INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Sabtu, 24 Desember 2011

MENJADI IBU ADALAH HADIAH TERBAIK



By Siti Nafidah Anshory

Ukhti …..
Banyak yang tak menyadari, bahwa seorang ibu bisa berarti banyak buat sebuah bangsa.
Seorang Ibu, tak hanya ‘bertugas’ melahirkan anak dan membesarkannya saja,
Namun di tangannya, generasi terbaik masa depan disiapkan..

Tak ada guru & sekolah yang mampu menggantikan posisi seorang ibu, seunggul dan sehebat apapun…
Karena seorang Ibu adalah guru dan sekolah sejati bagi anaknya ..
Betapa tidak?
Bukankah setiap fase perjalanan hidup seorang ibu hakekatnya adalah pelajaran terbaik bagi anaknya?

Mari kita lihat dan renungkan ….
Saat ibu shabar menjalani masa mengandung,
sesungguhnya saat itu dia sedang mengajarkan keshabaran pada anaknya.
Saat Ibu berusaha menjaga ketaatan dan memelihara daya juang di masa2 sulit itu,
sejatinya dia sedang tanamkan sikap taat dan smangat berkorban.
Saat ibu menidurkan anak di buaian & ridha menyusuinya hingga sempurna 2 tahun ke depan, sepanjang masa itulah dia ukir rasa aman dan kasih sayang.
Saat ibu shabar melatih berjalan, saat itu dia tanamkan daya juang menghadapi keadaan.
Saat ibu menangani perselisihan, disitulah dia ajarkan nilai keadilan, kejujuran, keterbukaan, empati dan tanggungjawab pada lingkungan dan umat.

Dan lebih dari itu Ukhti ….,
Tauladan ibu dalam keshalehan --termasuk hamasahnya dalam dakwah dan perjuangan Islam--
sesungguhnya merupakan pelajaran terbaik yang membuat anak paham hakekat dirinya, siapa Pencipta Yang Berhak ditaatinya serta misi apa yang diemban sepanjang hidupnya

Bukankah bisa dibayangkan, Ukhti
Jika para Ibu menyadari besarnya arti keberadaan dirinya?
Tentulah pada umat ini akan lahir sosok2 pemimpin yang bermental kuat, berdaya juang, dan memiliki segala sifat baik yang diperlukan sebagai seorang pemimpin,
Dan jika para Ibu mengerti misi besar yang diembannya,
tentu sebaliknya,tak kan lahir para pemimpin bermental lemah, inferior, bengis dan tak bertanggungjawab terhadap rakyat seperti yang terjadi di masa penuh fitnah ini.

Jika demikian halnya Ukhti,
Hingga kapan kita abai atas hadiah terbaik dari Allah ini?
-- MENJADI SEORANG IBU --

Rabu, 07 Desember 2011

LIBERALISASI MENGANCAM KELUARGA MUSLIM


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Pengantar

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Selain mencakup pemikiran dasar mengenai aqidah (aspek ruhiyah/spiritualitas), Islam juga mengatur aspek siyasiyah (dalam arti pengaturan urusan kehidupan manusia), baik dalam masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam, termasuk hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah).

Dalam konteks hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah), Islam telah menetapkan seperangkat aturan yang begitu agung dan sempurna, baik yang menyangkut masalah perkawinan, waris, nasab, wilayatul abb (perwalian), thalaq, ruju’ dan lain-lain. Semua aturan ini sejalan dengan pandangan Islam yang sangat concern terhadap masalah keluarga dan menempatkannya sebagai bagian penting dalam masyarakat. Bahkan dalam Islam, keluarga bisa diibaratkan sebagai benteng pertahanan terakhir dalam menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang akan merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat Islam yang bersih dan tinggi.

Fungsi Keluarga, Tak Hanya Sosial

Dalam pandangan Islam, selain memiliki fungsi sosial, keluarga juga memiliki fungsi politis dan strategis. Secara sosial, keluarga adalah ikatan terkuat yang berfungsi sebagai pranata awal pendidikan primer, dengan ayah dan ibu sebagai sumber pengajaran pertamanya, sekaligus sebagai tempat membangun dan mengembangkan interaksi harmonis untuk meraih ketenangan dan ketentraman hidup satu sama lain. Secara politis dan strategis, keluarga berfungsi sebagai tempat yang paling ideal untuk mencetak generasi unggulan, yakni generasi yang bertakwa, cerdas dan siap memimpin umat membangun peradaban ideal di masa depan, sebagaimana telah terbukti berhasil membangun peradaban ideal umat Islam di masa lalu hingga umat Islam muncul sebagai khoyru ummah.

Karenanya keluarga dalam fungsi-fungsi ini bisa diumpamakan sebagai madrasah, rumahsakit, masjid bahkan camp militer yang siap mencetak pribadi-pribadi mujtahid sekaligus mujahid. Adapun berbagai pembagian peran dan fungsi yang ada di dalamnya, berikut berbagai implikasi pembagian hak dan kewajiban di antara anggota keluarga, dapat dipahami sebagai bentuk kesetaraan, keadilan dan kesempurnaan yang diberikan Islam dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan duniawi dan ukhrawi yang mulia ini. Di sana, tak ada satu peran dan fungsi pun yang dianggap lebih tinggi daripada peran dan fungsi yang lainnya.

Di samping memiliki rincian aturan mengenai hukum-hukum keluarga, Islam juga memiliki seperangkat aturan yang memastikan hukum-hukum di atas tegak secara sempurna, baik yang harus dilaksanakan oleh individu, masyarakat maupun Negara. Secara individu, setiap Muslim dalam perannya masing-masing (sebagai individu, anak, suami atau isteri, ibu atau ayah, sebagai anggota masyarakat) diharuskan memiliki pemahaman yang benar berkaitan dengan seluruh hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga dan wajib terikat dengannya sebagai konsekuensi iman. Sementara masyarakat, wajib melakukan kontrol melalui aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tatkala mendapati penyimpangan dalam pelaksanaan aturan sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi berjalannya fungsi-fungsi keluarga. Adapun negara berkewajiban memelihara lingkungan yang tepat melalui penetapan berbagai kebijakan publik yang sesuai dengan tuntutan syariat dan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung bagi terwujudnya kondisi tersebut. Misal dengan melegislasi hukum-hukum keluarga Islam, menerapkan kontrol media secara ketat, penerapan system pendidikan yang ideal, kebijakan ekonomi yang menyejahterakan, penegakkan sanksi, dan lain-lain.

Dalam konteks Indonesia, peran Negara ini antara lain diwujudkan melalui diundangkannya materi-materi hukum keluarga, seperti Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil kesepakatan para ulama Indonesia dan kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991. Sayangnya, disamping aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya mengadopsi hukum-hukum keluarga menurut syari’at Islam, implementasi hukum-hukum tersebut masih belum optimal dan belum didukung oleh kebijakan-kebijakan yang mampu menguatkan berjalannya fungsi-fungsi keluarga sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.

Ancaman Liberalisasi

Banyak fakta yang bisa menguatkan konklusi ini. Penerapan sistem pendidikan yang masih carut-marut, baik menyangkut paradigma, kurikulum, metode pengajaran dan fasilitasi, membuat pendidikan yang sudah berupaya ideal dibangun dalam keluarga tidak sinergi dengan hasil pendidikan di lembaga formal. Demikian juga dengan sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan, membuat kehidupan mayoritas masyarakat –termasuk keluarga-keluarga muslim-- terjebak dalam kemiskinan kultural dan struktural, sekaligus memicu berkembangnya pola kehidupan materialistik yang menghalalkan segala cara. Akibatnya, demi menyelamatkan ekonomi keluarga, para ibu ‘dipaksa’ masuk dalam bursa tenaga kerja murah dengan konsekuensi harus menanggalkan peran strategis mereka sebagai isteri dan ibu pendidik generasi bangsa. Tidak adanya sistem sanksi yang tegas juga membuat pelanggaran hukum, kemaksiatan dan kriminalitas merajalela dan mudah terjadi dimana-mana. Begitu pula dengan sistem budaya liberal yang dibangun, termasuk sikap longgar terhadap tayangan media dan berkembangnya tempat-tempat maksiat, membuat nilai-nilai akhlaq Islam yang ditanamkan dalam keluarga luntur sedikit demi sedikit tersibghah budaya yang rusak dan merusak.

Kondisi ini kemudian dikuatkan oleh berkembangnya pemikiran liberal sebagai bagian dari serangan pemikiran yang dilancarkan pihak asing, termasuk feminisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Pemikiran-pemikiran semacam ini memandang bahwa hukum-hukum Islam sudah out of date, tidak sejalan dengan perkembangan jaman, bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, kesetaraan dan lain-lain, dan karenanya harus direinterpretasi, bahkan di dekonstruksi. Dalam konteks hukum keluarga, hukum Islam sering dibenturkan dengan gagasan emansipasi dan gender equality (Keadilan dan Kesetaraan Gender/KKG), yang bagi kalangan liberal, memang menjadi fokus perhatian mereka, disamping isu HAM, pluralisme dan demokrasi.

Gerakan Islam Liberal yang diistilahkan oleh Fyzee sebagai Islam Protestan, sejak awal memang telah dikembangkan untuk ‘menghadirkan’ wajah Islam ‘lain’ yang non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam. Oleh karenanya, Islam Liberal dikenal sangat mendewakan ‘kemodernan’ sehingga Islampun harus disesuaikan dengan kemoderenan. Dalam pandangan mereka, “jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut”. Artinya, mereka menjadikan fakta sebagai sumber hukum, sementara ajaran Islam menjadi objeknya. Disinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal, yakni liberalisasi yang semakna dengan sekularisasi. Adapun keberadaan agenda feminisme sebagai salah satu agenda utama gerakan Islam liberal, disamping agenda politik, toleransi dan kebebasan berekspresi, menunjukkan bahwa keberadaan isu-isu gender yang diusungnya pun memang merupakan bagian dari proyek liberalisasi dan sekularisasi wajah Islam, termasuk di Indonesia.

Bagi kalangan liberal, termasuk feminis di dalamnya, liberalisasi memang merupakan prasyarat mutlak bagi kemajuan. Mereka mengadopsi pemikiran ini dari sejarah peradaban Barat yang menempatkan agama Kristen dan dominasi kekuasaan gereja sebagai sumber kemunduran dan obatnya adalah liberalisasi dan sekularisasi. Sayangnya, kalangan liberalis kemudian secara serampangan melakukan penyamaan premis ini kepada ajaran Islam. Padahal realitasnya, ajaran Islam dan Kristen berbeda, sehingga ‘penyakit’ yang diderita masyarakat Barat dan umat Islam juga sama sekali berbeda, hingga obatnya pun berbeda pula.

Kata ‘liberal’ sendiri berarti kebebasan. Sedangkan liberalisasi diartikan sebagai the act making less strict (upaya menghilangkan kekakuan). Oxford English Dictionary menerangkan bahwa pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas dari batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Kemudian pada 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu bebas dari prasangka dan bersifat toleran. Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah.

Hanya saja, kalangan liberal kemudian memperluas makna kata liberal ini menjadi kebebasan berpikir, yang mereka setarakan dengan konsep (kebebasan) ber-ijtihad. Karenanya, mereka kemudian mengembangkan konsep ijtihad baru yang berbeda metodologinya dengan konsep ijtihad yang dikembangkan para ulama salaf dengan dalih perubahan jaman dan perbedaan tempat. Mereka berpendapat, bahwa memaksa satu generasi untuk mengikuti keseluruhan hasil pemikiran generasi masa lampau (termasuk tafsir) akan mengakibatkan kesulitan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian yang terus berubah. Apalagi mereka memandang bahwa masyarakat akan selalu berubah sehingga fatwa-fatwa keagamaanpun harus berubah.

Mereka kemudian merekomendasikan penggunaan tafsir bercorak rasional yang dianggap cocok bagi masyarakat modern. Gagasan tentang HAM, pluralisme, gender dan demokrasi kemudian dipakai sebagai patokannya, bukan nash-nash syari’at itu sendiri. Mereka melakukan perubahan metodologi ijtihad ini secara mendasar, diawali dengan mempertanyakan otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu serta peran dan posisi akal terhadap wahyu (termasuk ide mengenai kewenangan akal publik mengamandemen ketentuan syariat jika ketentuan tersebut bertolak belakang dengan maslahat publik). Selain itu, mereka juga merekonstruksi batasan qath’iy-zhanniy dalam nash syari’at yang berimplikasi pada berubahan wilayah hukum yang boleh diijtihadi dan yang tidak, serta mereinterpretasi masalah maqashid syar’iy, dan lain-lain. Adapun dalam hal tafsir, mereka memperkenalkan pendekatan tafsir yang berbeda dengan pendekatan tafsir ulama salaf, yakni melalui pendekatan sosio-historis, hermeneutik dan sebagainya. Wajar jika produk-produk hukum yang dihasilkannya pun bisa jauh berbeda dengan pemahaman yang sudah ada sebelumnya.

Semua upaya itu memang sejalan dengan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yang jika dicermati sangat kental dengan semangat sekularisasi dan liberalisasi. Greg Barton, seorang penulis dan pendukung Islam Liberal dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia menggariskan beberapa prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; dan (d) Pemisahan agama dari partai politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. Jika dikaitkan dengan langkah-langkah implementasi yang mereka lakukan tadi, maka poin (a), (b) dan (c) bisa diartikan liberalisasi, sedangkan poin (d) berarti sekularisasi.

Liberalisasi, Konspiratif dan Strategis!

Jika diukur secara politik, kekuatan kelompok liberal, termasuk kalangan feminis cukup berpengaruh di negeri ini. Sekalipun jumlah pendukungnya sedikit, namun back-up politik asing (lembaga-lembaga Internasional, semacam PBB) dan pendanaan yang kuat dari foundation asing (semisal The Asia Foundation, World Bank dan USAID) membuat loby-loby politik mereka ke tataran kekuasaan dan legislasi cukup kuat. Hal ini terlihat dari berbagai langkah massif yang mereka lakukan dalam rangka mempengaruhi keluarnya berbagai kebijakan publik yang searah dengan pandangan mereka menyangkut liberalisasi dan pembaruan hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga. Fakta-fakta inilah yang menunjukkan bahwa ada konspirasi asing di balik gerakan liberalisasi dan sekularisasi hukum-hukum Islam.

Selama ini, pengadopsian hukum-hukum Islam tentang keluarga oleh negara memang sering menjadi sasaran kritik. Kalangan feminis dan liberalis sejak lama berpandangan bahwa hukum-hukum yang diberlakukan negara tersebut mengandung banyak persoalan, khususnya jika dikaitkan dengan hak dan martabat kaum perempuan. Selain dianggap mengandung budaya patriarkis yang bias gender, penerapannya oleh Negara dipandang sebagai bentuk legitimasi atas terjadinya ketidakadilan sistemik terhadap perempuan atasnama undang-undang. Dalam Dokumen Nasional Penerapan Hukum Islam di Indonesia yang mereka rilis pada bulan Pebruari 2009 disebutkan, bahwa melalui refleksi beberapa lembaga pengorganisasian perempuan, telah ditemukan adanya indikasi penerapan hukum Islam yang merugikan perempuan. Penerapan hukum Islam yang merugikan perempuan ini antara lain terkait dengan penanganan kasus-kasus poligami, nikah siri, perceraian, waris, pembagian peran suami isteri dalam keluarga, usia nikah, perwalian, pernikahan beda agama, dan lain-lain.

Untuk itu, mereka intens melakukan gerakan sosial dan politik untuk mencapai apa yang mereka sebut sebagai hukum keluarga yang adil dan setara gender, yang hakekatnya merupakan proyek liberalisasi hukum keluarga Islam. Di tingkat grassroot, mereka berupaya menyebarkan gagasan-gagasan gender melalui berbagai media, termasuk mass media (iklan, sinetron/film), buku/novel, seni, dan lain-lain. Juga melalui lembaga kemasyarakatan –termasuk ormas-- yang menjadi jejaring mereka dengan target memunculkan keberanian masyarakat untuk memperoleh ‘keadilan’. Di tingkat ulama (religious leaders), mereka bersinergi dengan entitas yang mereka sebut “ulama will”, yakni ulama yang siap membantu proses-proses mewujudkan hukum yang berkeadilan gender dengan cara memberikan latar belakang pemikiran yang bersifat terobosan-terobosan dan reinterpretasi atas teks al-Qu’ran. Misalnya dengan mengeluarkan fatwa haram poligami, sekaligus ikut mensosialisasikan fatwa-fatwa semacam itu kepada pengikutnya. Adapun di tingkat negara, mereka terus mengupayakan agar lahir kebijakan yang memberi jaminan hukum untuk keadilan bagi perempuan dan mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan substansi hukum pada kebijakan yang --dalam pandangan mereka-- tidak berkeadilan gender. (Lihat http://www.komnasperempuan.or.id)

Di beberapa negeri Muslim yang lain, pembaruan dalam bidang hukum keluarga memang bukan hal baru. Di Turki, hukum keluarga Islam (fiqh) diganti dengan hukum-hukum Barat. Sementara di Tunisia, Pakistan dan Malaysia, perubahan-perubahan hukum keluarga didasarkan atas upaya pembaruan melalui reinterpretasi atau penafsiran kembali. Setidaknya ada 13 aspek yang mengalami perubahan dalam hukum-hukum (undang-undang) keluarga di negeri-negeri Muslim tersebut, yakni batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan, keharusan pencatatan perkawinan, kemampuan ekonomi dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami, hak-hak dan kewajiban para pihak karena perceraian, masa kehamilan dan implikasinya, hak wali orang tua, hak waris, wasiat wajibah dan pengelolaan wakaf.

Dengan cara inilah hukum keluarga di dunia muslim mengalami perubahan (baca: liberalisasi) dan coba diterapkan juga di Indonesia. Terlebih dalam konteks Indonesia, hukum-hukum keluarga Islam yang dilegalisasi masih dianggap terlalu teksual dan merujuk pada pemahaman Islam klasik yang Arabik, sekalipun faktanya tidak. Begitupun kebijakan-kebijakan lainnya, dipandang belum mampu mengakomodir kepentingan kaum perempuan. Oleh karenanya kalangan feminis dan liberalis gencar melakukan berbagai mediasi dan advokasi dalam rangka menggolkan berbagai kebijakan publik yang berperspektif gender, termasuk yang nantinya akan menyentuh hukum-hukum keluarga atau secara tidak langsung akan memunculkan tuntutan akan perubahan hukum-hukum Islam tentang keluarga.

Setidaknya ada beberapa RUU menyangkut kepentingan strategis perempuan yang sudah dan sedang diperjuangkan berbagai kelompok feminis/gender di Indonesia. RUU yang sudah gol adalah Amandemen UU Kesehatan, UU PKDRT, UU Kewarganegaraan dan UU Perlindungan Anak. Sedangkan yang belum gol adalah RUU KUHP, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Amandemen UU Perkawinan, RUU Pornografi dan Pornoaksi (dalam hal ini UU Pornografi yang sudah diundangkan dianggap belum adil gender) dan RUU Peradilan Agama. Dalam berbagai undang-undang ini didapati pasal-pasal yang akan menggeser berbagai aturan Islam tentang keluarga, semisal UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam. UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga. Amandemen UU Kesehatan memuat aturan yang ‘bergesekan’ dengan hukum Islam, semisal memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. UU PA memberi kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku.

Yang lebih kontroversial, kalangan feminis juga pernah mengajukan perubahan atas Kompilasi Hukum Islam yang masih dianggap merepresentasikan hukum Islam dengan melaunching Buku Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) pada 4 Oktober 2004 di Jakarta atasnama Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI yang dipimpin Musdah Mulia. Isinya betul-betul merupakan counter terhadap aturan-aturan yang masih menjadi pemahaman mainstream masyarakat Islam, semisal dengan menyatakan bahwa perkawinan bukan ibadah melainkan kontrak biasa, pernikahan beda agama boleh, poligami haram, dan lain-lain. Dikarenakan kontroversial, produk pemikiran yang prosesnya menelan biaya tak sedikit dari bantuan dana asing (The Asia Foundation) ini akhirnya dianulir oleh Menteri Agama saat itu (Maftuh Basuni) dengan keluarnya surat No : MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004.

Tentu saja bukan berarti upaya mereka berhenti. Sampai saat ini, gerakan mewujudkan perubahan hukum-hukum Islam termasuk hukum-hukum keluarga di Indonesia terus berjalan sebagaimana yang bisa dipantau dalam link-link media mereka. Rancangan Amandemen UU Perkawinan dan RUU Peradilan Agama yang siap merubah sendi-sendi keluarga Islam juga sedang terus disosialisasikan untuk segera diundangkan. Hal ini diikuti dengan upaya pengopinian di tengah masyarakat tentang sisi buruk aturan Islam semisal poligami, nikah siri, nikah dini, dan sebagainya melalui berbagai sarana, semisal film, sinetron, infotainment, dan sebagainya.

Gerakan ini juga melintasi batas-batas Negara, dan menjadi agenda bersama jaringan feminisme internasional, sebagaimana diwujudkan –antara lain-- dalam bentuk penyelenggaraan kongres-kongres berskala internasional. Di antaranya Congress on Islamic Feminisme ke-3 di Barcelona pada 24 Oktober 2008 yang membahas “denounced Islamic family laws and other Shariah rules related to the woman and called for a re-interpretation based upon gender equality” dan Kongress Musawah, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara dengan rekomendasi yang mengandung spirit sama dengan CLD KHI, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut'ah.

Khotimah
Jelas, bahwa di balik isu keadilan dan kesetaraan gender tersembunyi bahaya yang mengancam keluarga muslim. Targetnya jelas, yakni konspirasi untuk menghancurkan benteng pertahanan terakhir umat Islam yang darinya terlahir generasi-generasi pemimpin masa depan umat, dengan menjauhkan para muslimah dari Islam dan memporak-porandakan sendi-sendi keluarga Islam. Dengan cara ini, orang-orang kafir dan para anteknya berharap Islam tidak akan pernah bangkit dan Khilafah tidak pernah tegak. Dan karenanya, hegemoni kapitalisme sekuler pun bisa dipertahankan. Jika demikian halnya, akankah kita berdiam diri, wahai muslimah? [SNA]

PERAN GERAKAN MUSLIMAH DALAM KEBANGKITAN UMAT


Oleh : SITI NAFIDAH ANSHORY

Pendahuluan

Membincangkan peran gerakan muslimah dalam kebangkitan umat seakan membuka kembali catatan sejarah panjang perjuangan Islam. Sebagaimana diketahui, sejak Rasulullah saw diutus untuk menyebarluaskan risalah Islam, para muslimah generasi awal telah terlibat secara aktif dalam pergerakan dakwah bersama kaum muslimin lainnya untuk melakukan transformasi sosial, mengubah masyarakat jahiliyah yang paganistik menjadi masyarakat Islam yang Rabbani. Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah; melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah-tengah masyarakat, hingga atas pertolongan Allah akhirnya berhasil membangun masyarakat Islam yang agung di Madinah, yakni masyarakat yang tegak di atas landasan aqidah dan hukum-hukum Islam.

Sejarah mencatat nama-nama besar semisal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra, Sitti Fathimah Az-Zahra ra., Asma binti Abu Bakar ra., Sumayyah ra., Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra., Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah ra., Fathimah binti al-Khaththab ra., Ummu Jamil binti al-Khaththab ra., Ummu Syarik ra., dan lain-lain yang semenjak bersentuhan dengan Islam keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam. Tak satupun di antara mereka yang mau –meski sejenak-- tertinggal dari satu peristiwapun, apalagi berlepas diri dari tanggungjawab memperjuangkan dienul haq, seberapapun besarnya resiko yang harus mereka hadapi. Sebagian dari mereka ada yang harus kehilangan harta, terpisah dari orang-orang yang dicinta, bahkan rela ketikapun harus kehilangan nyawa. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang hakiki, yang layak menjadi teladan pergerakan muslimah dari jaman ke jaman.

Di atas pilar-pilar inilah muslimah generasi sesudah mereka membangun kekuatan. Hanya saja yang menjadi target perjuangan mereka tentu bukan lagi menegakkan sistem kehidupan Islam, melainkan bagaimana berupaya mempertahankan eksistensinya agar kemuliaan ummat tetap terjaga. Di masa Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah sesudahnya, peran pergerakan muslimah dalam kancah kehidupan, termasuk dalam percaturan politik tercatat demikian besar, baik dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, muhasabah (koreksi) terhadap penguasa, bahkan dalam aktivitas jihad dan futuhat. Akan tetapi uniknya, pada saat yang sama, merekapun ternyata berhasil mencetak generasi terbaik –generasi mujahid dan mujtahid- yang mampu membangun peradaban Islam yang tinggi, yang mengalahkan peradaban-peradaban lainnya di dunia dalam rentang waktu yang sangat panjang. Tak heran jika umat Islam pada rentang tersebut betul-betul bisa tampil sebagai “khoiru ummah” .

Inilah sekelumit frasa sejarah mengenai keberadaan gerakan muslimah generasi Islam awal. Sebuah gerakan yang sarat nilai-nilai Ilahiyah dan menjadi bagian pergerakan kolektif (jama’ah) Islam. Kiprah nyata mereka ini justru telah menafikan ‘keyakinan’ dan sekaligus ‘kecurigaan’ sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Islam sama sekali tak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk berkiprah di tengah-tengah umat, turut serta membangun masyarakatnya menuju kebangkitan yang hakiki.

Pasang Surut Gerakan Muslimah

Benar bahwa sepanjang rentang waktu itu, gerakan muslimah tidak selamanya berjalan mulus dan terus eksis ke permukaan. Bahkan sejalan dengan kemunduran ummat, yang berakar pada kian melemahnya apresiasi dan pemahaman mereka terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang jernih, baik dari sisi aqidah maupun syari’ahnya, gerakan muslimahpun mulai mengalami pasang surut.

Pada fase tertentu, yakni ketika ‘pemikiran-pemikiran ekstrim’ seputar ‘fitnah kaum wanita’ menjadi mainstream berpikir umat dalam membangun sistem interaksi sosial (an-nidzam al-ijtima’iy) di antara mereka, peran para muslimah mulai terpinggirkan. Muslimah saat itu, bukan saja telah kehilangan kesempatan untuk berkiprah ditengah-tengah umat sesuai dengan batasan-batasan syari’at. Bahkan banyak dari hak dan kewajiban syar’i yang akhirnya tak bisa tertunaikan; mencari ilmu, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mu’amalah di bidang ekonomi/pengembangan harta, dan lain-lain. Praktis, pergerakan muslimahpun nyaris tak terdengar.

Pada fase ini, gambaran peng-harem-an kaum perempuan di istana-istana para penguasa, ‘pemenjaraan’ mereka di balik burdah dan hijab mutlak, pemingitan mereka di rumah-rumah suaminya, justru kian menyeruak ke permukaan, seolah menjadi ‘budaya baru’ yang terlegitimasi atas nama agama. Fase inilah yang kemudian digambarkan sebagai fase sejarah buruk kaum perempuan muslim, dimana penindasan dan pemenjaraan kaum perempuan tidak hanya berdampak pada kian teralienasinya hak dasar dan peran sosial politik mereka, tetapi lebih jauh ternyata berdampak pada kian terpuruknya kondisi umat dengan lahirnya generasi ‘lemah’ tak berdaya dari rahim-rahim mereka. Akibatnya, sejak saat itu umat Islam terus mengalami kemunduran. Dan tragisnya, penyebab munculnya kondisi buruk ini sedikit demi sedikit mulai dinisbahkan pada Islam. Sehingga jadilah Islam sebagai pihak yang dipersalahkan!

Di sisi lain, ‘kebangkitan dunia Barat’ dengan sekularisme sebagai ruhnya, diakui banyak pihak telah berimbas ke dunia Islam yang sedang sekarat. Dunia Islam mulai melihat peradaban Barat sebagai peradaban yang lebih menjanjikan kemuliaan dan kebangkitan dibandingkan Islam. Ide-ide semisal demokrasi, liberalisme, pluralisme, manfaatisme dan isme-isme sekuleris lainnya tanpa ragu mereka ambil sebagai nyawa baru, bahkan sebagai tuhan-tuhan baru. Sementara dalam konteks keperempuanan, ide feminisme yang juga merupakan derivasi sekulerisme dan di negeri kelahirannya diklaim sebagai spirit bagi ‘bangkitnya kesadaran eksistensial’ kaum perempuan, kemudian diadopsi mentah-mentah oleh sebagian kalangan muslimah yang kadung kecewa dengan agama mereka yang kadung dicap agjaran 'kolot'.

Saat itulah gerakan muslimah kembali menggeliat. Tetapi kali ini gerakan muslimah tampil dengan format dan nafas yang baru, yakni nafas ‘kekufuran’ yang ditawarkan sekularisme. Tanpa tedeng aling-aling, mereka hujat agama sebagai biang ketidakadilan dan kejumudan kaum perempuan, sehingga menurut anggapan mereka agama sudah saatnya didaur ulang atau bahkan dipeti eskan. Lantas jargon ‘pembebasan perempuan’ pun mulai bergaung demikian kencang di dunia Islam, mengalahkan seruan untuk segera menetapi kembali ‘keseimbangan pembagian peran’ yang sesungguhnya ditawarkan Islam namun selama ini terabaikan.

Muslimah di era ini memang telah larut dalam euphoria pembebasan. Ibarat kran yang lepas, muslimah saling berebut kesempatan melepas segala atribut dan pagar pembatas kebebasan. Jilbab, perwalian, pewarisan, institusi perkawinan mulai dipertanyakan. Kesetaraan tanpa bataspun menjadi sebuah impian, sementara peran ‘tradisional’ sebagai isteri dan ibu berubah menjadi hal yang menakutkan. Disinilah sekulerisme memainkan peranan strategisnya: dalam urusan kehidupan agama tak perlu diberi tempat. Karena bagi mereka agama hanyalah layak menjadi sajian ‘pelengkap’ saat ritual perkawinan dan upacara penguburan dilangsungkan!

Bahagiakah mereka? Bisa jadi di awal ya. Akan tetapi pada akhirnya sebagian dari mereka tersentak kaget melihat kenyataan, bahwa feminisme ternyata hanya menjanjikan kebahagiaan maya. Perempuan muslim bukan bertambah mulia, dan umatpun bukan semakin berjaya. Kaum muslimah justru kian kehilangan jati diri, menjadi makhluk asing yang tak bisa membangun harmoni dalam habitat kemanusiaannya sendiri. Sementara umat dan masyarakat nyaris ambruk karena kehilangan pilar penyangga, setelah kaum perempuan mencampakkan tabiat fitrinya sebagai pengayom dan penjaga generasi. Sebuah pengakuan yang jujur, ketika seorang Danielle Crittenden, penulis buku bertajuk “What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women” (1999) mengungkap hasil dari 10 tahun meneliti fakta kehidupan perempuan modern di Amerika.
Menurutnya, perempuan-perempuan itu ternyata tak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang menurutnya tak lebih dari sekedar mitos. Betapa tidak, keberhasilan meraih kesetaraan tanpa batas, ternyata harus mereka bayar dengan merebaknya kasus perceraian, kesendirian dimasa tua, anak-anak bermasalah, persaingan yang melelahkan, yang seluruhnya berarti ‘ketidakbahagiaan’.

Sayang, fakta rusaknya masyarakat dan kejujuran wanita barat akan ‘bullshitnya’ pemikiran feminisme ini tak lantas menyadarkan kaum muslimah di negeri-negeri Islam, bahwa apa yang mereka harap dari gemerlapnya dunia Barat beserta ide yang ditawarkannya hanyalah utopia belaka. Ketikapun muncul kesadaran, mereka tak sampai terhantarkan pada kesimpulan bahwa kebahagiaan hakiki hanya akan terwujud dengan kembalinya mereka pada kehidupan Islam. Pada taraf ini, mereka menganggap bahwa agama sudah terlanjur cacat. Sekulerisme rupa-rupanya sudah demikian kuat tertancap, hingga agama tidak lagi mendapat tempat, dan tolok ukur prestise maupun kebahagiaan pun tidak lagi bersandar pada ukuran-ukuran agama, melainkan bersandar pada hal-hal yang bersifat fisik dan materil. Dengan frame inilah gerakan muslimah terus menggeliat, berubah bentuk, berlari, akan tetapi tetap tanpa arah.

Gerakan Muslimah dan Potret Buram Umat Islam Kini

Ada satu kenyataan yang seharusnya dikritisi dengan akal jernih dan bening hati, bahwa persoalan umat hari ini sesungguhnya bukan sekedar persoalan ketertindasan perempuan. Kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, kebodohan, submission, mal nutrisi, dan seribu satu persoalan lain yang selama ini oleh kalangan feminis diklaim sebagai ‘persoalan perempuan’ senyatanya tidak hanya menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Bahkan kita mau jujur mengakui, justru inilah sesungguhnya potret keseluruhan wajah kita --umat Islam—pada hari ini!!!

Tentu saja, kesadaran akan kenyataan seperti ini semestinya tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan, tetapi juga oleh umat Islam secara keseluruhan. Yakni bahwa saat ini, umat memang sedang sakit! Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya perubahan dan kemajuan juga tidak hanya menjadi milik kaum perempuan saja atau laki-laki saja, tetapi menjadi milik semua komponen umat. Sebab jika tidak, maka yang akan terjadi adalah situasi blunder dan jalan ditempat. Masing-masing berkutat menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri, tanpa mau melihat bahwa sesungguhnya ada persoalan besar yang menjadi akar persoalan mereka secara keseluruhan.

Kesalahan kita selama ini, termasuk yang terjadi pada pergerakan muslimah adalah selalu berpikir dan memandang masalah dengan paradigma kacamata kuda –yang ironisnya kacamata itu kita pinjam dari PERADABAN Barat (bukan sekedar karena 'dari Barat')--; parsial, dikotomik, individualistik dan tidak mendasar (tidak ideologis). Ketika melihat apa yang mereka sebut dengan ’persoalan perempuan’ misalnya, mereka selalu melihat dari sudut pandang yang sama: sudut pandang feministik, sudut pandang keperempuanan! bahwa ada masalah disparitas gender disana, bahwa ada dominasi budaya patriarki disana, bahwa hanya perempuan yang harus mengatasi persoalan perempuan, dan sebagainya . Padahal yang sesungguhnya terjadi –sekali lagi—adalah, ini persoalan umat yang harus segera diselesaikan secara bersama-sama. Karena bukankah perempuan dan laki-laki adalah bagian dari ummat?

Dengan demikian, persoalannya sekarang bukan bagaimana agar gerakan perempuan berusaha memberdayakan perempuan, dengan sekedar misalnya mendorong mereka berperan aktif seluas-luasnya di ranah publik, termasuk di dunia politik sehingga terbangun bargaining yang sama kuat antara kaum perempuan dan laki-laki. Bukan pula sekedar berpikir bagaimana mendekonstruksi bangunan budaya (dalam hal ini yang dimaksud adalah agama Islam) yang dianggap terlalu memihak laki-laki hingga membuat kaum perempuan tersubordinasi. Karena ternyata persoalan ketertindasan (perempuan), diskriminasi (perempuan), kemiskinan (perempuan) dan sebagainya bukan sekedar persoalan perempuan versus laki-laki. Persoalan-persoalan tadi ternyata hanyalah merupakan bagian kecil saja dari sedemikian banyak problematika yang dihadapi umat, yang jika ditelusuri ternyata berpangkal pada akar yang sama yakni rusaknya tatanan kehidupan yang diterapkan saat ini, bukan lantaran kultur patriarkat yang mysoginik.

Tatanan hidup yang dimaksud tak lain adalah tatanan hidup sekuleristik yang tegak di atas aqidah sekuler yang senyatanya kini sedang mengungkung kehidupan kaum muslimin dimanapun. Aqidah ini menafikan peran Sang Khaliq dalam pengaturan kehidupan (fashlu ad-diin ‘an al-hayaah) dan pada saat yang sama justru memberikan hak prerogratif pengaturan kehidupan tersebut kepada manusia, sehingga manusia bertindak sebagai rabbul ‘aalamiin. Dari aqidah rusak ini, wajar jika kemudian lahir sistem hidup yang rusak pula; sistem ekonomi kapitalistik, tata sosial individualistic dan rancu, sistem politik opportunistik, sistem pendidikan materialistik, tatanan budaya yang hedonistik, serta aturan-aturan cabang lainnya yang tak kalah rusaknya dan kini terus memunculkan krisis multidimensi berkepanjangan.

Secara fakta, kerusakan ini adalah hal yang niscaya. Bagaimana bisa, manusia yang serba lemah dan terbatas mampu membuat aturan kehidupan yang sempurna tanpa cacat, yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi semua orang, sementara tentang hakekat penciptaan dirinyapun mereka tidak tahu? Sedangkan secara aqidah, Allah SWT telah mengingatkan kita, bahwa sepanjang manusia mengingkari hak Rubbubiyah Allah, maka manusia akan terperosok pada kehidupan yang serba sempit lagi hina.
Firman Allah Ta’ala :

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan (syari’at)Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" . (TQS. Thaha[20]:124)

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan “. (TQS. Al-Mujadilah[58] : 5)

Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir mendasar yang tidak dimiliki perspektif feministik; berpikir bahwa persoalan kita yang sedemikian banyak, ternyata berakar pada satu soal saja, yakni persoalan ideologis; Ketiadaan sistem Islam. Selama persoalan ini tidak terpecahkan, maka selama itu pula kita akan larut dalam krisis tak berkesudahan.

Dalam kerangka perjuangan mengembalikan sistem kehidupan Islam inilah seharusnya gerakan muslimah bangkit dan bergerak mengambil peran. Yakni dengan cara bersinergi dengan gerakan umat secara keseluruhan untuk melakukan perubahan yang bersifat mendasar. Gerakan muslimah tidak boleh lagi terus berkutat pada persoalan-persoalan cabang (‘persoalan perempuan’), karena selain hanya akan melalaikan umat dalam persoalan-persoalan yang parsial, lebih dari itu justru akan kian mengukuhkan dominasi sistem kufur dalam kehidupan kaum muslimin.

Gerakan Muslimah dan Tantangan Ke-Depan

Memang tidak mudah membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian. Apalagi hingga saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler, sementara pemahaman ummat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Tak heran jika, pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat.

Jika kita tengok kembali ke belakang, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang dialami kaum muslim generasi awal. Mereka --para aktivis gerakan Islam yang terdiri dari kalangan shahabat dan shahabiyat ra-- dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Akan tetapi dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan ‘kekufuran’, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam.

Oleh karenanya, dari merekalah sepatutnya hari ini kita mengambil teladan, apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena seperti yang sudah dijelaskan di awal, merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang dipenuhi dengan semangat ruhiyyah dan nilai-nilai Ilahiyyah. Mereka radiallahu ‘anhum, adalah generasi terbaik yang dikader dan dibina langsung oleh Rasulullah Saw, suri tauladan terbaik. Sehingga kita melihat bahwa kehidupan mereka juga senafas dengan kehidupan Rasulullah Saw, nafas perjuangan li i'laa’i kalimatillah.

Berkaca dari sejarah itulah maka, kita melihat ada beberapa hal yang harus diluruskan dari gerakan muslimah saat ini:
Pertama, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadikan aqidah dan hukum Islam sebagai landasan gerak dan perjuangannya, bukan ide feminisme ataupun ide-ide lainnya yang asumtif dan sekularistik. Harus diyakini, bahwa hanya dengan menjadikan aqidah dan hukum Islamlah gerakan muslimah akan membawa berkah berupa kemuliaan umat yang hakiki dibawah naungan ridha Illahi.

Kedua, pergerakan perempuan (muslimah) harus memiliki visi dan misi yang sama dengan pergerakan kolektif (jama’ah) Islam, yakni bertujuan menegakkan kalimah Allah, dengan cara membina dan menyebarkan pemikiran Islam yang jernih dan utuh (kaaffah) di tengah-tengah umat, terutama di kalangan muslimah lainnya; juga melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, sehingga kesadaran akan rusaknya sistem kehidupan yang mengungkung mereka saat ini dan keharusan kembali kepada sistem Islam akan tersebar menyeluruh di setiap komponen umat, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian yang menjadi titik tekan perjuangan gerakan perempuan --sebagaimana pergerakan umat secara umum--- ada pada tataran strategis, bukan hanya pada tataran bagaimana memperjuangkan agar perempuan berada pada posisi puncak pengambil kebijakan dengan dalih kesetaraan --karena Islam telah memberi kedudukan yang setara di antara keduanya (QS. 49:13)--, melainkan berupaya agar perpektif Islamlah yang menjadi landasan berpikir bagi para pengambil kebijakan dan pemegang kekuasaan, sehingga dipastikan hanya perspektif inilah yang akan mewarnai setiap interaksi masyarakatnya.

Ketiga,
gerakan perempuan (muslimah) harus menjadi bagian yang bersinergi dengan pergerakan kolektif Islam. Karena sebagaimana diketahui, para aktivis da’wah dimasa Rasulullah Saw, baik laki-laki maupun perempuan, dibina dan bergerak dengan mengikuti tanzhim tertentu yang langsung berada di bawah komando Rasulullah Saw sebagai pemimpin gerakan. Dengan demikian, pergerakan muslimah tidak harus menjadi pergerakan tersendiri yang terpisah dari pergerakan laki-laki, karena hal ini hanya akan menyulitkan koordinasi dan memperlemah kekokohan barisan perjuangan membangkitkan umat. Di samping itu, jika saat ini kita melihat bahwa gerakan-gerakan perempuan yang ada cenderung terpisah dari gerakan umat secara keseluruhan, ini karena mereka memang berangkat dari asumsi-asumsi yang bercorak individualistik, termasuk ketika memandang masalah yang menimpa perempuan sebagai masalah perempuan. Sementara itu, Islam memiliki perspektif yang khas dan universal, dimana setiap permasalahan yang muncul akan dipandang sebagai masalah manusia, tidak dibedakan sebagai masalah laki-laki saja atau perempuan saja yang harus menjadi tanggungjawab seluruh umat, dan harus dipecahkan dengan pemecahan yang sama yakni dengan Islam. Sistem Islam inilah yang akan memberi pemecahan yang holistic, tuntas dan sempurna, serta akan menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, karena sistem ini berasal dari Dzat yang menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang Maha adil dan Maha Sempurna. Dengan perspektif inilah, gerakan perempuan Islam menjadi bagian gerakan kolektif umat yang berjuang untuk mewujudkan sistem ini di tengah-tengah masyarakat.

Keempat, disamping harus memiliki kejelasan fikrah (konsep/pemikiran) dan thariqah (tatacara merealisasikan pemikiran), serta ikatan yang shahih di antara para aktivisnya, pergerakan perempuan (muslimah) --sebagaimana juga pergerakan jama’ah Islam yang menjadi induknya-- harus memiliki wawasan politik global, dalam arti memiliki kesadaran bahwa umat Islam di dunia adalah umat yang satu, dan harus menjadi umat yang satu, baik secara pemikiran maupun secara politis. Sehingga perjuangan pergerakan muslimah tidak boleh terbatasi oleh sekat-sekat imajiner bernama negara, melainkan lebur dalam aktivitas pergerakan muslimah dan umat Islam lainnya yang berjuang di seluruh pelosok bumi mewujudkan satu kepemimpinan politis yang menerapkan Islam atas seluruh umat.

Kelima, gerakan perempuan (muslimah) harus bersifat politis, yakni mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah-tengah masyarakat sesuai aturan Islam. Termasuk ke dalam konteks ini adalah mengarahkan upaya pemberdayaan politik perempuan pada target optimalisasi peran dan fungsi kaum perempuan sebagai pencetak dan penyangga generasi. Dengan demikian arah pemberdayaan tidak semata focus pada optimalisasi peran publik saja (sebagaimana perpektif feministic yang mendikotomiskan sektor publik dan domestik) melainkan mengarah pada upaya optimalisasi seluruh peran perempuan, baik di sektor publik maupun domestik sesuai tuntunan syariah. Pada tataran praktis, hal ini dilakukan dengan cara membina pemikiran dan pola sikap mereka dengan Islam, agar terbentuk muslimah berkepribadian Islam tinggi, disamping mengarahkan mereka agar memiliki kesadaran politik Islam yang juga tinggi. Yakni dengan memahamkan mereka akan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan umat, serta mendorong mereka agar senantiasa mengikuti perkembangan peristiwa politik dalam dan luar negeri mereka, karena kesadaran politik Islam yang dimaksud adalah mereka memahami dan meyakini bahwa pemeliharaan urusan-urusan umat (politik dalam maupun luar negeri) harus diatur dengan syari’at Islam. Dengan cara inilah kaum muslimah dipastikan akan mampu mendidik generasi pemimpin yang berkepribadian Islam mumpuni, cerdas dan berkesadaran politik tinggi. Dan jika ini berhasil, maka bisa dipastikan kepemimpinan dunia akan kembali ke tangan umat Islam, sebagaimana yang dulu pernah terjadi di masa-masa awal kebangkitan Islam, dimana dipastikan pada saat itu, kehidupan yang ideal dan membahagiakan akan dirasakan oleh seluruh umat, tidak hanya kaum laki-laki saja, tapi juga perempuan. Insya Allah []

Wallahu a’lam bi ash-shawwab

--------------------

Jumat, 02 Desember 2011

KELUARGA MUSLIM DALAM ANCAMAN (Mewaspadai Upaya Liberalisasi Keluarga Melalui Ide KKG)

Oleh : Siti Nafidah Anshory

“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. “(Q.s. as-Shaff [61]: 08)

Pengantar

Terwujudnya keluarga ideal atau keluarga Islami tentu merupakan dambaan setiap orang. Siapapun akan berharap rumahtangga yang dibangunnya dipenuhi suasana sakinah mawaddah wa rahmah, dengan pasangan yang shaleh atau shalehah, suami atau isteri yang menyejukan mata dan jiwa, serta anak-anak yang cerdas dan berbakti. Terlebih jika berbagai kebutuhan hidup bisa dicukupi dengan mudah, atau setidaknya tidak sesulit yang kita rasakan saat ini. Tentulah kehidupan yang dijalani akan begitu indah bagaikan di surga dunia.

Sayangnya, mewujudkan keluarga ideal semacam ini bukan sesuatu yang mudah. Sistem sekuler yang mengungkung masyarakat kita saat ini membuat kehidupan serba sempit. Berbagai krisis terus mewarnai kehidupan masyarakat, mulai dari krisis politik yang berujung konflik, krisis ekonomi, krisis moral dan budaya, krisis sosial, dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan adanya benturan-benturan nilai akibat berkembangnya pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.

Kenyataan ini mau tidak mau berdampak pula pada kehidupan keluarga muslim. Jarang ditemui keluarga muslim yang benar-benar bisa menegakkan nilai-nilai Islam. Keluarga Muslim, bahkan ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik dan individualistik. Tak sedikit pula keluarga muslim yang turut goyah bahkan terguncang, hingga angka perceraian dan trend single parent terus meningkat. Dampaknya bisa ditebak. Kenakalan anak dan remaja juga menjadi potret buram umat Islam saat ini yang tentu saja akan menjadi ancaman serius bagi nasib umat Islam dan bangsa secara keseluruhan di masa depan.

Kenapa terjadi ?

Setidaknya ada dua faktor penyebab kenapa kondisi di atas bisa terjadi. Pertama, faktor internal umat Islam yang lemah secara akidah sehingga tidak memiliki visi-misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan keluarga, fungsi dan aturan-aturan main di dalamnya.

Kedua, faktor eksternal, berupa adanya upaya konspirasi asing untuk menghancurkan umat Islam dan keluarga muslim melalui serangan berbagai pemikiran dan budaya sekuler yang rusak dan merusak, terutama paham liberalisme yang menawarkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku, beragama maupun dalam kepemilikan. Paham ini secara langsung telah mengeliminir peran agama dari pengaturan kehidupan manusia, sekaligus menjadikan manusia menjadi Rabbul ’Alamin yang bebas menentukan arah dan cara hidupnya, termasuk yang terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.

Dengan paham ini, umat Islam dikondisikan untuk ’merasa malu’ terikat dengan hukum-hukum Islam. Terlebih, hukum-hukum Islam memang sengaja dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam sebagai aturan-aturan yang kolot, anti kemajuan, ekslusif, bias gender dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sebagai gantinya, umat Islam justru menuntut penerapan berbagai aturan yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan itu bertentangan dengan syari’at agama mereka.

Konspirasi ini secara massif dilakukan ke dunia Islam melalui peran lembaga-lembaga Internasional terutama PBB yang hakekatnya merupakan alat penjajahan Barat. Melalui berbagai event, PBB, atas pesanan negara-negara Barat Kapitalis mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, BPFA dll yang spiritnya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Berbagai konvensi dan hasil kesepakatan ini kemudian dipaksa untuk dirativikasi/diadopsi oleh seluruh negara-negara di dunia melalui blow up opini, tekanan politik, syarat bantuan dan lain-lain. Hanya saja, tak sedikit negara-negara di dunia yang dengan sukarela mengadopsi dan menjadikannya sebagai ”kitab suci” atau rujukan bagi peraturan-peraturan publik yang diterapkan atas masyarakatnya, termasuk di dunia Islam.

Lahirlah berbagai UU sekuler yang pro liberal di negeri-negeri tersebut dengan bantuan sponsorship para kapitalis (TAF, USAID, World Bank, dll) dan advokasi dari mereka. Di Indonesia sendiri, lahir UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, draft CLD KHI, UU Kesehatan, Rancangan Amandemen UU Perkawinan dan Hukum Materil Peradilan Agama, yang kesemuanya mengandung ruh dan content yang sama persis dengan ’kitab suci’ yang diwahyukan musuh Islam tadi.

Sebagai contoh, pasal 51 ayat 1 DUHAM 1948 berbunyi: Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. Sedangkan Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan antara lain memuat tentang hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut; hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, dan lain-lain.

Jika dicermati isi deklarasi dan konvensi ini nyaris sama dengan berbagai kebijakan yang sudah diundangkan maupun yang masih berupa draft rancangan UU. Kesemuanya mengandung spirit pembebasan dari aturan Islam, termasuk merombak pola interaksi, peran dan fungsi perempuan sebagaimana diajarkan Islam sekaligus menghapus kepemimpinan suami, yang berujung pada upaya mendesakralisasi lembaga perkawinan sekaligus membuka keran kebebasan atas nama kesetaraan dan HAM. Sebagai contoh, UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam.

UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga. Begitupun, amandemen UU Kesehatan memuat aturan yang ‘bergesekan’ dengan hukum Islam, semisal mencegah nikah dini, tapi memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. Sedangkan UU PA memberi peluang kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku, termasuk kebebasan beragama.

Di tingkat akar rumput, upaya ini diperkuat dengan gerakan massif seluruh operator lapangan dan event organizer mereka dari kalangan LSM liberal dan LSM gender yang mereka danai dan mereka bina. Sedangkan di level atas, konspirasi juga dilakukan bersama para penguasa yang menjadi antek Barat melalui penerapan sistem sekuler yang selain bertentangan dengan Islam, keberadaaannya justru mengokohkan liberalisasi, semisal dengan menerapkan sistem politik yang opportunistik, sistem ekonomi yang kapitalistik, sistem budaya yang hedonistik, sistem sosial yang individualistik dan lain-lain. Disamping akan melahirkan kerusakan, penerapan sistem sekuler seperti ini, pada saat yang sama justru mengukuhkan hegemoni kapitalisme atas kaum muslimin.

Mengapa konspirasi penghancuran ini dilakukan, tidak lain karena Islam dan umat Islam memiliki potensi ancaman bagi hegemoni peradaban Barat (kapitalisme global). Selain potensi sumberdaya manusia yang sangat besar berikut sumberdaya alamnya yang melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan mampu menandingi sistem kapitalisme global.

Di samping itu, keluarga muslim saat ini masih berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan individu, setelah hukum-hukum Islam lainnya menyangkut aspek sosial dan kenegaraan berhasil mereka hancurkan. Terpeliharanya sisa-sisa hukum-hukum Islam oleh keluarga-keluarga Muslim ini pun masih menyimpan potensi besar dalam melahirkan generasi-generasi pejuang yang menjadi harapan umat di masa depan. Inilah yang mereka takutkan. Dari keluarga-keluarga muslim ini, akan lahir sosok muslim militan yang siap menghancurkan hegemoni mereka atas dunia.

Itulah kenapa, mereka sungguh-sungguh berupaya menghancurkan keluarga muslim dengan berbagai cara. Diantaranya, dengan berupaya menjauhkan para muslimah dari cita-cita menjadi ibu atau dari penyempurnaan peran ibu. Secara sistem, diciptakanlah kemiskinan struktural melalui penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarga dan karenanya peran ibu tidak bisa optimal. Selain itu, mereka racuni benak para muslimah dengan berbagai pemikiran yang merusak semisal ide emansipasi atau keadilan dan kesetaraan gender dan kebebasan, sehingga para muslimah lebih tertarik mengaktualisasikan diri di ranah publik dan pada saat yang sama merasa rendah diri akan peran-peran domestik mereka. Dampak lanjutannya, lahir generasi tanpa bimbingan dan pengasuhan optimal para ibu.

Cara-cara di atas kemudian diperkuat oleh penyebarluasan tafsir liberal atas nash-nash syariat dengan dalih pembaharuan hukum Islam, yang antara lain dimotori LSM-LSM liberal tadi serta para intelektual dan ulama su’u yang sejatinya adalah antek asing yang bekerja dan dibayar demi kepentingan asing. Sebagaimana yang sudah disebut, kitab suci rujukan mereka pun berasal dari wahyu asing, bukan al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti kitab Deklarasi PBB tentang HAM, CEDAW, BPFA, MDGs, dan sebagainya.

Dari tangan mereka inilah lahir berbagai produk pemikiran Islam yang sangat sekuler namun diklaim bertujuan memajukan perempuan dan umat Islam. Salah satu diantaranya tercermin dalam draft CLD KHI yang digagas Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI pimpinan Musdah Mulia dan dirilis pada 4 Oktober 2004 di Jakarta. Jika dicermati, isi tandingan Kompilasi Hukum Islam ini betul-betul merupakan counter terhadap aturan-aturan yang masih menjadi pemahaman mainstream masyarakat Islam, semisal pasal yang menyatakan bahwa perkawinan bukan ibadah melainkan kontrak biasa, pernikahan beda agama boleh, perempuan boleh menjadi wali, poligami haram, dan lain-lain. Mereka mengklaim, bahwa aturan-aturan seperti inilah yang adil gender dan memuliakan perempuan.

Karena kontroversial, produk pemikiran yang prosesnya menelan biaya tak sedikit dari bantuan dana asing (The Asia Foundation) ini akhirnya dianulir oleh Menteri Agama saat itu (Maftuh Basuni) dengan keluarnya surat No : MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004. Namun sekalipun upaya ini nampak gagal, semangat liberalisasi dan sekularisasi mereka tetap hidup.

Hingga saat ini mereka terus berjuang untuk menjadikan akidah sekuler yang mereka yakini menjadi akidah yang juga diyakini umat Islam dan keluarga-keluarga kaum muslimin. Gerakan mereka bahkan melintasi batas-batas negara dan menjadi agenda bersama jaringan feminisme internasional. Gerakan ini diwujudkan –antara lain-- dalam bentuk penyelenggaraan kongres-kongres berskala internasional. Terakhir di antaranya, Congress on Islamic Feminisme ke-3 di Barcelona pada 24 Oktober 2008 yang membahas “denounced Islamic family laws and other Shariah rules related to the woman and called for a re-interpretation based upon gender equality” dan Kongress Musawah, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara. Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan rekomendasi yang mengandung spirit sama dengan CLD KHI, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik, serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut'ah.

Apa yang menjadi tujuan semua konspirasi mereka sesungguhnya sangat jelas, yakni ingin merusak identitas keislaman kaum muslimin, menghapus militansi ideologis mereka dan melemahkan daya juang umat Islam. Dengan cara ini, target besar mereka akan terwujud, yakni menghambat gerakan mengembalikan Khilafah Islamiyah yang memang sudah menggejala di seluruh dunia. Terlebih, sebagaimana prediksi RAND Corporation (lembaga intelejen AS), ada kemungkinan pada tahun 2020 peta politik global disemarakkan dengan bangkitnya kekhilafahan baru. Karenanya, AS sebagai motor kapitalisme global sedini mungkin berupaya memperkecil kemungkinan tersebut dengan berbagai cara.


Apa Yang Harus Dilakukan?

Berdasarkan pencermatan terhadap faktor-faktor penyebab di atas, jelas, bahwa upaya liberalisasi berlangsung secara sangat sistematis, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak negara-negara kapitalis sebagai konspiratornya, para kapitalis sebagai penyandang dananya, sementara LSM liberal/gender dan pemerintah bertindak sebagai EO-nya. Maka upaya strategis yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai konspirasi asing dalam penghacuran keluarga muslim adalah mengajak umat untuk bersegera meninggalkan sistem liberal sekuler ini, dengan cara melakukan pencerdasan umat dengan Islam kaaffah (ideologis). Targetnya adalah untuk membangun profil muslim/muslimah tangguh yang siap berjuang melakukan perubahan sistem.

Dalam konteks muslimah, pencerdasan diarahkan untuk membangun profil muslimah yang siap mencetak generasi pejuang, menjadi isteri salehah pendamping para pejuang sekaligus yang siap mengajak dan memimpin para muslimah untuk perubahan ke arah Islam. Pada saat yang sama, diupayakan pengokohan fungsi keluarga muslim, agar menjadi keluarga-keluarga yang tegak atas dasar ketaatan kepada Allah, menjadikan syari’at Islam sebagai standar sehingga setiap keluarga muslim mampu berfungsi sebagai mesjid, madrasah, rumahsakit, benteng pelindung dan kamp perjuangan yang siap melahirkan generasi pejuang dan pemimpin umat, yang berkualitas mujtahid sekaligus mujahid. Kesemuanya itu diarahkan untuk mewujudkan masyarakat taat syariat, dimana pemikiran, perasaan dan aturan masyarakatnya diikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, yakni Islam.

Adapun strategi yang dibutuhkan untuk meraih target ini tidak lain adalah dengan menggencarkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali muslimah. Hingga Islam dipahami secara utuh sebagai solusi masalah-masalah kehidupan mereka. Dengan cara ini, akan muncul para muslimah tangguh yang memiliki kecerdasan politik tinggi dan siap memperjuangkan Islam secara bersama-sama..

Tentu saja, upaya besar ini mengharuskan adanya sinergi dari semua komponen umat yang sudah sadar, khususnya dari kalangan simpul umat (para tokoh masyarakat), baik di tingkat grass root, hingga tingkat atas. Di tangan merekalah tersimpan potensi perubahan, disamping terbeban tanggungjawab besar membawa umat ini meraih kemuliaan mereka kembali sebagai khoyru ummah.

Sesungguhnya, kewajiban memperjuangkan Islam adalah konsekuensi keimanan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Dan kita semua, tak akan bisa menghindar dari misi mulia ini, kecuali kita siap menghadapNya tanpa hujjah. Semoga, kita semua termasuk yang bisa kembali ke Haribaan-Nya dengan membawa hujjah yang nyata. Hingga di akhirat, kita layak bersanding dengan Rasulullah tercinta dan barisan para pejuang radhiyallaahu 'anhum di sisinya. Amin.[][]