INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 23 Februari 2011

Izinkan Aku Menyapa ....


Sahabat hati,
bersyukur Allah tanamkan iman.
Yang dengannya kita paham arti hidup,
tuk kita isi dengan kebaikan demi kebaikan.
Dengan iman pula kita mengerti pentingnya waktu,
hingga detik demi detik tak boleh ada yang terabaikan.

Sahabat hati,
bersyukurlah Allah suburkan cinta karena iman.
Yang karenanya kita ridha ditunjukkan kesalahan.
Dan dengannya pula kita tau arti kebahagiaan.

Jikalah bukan karena keduanya,
tentulah hidup ini hampa,tak tau arah tujuan.
Maha Suci Dia, Dzat yang telah pilihkan jalan kemuliaan.

[Sahabatmu]

Minggu, 20 Februari 2011

Kasus Sakazakii Cuma Satu Bukti Kebobrokan Pemerintahan Kapitalistik


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Meski didesak anggota Komisi IX DPR, Institut Pertanian Bogor atau IPB dan Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih tetap menolak mengumumkan daftar susu formula tercemar enterobacter sakazakii. Alasannya mereka belum menerima salinan putusan dari Mahkamah Agung. Sikap IPB membuat anggota Dewan kesal dan memilih keluar ruangan. Demikian berita yang dimuat dalam Liputan6.com pada Kamis, 17 Pebruari lalu.

Seminggu sebelumnya, kepala BPOM Kustantinah juga telah melakukan jumpa pers yang dihadiri Menkes dan kuasa hukum IPB di Gedung Kemenkominfo dan mengumumkan bahwa tidak ada susu formula yang terkontaminasi bakteri menghebohkan ini. Namun, tentu saja pengumuman ini tidak serta merta membuat masyarakat lega. Terlebih dalam beberapa kesempatan wawancara, Menkes terus meyakinkan masyarakat, bahwa bakteri ini tidak berbahaya sepanjang tidak diberikan pada bayi di bawah usia 6 bulan dan penyajian susu dilakukan dengan benar karena bakteri ini akan mati pada suhu 70°C. Pernyataan Menkes ini justru menguatkan dugaan akan kemungkinan masih adanya susu yang tercemar, disamping tentu saja menunjukkan ketidakseriusan pemerintah melakukan penjagaan maksimal terhadap masyarakat.

Geger sakazakii sebenarnya telah dimulai ketika seorang pengacara dari Komnas Perlindungan Anak bernama David L. Tobing menggugat Menkes, IPB dan BPOM untuk mengumumkan hasil penelitian tim IPB tahun 2006 yang menemukan bahwa 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) telah terkontaminasi enterobacter sakazakii; bakteri berbahaya yang dalam jangka panjang, yakni 6 sampai 8 tahun pasca konsumsi, bisa menyebabkan infeksi selaput otak, infeksi saluran kencing, kerusakan saluran pencernaan, bahkan hidrosephalus.

Proses gugatan tersebut setidaknya menghabiskan waktu lebih dari tiga tahun hingga akhirnya dimenangkan Mahkamah Agung (MA). Pada 26 April 2010 MA mengumumkan putusannya dan memerintahkan pihak IPB, Menkes, dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan untuk segera mengumumkan merek susu formula yang tercemar itu. Namun kemenangan gugatan David tersebut tidak serta merta mendorong pihak tergugat melaksanakan hasil gugatan. Selain alasan amar putusan belum sampai, etika penelitian yang mengharuskan untuk menjaga data, menjadi penghalang bagi masyarakat untuk mengetahui produk minuman dan makanan bayi apa saja yang bermasalah itu. Pihak pemerintah sendiri terus bersikukuh bahwa mereka tidak bisa mengumumkan hasil penelitian berkenaan dengan independensi penelitian dan belum sampainya amar putusan pada mereka. Sementara MA, ketika dikonfirmasi mengenai amar putusan yang belum juga dilaksanakan, menyatakan bahwa hal itu bukan wewenangnya. Bahkan hakim yang memutuskan perkaranya pun menyatakan belum pernah melihat salinan amar putusan tersebut.


Sakazaki Hanya Salah Satu Ironi
Selain sudah ada putusan MA, secara normatif, Indonesia sebenarnya telah memiliki UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen yang menjamin adanya hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Peraturan tersebut seharusnya cukup untuk memaksa pihak terkait untuk segera mengumumkan hasil temuan tim peneliti IPB, mengingat ada hak masyarakat yang sudah terlanggar dan bahaya yang mengancam mereka. Namun seperti biasa, aturan hukum di Indonesia hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Jika yang melanggar rakyat kecil, maka hukum demikian berwibawa. Tapi jika menyangkut kepentingan penguasa atau orang kaya, hukum seperti tak berdaya.

Apa yang dipertontonkan pemerintah dalam hal ini Menkes dan MA serta IPB sebagai lembaga pendidikan dan pengabdian masyarakat terkait kasus sakazakii hanyalah satu dari sekian banyak ironi yang terjadi di negeri bernama Indonesia ini. Lembaga-lembaga yang seharusnya berpihak pada kepentingan masyarakat justru bersikap abai dan menganggap sepele kegelisahan masyarakat menghadapi bahaya yang mengancam kehidupan anak-anak mereka dengan cara berusaha menutup-nutupi persoalan atasnama kepentingan ilmiah (independensi penelitian) dan alasan-alasan lain yang terkesan dicari-cari. Wajar jika akhirnya muncul pertanyaan besar, seberapa seriuskah pemerintah dan lembaga terkait berusaha menjamin dan mewujudkan hak-hak masyarakat? Dan seberapa besar keberpihakan mereka kepada kepentingan rakyat?

Yang menjadi masalah, kasus sakazakii bukan satu-satunya kasus yang menunjukkan abainya pemerintah atas tanggungjawab mereka mengurusi urusan rakyat dengan pengurusan yang maksimal, termasuk dalam menjamin ketersediaan pangan yang aman bagi masyarakat. Geger formalin pada makanan, borax dan penggunaan zat tambahan berbahaya lain pada bahan-bahan konsumsi baik yang diproduksi industri besar maupun skala rumahan, seolah dibiarkan pemerintah lewat begitu saja. Begitupun penggunaan bahan-bahan tambahan pada produk pangan dan obat/vaksin yang terindikasi haram dikonsumsi dan dipakai umat Islam –seperti zat yang mengandung babi, bangkai dan khamr-- malah dibiarkan merebak tanpa terkendali. Pada kasus-kasus ini, masyarakat yang peduli, termasuk MUI, dibiarkan berjuang sendiri. Sementara pemerintah asyik dengan agenda membangun citra dan bermain politik demi melanggengkan kekuasaan kelompoknya, seraya memanfaatkan ‘kepolosan’ (kalau tidak disebut kebodohan) mayoritas rakyatnya sendiri.

Selain soal jebakan kekuasaan, bau busuk kapitalisme juga tercium dari kasus-kasus semacam ini. Pemerintah seringkali ewuh pakewuh jika sudah berhadapan dengan kepentingan pengusaha. Ini wajar, mengingat dalam system hidup kapitalistik yang konsisten dijalankan pemerintah seperti ini, perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha memang menjadi hal biasa.

Senyatanya, siapapun tak bisa memungkiri jika kekuasaan yang dibangun di negara ini tak lepas dari sokongan para pebisnis (baca : para kapitalis), baik lokal maupun asing. Mereka dengan rela mengucurkan dana milyaran rupiah untuk mengongkosi kampanye politik para penguasa. Bahkan tak sedikit para penguasa yang (bukan kebetulan) berasal dari kalangan pengusaha.

Dalam kamus pebisnis, tentu saja dana-dana sponsorship yang mereka keluarkan akan dihitung sebagai komponen biaya produksi yang mengharuskan adanya kompensasi. Kompensasi tersebut bisa jadi berupa kebijakan yang menguntungkan maupun berupa jaminan kemudahan dan keamanan bagi langgengnya hegemoni bisnis mereka. Tak heran pula jika dalam pengambilan kebijakan, kepentingan para pemilik modal atau pengusaha selalu menjadi prioritas utama penguasa. Dan jika terjadi bentrok kepentingan antara masyarakat umum dengan kepentingan pengusaha, penguasa akan lebih rela mengorbankan rakyat daripada mengorbankan sponsor utama kekuasaan mereka.

Mirisnya, ketidakadilan semacam ini terjadi dalam seluruh aspek kehidupan.
Kekuasaan bagi mereka justru digunakan sebagai jalan mulus untuk mengeruk sebesar-besar keuntungan. Rakyatpun dibiarkan melarat, bahkan sekarat karena tertutup jalan bagi mereka mendapatkan pendidikan yang layak, kemudahan berusaha, dan layanan kesehatan yang membuat mereka menjadi generasi kuat dan bermartabat. Undang-Undangpun dimanfaatkan sebagai alat legitimasi untuk mempecundangi rakyat, merampok kekayaan mereka dan membiarkan mereka terus berkutat dalam keputusasaan, sendirian. Hati nurani para penguasa ini seolah terkunci; tak peduli satu-demi satu rakyat mati karena kemiskinan dan kualitas kesehatan yang menyedihkan di tengah cerita indah tentang kekayaan alam yang melimpah ruah milik negeri antah berantah bernama Indonesia. Di sisi lain mereka para penguasa, terus berupaya menutupi kebusukan ini dengan program basa-basi dan tak penting, yang cuma menghamburkan dana hasil keringat rakyat dan tak lebih menjadi ajang proyek yang dimanfaatkan para kacung mereka sendiri.

Sungguh, alangkah buruk apa yang mereka kerjakan. Sebagai pemegang kekuasaan seharusnya mereka menjadi pelopor dalam kebaikan dengan berupaya sungguh-sungguh menjaga umat dari ancaman kebinasaan. Sebagai penguasa, merekalah yang bertanggungjawab menjamin pemenuhan berbagai hak dan kebutuhan rakyat serta berkewajiban mewujudkan kesejahteraan mereka. Sayangnya, hal ini memang tak mungkin diharapkan akan terwujud dalam system kapitalisme yang punya cacat bawaan sejak dari asas. Yakni asas/aqidah sekularisme yang menafikan pengaturan agama dalam kehidupan. Aqidah inilah yang menjauhkan para penguasa Muslim dari kesadaran ruhiyyah mereka dan menumpulkan mata batin mereka, bahwa sejatinya kepemimpinan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan dan akan menjadi sesalan berkepajangan di akhirat kelak. Aqidah ini pulalah yang membelokkan pandangan mereka dari ketundukan kepada perintah dan larangan Allah SWT, termasuk perintah untuk hanya mau berhukum pada aturan-aturan Allah yang akan mewujudkan rahmat bagi semua dan bukan pada aturan-aturan manusia yang hanya memberi rahmat bagi penguasa dan pengusaha saja.


Islam Satu-Satunya Harapan
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Sistem ini tegak diatas landasan yang sahih, yakni keyakinan akan adanya Pencipta yang bukan hanya berhak untuk disembah, tapi juga satu-satunya yang berhak mengatur manusia dan kehidupan. Dengan keyakinan ini, seorang Muslim menyadari bahwa visi hidupnya adalah Ilallah, sementara misinya adalah menjadi ‘Abdullah. Dengan kesadaran ini, setiap muslim akan siap terikat dengan aturan-aturan Allah, dan bertanggungjawab dalam setiap status dan peran penghambaan yang diembannya.

Status dan peran kepemimpinan/kekuasaan adalah status dan peran manusia yang asasi dalam pandangan Islam. Rasulullah Saw bersabda:
“Semua kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang imam (amir) pemimpin dan bertanggung jawab atas rakyatnya. Seorang suami pemimpin dalam keluarganya dan bertanggung jawab atas kepemimpinannya. Seorang isteri pemimpin dan bertanggung jawab atas penggunaan harta suaminya. Seorang pelayan (karyawan) bertanggung jawab atas harta majikannya. Seorang anak bertanggung jawab atas penggunaan harta ayahnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits di atas secara khusus menyebutkan kedudukan penguasa sebagai pemimin umat, yakni sebagai penanggungjawab atas urusan rakyatnya. Dalam hadits lain disebutkan Rasulullah Saw bersabda :
“Sesungguhnya pemimpin (Imam) kaum muslimin adalah perisai dimana kaum Muslimin berperang dan dilindungi di belakangnya …” (HR. Muslim)
“Pemimpin suatu kaum adalah pengabdi (pelayan) mereka” (HR. Abu Na'im)

Fungsi pengurusan (ri’ayah), perlindungan (junnah) dan pelayanan setiap pemimpin umat dalam pandangan Islam tidak hanya memiliki dimensi sosial (horizontal) sebagaimana dalam sistem demokrasi kapitalistik yang memandang kepemimpinan para penguasa tak lebih dari kontrak sosial. Dengan kontrak ini, rakyat mengangkat dan mengupah para penguasa hanya untuk melaksanakan kehendak mereka dan merepresetasikan keinginan-keinginan mereka yang serba relative dan bermacam ragam kepentingan. Sementara dalam Islam, fungsi-fungsi kepemimpinan tadi juga memiliki dimensi ruhiyyah (vertikal) berupa pertanggungjawaban penguasa pada Sang Raja Diraja (Allah al Malik al Mulk) atas kewajiban kepemimpinan, yang sejatinya bertindak sebagai penerap aturan-aturanNya. Dengan aturan inilah ri’ayah (pengurusan) urusan manusia/rakyat dijalankan dan keadilan hakiki pun dapat diwujudkan.

Hadits-hadits di bawah ini rasanya cukup untuk menggambarkan sisi ruhiyyah satus dan peran kepemimpinan dalam pandangan Islam, dimana penguasa tidak hanya bertanggungjawab terhadap umat, tetapi juga kepada Allah SWT. Dan pertanggungjawaban itu sangatlah berat. Rasulullah SAW bersabda :

“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)

“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…" ([Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)

“ Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat”. (HR. Ath-Thabrani)

Dimensi ruhiyyah inilah yang membuat kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan di dalam Islam tidak dipandang rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina atau semata demi kebanggaan nafsu ammarah sesaat sebagaimana ajaran/perspektif sekulerme. Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya keridhaan Allah di dunia dan akhirat.

Inilah rahasia kesuksesan kepemimpinan dalam Islam yang telah terbukti berhasil menghantarkan umat pada kejayaan mereka. Para pemimpin umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas melayani umat sesuai tuntunan syariat. Keimanan yang tertancap kuat dalam jiwa-jiwa mereka pun membuat mereka takut melakukan penyelewengan, kecurangan bahkan pengabaian yang merugikan rakyat sekecil apapun. Dan tinta sejarah telah mencatat kisah-kisah kezuhudan, sikap santun dan pengorbanan mereka atas umat hingga akhirnya sukses menghantarkan umat pada kejayaan mereka; menjadi khoyru ummah di antara manusia.


Teladan Ri’ayah Rasulullah dan Generasi Sesudahnya
Rasulullah Saw adalah teladan terbaik, termasuk dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat dan penanggungjawab urusan-urusan mereka. Beliau mengatur seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka dengan penjagaan yang melebihi penjagaan seorang ayah kepada anaknya. Beliau pastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Bahkanpun jika harus mengorbankan dirinya atau mengakhirkan hak-haknya. Suatu ketika Abdullah bin Luhay al-Huzini menjumpai Bilal ra. Dia bertanya : “Wahai Bilal, bagaimana belanja Rasulullah Saw?”. Bilal menjawab, “Beliau tak memiliki apapun. Akulah yang mengurus hal itu sejak Allah SWT mengutus beliau hingga Beliau wafat. Jika beliau melihat seorang manusia Muslim dan Beliau melihatnya tidak memiliki pakaian yang layak, maka Beliau memerintahku. Akupun pergi mencari pinjaman, lalu aku belikan kain wol, kemudian memakaikan kepadanya dan aku memberinya makan …” (HR. Ibnu Hibban).

Beliau selaku pemimpin juga senantiasa melakukan pengawasan dan monitoring agar tak ada penyimpangan yang membahayakan hak masyarakat. Dalam pemenuhan hak masyarakat ini, Rasulullah mencontohkan penguasa berwenang secara langsung memberi keputusan di tempat terjadinya penyimpangan, saat itu juga, tanpa perlu menunggu adanya pengaduan, pun tidak menunggu bertahun-tahun untuk pelaksanaan keputusan. Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah SAW berkeliling di pasar dan berjalan melewati seonggok makanan yang hendak dijual. Beliau memasukan tangannya dan mendapati sebagiannya masih basah. Kemudian beliau bertanya, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Pemilik makanan itu berkata, “Itu terkena hujan, ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Lalu mengapa tidak engkau letakan di atas supaya orang-orang yang melihatnya. Siapa saja yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan kami.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Teladan kepemimpinan Rasulullah Saw seperti ini kemudian diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Mereka tampil sebagai para penguasa yang istiqamah menjalankan hukum-hukum Allah, sungguh-sungguh melaksanakan amanah ri’ayah su’un al-ummah (pengaturan urusan umat), melakukan kontrol atas pelaksanaan ri’ayah itu dan rela berkorban demi kebaikan rakyat mereka hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar bisa diwujudkan.

Kisah Umar dan pejabatnya mungkin bisa dijadikan teladan. Diceritakan, suatu hari Umar ra meminta kepada pegawainya untuk mendata rakyatnya yang terkatagori fakir miskin. Setelah selesai, disodorkanlah data itu. Ternyata dari daftar tersebut ada salah seorang pejabat Umar yang masuk kategori fakir miskin. Kemudian Umar memerintahkan petugasnya untuk segera menyantuni pejabat itu. Namun ketika dia diberi santunan, dia malah mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kemudian istrinya bertanya “siapa yang meninggal suamiku?”. Dia menjawab, “Umar telah memberiku musibah”. Lalu istrinya bertanya lagi, “Kalau begitu bagaimana menghilangkannya?”. Suaminya menjawab, “bagikanlah harta ini kepada fakir miskin yang lain”.

Pejabat Umar ini tentunya bercermin pula pada Umar ra sebagai kholifahnya. Umar pernah memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada salah seorang rakyatnya yang miskin dan membantu mencarikan bidan bagi seorang perempuan yang akan melahirkan di penghujung malam. Umar seringkali berkeliling kampung memperhatikan kondisi rakyat dan menegur dengan keras ketika melihat kecurangan. Pernah juga mengambil harta salah seorang pejabatnya karena khawatir mengandung harta yang tidak halal, bahkan merampas bisnis ternak anaknya ketika diketahui rumput pakannya tercampur rumput dari padang gembalaan milik umum.

Umar pun pernah membuat rumah gandum bagi rakyatnya yang membutuhkan. Beliau membuka Baitul Mal untuk umum, hingga siapapun dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Sebagai penjagaan atas pelaksanaan fungsi kepemimpinan ini, akses pengaduan dan kritik pun dibukanya lebar-lebar, hingga seorang wanita tua bernama Khaulah binti Tsa’labahpun bisa mengkritiknya dengan bebas soal kebijakannya membatasi mahar yang dipandang menyalahi syariat.


Jejak Kesejahteraan Khilafah
Sepanjang sejarah kepemimpinan Islam, umat Islam telah terbukti mampu tampil sebagai pionir peradaban. Para penguasa –lepas dari adanya kekurangan dari sisi pribadi sebagian kecil mereka-- benar-benar telah mampu mewujudkan kesejahteraan atas rakyat warga negara –baik muslim maupun non muslim/ahlu ad-Dzimmah-- dalam taraf yang tidak pernah mungkin bisa diwujudkan oleh para pemimpin penguasa dalam sistem sekuler kapitalis yang cenderung manipulatif, korup dan eksploitatif ini. Saat itu, rakyat benar-benar bisa menikmati layanan yang maksimal dari para penguasa, yang memahami bahwa pelayanan terhadap orang-orang yang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik, melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.

Kesadaran ruhiyyah akan tanggungjawab inilah yang mendorong para penguasa menyediakan hak-hak rakyat dengan hati-hati dan dengan pelayanan terbaik dari kemampuan yang mereka miliki tanpa melihat apakah rakyatnya tahu atau menyadari akan hak-haknya atau tidak, dan apakah mereka memintanya atau tidak. Kesadaran ruhiyyah ini pula yang membuat para penguasa terdorong untuk secara kreatif melakukan berbagai inovasi sekaligus menciptakan suasana dinamis di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah, seperti penerapan sistem pendidikan yang mencerdaskan, sistem ekonomi yang mensejahterakan, sistem politik yang memandirikan dan memartabatkan, sistem hukum yang meminimalisir penyimpangan, sistem sosial yang mendorong kerjasama dalam kebaikan, dan lain-lain.

Sebagai dampaknya, sistem Islamlah yang pertama mengenalkan dan menerapkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Sistem inipun mendorong berbagai inovasi yang memungkinkan layanan umum tersebut bisa diberikan secara optimal. Hal ini terbukti dimana bidang kedokteran dan farmakologi berkembang demikian pesat justru di masa Islam. Di masa ini, fasilitas rumah sakit tersedia cukup banyak dan dikenal demikian lengkap, berikut apotek dan sistem administrasi pelayanan yang serba gratis, cepat, mudah dan profesional. Di masa Abbasiyah misalnya, tersedia banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri yang didirikan di Kairo pada tahun 1283 bahkan mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis.

Di masa itu, Rumah Sakit bergerak pun disediakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh, yakni berupa dokter dan perawat keliling yang menunggang onta sekaligus onta-onta yang mengangkut obat, alat-alat medis dan tenda-tenda perawatan yang bisa dipasang dimanapun. Sistem drainase dan kontrol akan ketersediaan air bersih dibuat sedemikian rupa dan di musim kering para penguasa menyediakan onta-onta pengangkut air yang berkeliling ke kampung-kampung untuk menjamin kebutuhan minum atau irigasi. Pemandian-pemandian umum dibuat dalam jumlah banyak dengan memperhatikan aspek sanitasi dan hukum syara yang lainnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, dan lain-lain. Semua layanan ini diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.

Sayangnya, sejak umat terlepas dari kepemimpinan Islam, kemuliaanpun lepas dari diri mereka. Sistem kapitalisme sekuler telah menciptakan ilusi tentang kesejahteraan yang sampai kapanpun tak kan pernah bisa diwujudkan. Alih-alih bisa mewujudkan kesejahteraan, penerimaan umat pada sistem rusak ini justru telah berhasil membawa umat pada jurang kehinaan; menjadi bangsa terjajah lahir dan batin. Lebih dari itu, sistem rusak ini pun telah menciptakan berbagai tipuan yang membius para penguasa Muslim hingga abai bahkan curang terhadap agama dan umatnya sebagaimana kasus sakazakii dan banyak kasus lainnya. Benarlah sabda Rasulullah Saw :

“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”. (HR. Ath-Thabrani)

Hingga kapan ini kita biarkan?
Tidakkah kita rindu akan penguasa adil yang menyayangi umat dan amanah dalam ri’ayah?
Tidakkah kita ingin hidup sejahtera dalam naungan ridha Allah karena penguasa berpegang teguh pada syariah dalam wadah khilafah?
Mari berjuang, agar di akhirat kita punya hujjah!

-----------

Selasa, 15 Februari 2011

TELADAN : Nusaibah binti Kaab, ra, Perempuan Perkasa "Sang Perisai Rasulullah"


Belia dikenal dengan julukan Ummu Umara atau Ummu Imarah. Beliau adalah anak Kaab bin Amr dan Rabbab binti Abdullah bin Habib. Ia memiliki dua orang saudara yaitu Abdullah bin Kaab dan Abu Laila Abdurrahman bin Kaab.

Nusaibah menikah dengan Zaid bin Asim. Dari pernikahannya, ia memiliki dua orang anak yaitu Abdullah dan Habib. Pada suatu hari, Zaid pulang dengan gembira. Zaid bercerita, bahwa ia baru saja mendengar kabar dari Mush'ab bin Umair, seorang penduduk Mekkah utusan Muhammad bin Abdullah, tentang bangkitnya seorang Rasul di kalangan kaum quraiys. Ia bercerita tentang Muhammad saw, sang Rasul yang tetap tegar berda'wah walaupun dimusuhi kaumnya. Muhammad juga tidak tergiur dengan harta dan kedudukan yang ditawarkan kepadanya.

Cerita itu sangat menyentuh hati Zaid.Kemudian Zaid berkata,"Demi Allah, saya tidak hanya heran mendengar cerita itu, tetapi saya beriman dan bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Andaikata kedua telingamu mendengarkan cerita Mush'ab tentang Muhammad dan da'wahnya, niscaya engkau tidak akan mengingkarinya".

Mendengar perkataan suaminya, hati Nusaibah tergerak. Kemudian dengan penuh keharuan ia berkata : "Saya beriman kepada Allah sebagai ilah dan Muhammad sebagai nabi." Kemudian keduanya berjanji untuk melakukan bai'at pada musim haji yang akan tiba beberapa saat kemudian.

Saat musim haji tiba, rombongan dari Madinah datang ke Mekkah. Mereka kemudian dipertemukan oleh Mush'ab dengan Rasulullah dan melakukan bai'at. Nusaibah dan suaminya termasuk orang yang ikut berbai'at kepada Nabi dalam keheningan malam di Aqabah.

Setelah peristiwa itu, Nusaibah dan suaminya beserta rombongan dari Madinah kembali pulang. Beberapa saat kemudian, Rasulullah berhijrah ke Madinah dan menjadikan Madinah sebagai pusat da'wah dan pemerintahan. Nusaibah, suami dan kedua putranya adalah orang-orang yang senantiasa istiqomah dengan keimanan mereka dan membantu da'wah Rasulullah. Saat Perang Badar, Abdullah putranya ikut berjuang dengan gagah berani menegakkan panji-panji Islam sampai umat Islam mendapat kemenangan.

Tak lama setelah kembalinya pasukan dari Perang badar, Zaid meninggal dunia.
Nusaibah kemudian dilamar oleh Ghaziyah bin Amr. Dari pernikahannya dengan Ghaziyah, Nusaibah mempunyai dua orang anak yaitu Tamim dan Khawlah. Kesibukan Nusaibah mengurus rumah tangga, suami dan anak-anaknya tidak membuatnya mengurangi perannya dalam da'wah dan perjuangan umat Islam. Nusaibah bersama suami dan putra-putranya pun ikut dalam berbagai peristiwa penting, seperti Perang Uhud, Peristiwa Hudaybiah, Perang Khaibar, Perang Hunain dan Perang Yamamah.

Dalam berbagai pertempuran itu, Nusaibah tidak hanya membantu mengurus logistik dan merawat orang-orang yang terluka. Lebih dari itu, ia juga terjun ke medan perang dan mengangkat senjata untuk melindungi Rasulullah saw hingga Nusaibah terkenal dengan julukan 'Sang Perisai Rasulullah SAW'. Waktu perang Uhud, Nusaibah keluar memberi minum kepada pasukan Muslimin yang kehausan dan merawat mereka yang mendapat luka. Dan ketika tentera Islam terlalaikan oleh ghanimah yang ditinggalkan musuh lalu terdesak dan lari dari medan perang hingga cuma ada seratus orang saja yang bertahan,Nusaibah pun menjadi salah seorang yang menghunuskan pedang serta memakai perisai untuk melindungi Rasulullah dari sasaran musuh. Nusaibah saat itu berperang dengan gagah berani di sisi Rasulullah dan melindungi beliau. Nusaibah tetap siaga, lincah bergerak ke sana ke mari bersama puteranya. Bahkan dikatakan sampai para sahabat Rasul SAW malu menyadari bahwa mereka kalah tegar, kalah gagah dan kalah perkasa pada waktu itu bila dibandingkan beliau yang perempuan! Masya Allah! Pada perang ini Nusaibah menderita dua belas luka pada tubuhnya dengan luka paling parah di bagian lehernya.

Kesungguhan Nusaibah melindungi Rasulullah begitu hebat, hingga Rasulullah berkata, “Aku tidak menoleh ke kiri dan ke kanan kecuali melihat Ummu Imarah (Nusaibah) berperang dihadapanku.” Ketika itu, anaknya Abdullah luka parah ditikam musuh. Dia mengikat luka anaknya lalu berkata, “Bangun wahai anakku.” Anaknya itu terus bangun dan melawan tentera musuh.

Rasulullah yang melihat peristiwa itu merasa terharu. “Wahai Ummu Imarah, siapakah yang mampu berbuat seperti mana yang engkau lakukan?” kata Rasulullah kepadanya. Ketika tentera musuh yang menikam anaknya itu menghampiri, Rasulullah berkata kepadanya, “Ini dia orang yang telah melukakan anakmu.” Nusaibah menghampiri orang itu dan menikam betisnya dengan pedang. “Ya, Ummu Imarah! Engkau berjaya membalasnya,” kata Rasulullah sambil tersenyum melihat kesungguhan Nusaibah. Kemudian, Nusaibah dengan bantuan beberapa tentera Muslimin berjaya membunuh orang itu. Melihat keadaan ini, Rasulullah berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menenangkanmu dan menggembirakan hatimu daripada musuhmu serta memperlihatkan balas dendammu dihadapanmu.”

Ketika Perang Uhud ini, Nusaibah mengalami luka yang banyak, terutamanya di bahagian bahu. Rasulullah memeriksa lukanya lalu meminta Abdullah, anaknya untuk mengikat luka tersebut sambil berkata, “Semoga Allah sentiasa memberkati dan merahmati kamu semua.” Nusaibah mendengar kata-kata Rasulullah itu. “Ya Rasulullah! Mohonlah kepada Allah agar kami boleh menemanimu di syurga nanti,” kata Nusaibah. Maka Rasulullah pun berdoa, “Ya Allah! Jadikanlah mereka semua ini penemanku di syurga kelak.” “Aku tidak akan mengeluh setiap musibah yang menimpa diriku di dunia ini,” kata Nusaibah sebagai membalas.

Setelah Rasulullah saw meninggal dunia, sebagian kaum muslimin kembali murtad dan enggan berzakat. Abu Bakar a Ash shiddiq yang menjadi khalifah pada waktu itu segera membentuk pasukan untuk memerangi mereka. Abu Bakar mengirim surat kepada Musailamah dan menunjuk Habib sebagai utusannya. Maka bersegeralah Ummu Imarah mendatangi Abu Bakar dan meminta ijin kepada beliau utk begabung bersama pasukan yg akan memerangi orang-orang yg mutad dari Islam. Abu Bakar ash-Shidiq bekata kepadanya “Sungguh aku telah mengakui peranmu di dalam perang Islam maka berangkatlah dengan nama Allah.” Maka beliau berangkat bersama putranya yg bernama Hubaib bin Zaid bin Ashim.

Di dalam perang ini Ummu Imarah mendapatkan ujian yg berat. Pada perang tesebut putranya tertawan oleh Musailamah al-Kadzab dan ia disiksa dengan bebagai macam siksaan agar mau mengakui kenabian Musailamah al-Kadzab. Akan tetapi bagi putra Ummu imarah yg telah terbiasa dididik untuk bersabar tatkala berperang dan telah dididik agar cinta kepada kematian syahid, ia tidak kenal kompomi sekalipun diancam kematian. Bahkan ketika Musailamah memerintahkan Habib untuk menyatakan bahwa ia adalah utusan Allah, Habib menolaknya dengan berpura-pura tuli. Inilah dialog antara dia dgn Musailamah. Kata Musailamah : "Engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah Rasulullah?". Hubaib berkata : "Ya Musailamah, Engkau bersaksi bahwa aku adalah Rasulullah? Aku tidak mendengar apa yg kamu katakan itu!". Musailamah pun marah dan akhirnya menyiksa Habib dengan memotong anggota tubuhnya satu persatu sampai syahid.

Meninggalnya Habib tentu saja meninggalkan luka yang dalam di hati Nusaibah. Ummu Imarahpun ikut serta dalam perang Yamamah besama putranya yg lain yaitu Abdullah. Beliau bertekad utk dapat membunuh Musailamah dgn tangannya sebagai balasan bagi Musailamah yg telah membunuh Hubaib. Akan tetapi takdir Allah menghendaki lain yaitu bahwa yg mampu membunuh adl putra beliau yg satunya yaitu Abdullah. Ia membalas Musailamah yg telah membunuh saudara kandungnya. Tatkala membunuh Musailamah Abdullah bekeja sama dgn Wahsyi bin Harb.

Tatkala ummu imarah mengetahui kematian si Thaghut al-Kadzdzab maka beliau pun bersujud syukur kepada Allah. Ummu Imarah pulang dari peperangan dgn membawa dua belas luka pada tubuhnya setelah kehilangan satu tangannya dan kehilangan anaknya yg terakhir yaitu Abdullah. Sungguh kaum muslimin pada masanya mengetahui kedudukan beliau. Beliau wafat beberapa tahun kemudian setelah peristiwa Perang Yamamah ini.[][]

--------

Sungguh banyak pelajaran yang bisa dipetik dari sosok Nusaibah. Beliau bukanlah sosok perempuan biasa. Kecintaan beliau pada surga menghantarkannya menjadi wanita Anshar pertama yang beriman pada Rasulullah, istiqamah berjuang demi Islam dengan segenap jiwa dan raganya. Sebagai istri, beliau berhasil mendukung perjuangan suami-suaminya dan menghantarkan mereka pada kesyahidan. Sebagai ibu, beliau tampil sebagai teladan dan berhasil mencetak generasi terbaik yang berkontribusi besar pada perjuangan Islam.

Kecerdasan dan ketangguhan beliau nampak dalam setiap aktivitas yang senantiasa bertarget, dan disiapkan dengan cermat demi mengarah pada tujuan yang jelas, yakni ditujukan demi keridhaan Allah dan meraih kemenangan Islam. Beliau tak pernah melewatkan sedikitpun peluang atau kesempatan yang sudah diberikan Allah untuk mendapatkan pahala, kemuliaan dan syurga firdaus, karena kesadaran bahwa kesempatan belum tentu datang untuk kedua kalinya.

Beliaupun senantiasa ada di barisan terdepan perjuangan dan seakan tak rela jika termasuk orang yang tertinggal. Beliau pun seolah tak rela jika posisi/kesempatan berharga tersebut digantikan oleh orang lain, sehingga nampak beliau tak pernah memilih atau mengambil bagian yang terringan dari perjuangan.

Beliau juga bukan perempuan cengeng yang mudah lemah menghadapi situasi sesulit apapun. Hal ini nampak ketika di Perang Uhud beliau terluka dengan 13 tusukan. Yang saya bayangkan, saat satu demi satu tubuhnya terkena tusukan senjata musuh itu, tentu beliau merasakan sakit yang amat sangat. Akan tetapi itu tak menjadikan beliau mundur dari gelanggang peperangan. Dikatakan bahwa salah satu lukanya sangat parah, yakni luka di bahu/dekat leher dan memerlukan penyembuhan hingga 1 tahun. Namun pengalamannya ini tak membuatnya mundur atau kapok untuk berjuang, bahkan sebelum lukanya benar-benar sembuh, beliau ikut dalam perjuangan-prjuangan lainnya, hingga di perang Yamamah beliau mendapatkan 11 luka dan lengannya terputus. Subhanallah. Alangkah besar kecintaannya pada surga, hingga apapun bisa dikalahkannya. Lantas seberapa besar arti surga bagi kita hingga belum cukup termotivasi untuk maksimal berjuang demi Islam? T_T

Jumat, 04 Februari 2011

Pakar: Sistem Hukum Masih Morat-marit


(Inilah Wajah Buruk Demokrasi)
(Sumber : AntaraNews.com)


Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Muhammad Mustofa mengatakan, sistem hukum di Indonesia masih morat-marit karena banyak aturan hukum tidak memenuhi syarat yang baik, yakni bermanfaat, memiliki kepastian, dan keadilan.

"Saat ini ada sekitar 70 undang-undang yang dibuat atas pesanan asing sehingga kurang bermanfaat bagi bangsa Indonesia," kata Muhammad Mustofa melalui siaran pers Iluni S-2 Kriminologi Universitas Indonesia yang diterima ANTARA, Kamis.

Siaran pers tersebut ditulis dari acara talkshow yang diselenggarakan oleh Ikatan Alumni Pascasarjana (S-2) Kriminologi Universitas Indonesia, di Hotel Sultan Jakarta, Rabu (2/2).

Menurut Muhammad Mustofa, salah satu contohnya adalah UU Badan Abitrase yang keputusannya bersifat final dan mengikat, tetapi ketika ada orang yang mengajukan banding diterima, sehingga menunjukkan tidak ada kepastian.

Ketidakpastian semacam ini dan masih banyak yang lain, kata Mustofa, membuat sulit mengukur praktik hukum secara obyektif.

"Dalam kondisi yang serta tidak pasti, dibutuhkan pemimpin yang berani dan tegas terhadap siapa pun yang harus bertanggungjawab dan melaksanakannya. Jika melanggar harus diberi sanksi," katanya.

Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia yang juga tampil sebagai pembicara, Paulus Wirotomo, mengatakan, ketika hukum makin tidak pasti dan praktik korupsi makin meningkat maka pemimpin harus berani bertindak dan menindak bawahannya yang melakukan kesalahan.

Karena itu untuk menegakkan hukum yang bermafaat, memiliki kepastian dan keadilan, menurut dia, diperlukan pemimpin yakni figur terbaik bukan dari orang-orang dekat.

"Saat ini yang terpenting adalah menempatkan gerakan moral dan kultural sebagai gerakan utama, baru pembentukan hukum dan penegakan hukum," katanya.

Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia, Adrianus Meliala yang bertindak sebagai moderator menyatakan, untuk penegakan supremasi hukum saat ini sudah saatnya memaksimalkan kewenangan eksekutif, karena situasi reformasi hukum yang masih morat-marit saat ini harus cepat diatasi.

Pada diskusi tersebut, para pembicara juga mengusulkan agar pemerintah memperkuat penegakan hukum dan membubarkan institusi ekstra legal yang dibentuk serta segera mengatasi konflik antar-institusi hukum.

KOMENTAR :
Inilah wajah buruk demokrasi yang menyerahkan pembuatan aturan pada manusia yang serba lemah dan terbatas. Bahkan demokrasi dengan prinsip suara terbanyaknya memberi celah pada kelompok kepentingan yang berduit (kapitalis) termasuk asing untuk membuat hukum yang melegitimasi kerakusan & penjajahan mereka. Tidakkah kita ingat peringatan Allah SWT : "apakah hukum jahiliyah yang mrk kehendaki? hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang2 yang yakin?" (TQS. Al-Maidah : 50). Saatnya kita campakkan demokrasi dan kembali ke jalan Islam. Mari raih kebahagiaan dan ridha Allah dengan berjuang tegakkan syari'ah dalam wadah Khilafah!