
Oleh : Siti Nafidah Anshory
Pengantar
Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Selain mencakup pemikiran dasar mengenai aqidah (aspek ruhiyah/spiritualitas), Islam juga mengatur aspek siyasiyah (dalam arti pengaturan urusan kehidupan manusia), baik dalam masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam, termasuk hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah).
Dalam konteks hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah), Islam telah menetapkan seperangkat aturan yang begitu agung dan sempurna, baik yang menyangkut masalah perkawinan, waris, nasab, wilayatul abb (perwalian), thalaq, ruju’ dan lain-lain. Semua aturan ini sejalan dengan pandangan Islam yang sangat concern terhadap masalah keluarga dan menempatkannya sebagai bagian penting dalam masyarakat. Bahkan dalam Islam, keluarga bisa diibaratkan sebagai benteng pertahanan terakhir dalam menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang akan merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat Islam yang bersih dan tinggi.
Fungsi Keluarga, Tak Hanya Sosial
Dalam pandangan Islam, selain memiliki fungsi sosial, keluarga juga memiliki fungsi politis dan strategis. Secara sosial, keluarga adalah ikatan terkuat yang berfungsi sebagai pranata awal pendidikan primer, dengan ayah dan ibu sebagai sumber pengajaran pertamanya, sekaligus sebagai tempat membangun dan mengembangkan interaksi harmonis untuk meraih ketenangan dan ketentraman hidup satu sama lain. Secara politis dan strategis, keluarga berfungsi sebagai tempat yang paling ideal untuk mencetak generasi unggulan, yakni generasi yang bertakwa, cerdas dan siap memimpin umat membangun peradaban ideal di masa depan, sebagaimana telah terbukti berhasil membangun peradaban ideal umat Islam di masa lalu hingga umat Islam muncul sebagai khoyru ummah.
Karenanya keluarga dalam fungsi-fungsi ini bisa diumpamakan sebagai madrasah, rumahsakit, masjid bahkan camp militer yang siap mencetak pribadi-pribadi mujtahid sekaligus mujahid. Adapun berbagai pembagian peran dan fungsi yang ada di dalamnya, berikut berbagai implikasi pembagian hak dan kewajiban di antara anggota keluarga, dapat dipahami sebagai bentuk kesetaraan, keadilan dan kesempurnaan yang diberikan Islam dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan duniawi dan ukhrawi yang mulia ini. Di sana, tak ada satu peran dan fungsi pun yang dianggap lebih tinggi daripada peran dan fungsi yang lainnya.
Di samping memiliki rincian aturan mengenai hukum-hukum keluarga, Islam juga memiliki seperangkat aturan yang memastikan hukum-hukum di atas tegak secara sempurna, baik yang harus dilaksanakan oleh individu, masyarakat maupun Negara. Secara individu, setiap Muslim dalam perannya masing-masing (sebagai individu, anak, suami atau isteri, ibu atau ayah, sebagai anggota masyarakat) diharuskan memiliki pemahaman yang benar berkaitan dengan seluruh hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga dan wajib terikat dengannya sebagai konsekuensi iman. Sementara masyarakat, wajib melakukan kontrol melalui aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tatkala mendapati penyimpangan dalam pelaksanaan aturan sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi berjalannya fungsi-fungsi keluarga. Adapun negara berkewajiban memelihara lingkungan yang tepat melalui penetapan berbagai kebijakan publik yang sesuai dengan tuntutan syariat dan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung bagi terwujudnya kondisi tersebut. Misal dengan melegislasi hukum-hukum keluarga Islam, menerapkan kontrol media secara ketat, penerapan system pendidikan yang ideal, kebijakan ekonomi yang menyejahterakan, penegakkan sanksi, dan lain-lain.
Dalam konteks Indonesia, peran Negara ini antara lain diwujudkan melalui diundangkannya materi-materi hukum keluarga, seperti Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil kesepakatan para ulama Indonesia dan kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991. Sayangnya, disamping aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya mengadopsi hukum-hukum keluarga menurut syari’at Islam, implementasi hukum-hukum tersebut masih belum optimal dan belum didukung oleh kebijakan-kebijakan yang mampu menguatkan berjalannya fungsi-fungsi keluarga sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.
Ancaman Liberalisasi
Banyak fakta yang bisa menguatkan konklusi ini. Penerapan sistem pendidikan yang masih carut-marut, baik menyangkut paradigma, kurikulum, metode pengajaran dan fasilitasi, membuat pendidikan yang sudah berupaya ideal dibangun dalam keluarga tidak sinergi dengan hasil pendidikan di lembaga formal. Demikian juga dengan sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan, membuat kehidupan mayoritas masyarakat –termasuk keluarga-keluarga muslim-- terjebak dalam kemiskinan kultural dan struktural, sekaligus memicu berkembangnya pola kehidupan materialistik yang menghalalkan segala cara. Akibatnya, demi menyelamatkan ekonomi keluarga, para ibu ‘dipaksa’ masuk dalam bursa tenaga kerja murah dengan konsekuensi harus menanggalkan peran strategis mereka sebagai isteri dan ibu pendidik generasi bangsa. Tidak adanya sistem sanksi yang tegas juga membuat pelanggaran hukum, kemaksiatan dan kriminalitas merajalela dan mudah terjadi dimana-mana. Begitu pula dengan sistem budaya liberal yang dibangun, termasuk sikap longgar terhadap tayangan media dan berkembangnya tempat-tempat maksiat, membuat nilai-nilai akhlaq Islam yang ditanamkan dalam keluarga luntur sedikit demi sedikit tersibghah budaya yang rusak dan merusak.
Kondisi ini kemudian dikuatkan oleh berkembangnya pemikiran liberal sebagai bagian dari serangan pemikiran yang dilancarkan pihak asing, termasuk feminisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Pemikiran-pemikiran semacam ini memandang bahwa hukum-hukum Islam sudah out of date, tidak sejalan dengan perkembangan jaman, bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, kesetaraan dan lain-lain, dan karenanya harus direinterpretasi, bahkan di dekonstruksi. Dalam konteks hukum keluarga, hukum Islam sering dibenturkan dengan gagasan emansipasi dan gender equality (Keadilan dan Kesetaraan Gender/KKG), yang bagi kalangan liberal, memang menjadi fokus perhatian mereka, disamping isu HAM, pluralisme dan demokrasi.
Gerakan Islam Liberal yang diistilahkan oleh Fyzee sebagai Islam Protestan, sejak awal memang telah dikembangkan untuk ‘menghadirkan’ wajah Islam ‘lain’ yang non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam. Oleh karenanya, Islam Liberal dikenal sangat mendewakan ‘kemodernan’ sehingga Islampun harus disesuaikan dengan kemoderenan. Dalam pandangan mereka, “jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut”. Artinya, mereka menjadikan fakta sebagai sumber hukum, sementara ajaran Islam menjadi objeknya. Disinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal, yakni liberalisasi yang semakna dengan sekularisasi. Adapun keberadaan agenda feminisme sebagai salah satu agenda utama gerakan Islam liberal, disamping agenda politik, toleransi dan kebebasan berekspresi, menunjukkan bahwa keberadaan isu-isu gender yang diusungnya pun memang merupakan bagian dari proyek liberalisasi dan sekularisasi wajah Islam, termasuk di Indonesia.
Bagi kalangan liberal, termasuk feminis di dalamnya, liberalisasi memang merupakan prasyarat mutlak bagi kemajuan. Mereka mengadopsi pemikiran ini dari sejarah peradaban Barat yang menempatkan agama Kristen dan dominasi kekuasaan gereja sebagai sumber kemunduran dan obatnya adalah liberalisasi dan sekularisasi. Sayangnya, kalangan liberalis kemudian secara serampangan melakukan penyamaan premis ini kepada ajaran Islam. Padahal realitasnya, ajaran Islam dan Kristen berbeda, sehingga ‘penyakit’ yang diderita masyarakat Barat dan umat Islam juga sama sekali berbeda, hingga obatnya pun berbeda pula.
Kata ‘liberal’ sendiri berarti kebebasan. Sedangkan liberalisasi diartikan sebagai the act making less strict (upaya menghilangkan kekakuan). Oxford English Dictionary menerangkan bahwa pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas dari batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Kemudian pada 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu bebas dari prasangka dan bersifat toleran. Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah.
Hanya saja, kalangan liberal kemudian memperluas makna kata liberal ini menjadi kebebasan berpikir, yang mereka setarakan dengan konsep (kebebasan) ber-ijtihad. Karenanya, mereka kemudian mengembangkan konsep ijtihad baru yang berbeda metodologinya dengan konsep ijtihad yang dikembangkan para ulama salaf dengan dalih perubahan jaman dan perbedaan tempat. Mereka berpendapat, bahwa memaksa satu generasi untuk mengikuti keseluruhan hasil pemikiran generasi masa lampau (termasuk tafsir) akan mengakibatkan kesulitan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian yang terus berubah. Apalagi mereka memandang bahwa masyarakat akan selalu berubah sehingga fatwa-fatwa keagamaanpun harus berubah.
Mereka kemudian merekomendasikan penggunaan tafsir bercorak rasional yang dianggap cocok bagi masyarakat modern. Gagasan tentang HAM, pluralisme, gender dan demokrasi kemudian dipakai sebagai patokannya, bukan nash-nash syari’at itu sendiri. Mereka melakukan perubahan metodologi ijtihad ini secara mendasar, diawali dengan mempertanyakan otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu serta peran dan posisi akal terhadap wahyu (termasuk ide mengenai kewenangan akal publik mengamandemen ketentuan syariat jika ketentuan tersebut bertolak belakang dengan maslahat publik). Selain itu, mereka juga merekonstruksi batasan qath’iy-zhanniy dalam nash syari’at yang berimplikasi pada berubahan wilayah hukum yang boleh diijtihadi dan yang tidak, serta mereinterpretasi masalah maqashid syar’iy, dan lain-lain. Adapun dalam hal tafsir, mereka memperkenalkan pendekatan tafsir yang berbeda dengan pendekatan tafsir ulama salaf, yakni melalui pendekatan sosio-historis, hermeneutik dan sebagainya. Wajar jika produk-produk hukum yang dihasilkannya pun bisa jauh berbeda dengan pemahaman yang sudah ada sebelumnya.
Semua upaya itu memang sejalan dengan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yang jika dicermati sangat kental dengan semangat sekularisasi dan liberalisasi. Greg Barton, seorang penulis dan pendukung Islam Liberal dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia menggariskan beberapa prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; dan (d) Pemisahan agama dari partai politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. Jika dikaitkan dengan langkah-langkah implementasi yang mereka lakukan tadi, maka poin (a), (b) dan (c) bisa diartikan liberalisasi, sedangkan poin (d) berarti sekularisasi.
Liberalisasi, Konspiratif dan Strategis!
Jika diukur secara politik, kekuatan kelompok liberal, termasuk kalangan feminis cukup berpengaruh di negeri ini. Sekalipun jumlah pendukungnya sedikit, namun back-up politik asing (lembaga-lembaga Internasional, semacam PBB) dan pendanaan yang kuat dari foundation asing (semisal The Asia Foundation, World Bank dan USAID) membuat loby-loby politik mereka ke tataran kekuasaan dan legislasi cukup kuat. Hal ini terlihat dari berbagai langkah massif yang mereka lakukan dalam rangka mempengaruhi keluarnya berbagai kebijakan publik yang searah dengan pandangan mereka menyangkut liberalisasi dan pembaruan hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga. Fakta-fakta inilah yang menunjukkan bahwa ada konspirasi asing di balik gerakan liberalisasi dan sekularisasi hukum-hukum Islam.
Selama ini, pengadopsian hukum-hukum Islam tentang keluarga oleh negara memang sering menjadi sasaran kritik. Kalangan feminis dan liberalis sejak lama berpandangan bahwa hukum-hukum yang diberlakukan negara tersebut mengandung banyak persoalan, khususnya jika dikaitkan dengan hak dan martabat kaum perempuan. Selain dianggap mengandung budaya patriarkis yang bias gender, penerapannya oleh Negara dipandang sebagai bentuk legitimasi atas terjadinya ketidakadilan sistemik terhadap perempuan atasnama undang-undang. Dalam Dokumen Nasional Penerapan Hukum Islam di Indonesia yang mereka rilis pada bulan Pebruari 2009 disebutkan, bahwa melalui refleksi beberapa lembaga pengorganisasian perempuan, telah ditemukan adanya indikasi penerapan hukum Islam yang merugikan perempuan. Penerapan hukum Islam yang merugikan perempuan ini antara lain terkait dengan penanganan kasus-kasus poligami, nikah siri, perceraian, waris, pembagian peran suami isteri dalam keluarga, usia nikah, perwalian, pernikahan beda agama, dan lain-lain.
Untuk itu, mereka intens melakukan gerakan sosial dan politik untuk mencapai apa yang mereka sebut sebagai hukum keluarga yang adil dan setara gender, yang hakekatnya merupakan proyek liberalisasi hukum keluarga Islam. Di tingkat grassroot, mereka berupaya menyebarkan gagasan-gagasan gender melalui berbagai media, termasuk mass media (iklan, sinetron/film), buku/novel, seni, dan lain-lain. Juga melalui lembaga kemasyarakatan –termasuk ormas-- yang menjadi jejaring mereka dengan target memunculkan keberanian masyarakat untuk memperoleh ‘keadilan’. Di tingkat ulama (religious leaders), mereka bersinergi dengan entitas yang mereka sebut “ulama will”, yakni ulama yang siap membantu proses-proses mewujudkan hukum yang berkeadilan gender dengan cara memberikan latar belakang pemikiran yang bersifat terobosan-terobosan dan reinterpretasi atas teks al-Qu’ran. Misalnya dengan mengeluarkan fatwa haram poligami, sekaligus ikut mensosialisasikan fatwa-fatwa semacam itu kepada pengikutnya. Adapun di tingkat negara, mereka terus mengupayakan agar lahir kebijakan yang memberi jaminan hukum untuk keadilan bagi perempuan dan mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan substansi hukum pada kebijakan yang --dalam pandangan mereka-- tidak berkeadilan gender. (Lihat http://www.komnasperempuan.or.id)
Di beberapa negeri Muslim yang lain, pembaruan dalam bidang hukum keluarga memang bukan hal baru. Di Turki, hukum keluarga Islam (fiqh) diganti dengan hukum-hukum Barat. Sementara di Tunisia, Pakistan dan Malaysia, perubahan-perubahan hukum keluarga didasarkan atas upaya pembaruan melalui reinterpretasi atau penafsiran kembali. Setidaknya ada 13 aspek yang mengalami perubahan dalam hukum-hukum (undang-undang) keluarga di negeri-negeri Muslim tersebut, yakni batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan, keharusan pencatatan perkawinan, kemampuan ekonomi dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami, hak-hak dan kewajiban para pihak karena perceraian, masa kehamilan dan implikasinya, hak wali orang tua, hak waris, wasiat wajibah dan pengelolaan wakaf.
Dengan cara inilah hukum keluarga di dunia muslim mengalami perubahan (baca: liberalisasi) dan coba diterapkan juga di Indonesia. Terlebih dalam konteks Indonesia, hukum-hukum keluarga Islam yang dilegalisasi masih dianggap terlalu teksual dan merujuk pada pemahaman Islam klasik yang Arabik, sekalipun faktanya tidak. Begitupun kebijakan-kebijakan lainnya, dipandang belum mampu mengakomodir kepentingan kaum perempuan. Oleh karenanya kalangan feminis dan liberalis gencar melakukan berbagai mediasi dan advokasi dalam rangka menggolkan berbagai kebijakan publik yang berperspektif gender, termasuk yang nantinya akan menyentuh hukum-hukum keluarga atau secara tidak langsung akan memunculkan tuntutan akan perubahan hukum-hukum Islam tentang keluarga.
Setidaknya ada beberapa RUU menyangkut kepentingan strategis perempuan yang sudah dan sedang diperjuangkan berbagai kelompok feminis/gender di Indonesia. RUU yang sudah gol adalah Amandemen UU Kesehatan, UU PKDRT, UU Kewarganegaraan dan UU Perlindungan Anak. Sedangkan yang belum gol adalah RUU KUHP, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Amandemen UU Perkawinan, RUU Pornografi dan Pornoaksi (dalam hal ini UU Pornografi yang sudah diundangkan dianggap belum adil gender) dan RUU Peradilan Agama. Dalam berbagai undang-undang ini didapati pasal-pasal yang akan menggeser berbagai aturan Islam tentang keluarga, semisal UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam. UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga. Amandemen UU Kesehatan memuat aturan yang ‘bergesekan’ dengan hukum Islam, semisal memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. UU PA memberi kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku.
Yang lebih kontroversial, kalangan feminis juga pernah mengajukan perubahan atas Kompilasi Hukum Islam yang masih dianggap merepresentasikan hukum Islam dengan melaunching Buku Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) pada 4 Oktober 2004 di Jakarta atasnama Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI yang dipimpin Musdah Mulia. Isinya betul-betul merupakan counter terhadap aturan-aturan yang masih menjadi pemahaman mainstream masyarakat Islam, semisal dengan menyatakan bahwa perkawinan bukan ibadah melainkan kontrak biasa, pernikahan beda agama boleh, poligami haram, dan lain-lain. Dikarenakan kontroversial, produk pemikiran yang prosesnya menelan biaya tak sedikit dari bantuan dana asing (The Asia Foundation) ini akhirnya dianulir oleh Menteri Agama saat itu (Maftuh Basuni) dengan keluarnya surat No : MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004.
Tentu saja bukan berarti upaya mereka berhenti. Sampai saat ini, gerakan mewujudkan perubahan hukum-hukum Islam termasuk hukum-hukum keluarga di Indonesia terus berjalan sebagaimana yang bisa dipantau dalam link-link media mereka. Rancangan Amandemen UU Perkawinan dan RUU Peradilan Agama yang siap merubah sendi-sendi keluarga Islam juga sedang terus disosialisasikan untuk segera diundangkan. Hal ini diikuti dengan upaya pengopinian di tengah masyarakat tentang sisi buruk aturan Islam semisal poligami, nikah siri, nikah dini, dan sebagainya melalui berbagai sarana, semisal film, sinetron, infotainment, dan sebagainya.
Gerakan ini juga melintasi batas-batas Negara, dan menjadi agenda bersama jaringan feminisme internasional, sebagaimana diwujudkan –antara lain-- dalam bentuk penyelenggaraan kongres-kongres berskala internasional. Di antaranya Congress on Islamic Feminisme ke-3 di Barcelona pada 24 Oktober 2008 yang membahas “denounced Islamic family laws and other Shariah rules related to the woman and called for a re-interpretation based upon gender equality” dan Kongress Musawah, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara dengan rekomendasi yang mengandung spirit sama dengan CLD KHI, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut'ah.
Khotimah
Jelas, bahwa di balik isu keadilan dan kesetaraan gender tersembunyi bahaya yang mengancam keluarga muslim. Targetnya jelas, yakni konspirasi untuk menghancurkan benteng pertahanan terakhir umat Islam yang darinya terlahir generasi-generasi pemimpin masa depan umat, dengan menjauhkan para muslimah dari Islam dan memporak-porandakan sendi-sendi keluarga Islam. Dengan cara ini, orang-orang kafir dan para anteknya berharap Islam tidak akan pernah bangkit dan Khilafah tidak pernah tegak. Dan karenanya, hegemoni kapitalisme sekuler pun bisa dipertahankan. Jika demikian halnya, akankah kita berdiam diri, wahai muslimah? [SNA]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar