pembebasan perempuan, yang hakekatnya menyerukan pembebasan dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam. Disamping itu, merekapun intens melakukan mainstreaming (pengarus utamaan) opini feministik dan liberalis ini di semua lini hingga ke level bawah --termasuk melalui kurikulum pendidikan maupun melalui berbagai kebijakan publik seperti Undang-Undang berperspektif gender dan anti syari’at-- untuk kian menguatkan opini bahwa ide KKG adalah solusi, sementara Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan atau dipeti-eskan. Dalam konteks Indonesia, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting KHI yang sempat memicu kontroversi, disahkannya UU No. 23/2004 tentang KDRT, disahkannya UU Kewarganegaraan dan Perlindungan Anak yang memuat materi kontradiktif dengan syari’at, serta Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional --termasuk rencana pengesahan UU Kesehatan Reproduksi dalam waktu dekat yang salah satu itemnya memuat isu legalisasi aborsi dan UU gender lainnya-- merupakan bukti 'keberhasilan' upaya mereka meraih target ini.
Hanya saja, jika dicermati serangan imperialis kapitalis ini sebenarnya tidak hanya memiliki satu target. Selain target politis-ideologis berupa pencegahan tampilnya kekuatan Islam ideologi, serangan AS ini juga memiliki target ekonomi sebagaimana watak aslinya sebagai negara pengemban kapitalisme. Dalam hal ini kaum perempuan muslim sengaja dimanfaatkan sebagai objek eksploitasi kapitalisme global, dimana dengan peracunan pemikiran tadi plus melalui serangan budaya yang dilancarkan secara intens lewat majalah-majalah, koran-koran, televisi, internet, film-film hingga penyelenggaraan event ratu-ratuan, yang senyatanya memang mereka (para kapitalis) monopoli, kaum muslimah digiring untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme. Dengan cara ini pula, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Yang padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan dan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketing produk-produk mereka dimana perempuan-perempuan muslimah menjadi sasarannya.
Tentu saja, demi meraih target-target strategis ini kaum imperialis rela melakukan apapun, termasuk mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Republika (17/10/2003) misalnya, pernah melansir berita bagaimana upaya AS memsekulerkan Arab, yang berarti jaminan negeri-negeri itu tetap berada di bawah pengaruhnya. Dalam hal ini, Departemen Luar Negeri AS sangat memahami betul peran sentral media massa, baik cetak maupun elektronik untuk kegiatan propaganda. Untuk itulah misalnya, Kongres AS menyetujui kucuran dana sebesar 62 juta dolar AS untuk membangun jaringan televisi Timur Tengah, setelah sebelumnya mendanai penerbitan majalah Hi dengan anggaran 6,2 juta dolar. Adapun targetnya adalah untuk memperkenalkan kebudayaan global 'baru' yang jauh dari budaya 'kekerasan' melalui penayangan berita-berita mengenai perkembangan fashion, tren musik, film, budaya, kehidupan selebritis Amrik, dan lain-lain. Sedangkan yang menjadi target politisnya adalah menampilkan citra 'lebih lembut' bangsa Amerika di mata bangsa Arab, sehingga lambat laun bisa meredam rasa kebencian orang-orang Arab terhadap Amerika yang selama ini terbangun, terutama setelah operasi-operasi militer AS di Timur Tengah. Ironisnya, rencana AS ini segera diamini oleh para penguasa dan pengusaha/kapitalis di negeri-negeri Arab itu. Bahkan sebagai gambaran betapa antusiasnya sambutan mereka, seorang Kapitalis asal Mesir menyatakan siap mendanai pembuatan film Baywatch versi Mesir yang dibintangi artis lokal setipe David Hasselhoff dan Pamela Anderson!!!
Maha Benar Allah SWT yang telah berfirman : ”Sesungguhnya orang-orang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka jahannamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan” (TQS. Al-Anfal [8]:36)
Pentingnya Meningkatkan Kewaspadaan
Kondisi yang telah dipaparkan di atas tentu saja membuat kita miris. Karena tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib umat ini nanti, jika saat ini kaum muslimah merasa jijik dengan ajaran agamanya dan justru bangga menjadi pengusung ide-ide kufur yang bertentangan dengan Islam? Bagaimana pula wajah generasi umat ini ke depan, jika hari ini para muslimah merasa alergi dengan peran keibuan dan aturan-aturan Islam yang memuliakan? Hari ini saja, berbagai kerusakan akibat merebaknya pemikiran-pemikiran kufur tadi sudah sedemikian mengerikan. Pergaulan bebas nyaris menjadi budaya, praktek aborsi, MBA, perceraian dan single parentpun menjadi hal biasa. Disamping itu, tingkat kriminalitas, termasuk pelecehan dan kekerasan seksual meningkat sedemikian rupa, hingga seolah tak ada satupun tempat yang aman bagi siapapun. Sementara anak-anak dan generasi muda kita kian akrab dengan tawuran dan narkoba akibat hilangnya pengasuhan dan kasih sayang para ibu. Semua fakta ini jelas menambah rumit persoalan yang kini senyatanya sedang dialami umat Islam secara keseluruhan akibat penerapan sistem hidup kapitalisme yang dipaksakan. Sehingga jika hal ini dibiarkan, tentu kehancuran keluarga, masyarakat dan peradaban Islam sebagaimana yang diinginkan kafir imperialis benar-benar akan menjadi kenyataan.
Karena itulah sudah saatnya kita meningkatkan kewaspadaan, bahwa umat ini, termasuk kaum perempuan sesungguhnya tengah menjadi korban konspirasi asing (AS) yang memusuhi Islam. Sudah saatnya pula kita bergerak membangunkan umat dari keterlenaan. Karena ketakjuban mereka akan peradaban barat selama ini senyatanya telah membawa mereka ke jurang kehancuran.
Yang menggembirakan, kesadaran akan adanya konspirasi destruktif dan imperialisme gaya baru AS ini sebenarnya bukan tidak ada sama sekali di tengah-tengah umat. Bahkan saat ini, kesadaran akan pentingnya perubahan mulai menggeliat sejalan dengan kian nampaknya berbagai kebobrokan ideologi dan sistem hidup yang mereka terapkan.
Arus kesadaran identitas yang dipelopori gerakan-gerakan Islam ideologis --pelan tapi pasti-- juga mulai menyelusup sedemikian rupa, mengetuk akal-akal dan nurani sebagian kaum muslim, melewati batas-batas politik dan sekat-sekat imajiner bernama negara, serta pada akhirnya membentuk koneksi 'semangat dan kesadaran yang sama' untuk melakukan perubahan secara mendasar dan menyeluruh dengan ideologi Islam.
Hanya saja, saat ini kesadaran dan ghirah akan perubahan fundamental seperti ini masih menjadi milik sebagian kecil umat Islam saja, yang sebagian kecil di antaranya adalah kaum perempuan. Tentu saja hal ini belum sebanding dengan jumlah kaum muslimin yang sedemikian besar dan belum sebanding pula dengan begitu beratnya persoalan yang harus diselesaikan, termasuk dengan arus opini yang 'dibentuk' oleh Barat tentang Islam dan umat Islam yang frekuensinya sudah per detik!. Umat dalam hal ini, masih begitu asyik dengan euphoria 'kebebasan' dan demokratisasi yang ditawarkan Barat. Sebagian lagi asyik berkutat dengan persoalan-persoalan cabang dan perseteruan murahan. Sementara itu, kaum perempuan asyik pula dengan dunianya sendiri, persoalannya sendiri. Seolah-olah ada jarak yang lebar antara perempuan, kesadaran politik --apalagi politik global--, dan kontribusi atas perubahan, betapapun fakta-fakta rusaknya masyarakat sudah ada di depan mata atau bahkan menimpa mereka.
Oleh karena itu, setidaknya ada dua pekerjaan yang harus kita selesaikan dalam waktu yang bersamaan. Yakni (1) mengcounter serangan-serangan konspiratif dan makar dari luar semisal konspirasi di balik isu KKG, berikut membongkar 'wajah busuk' para penguasa muslim dan agen komprador yang menjadi penjaga kepentingan kaum imperialis di negeri mereka sendiri, sekaligus (2) mempercepat tumbuhnya kesadaran ideologis berdasarkan aqidah Islam di kalangan umat, termasuk di kalangan perempuan, sehingga mereka memiliki kemampuan untuk membaca bahwa kondisi buruk yang mereka hadapi saat ini sebenarnya bukan merupakan kondisi alamiah mereka sebagai khoyru ummah; bahwa akar permasalahan semua problematika yang mereka hadapi –termasuk persoalan-persoalan yang diklaim sebagai persoalan perempuan—bukan berasal dari Islam tapi ada pada tatanan hidup kapitalis-sekuler yang rusak yang dipaksakan penerapannya atas mereka oleh para penguasa antek imperialis; bahwa solusi tuntas atas seluruh problematika kehidupan mereka saat ini hanyalah dengan kembali kepada Islam, yakni dengan menerapkan syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan dalam wadah Khilafah Islam, yang dengan itu Islam sebagai rahmatan li al-’âlamîn dapat terwujud; bahwa memproses perubahan yang revolusioner (menyeluruh dan mendasar) ke arah terwujudnya masyarakat dan khilafah Islam tersebut bukan cuma penting tapi juga wajib; serta bahwa mereka punya tanggungjawab yang sama untuk berproses dalam gerakan perubahan (perjuangan) menegakkan syari’at Islam ini. Artinya, umat --termasuk kaum perempuan-- harus disadarkan dengan kesadaran yang tumbuh dari aqidah Islam (motivasi ruhiyah) untuk siap dan bersegera memposisikan diri sebagai agen perubahan, dan bukan bersikap rela terposisi sebagai obyek perubahan seperti yang selama ini terjadi.
Untuk itu, di kalangan umat secara keseluruhan harus dibangun kesadaran politik dengan kesadaran politik yang benar dan menyeluruh pula. Kesadaran politik yang benar berarti kesadaran politik yang dilandasi pemahaman terhadap aqidah dan syari’at Islam, bahwa Islam adalah din yang benar dan sempurna dan bahwa keimanannya terhadap Islam membawa konsekuensi keharusan menyelesaikan seluruh persoalan hidupnya hanya dengan aturan-aturan Islam saja (baik secara pribadi, kelompok, keluarga, masyarakat, maupun negara; baik yang menyangkut urusan dalam maupun luar negeri). Karena hakekat politik Islam adalah bagaimana mengatur seluruh urusan umat baik di dalam maupun di luar negeri hanya dengan Islam saja. Adapun kesadaran politik yang menyeluruh artinya kesadaran politik yang berdasarkan pada cara pandang yang universal/mendunia, yakni kesadaran bahwa dirinya adalah bagian dari umat yang satu tak terpilah, yakni umat Islam, dan menjadi bagian dari umat manusia secara keseluruhan.
Disinilah umat --termasuk kalangan perempuan-- tidak hanya diharuskan untuk mengetahui dan menguasai persoalan-persoalan yang menyangkut diri (personal) dan masyarakat di negerinya saja (politik regional), tetapi juga harus mengetahui dan memahami keterkaitan persoalan-persoalan yang melingkupi dirinya --baik secara personal maupun regional-- dengan persoalan-persoalan yang terjadi pada skala dunia, di samping memahami bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap permasalahan tersebut. Karena, sebagaimana fakta-fakta yang telah diurai sebelumnya, termasuk mengenai isu perempuan dan KKG, justru nampak bahwa seluruh persoalan yang menimpa umat hari ini sesungguhnya merupakan ekses dari tipu daya dan konspirasi internasional yang berlangsung sejak lama dan global dalam upaya menghambat kebangkitan kembali umat.
Dengan demikian, kesemuanya itu juga membuktikan tentang urgensitas pembinaan dan peningkatan wawasan dan kesadaran politik internasional pada tiap diri individu umat, termasuk di kalangan perempuan, sekaligus mengarahkannya pada target/kepentingan membangun sebuah kekuatan politis umat dalam bentuk institusi politik ril yang bersifat internasional pula. Yakni kekuatan adidaya baru, yang tegak di atas landasan yang benar dan akan membangun kehidupan dengan tatanan yang benar pula, disamping akan menjadi kekuatan yang mampu menandingi kekuatan kafir imperialis sekaligus melawan konspirasi mereka. Karena jika tidak, sampai kapanpun umat akan berkutat pada persoalan-persoalan yang sama, menjadi bulan-bulanan negara-negara kafir barat, serta menjadi budak jajahan mereka, yang satu saat akan dihancurkan dan tidak akan pernah kembali bangkit menjadi khoyru ummah sebagaimana seharusnya.
Yakin, Islam Memuliakan Perempuan!
Terkait konteks perempuan, proses penyadaran juga harus mengarah pada upaya mengembalikan kepercayaan diri mereka bahwa Islam adalah satu-satunya solusi kehidupan, termasuk solusi masalah keterpurukan perempuan. Mengambil dan memperjuangkan pemikiran-pemikiran kufur, termasuk ide kebebasan perempuan dan KKG, sama sekali bukan solusi. Bahkan sama halnya dengan menggiring masyarakat pada keambrukan sosial sebagaimana yang telah dialami negara-negara pengusungnya.
Seperti banyak diberitakan, negara-negara liberal yang demikian gigih memperjuangkan kebebasan, termasuk kebebasan perempuan kini tengah mengalami permasalahan besar. Selain melahirkan karakter perempuan-perempuan yang individualis, liberalis dan materialistis, ide ini juga telah menyebabkan kebijakan tentang keluarga di AS dan Eropa luar biasa kacau. Di Swedia misalnya, kebijakan agar setiap wanita, termasuk para ibu yang memiliki anak kecil memiliki pekerjaan, justru menjadikan lebih dari 50% perkawinan berakhir dengan perceraian. Bahkan data juga menunjukkan bahwa 50% bayi-bayi di sana lahir dari ibu yang tidak menikah. Di AS, keberadaan UU Perceraian yang membolehkan setiap pasangan menceraikan isterinya atau suaminya tanpa melihat siapa yang salah dan negara tidak boleh ikut campur (dikenal dengan slogan No fault diforce) ditengarai menjadi penyebab meningkatnya angka perceraian dan menjadi bumerang bagi para wanita karena hukum perceraian ini menghapuskan kewajiban suami memberi tunjangan pada istri yang diceraikannya. Adanya konsep ERA (Equal Rights Amandement) yang menolak pemberlakukan UU yang memberi proteksi kepada wanita karena dianggap merendahkan mereka (seperti aturan cuti hamil, jam kerja malam, dan lai-lain) pun pada akhirnya membuat para wanita di AS menderita. Di negara-negara Skandinavia, program welfare state (diantaranya day care centre) telah berhasil mendongkrak partisipasi wanita di sektor kerja. Akan tetapi pada saat yang sama, keberhasilan ini diikuti dengan runtuhnya institusi keluarga. Perceraian meningkat 100% (tahun 1960-1980), persentase anak yang dilahirkan di luar pernikahan meningkat, kenakalan remaja meningkat, kriminalitas meningkat 400% (1950-1970), anak bermasalah alkoholik, obat bius dan tindak kekerasan meningkat 400% (tahun 1970-1980). Jika demikian faktanya, masih layakkah kita mengusung ide yang sama untuk menjatuhkan diri pada lubang yang sama?
Maha Suci Allah yang telah memberi aturan Islam yang bersifat tetap dan sempurna. Yakni aturan yang telah memuliakan kaum perempuan setelah sebelumnya mereka dihinakan dan direndahkan. Islam datang pada saat budaya masyarakat mensubordinasi perempuan. Dimana pada saat itu perempuan tak lebih dari benda yang bisa dimiliki dan diwariskan, bahkan hanya dianggap sebagai pemuas nafsu laki-laki yang tak boleh berkeinginan. Yang lebih mengerikan, pada saat itu perempuan menjadi simbol kehinaan, sehingga kehadiran anak perempuan dianggap sebagai aib luar biasa besar, dan membunuhnya menjadi budaya yang diwajarkan.
Jelas, sebuah revolusi besar ketika Islam justru datang dengan mengungkapkan bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama-sama manusia dengan segala potensi hidup dan akalnya. Sebagai manusia, perempuan juga mengemban tugas hidup yang sama sebagaimana laki-laki, yakni beribadah melakukan penghambaan kepada Allah Dzat Pencipta sekaligus mengemban misi kekhalifahan di muka bumi berdasarkan aturan hidup yang telah ditentukan. Islam juga menetapkan bahwa standar kemuliaan seseorang tidak ada kaitannya dengan jenis kelamin, kedudukan dan materi, melainkan terkait dengan kadar ketaqwaan seseorang di hadapan Allah. Dan dalam kerangka pemuliaan ini, Islam menetapkan berbagai aturan yang adil dan harmonis yang akan menjamin kemuliaan hidup keduanya, baik di dunia maupun di akhirat.
Memang benar, bahwa adakalanya Allah memberi aturan yang sama di antara laki-laki dan perempuan. Dan adakalanya pula Allah memberi aturan yang berbeda. Sama, manakala sebagai hamba Allah keduanya dipandang dari sisi insaniyahnya yang memiliki potensi dan akal yang sama. Misalnya sama-sama wajib menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, menegakkan shalat, membayar zakat, bershaum, berhaji, mengemban dakwah, dan lain-lain. Berbeda, manakala keduanya dipandang dari sisi tabiat keduanya yang memang berbeda sebagai laki-laki dan perempuan, baik berkaitan dengan fungsi, kedudukan maupun posisi masing-masing dalam masyarakat. Misalnya Allah telah membebankan kewajiban mencari nafkah dan melindungi keluarga kepada laki-laki karena hal itu berkaitan dengan fungsinya sebagai kepala rumahtangga, dan kewajiban ini tidak dibebankan kepada perempuan, walaupun Islam tidak mengharamkan perempuan bekerja. Sebaliknya, Allah telah menjadikan tugas pokok perempuan sebagai ibu dan pengelola rumahtangga sesuai dengan tabiat keperempuanannya; dimana perempuan telah dikaruniai kemampuan memikul tanggungjawab sebagai ibu, seperti hamil, melahirkan, menyusui dan mengasuh anak. Kemampuan ini tidak terdapat pada laki-laki.
Namun demikian, yang penting dipahami bahwa Islam tidak memandang perbedaan ini menjadikan yang satu lebih tinggi derajatnya dari pada yang lain. Dan tidak bisa juga dijadikan dalih untuk menuding bahwa syari’at Islam diskriminatif terhadap perempuan. Karena semua aturan ini ditetapkan oleh Allah sesuai dengan fitrahnya masing-masing semata-mata demi kemaslahatan dan kelanggengan hidup manusia, bukan laki-laki saja atau perempuan saja. Justru inilah kesetaraan hakiki yang ditawarkan Islam, dimana keduanya dipandang memiliki tanggungjawab dan peran yang seimbang. Terlebih seperti sudah dijelaskan, kemuliaan seseorang dalam pandangan Islam tidak dilihat dari jenis kelamin ataupun kedudukan seseorang, melainkan diukur oleh derajat ketaqwaannya, sebagaimana Firman Allah SWT : ”Sesungguhnya orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian” (TQS. Al-Hujurat[49] : 13).
Mendudukan Kembali Posisi Perempuan Dalam Islam
Dengan demikian, jelaslah bahwa Islam memandang tidak ada yang lebih tinggi antara laki-laki dan perempuan di hadapan Allah SWT. Keberadaan keduanya di dunia ini justru dipandang sebagai makhluk Allah yang harus saling melengkapi dan bekerjasama (ta’awun) dalam menjalani kehidupan dengan pembagian peran yang jelas, seimbang dan tetap mengacu pada aturan yang telah Allah berikan. Dengan begitulah manusia dapat meraih tujuan-tujuan luhur masyarakat --yang senyatanya terdiri dari laki-laki dan perempuan-- demi kemaslahatan bersama, dan pada akhirnya mereka bisa meraih kebahagiaan yang hakiki di dunia dan akhirat. Oleh karena itu Allah SWT berfirman: ”Janganlah kalian iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain (karena) bagi laki-laki ada bagian yang mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (TQS. A-Nisa’[4] : 32).
Adapun tentang peran (fungsi dan kedudukan) perempuan, Islam telah menetapkan bahwa disamping sebagai hamba Allah yang mengemban kewajiban-kewajiban individual sebagaimana halnya laki-laki, seorang perempuan secara khusus telah dibebani tanggungjawab kepemimpinan sebagai ibu dan pengatur rumahtangga (ummun wa rabbat al-bayt). Perempuan sebagai ibu berarti dia wajib merawat, mengasuh, mendidik dan memelihara anak-anaknya agar kelak menjadi orang yang mulia di hadapan Allah. Sebagai pengatur rumahtangga, berarti dia berperan membina, mengatur dan menyelesaikan urusan rumahtangganya agar memberikan ketentraman dan kenyamanan bagi anggota-anggota keluarga yang lain, sekaligus menjadi mitra utama laki-laki sebagai pemimpin rumahtangganya berdasarkan hubungan persahabatan dan kasih sayang, bukan hubungan buruh dan majikan sebagaimana sabda Rasul SAW ”Wanita adalah saudara kandung laki-laki” (HR. Abu Dawud dan an-Nasa-i).
Dengan peran-peran khususnya ini, sesungguhnya perempuan dipandang telah memberikan sumbangan besar kepada umat dan masyarakatnya. Bahkan kegemilangan peradaban sebuah masyarakat --sebagaimana yang pernah dicapai belasan abad oleh umat Islam terdahulu-- tidak bisa dipisahkan dari keberhasilan peran para ibu. Sebab dengan begitu, berarti mereka telah berhasil mendidik dan memelihara generasi umat sehingga tumbuh menjadi individu-individu yang mumpuni, yakni generasi yang shalih dan mushlih, generasi mujtahid dan mujahid yang telah berhasil membangun masyarakat dan peradaban Islam hingga mengalami kegemilangan-kegemilangan tadi. Oleh karena itu, jelas bahwa menjadi ibu sesungguhnya merupakan peran yang sangat mulia dan memiliki nilai politis yang tinggi (strategis), karena dari para ibu inilah akan lahir pemimpin-pemimpin umat yang cerdas dan berkualitas. Tentu dengan catatan para ibu inipun harus menjadi ibu yang cerdas dan berkualitas, bukan sekedar ibu yang hanya siap melahirkan anak tetapi tidak siap mencetak generasi cerdas berkualitas. Hal inilah yang tidak dipahami para pengemban ide feminisme, dimana mereka menganggap posisi ibu adalah posisi yang rendah, tidak produktif dan tersubordinasi. Hal ini karena mereka mengukur kemuliaan dan produktivitas seseorang hanya dengan standar materi, yakni dari seberapa besar materi yang dihasilkan. Padahal, tentu saja nilai keberhasilan seorang ibu mencetak generasi yang cerdas berkualitas tidak akan pernah bisa ditandingi dengan materi sebanyak apapun!
Justru dalam rangka menjamin keberhasilan pelaksanaan peran mulia dan strategis inilah, Islam juga telah menetapkan seperangkat aturan khusus bagi perempuan, antara lain mencakup hukum-hukum tentang haid, kehamilan, melahirkan (wilâdah), penyusuan (radhâ’ah), pengasuhan (hadhânah) dan pendidikan pertama bagi anak. Bahkan hukum-hukum yang menyangkut individu laki-laki dan perempuan secara umum, hukum-hukum yang menyangkut kewajiban khusus laki-laki, maupun hukum-hukum kemasyarakatan secara keseluruhanpun (poleksosbudhankam) sebenarnya terkait dengan jaminan atas keberlangsungan terlaksananya fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Sebagai contoh seorang yang sedang hamil dan menyusui, mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan dan menggantinya di waktu yang lain. Seorang suami wajib menjamin kebutuhan istri dan mempergaulinya dengan baik. Demikian juga dengan negara, berkewajiban menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok masyarakat tanpa kecuali. Sampai-sampai dalam penegakkan uqubatpun, ibu-ibu hamil dan menyusui mendapatkan perlakuan khusus dari negara sesuai tuntunan syari’at. Ini semua menunjukkan, betapa Islam mendudukan fungsi dan peran perempuan sebagai ibu dan pengatur rumahtangga demikian penting dan mulia.
Tentu saja, sekalipun Islam menetapkan bahwa tugas utama perempuan adalah menjadi ibu dan pengatur rumahtangga, bukan berarti kaum perempuan tidak punya kewajiban lain menyangkut masyarakatnya. Justru Islam memandang, bahwa selain sebagai seorang hamba Allah, ibu dan pengatur rumahtangga, perempuan juga adalah bagian dari masyarakat sebagaimana halnya laki-laki. Keberadaan keduanya di tengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, dimana keduanya bertanggungjawab menghantarkan kaum muslim untuk menjadi umat terbaik di dunia. Dan ini, hakekatnya merupakan salah satu aktivitas politik yang harus dilaksanakan baik oleh laki-laki dan perempuan secara bersama-sama dan berkesinambungan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini terdapat kesalahanpahaman terhadap aktivitas politik perempuan. Sebagian memandang bahwa keterlibatan perempuan dalam dunia politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan politik bukan milik dan bagian perempuan. Ini karena politik dalam kacamata mereka identik dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipu muslihat yang hanya pantas menjadi milik laki-laki saja atau bahkan dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam. Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat muslimah tidak mau berpolitik. Alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkannya pun mereka tidak mau. Akhirnya kaum perempuan hanya mencukupkan diri memikirkan dan beraktivitas dalam urusan dirinya, anaknya, dan keluarganya, sementara pada saat yang sama, mereka tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.
Tetapi sebaliknya, di sisi lain sebagian berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa terkecuali, termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatasi pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Sehingga aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa jika kekuasaan ataupun penentu kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan, maka suara perempuan tidak akan di dengar dan diperjuangkan sehingga wajar bila akhirnya jalan yang ditempuh adalah harus menguasai suara di legislatif ataupun langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan.
Adanya pendapat yang berbeda ini sebenarnya berpangkal dari pemahaman yang salah terhadap makna politik yang disandarkan kepada realitasnya dalam kehidupan, disamping merupakan akibat pemahaman yang salah terhadap aturan-aturan Islam. Mengenai definisi politik misalnya, banyak kalangan yang mengungkapkan pemahaman mereka tentang politik dengan pemaknaan yang sempit dan terbatas, yakni hanya terkait dengan masalah kekuasaan dan legislasi saja. Padahal makna politik atau As-Siyâsah yang benar adalah, pengaturan urusan umat, dimana negara adalah institusi yang mengatur urusan tersebut secara praktis, sedangkan umat mengoreksi (muhasabah) terhadap pemerintah dalam melakukan tugasnya . Dengan demikian, ketika kaum muslimin berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan permasalahan umat, maka pada dasarnya dia sudah melakukan aktivitas politik.
Berdasarkan pengertian ini, maka jelas, bahwa terjun ke dalam aktivitas politik bukan hanya kewajiban laki-laki saja, melainkan juga merupakan kewajiban kaum perempuan sebagai bagian dari umat. Hal inipun secara tegas diungkap dalam beberapa nash yang bersifat umum, diantaranya QS. Ali Imran 104: “Dan hendaknya ada di antara kalian segolongan ummat yang menyeru kepada al-khoir (Islam) dan memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang menang”. Kemudian di dalam hadits yang diriwayatkan dari Hudzaifah ra Rasulullah saw bersabda : “Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka. Dan barangsiapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah golongan mereka” (HR. Ath-Thabari)
Hanya saja untuk merealisasikan kewajibannya berkiprah dalam aktivitas politik, maka ada beberapa aturan yang harus diperhatikan oleh seorang muslimah, diantaranya Pertama, harus disadari bahwa terjunnya mereka ke kancah politik hanyalah semata-mata untuk melaksanakan perintah dari Allah SWT. Kedua, bahwa Allah telah menetapkan bentuk-bentuk aktivitas politik yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan oleh seorang muslimah, yaitu (1) Yang dibolehkan : (a) Hak dan Kewajiban Baiat berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ummu Athiyyah ra bahwa “Kami telah membaiat Nabi. Beliau kemudian memerintahkan kepada kami untuk tidak menyekutukan Allah dengan sesuatupun dan melarang kami untuk melakukan niyahah …”(HR. Bukhari). (b) Hak memilih dan dipilih menjadi anggota majelis ummah, yaitu suatu badan di dalam negara Islam yang terdiri dari wakil-wakil rakyat yang bertugas memberi nasihat dan pendapat ummat kepada negara. Hal ini didasarkan pada apa yang terjadi pada pasca peristiwa baiat Aqabah II, dimana Rasulullah meminta 12 orang dari ke-75 orang pelaku baiat yang 2 orang di antaranya adalah wanita untuk menjadi penjamin atas berbagai tanggungan mereka. (c) Kewajiban berdakwah dan amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana tertera pada QS. 3:104 dan QS. 9:71. (d) Kewajiban menasehati dan mengoreksi penguasa, berdasarkan hadits : “Sesungguhnya agama itu nasehat, bagi Allah, Rasul dan kaum mu’minin ….” (2) Yang diharamkan yakni duduk dalam posisi pemerintahan (pengambil keputusan) berdasarkan hadits dari Abi Bakrah ra : “Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka (dalam kekuasaan) kepada para wanita” (HR. Bukhari-Muslim). Ketiga, Ketika dalam pelaksanaannya terjadi benturan antara kewajiban melakukan aktivitas politik dengan kewajiban yang lainnya, maka Islam telah memberikan aturan berupa fiqih prioritas (al-Aulaawiyaat) yang harus dipahami oleh mereka.
Sebagai catatan, adanya pengaturan tertentu dalam aktivitas politik perempuan di atas tidak bisa dipandang sebagai adanya perlakuan diskriminatif syari’at Islam sebagaimana yang digembar-gemborkan feminisme. Karena dalam Islam, posisi apapun menjadi tidak penting sepanjang keduanya berjalan sesuai tuntunan syari’at. Dengan kata lain, Islam tidak memandang bahwa posisi penguasa (penentu kebijakan) lebih tinggi atau lebih mulia dibandingkan posisi sebagai rakyat, karena keduanya memiliki tanggungjawab yang sama dalam memajukan Islam dan umat Islam serta memiliki tanggungjawab yang sama dalam menyelesaikan seluruh problematika umat berdasarkan syari’at Islam tanpa membedakan apakah problema itu menimpa laki-laki atau perempuan. Justru melalui penerapan syari’at Islam secara utuh dan konsisten oleh penguasa dan penjagaan/pengawasan yang ketat dari umat inilah yang akan menghantarkan pada tercapainya kemaslahatan hidup yang rahmatan lil ’alamin sebagaimana yang Allah janjikan. Tidak hanya perempuan yang termuliakan, bahkan umat secara keseluruhan akan memperoleh kebahagiaan dan kebangkitan yang hakiki sebagaimana yang pernah dialami semenjak masa Rasulullah SAW hingga Khilafah diruntuhkan.
Dalam konteks mengembalikan aturan-aturan Islam dalam kehidupan inilah sebenarnya isu kebangkitan perempuan dan arah pemberdayaan perempuan (muslimah) menjadi relevan untuk dibahas, yakni bagaimana kaum perempuan mengoptimalkan seluruh peran-perannya (baik peran domestik maupun publiknya) sesuai dengan Islam dan demi kepentingan perjuangan menegakkan Islam. Dengan demikian, arah pemberdayaan perempuan dalam Islam akan menjadi bagian dari arah pemberdayaan umat secara keseluruhan, karena dalam Islam perjuangan mewujudkan masyarakan Islam adalah tugas laki-laki dan perempuan sebagai bagian dari komponen umat. Jadi tidak layak jika mereka malah berbondong-bondong mengadopsi pemikiran feminisme yang batil. Apalagi jika ditinjau lebih jauh, pemikiran dan dampak dari perspektif feminisme ini sangat berbahaya dilihat dari sudut pandang Islam; Pertama, Ide ini lahir dalam konteks sosio-historis khas di Barat, yang dilatarbelakangi pertarungan ide teologi-feodalistik (kristen) dengan sekularisme. Sehingga, upaya mentransformasikan ide-ide ini ke tengah-tengah umat Islam, berarti juga mentransformasikan sekularisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Kedua, Keberadaan gerakan-gerakan ini telah mengkondisikan kaum muslimin untuk meridhai ide yang ditawarkan, sekaligus menjadi pengembannya sekalipun itu berarti mereka harus mengikis keyakinan akan kesempurnaan aturan Islam atau melakukan sinkretisme dengan dalih kemanfaatan yang dia lihat berdasarkan akalnya. Ketiga, Ide ini telah memunculkan keguncangan struktur keluarga dan masyarakat, akibat kian tidak jelasnya patron pembagian fungsi dan peran laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat. Feminismelah yang dianggap bertanggungjawab terhadap maraknya kasus perceraian, fenomena wanita karir, fenomena unwed, dekadensi moral seperti free sex, aborsi, pelecehan seksual, anak-anak bermasalah dan lain-lain, yang jika dilihat dari konteks kepentingan umat dan masa depan mereka, tentu hal ini sangat berbahaya. Keempat, keberadaan ide ini menjadi bagian dari perang pemikiran (ghazwu al-fikr) yang secara sistematis dan terencana dilancarkan kaum kafir agar kaum muslimin kian terjauhkan dari gambaran keagungan dan keunikan masyarakat Islam dengan aturan hubungan sosialnya yang manusiawi, sekaligus memadamkan cita-cita mereka untuk hidup dalam masyarakat Islam, yang tidak hanya memuliakan kaum perempuan, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Hal ini nampak dari target isu-isu global tentang perempuan yang awalnya hanya mengarah pada perubahan orientasi individu, seperti disorientasi terhadap peran ibu dan lembaga perkawinan, kini sudah mengarah pada target penghancuran keluarga muslim sebagai satu-satunya benteng terakhir yang memberi harapan lahirnya generasi umat di masa depan.
Belajar Dari Para Shahabiyat
Sejarah telah mencatat bagaimana para wanita di masa Rasulullah (para shahabiyat dan ummul mu’minin ra) melakukan aktivitas dan perjuangan politik bersama-sama Rasulullah saw dan para shahabat lainnya tanpa memisahkan barisan mereka dari barisan Rasul dan shahabatnya sekaligus tanpa melupakan peran strategis mereka sebagai pencetak generasi berkualitas prima yang siap berjuang membela Islam. Kehidupan mereka cukup memberi gambaran yang jelas bagaimana seharusnya seorang Muslimah berpikir dan bersikap, dimana keyakinan yang kokoh terhadap kebenaran Islam, telah menjadikan mereka siap menerima apapun ketentuan yang telah Allah bebankan kepada mereka, tanpa memperhitungkan lagi nilai-nilai manfaat dan kebenaran relatif yang muncul dari akal dan hawa nafsunya. Ketika Allah menetapkan peran dan fungsi tertentu atas mereka, mereka tak lantas berpikir bahwa Allah dan RasulNya telah bersikap dzalim atas mereka. Sehingga kalaupun pada satu saat muncul pertanyaan mengenai pembedaan peran dan fungsi perempuan atas laki-laki sebagaimana pertanyaan yang diajukan oleh Asma kepada Rasulullah saw, maka itu semata-mata didorong oleh kerakusan mereka akan pahala dan kedudukan yang tinggi di hadapan Allah SWT. Karena mereka demikian yakin, bahwa kemuliaan tertinggi adalah kemuliaan di hadapan Allah SWT.
Salah satu teladan penting yang dapat kita ambil dari mereka adalah, kemampuan mereka mensinergiskan keseluruhan peran dan fungsi yang telah Allah bebankan atas mereka, baik dia sebagai seorang hamba Allah, sebagai istri dan ibu, maupun sebagai anggota masyarakat. Seluruh kewajiban yang terkait dengan peran-peran dan fungsi itu mampu mereka tunaikan tanpa mengabaikan yang satu dari yang lainnya. Kesibukan dan beratnya beban mereka dalam mengurus kehidupan rumahtangganya tidak lantas membuat mereka abai terhadap tugas dan kewajibannya sebagai hamba Allah, dan terlebih-lebih lagi sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki tanggungjawab besar untuk bersama-sama kaum Muslimin yang lain membangun kehidupan yang mulia. Demikian pula sebaliknya, kepeduliannya yang besar terhadap persoalan-persoalan masyarakat, yang terwujud dalam keterlibatannya dalam aktivitas politik, tidak lantas pula membuat mereka lalai terhadap kewajibannya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Semua, mereka lakukan dengan kesadaran penuh bahwa pelaksanaan atas seluruh peran-peran dan fungsi itu, adalah dalam rangka melaksanakan kewajiban yang telah Allah bebankan kepada mereka yang suatu saat akan mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Fakta inilah yang hari ini belum kita temukan pada sebagian besar kalangan Muslimah. Keta’juban mereka akan modernisme Barat dan tersibghahnya pemikiran mereka dengan pemikiran-pemikiran asing, (termasuk feminisme) telah membuat mereka lebih suka mengadopsi gaya hidup dan pola pikir yang jauh dari tuntunan Islam. Keimanan mereka terhadap aqidah Islam, ternyata belum cukup memberi dorongan agar mereka mau terikat dengan aturan-aturan Islam sebagai satu-satunya solusi kehidupan mereka, sebagaimana yang nampak pada setiap sosok shahabiyat yang mulia. Sehingga jangankan bercita-cita untuk berjuang demi Islam sebagai pelaksanaan kewajibannya atas masyarakat, terikat dengan hukum-hukum yang bersifat individualpun sangat sulit untuk diharapkan.
Kuatnya dominasi kehidupan kapitalis-sekularistik di seluruh aspeknya, dipastikan menjadi akar utama kian kokohnya kondisi ini. Karena dengan aqidah dan sistem kapitalistik-sekuler ini, kaum Muslim telah dituntun untuk senantiasa mensandarkan kebahagiaan dan kemuliaan hudupnya pada nilai-nilai manfaat yang muncul dari asas rasionalitas manusia. Sementara disisi lain, keberadaan Islam sebagai ideologi kian tertutupi oleh minimnya pengetahuan yang shahih tentang Islam. Kian lama, mereka kian kehilangan gambaran yang utuh dan holistik tentang bagaimana indahnya sosok kehidupan yang terbangun oleh Islam. Bahkan yang lebih menyedihkan, sebagian dari mereka merelakan dirinya menjadi antek dan corong asing. Yang tanpa pembayaran sedikitpun mereka mau menjadi pengukuh dan penjaga atas dominasi pemikiran asing di negeri-negeri kaum Muslimin. Sementara pada saat yang sama, mereka campakkan pemikiran dan hukum-hukum Islam dengan penuh rasa jijik dan malu, sehingga seakan-akan tak ada yang tersisa dari Islam selain nama dan sejarah masa lalu saja. Mereka bangga menjadi penyeru kekufuran, sekalipun dengan itu, mereka harus membayarnya dengan murka Allah yang tak tertandingkan.
Kondisi inilah yang seharusnya membuat kita sadar; bahwa sudah saatnya kita bergerak untuk membenahi kehidupan yang carut marut dan jauh dari berkah Illahiyah ini dengan segera mewujudkan sistem Islam. Caranya tidak lain dengan melakukan proses penyadaran, bahwa fakta rusaknya kehidupan yang senyatanya juga mereka rasakan ini adalah akibat dari jauhnya mereka dari sistem Islam; Sebuah sistem yang tegak di atas landasan yang shahih, yakni pengakuan atas keberadaan hak mutlak Allah sebagai Pencipta Yang Maha Tahu dan Maha Adil atas pengaturan kehidupan manusia di bumi miliknya ini. Sistem inilah yang sebelumnya telah membawa kaum Muslim kepada sebuah kebangkitan hakiki, yang secara dzahir muncul dalam bentuk peradaban yang agung selama berabad-abad. Justru tatkala kaum Muslim meninggalkan Islam, kehinaanlah yang kemudian mereka dapatkan. Sehingga, selama kaum Muslim terbuai oleh janji-janji manis sekularisme, dengan seluruh pemikiran yang tercabang darinya, sekecil apapun, maka hal tersebut menjadi jaminan pasti atas berlangsungnya keterpurukan dan kehinaan yang dialami umat ini sampai kapanpun.
Khotimah: Pentingnya Membangun Sinergi
Melakukan proses perubahan dengan membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian, termasuk masalah keterpurukan perempuan, tentu tidak mudah. Apalagi, jika perubahan yang dimaksud adalah perubahan masyarakat ke arah terwujudnya sistem Islam. Ini mengingat, saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler, sementara pemahaman umat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Sehingga tak heran jika pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat. Terlebih lagi, pihak asing tentu tak akan begitu saja membiarkan ‘gerakan’ perubahan ini berjalan mulus, sementara ‘kemenangan mereka hari ini’ merupakan hasil kerja keras dan perjuangan panjang mereka selama berabad-abad.
Karena itulah maka, sinergisme langkah setiap komponen masyarakat yang sudah tersadarkan, baik laki-laki maupun perempuan menjadi sebuah keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Disamping itu, harus dipastikan pula bahwa langkah-langkah yang ditempuh saat ini merupakan langkah-langkah yang secara pasti pula akan menghantarkan kepada tujuan yang diinginkan. Langkah dimaksud tidak lain adalah langkah da’wah yang pernah ditempuh oleh Rasulullah Saw sebagai teladan terbaik umat Islam. Dimana atas bimbingan wahyu, beliau bersama para shahabat dan shahabiyat ra. telah berhasil mengubah masyarakat jahiliyah menjadi masyarakat Islam yang agung yang mampu mengungguli umat-umat yang lainnya sekalipun awalnya, mereka dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Hanya dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan kekufuran, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam.
Pada akhirnya, masa depan kaum Muslim saat ini, memang terletak pada pundak kita bersama. Sehingga keterlibatan kita dalam ‘proyek besar ini’ menjadi bagian dari wujud tanggungjawab kita atas ‘nasib’ Islam dan kaum Muslim. Rasulullah Saw bersabda : “Siapa saja yang bangun di pagi hari sedangkan dia tidak peduli terhadap urusan (nasib) kaum muslimin, maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin)”(HR. al-Hakim dan al-Khatib). []
---------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar