Oleh
: Siti Nafidah Anshory[1]
Setelah
krisis keuangan global melanda, sistem keuangan apa yang anda percaya paling
baik untuk diterapkan di dunia? 88,5% dari 29.486 responden menjawab sistem
keuangan Islam. Sedangan responden yang memilih sistem ekonomi kapitalis hanya
5,0% saja dan yang memilih sistem ekonomi keuangan komunis sebanyak 6,5%.
(Sumber :
Aljazeera.net)
Pengantar
Hasil survey di atas boleh jadi
validitasnya dipertanyakan. Hanya saja, krisis keuangan global yang dipicu oleh
krisis subprime mortgage yang disusul
bangkrutnya bank investasi raksasa dan tertua di Amerika, Lehman Brother beberapa
waktu lalu, seharusnya cukup untuk menjadi pelajaran bahwa ada yang salah dalam
sistem keuangan dunia sekaligus dengan sistem ekonomi kapitalisme yang
diterapkannya. Terlebih krisis yang sama bukan sekali ini terjadi. Setidaknya, sepanjang
abad 20 ini tercatat lebih dari 20 kali dunia mengalami krisis besar[1],
terutama krisis tahun 30-an, tahun 1981-1982, 1998 dan tahun 2008 yang efeknya
bukan cuma dirasakan oleh satu-dua negara saja melainkan semua negara, termasuk
Indonesia. Bahkan krisis yang terakhir terjadi (2008) tercatat dalam the guiness book of record sebagai
resesi terpanjang sejak perang dunia II mengalahkan the great depression pada era 1929-1930.
Selama ini memang tak sedikit yang
percaya, bahwa sistem ekonomi kapitalisme dengan liberalisasi pasar sebagai ‘nyawa’nya
adalah sistem ekonomi terbaik. Namun faktalah yang membuktikan, bahwa sistem ini tak mampu
bertahan oleh krisis demi krisis yang ditimbulkannya sendiri. Bahkan demi
menyelamatkan dirinya, kaum kapitalis rela melanggar ‘akidah’nya sendiri (yakni
filsafat laissez faire) yang
mengharamkan campur tangan negara sebagai prasyarat terjaminnya mekanisme pasar
bebas.[2]
Pada kasus krisis finansial global di atas, pemerintah negara-negara kampiun
kapitalis rela menggelontorkan dana penyelamatan ratusan milyar dollar guna
mencegah efek domino yang mungkin timbul akibat krisis finansial tersebut.
Tercatat, pemerintah Amerika harus merogoh koceknya dalam-dalam (sekitar 700
milyar dollar) untuk membeli hutang beracun (toxic debt) lembaga-lembaga keuangan yang ambruk karena kredit
property. Begitupun pemerintah negara-negara kapitalis Eropa, yang selain harus
mengelontorkan dana talangan ratusan milyar dollar, juga merasa perlu
menasionalisasi lembaga-lembaga keuangan yang bermasalah.
Nyatanya, apa yang mereka lakukan tak
mampu menutupi kebobrokan sistem ekonomi ini. Collaps-nya
bursa saham yang dibarengi melonjaknya harga dollar AS sebagai standar utama kurs
mata uang dunia membuat perekonomian dunia yang nyaris seluruhnya dikangkangi
system ini centang perenang. Dimana-mana kegiatan produksi mandek.
Konsekuensinya, rasionalisasi besar-besaran terjadi, yang berarti jumlah
pengangguran membengkak dan tingkat kemiskinan terus bertambah. Di Indonesia
sendiri berbagai upaya penyelamatan, termasuk penggunaan resep yang diberikan
IMF nyaris tak berguna sama sekali. Bahkan, secara kuantitatif dan kualitatif,
kondisi perekonomian terus memburuk yang diantaranya ditandai dengan
meningkatnya angka kemiskinan yang menembus angka di atas 49% (sebagaimana Data
Bank Dunia tahun 2006 dengan standar income di bawah 2 $/hari)[3],
sekalipun tak dipungkiri jika secara makro-agregat tingkat pertumbuhan
ekonominya diklaim mengalami peningkatan. Artinya jikapun pertumbuhan terjadi, sebetulnya
sama sekali tidak berkualitas karena faktanya sama sekali tidak berimplikasi
pada terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat secara keseluruhan.
Cacat Bawaan
Kapitalisme
Banyak kritik yang sebenarnya
ditujukan pada sistem ekonomi Kapitalis. Hanya saja, para penganutnya tetap
berdalih bahwa anomali-anomali yang muncul dalam praktek kapitalisme hanyalah
merupakan persoalan biasa[4];
teknis semata, bukan ideologis. Sehingga
ketikapun krisis berulang terjadi, mereka katakan bahwa kapitalisme akan selalu
memiliki mekanisme untuk menyeimbangkan keadaan hingga tercapai ekuilibrium
ekonomi baru[5] yang adaptable.
Adam Smith menyebut mekanisme penyelesaian masalah ini sebagai ‘the invisible hand’ (tangan gaib yang
tak kelihatan) yang sebetulnya impossible.
Karena ketikapun mekanisme pasar berjalan dan ekuilibrium baru terbentuk,
berbagai persoalan ekonomi seperti kesenjangan dan kemiskinan faktanya justru
kian bertambah parah. Sementara masyarakat ‘dipaksa’ beradaptasi dengan cara menerima
keadaan karena mereka memang selalu berada dalam posisi tidak memiliki
pilihan-pilihan.
Sesungguhnya jika mau jujur, apa
yang mereka katakan ini hanyalah cerminan sikap apologetik dan ketidakmampuan
menghadirkan solusi alternatif atas fakta bobroknya sistem kapitalisme berikut
dampak penerapannya. Terlebih, siapapun tak ada yang bisa menyangkal, bahwa
kapitalisme telah gagal menciptakan kehidupan yang ideal sebagaimana sosialisme
komunisme telah terlebih dahulu gagal. Alih-alih mampu memberi kesejahteraan
kepada masyarakat dunia, sistem ini bahkan telah menjadikan mayoritas
masyarakat dunia sebagai budak bagi segelintir para pemilik modal (kaum kapitalis)[6]
dan dalam konteks negara, telah menjadikan mayoritas negara dunia ketiga
menjadi sapi perahan bagi segelintir negara-negara maju (negara kapitalis).
Didin S. Damanhuri dalam salah satu tulisannya[7]
sempat mengkritik pandangan Kwik Kian Gie yang menurutnya cenderung berpretensi
menilai kapitalisme sebagai sistem yang bebas nilai. Menurutnya, sekalipun
kapitalisme diakui telah berhasil menciptakan efisiensi ekonomi (termasuk dalam
proses produksi) melalui isu globalisasi-liberalisasi[8],
namun memahami kapitalisme tak bisa dengan begitu saja mengabaikan dimensi
empiris maupun dimensi epistemologisnya.
Secara empirik, tak dipungkiri jika sejarah
penerapan kapitalisme yang hegemonik senantiasa terus diwarnai oleh getaran
berjuta rakyat yang termarjinalisasi hingga muncul kontradiksi-kontradiksi
berupa ketimpangan struktural yang demikian lebar antara si kaya dan si miskin dan
berdampak hingga pada tataran politik dan yang lainnya. Sedangkan secara
epistemologis, sejarah kemunculan kapitalisme tak bisa dilepaskan dari sejarah
kemunculan sekularisme dan materialisme yang ‘menolkan’ peran agama. Bahkan
ketiganya bisa dikatakan lahir dari rahim yang sama.
Dalam pandangan Taqiyuddin An-Nabhani[9],
apa yang disebut Didin sebagai dimensi empirik dan epistemologi dari
kapitalisme tadi sesungguhnya memang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Beliau
bahkan memastikan, bahwa sejarah buruk yang terjadi sebagai dampak penerapan
kapitalisme justru merupakan konsekuensi logis dari keberadaan akidah sekularisme
dan materialisme yang menjadi ruh kapitalisme. Artinya, kapan dan dimanapun
kapitalisme diterapkan, hasilnya akan sama saja; kapitalisme hanya akan
memunculkan kontradiksi, kerusakan, bahkan kehancuran kemanusiaan. Kalaupun ada
yang diuntungkan, maka itu hanyalah kamuflase belaka.
Hal ini bisa dipahami mengingat
sekularisme lahir dengan semangat pembebasan manusia dari campur tangan Tuhan
dalam mengatur kehidupan. Sekularisme telah memberikan hak mutlak rububiyyah hanya kepada (akal) manusia
yang sangat lemah dan terbatas. Menurut paham ini, manusialah yang berwenang
menetapkan konsep baik dan buruk (khoyr
wa syar), terpuji dan tercela (qobih
wa hasan), bahkan membuat berbagai aturan yang menyangkut interaksi manusia
satu sama lain termasuk dalam beraktivitas ekonomi. Oleh akidah ini, agama
dikebiri fungsinya sedemikian rupa hingga terlarang menyentuh aspek-aspek
kehidupan, kecuali masalah ibadah ritual, termasuk upacara perkawinan dan ritual
kematian.
Dari paradigma berpikir inilah kemudian
muncul berbagai aturan kehidupan yang keseluruhannya bersumber dari akal. Dalam
konteks ekonomi, muncul apa yang disebut dengan prinsip-prinsip ekonomi
dan pandangan tentang masalah ekonomi
berikut solusinya, yang kesemuanya tercakup dalam sistem ekonomi bebas agama, baik
yang bersifat sosialistik maupun yang kapitalistik (sistem ekonomi kapitalis).
Dalam konteks kapitalisme, muncul pandangan
semisal, bahwa cakupan pembahasan ekonomi adalah tentang kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia beserta alat-alat (goods) pemuasnya, yang kesemuanya hanya
menyangkut aspek-aspek yang bersifat materi dari kehidupan manusia saja,
sementara aspek spiritual dan moral cenderung diabaikan. Muncul pula
konsep-konsep dasar yang membangun sistem ekonomi kapitalis semisal masalah scarcity, teori tentang nilai dan struktur
harga[10],
yang berimplikasi pada pengaturan-pengaturan praksisnya dalam kehidupan.
Terkait konsep scarcity (kelangkaan) misalnya, kapitalisme berpandangan bahwa kebutuhan manusia tidak terbatas
sedangkan benda/barang/alat pemuas kebutuhan jumlahnya terbatas. Inilah yang
kemudian dianggap sebagai masalah ekonomi
menurut kapitalisme. Dalam praksisnya, system ini akhirnya sangat fokus
dalam upaya meningkatkan produksi setinggi-tingginya (produce to produce, peningkatan GNP)[11]
seraya menilai tingkat kesejahteraan semata pada tingkat pertumbuhan ekonomi
dalam tataran makro-agregat (rata-rata) dengan mengabaikan pemenuhan kebutuhan
orang per orang atau mengabaikan pemerataan dan keadilan. Padahal faktanya,
yang menjadi problem ekonomi bukanlah kelangkaan, melainkan masalah distribusi untuk
menjamin pemenuhan kebutuhan secara orang per orang hingga kesejahteraan
dirasakan oleh setiap individu tanpa kecuali. Terlebih, pandangan kapitalisme
tidak membedakan antara kebutuhan pokok dengan sekunder, dimana pada faktanya,
kebutuhan pokok manusia sebetulnya terbatas, sementara yang tidak terbatas
(berganti-ganti) hanyalah kebutuhan sekundernya.
Tentang masalah nilai (value) barang yang dihasilkan,
kapitalisme sekuler hanya memandang nilai kegunaan (utility) suatu barang/benda/jasa semata dari apakah semuanya itu
memberi kepuasan dan dibutuhkan orang atau tidak, tanpa memandang aspek lain
semisal status halal-haram. Dengan kata lain, kapitalisme hanya akan memandang
alat pemuas kebutuhan sebagai alat yang bisa memuaskan kebutuhan, tanpa
memperhatikan pertimbangan lain termasuk apa yang seharusnya menjadi pijakan
masyarakat. Sehingga, sepanjang benda/jasa itu dibutuhkan dan dianggap
bermanfaat bagi manusia (memiliki nilai ekonomi), maka benda/jasa itu sah-sah
saja diproduksi dan ditransaksikan, termasuk misalnya khamr, pelacuran, produk-produk
pornografi dan lain-lain.
Adapun terkait masalah harga (price), kapitalisme memandang bahwa
harga merupakan pendorong laju produksi dan pengendali distribusi. Dengan kata
lain, mekanisme hargalah yang akan menciptakan keseimbangan ekonomi secara
otomatis, sekaligus akan menentukan siapa produsen yang
boleh masuk ke wilayah produksi dan siapa konsumen yang
boleh menikmati pemenuhan kebutuhan. Pada saat yang sama, harga jugalah
yang berfungsi mengatur/penentu distribusi kekayaan kepada anggota masyarakat
ketika mengkonsumsi barang & jasa sesuai dengan harga barang yang mampu
dibelinya.
Dengan kerangka dasar tentang harga ini,
sistem kapitalisme meniscayakan si kuat (pemilik kekayaan/para kapitalis) memangsa
si lemah, si lemah bahkan tak mendapatkan apa-apa. Juga meniscayakan kehidupan
materialistik yang menafikan aspek moral-spiritual, dimana manusia menjadi sekedar
homo economicus (makhluk pengejar
materi) sebagaimana klaim Adam Smith. Padahal pada faktanya tak semua orang
memiliki kemampuan sama dalam mengakses barang dan jasa, baik dalam posisinya
sebagai konsumen, maupun produsen. Hingga sistem ini memungkinkan munculnya jurang pemisah yang terus melebar antara si
kaya dan si miskin, dimana yang kaya makin kaya dan yang miskin kian miskin.
Inilah cacat-cacat bawaan sistem ekonomi
kapitalisme yang bukan cuma menunjukkan kerusakannya, tetapi juga berbahaya
bagi kemanusiaan. Asas sekularisme dan ketiga kerangka dasar tadi terbukti
telah membentuk watak dasar kapitalisme yang begitu mengagungkan kebebasan
(tanpa norma), bersifat materialistik, individualistik dan eksploitatif. Watak
dasar inilah yang mengukuhkan terjadinya praktek-praktek imperialisme di
berbagai belahan dunia dari masa ke masa, baik dalam bentuk imperialisme klasik
(militeristik), maupun neo imperialisme (melalui pemikiran, kebijakan ekonomi,
politik, dan lain-lain) yang nampaknya jauh lebih berbahaya jika dibandingkan
dengan imperialisme klasik. Dalam bahasa Todaro[12],
watak imperialisme negara-negara maju (kapitalis) ini dinyatakan sebagai “kecenderungan negara-negara kaya untuk
‘mencapai jarak jauh’ ke seluruh penjuru dunia guna mendapatkan produk-produk
pokok dan bahan-bahan baku, upah buruh yang rendah dan pasar-pasar yang
menguntungkan bagi produk-produk industri mereka.”
Fundamental
Ekonomi Kapitalis : Rapuh!
Selain karena cacat bawaan yang ada
dalam siystem kapitalisme, krisis global yang terus berulang ini juga dipicu
oleh rapuhnya faktor-faktor penopang fundamental ekonomi kapitalis itu sendiri.
Faktor-faktor dimaksud adalah :
1.
Kapitalisme
menjadikan riba, pasar uang dan pasar modal (sektor non ril) yang spekulatif
sebagai basis fundamental ekonominya. Sebagaimana diketahui, dewasa ini sektor
perbankan sudah menjadi sarana investasi yang sangat diminati oleh masyarakat.
Sektor yang awalnya dimaksudkan untuk menjadi alat menyerap modal masyarakat
untuk menggenjot usaha di sektor ril ini justru menjebak dirinya sendiri dalam
keruwetan yang tak berujung pangkal. Di satu sisi, penetapan sistem bunga bank
memang menarik minat masyarakat untuk menyimpan uang mereka dengan iming-iming interest yang besar, namun di pihak lain
pendanaan yang diberikan pihak bank pada dunia usaha seringkali berakhir dengan
masalah. Hal ini jualah yang awalnya memicu terjadinya resesi ekonomi di AS
yang kemudian diekspor ke seluruh dunia. Munculnya kasus subprime mortgage
berawal dari transaksi haram ini, dimana para nasabah tak mampu membayar
utangnya yang sudah jatuh tempo dengan suku bunga yang tinggi. Akhirnya kredit
macetpun terjadi. Perbankan AS lumpuh total, demikian juga dengan perbankan
internasional. Mereka sudah tidak lagi memiliki cadangan dollar untuk
dipinjamkan ke negara lain. Alhasil dollar menjadi barang langka yang
dibutuhkan para investor untuk kebutuhan menjaga likuiditas.
Kondisi
ini kemudian diperparah dengan adanya
transaksi derivatif di pasar uang dan pasar modal yang menjadi pilar penopang
syitem keuangan kapitalisme. Dalam pasar uang terjadi transaksi mata uang,
sehingga uang yang seharusnya hanya berfungsi sebagai alat tukar, dalam sistem
kapitalis juga memiliki fungsi sebagai komoditas yang diperdagangkan dan
menjadi alat spekulasi. Akibatnya nilai tukar uangpun mengalami fluktuasi
mengikuti hukum penawaran dan permintaan. Ketika dollar dijadikan sebagai
standar mata uang dunia, maka semakin banyak yang memburu dollar hingga nilai
mata uang ini menjadi tinggi, sementara nilai mata uang lain justru melemah.
Kondisi inilah yang menyebabkan kondisi ekonomi dunia menjadi rentan dan pada
saat yang sama kondisi politik internasionalpun menjadi tidak stabil, bahkan
mudah direkayasa. Inilah yang terjadi pada tahun 1997, ketika George Soros
melakukan aksi borong dollar hingga rupiah melemah dan ekonomi Indonesia colaps hingga sekarang.
Hal
yang sama terjadi di pasar saham dan pasar modal. Di pasar ini, saham, obligasi
dan surat-surat berharga lainnya berpindah tangan berkali-kali dalam waktu yang
sangat cepat. Alih-alih mendorong nilai investasi dan laju produksi ril perusahaan-perusahaan
yang sahamnya diperjual belikan, yang terjadi justru sebagaimana di pasar uang.
Nilai saham yang sejatinya hanya angka-angka ini secara spekulatif naik dan
turun mengikuti hukum permintaan atas saham-saham tadi di pasar bursa. Dan
sesungguhnya penggelembungan nilai transaksi
di pasar ini hanya berkisar angka-angka semata, karena pada prakteknya
pasar ini tidak ada (non ril), dan tidak berkorelasi positif dengan peningkatan
produktivitas sektor ekonomi ril yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat
untuk menggenjot perekonomian mereka. Republika mencatat, pertumbuhan sektor
non ril di tingkat dunia mencapai 700X lipat sektor riil, sementara di
Indonesia, pada tahun 2006 tercatat 10 kali lipat yakni sektor riil Rp.3.338 T dan
sektor non riil 27.764 T (Rep. 14-3-08). Tentu saja pasar jenis ini
sangat berbahaya, karena unsure spekulasinya sangat tinggi; berupa keuntungan
yang menggiurkan dan kerugian yang menjatuhkan. Unsur spekulasi inilah yang
menyedot sebagian besar peredaran uang yang ada di masyarakat di sector non ril
ini, hingga dengan mudah pula mengalami kegoncangan yang berujung pada krisis
moneter dan ekonomi sebagaimana sudah sering dialami. Ibarat balon, terus
menggelembung, menjadi besar tapi kosong, hingga pada tahap tertentu pecah
tanpa menyisakan apa-apa (bubble economy).
2. Sistem moneter
dalam kapitalisme tidak bersandar pada mata uang emas dan perak. Tak dipungkiri
jika saat ini sedang terjadi ‘rezimisasi mata uang dollar AS’ dengan menjadikan
mata uang ini sebagai standar moneter di dunia. Hal ini bermula dari keputusan
Presiden AS, Richard Nixon pada tanggal 15 Juli 1971 yang secara resmi
menggantikan sistem Brettonwoods yang
dianggap sebagai keputusan yang mengikat mata uang dollar dengan emas dan
mematoknya dengan nilai tertentu.[13]
Keputusan ini tentu menguntungkan AS, karena secara otomatis dia bisa
mengontrol mata uang negara lain, karena hanya AS-lah yang berhak untuk membuat
dollar, mencetak dan menerbitkannya. Sementara negara-negara lain hanya
‘diwajibkan’ untuk menyandarkan mata uang mereka pada mata uang ini. Akibatnya
nilai tukar negara lain, termasuk rupiah menjadi tidak stabil karena mengikuti
pergerakan dollar dan pasar dollar yang fluktuatif. Wajar jika kemudian, AS
juga bisa menjadikan dollar ini sebagai alat politik untuk melakukan penjajahan
ekonomi atas negara-negara lain.
Masalahnya,
standarisasi dollar terhadap mata uang dunia ini sangatlah rentan terhadap
krisis, karena keberadaannya tidak di-back
up dengan cadangan emas. Begitupun dengan uang-uang yang beredar di
negara-negara lain termasuk Indonesia semuanya tidak diback-up dengan emas. Seluruh mata uang yang beredar hanyalah
kertas-kertas yang dicetak Bank Sentral, dimana masyarakat ‘dipaksa’ oleh
undang-undang untuk percaya bahwa lembaran kertas itu memiliki nilai tukar
sebagaimana tertera di dalam kertas dan bisa menjadi alat transaksi atas barang
dan jasa. Barangkali kondisi ini bisa diibaratkan sebagaimana permainan
monopoli.
Tentu
saja kondisi ini menyebabkan tingkat instabilitas yang sangat tinggi karena
mata uang ini hanya dijamin oleh tingkat ‘kepercayaan publik’ terhadap
institusi yang mengeluarkannya. Sementara yang namanya ‘kepercayaan publik’ jelas
sangat rentan terhadap berbagai isu dan situasi politik yang terjadi, hingga
wajar jika nilai mata uangpun menjadi sangat fluktuatif dan rawan krisis. Hal
inilah yang saat ini sedang terjadi dengan dollar, hingga krisis globalpun tak
bisa terhindarkan.
3.
Sistem
distribusi dalam kapitalisme disandarkan pada prinsip kebebasan hak milik. Hal ini sejalan
dengan prinsip liberalisme yang inhern dengan kapitalisme. Dengan prinsip ini, plus diperkuat prinsip sekularisme yang
menafikan nilai moral dan agama, kapitalisme meniscayakan para pemilik modal
kuat menguasai asset-aset strategis dengan berbagai cara dan menggunakannya
sebagai alat untuk mengambil keuntungan yang sebesar-besarnya. Dalam hal ini, sistem
kepemilikan dalam kapitalisme lagi-lagi diserahkan pada mekanisme pasar bebas,
tanpa ada pembatasan-pembatasan seperti mengenai mana yang berhak dimiliki
individu, mana yang menjadi hak publik dan mana yang berhak dikuasai oleh
negara berikut aturan pengelolaannya. Akibatnya praktek-praktek monopoli dan
korporasi menjadi wajar terjadi sebagai “hard
fact”[14] persaingan ekonomi global, sebagaimana
terjadi atas perusahaan-perusahaan tambang Indonesia yang habis dikuasai
kapitalis dan negara asing, berikut segelintir kapitalis lokal. Sementara rakyat
banyak sebagai pemilik sah kekayaan alam
tersebut harus menderita karena untuk menikmatinya mereka harus membayar dengan
harga yang sangat mahal.
Sistem Ekonomi
Islam, Sistem Yang Manusiawi
Berbeda dengan kapitalisme, Islam
memiliki aturan yang sangat unik dan manusiawi terkait dengan ekonomi. Sistem
ini bukan hanya kuat dalam asasnya, tetapi juga ditopang oleh pilar-pilar yang
kokoh, yang memungkinkan penyelesaian seluruh problema ekonomi secara tuntas
dan sempurna. Sistem ini juga bukan hanya teruji secara konsep, tetapi juga
telah terbukti secara praktis menghantarkan umat Islam terdahulu menjadi umat
yang berperadaban tinggi, sejahtera dan menyebarkan kesejahteraan pada
umat-umat lainnya, sebagaimana –antara lain—catatan Wikipedia mengenai peran
kekhalifahan Utsmani dalam membantu kelaparan di Irlandia dan Amerika Serikat
di awal abad 19-an[15].
Banyak buku yang bisa dirujuk untuk
melihat bagaimana tingkat kesejahteraan yang dialami umat Islam saat mereka
hidup dalam sistem yang menerapkan Islam, termasuk sistem ekonominya.[16]
Hingga dengan tingkat kesejahteraan yang tinggi ini, memungkinkan bagi
masyarakat Muslim mengembangkan peradaban (hadlarah), madaniyah dan saintek, dan akhirnya kaum Muslim
mengalami kemajuan di berbagai bidang. Justru ketika umat Islam lepas dari sistem
ini dan tunduk pada sistem yang dipaksakan oleh penjajah, mereka berubah
menjadi umat yang hina, terpuruk dan bermental pengekor sebagaimana terjadi saat
ini.
Karenanya, menjadi penting mengembalikan
kesadaran umat akan jatidirinya yang asli sebagai khoiru ummah, dengan menghadirkan kembali pemikiran-pemikiran Islam
yang tinggi dan cemerlang sebagai solusi kehidupan, termasuk dalam bidang
ekonomi. Pemikiran-pemikiran ini adalah pemikiran yang tegak diatas keyakinan,
bahwa Allah sebagai Pencipta Manusia Yang Maha Tahu, Maha Adil dan Sempurna
juga adalah Pengatur Kehidupan (Asy-Syari’/Al-Hakim). Dialah yang Maha Tahu apa
yang terbaik bagi manusia, hingga aturan-aturan yang Dia turunkan harus
diyakini sebagai problem solver atas
seluruh persoalan manusia, termasuk di dalamnya persoalan-persoalan yang
menyangkut ekonomi, baik dalam tataran mikro, maupun makro.
Tatkala berbicara tentang bagaimana
aturan-aturan Islam menyangkut masalah ekonomi atau apa yang disebut dengan sistem
ekonomi Islam, faktanya memang telah banyak terjadi kesamaran. Dalam bayangan
mayoritas masyarakat, aturan ekonomi Islam hanyalah berbicara seputar ekonomi
berbasis moral, zakat, infaq, shadaqah (termasuk wakaf), larangan riba, dan
hal-hal yang sejenis dengan itu. Sehingga ketika mereka berbicara tentang
penyelesaian terhadap masalah ekonomi, seperti problem kemiskinan dan kebobrokan
lembaga keuangan konvensional, solusi yang muncul dan banyak diperbincangkan
–termasuk dalam konteks pembaharuan-- hanyalah seputar optimalisasi pemberdayaan
ZISWAF, pemberdayaan ekonomi santri, pendirian lembaga keuangan non riba, dan
ide-ide cabang lainnya. Sementara, tataran
asas dan fundamental ekonomi yang memang bersifat makro nyaris tidak
pernah tersentuh. Padahal itulah akar masalah rusaknya perekonomian secara
keseluruhan. Akibatnya, persoalan ekonomipun terus terjadi tanpa bisa
diselesaikan, kecuali dalam skala yang sangat kecil dan artifisial.
Sistem ekonomi Islam sesungguhnya
berbicara mulai dari aspek fundamental. Dan sistem ini bisa dikomparasikan
dengan sistem ekonomi lainnya, baik kapitalisme maupun sosialisme-komunisme
hingga akan Nampak keunggulan-keunggulannya. Setidaknya ada 4 pilar –disamping
paradigma aqidah Islam— yang menopang kekuatan sistem ini, yang kesemuanya
berbeda secara diametral dengan sistem-sistem di luar Islam lainnya. Keempat
pilar itu adalah :
1.
Penolakan atas
transaksi ribawi sekecil apapun dalam aktivitas perekonomian.
Islam
mengharamkan aktivitas riba apapun jenisnya. Bahkan Allah telah melaknat dengan
menyerupakan riba sebagai perbuatan setan dan memaklumkan perang terhadap
orang-orang yang melakukan aktivitas riba ini sebagaimana firman Allah SWT :
“Orang-orang
yang makan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang
kerasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian
adalah disebabkan mereka berkata sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (TQS. Al-Baqarah
: 275)
“Maka jika kamu
tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah bahwa Allah dan
RasulNya akan memerangimu” (TQS. Al-Baqarah: 279).
Berdasarkan
ayat-ayat di atas, transaksi perbankan yang kini sudah menjadi gaya hidup
kapitalis dengan unsur ribanya jelas sangat diharamkan oleh Islam. Terlebih
pada faktanya, aktivitas ini telah menimbulkan kemadharatan yang sangat besar,
tidak hanya pada tataran individu, tetapi juga tataran masyarakat bahkan
negara. Justru dengan adanya larangan riba, harta masyarakat akan terjaga dari
kerusakan akibat riba. Sementara dalam tataran makro akan tercipta iklim
ekonomi yang sehat, dimana uang akan beredar mengikuti perkembangan arus barang
dan jasa, bukan malah tersimpan dalam bentuk asset bank, hingga pada akhirnya
akan terjadi perputaran ekonomi di tingkat ril yang jelas-jelas akan menguntungkan
masyarakat banyak.
2. Islam menjadikan emas dan perak sebagai standar mata
uang dan moneter.
Yang
dimaksud disini adalah penggunaan emas dan perak sebagai standar satuan uang,
baik diwujudkan dalam bentuk fisik emas dan perak (jika memungkinkan), atau
dengan mempergunakan uang kertas yang dijamin (diback up) oleh cadangan emas
dan perak yang disimpan di Bank Sentral. Dengan demikian, uang-uang yang
beredar di tengah-tengah masyarakat memiliki nilai intrinsik yang setara dengan
nominalnya, hingga memang benar-benar layak menjadi alat tukar dalam setiap
transaksi pertukaran barang dan jasa.
Sesungguhnya,
pensyari’atan tentang mata uang berbasis emas ini sangat jelas di dalam Islam.
Setidaknya, praktek ini dilakukan oleh Rasulullah Saw, sekalipun di awal masa
Islam ini negara Islam tidak secara khusus mencetak mata uang Islam. Saat itu
kaum muslimin telah menggunakan dinar Byzantium dan dirham Kisra sebagai mata
uang mereka. Kaum Muslim baru mencetak mata uang dinar dan dirham sendiri
dengan bentuk, pola dan standar yang khas pada masa kekhalifahan Malik bin
Marwan. [17] Oleh
karenanya, penggunaan standar mata uang emas jelas merupakan af’al Rasul dan
ijma’ shahabat. Terlebih, banyak pensyariatan di dalam Islam yang senantiasa
dikaitkan dengan standar emas dan perak ini, semisal nishab zakat, nishab
pencurian yang dikenai had, diyat pembunuhan, larangan menimbun emas dan perak
(QS. 9:34, dalam konteks mata uang) dan sebagainya.[18]
Ada
beberapa keuntungan (hikmah) yang akan diperoleh dari penggunaan mata uang emas
ini, diantaranya[19] :
·
Sistem
uang emas dan perak bersifat internasional dengan kurs yang bersifat (relatif)
tetap. Sehingga, nilai tukar 1 dinar pada jaman Nabi Muhammad yang bisa
ditukarkan dengan 1 ekor kambing misalnya, ternyata saat inipun dapat digunakan
untuk membeli 1 ekor kambing (1 dinar = 4,25 gr emas = sekitar Rp. 800.000,-). Hal
ini sejalan dengan fakta, bahwa dinar (emas) dan dirham (perak), keduanya disepakati
sebagai benda yang bernilai (benda mulia), kapan dan dimanapun. Dengan demikian,
sekalipun mata uangnya berbeda-beda, sistem ini akan memperlancar nilai tukar
secara stabil, karena setiap jenis mata uang distandarisasi dengan standar yang
sama dan nilainya relatif tetap. Hal ini akan mendorong pengembangan bisnis dan
perdagangan internasional karena tak ada kekhawatiran akan fluktuasi kurs
pertukaran mata uang.
·
Sistem
uang emas dan perak tidak akan menyebabkan dunia mengalami kelebihan mata uang
secara tiba-tiba dengan bertambahnya peredaran mata uang seperti yang biasa
terjadi pada mata uang kertas. Ini karena mata uang emas dan perak bersifat
tetap dan stabil, bahkan mampu menambah kepercayaan terhadap emas dan perak.
Dalam jangka panjang, hal ini akan menyebabkan neraca keuangan negara tetap
terjaga, karena negara akan berupaya seketat mungkin menerbitkan mata uang baru.
Karena jika peredaran mata uang tidak terjaga sebagaimana yang sering terjadi
pada mata uang kertas, tentu permintaan emas akan terus meningkat. Sementara,
jika negara tidak mampu memenuhi permintaan akan emas ini, niscaya akan terjadi
pelarian emas dan perak ke luar negeri dan akibatnya cadangan emas dan perak di
dalam negeri akan berkurang.
·
Dengan
penerapan sistem uang ini, tiap negara akan berupaya menjaga kekayaan emas dan
peraknya, sehingga tidak akan terjadi pelarian emas atau perak dari satu negara
ke negara lain, apalagi membiarkannya dirampok sebagaimana yang terjadi dengan
kasus Freeport dan Newmont di Indonesia. Negarapun tidak akan memerlukan kontrol
ketat untuk melindungi kekayaannya, sebab kekayaan tersebut tidak akan di
transfer dari negara tersebut kecuali karena adanya alasan syar’I, seperti
untuk membayar barang atau gaji para pekerja.
Seluruh
dunia sebenarnya terus menggunakan sistem mata uang ini dalam kegiatan
transaksional mereka, baik di dalam negeri, maupun di tingkat internasional. Selama
itu pula tidak pernah dijumpai masalah yang terkait dengan mata uang itu sama
sekali (masalah moneter), seperti inflasi dan defaluasi yang sering berujung
pada krisis ekonomi. Artinya, sepanjang system mata uang emas dan perak ini
digunakan, stabilitas keuangan dunia benar-benar terjamin. Hanya saja, cara ini
kemudian dihapus oleh negara-negara kapitalis sebagai bentuk konspirasi mereka
untuk melakukan penjajahan gaya baru atas negeri-negeri yang lebih lemah. Dan
ini memang sudah berhasil mereka lakukan. Mereka sudah berhasil menjadikan
negeri-negeri lemah ini tergantung secara politik dan ekonomi, sekalipun mereka
akhirnya tak mampu menghindari akibat kerakusan mereka sendiri dengan munculnya
berbagai krisis moneter di negeri-negeri mereka.
3.
Ekonomi Islam
bertumpu pada sektor ekonomi ril. Dalam kehidupan ekonomi Islam, setiap
transaksi harus dijauhkan dari unsur-unsur spekulatif, riba, gharar, majhul, dharar, dan sebagainya sebagaimana yang ada
dalam aktivitas ekonomi non ril (pasar uang, pasar modal/bursa saham) dalam
sistem kapitalis yang jelas-jelas telah menimbulkan krisis. Ekonomi Islam
bertumpu pada sektor ril sepenuhnya, dimana transaksi yang dilakukan harus merupakan sesuatu yang memberikan manfaat
yang ril bagi pelakunya, halal, sekaligus memberikan kompensasi yang bersifat
ril juga. Ketika transaksi dilakukan, maka uanglah yang dijadikan alat tukar,
bukan sebagai komoditas seperti dalam sistem kapitalis.
Dalam
Islam uang dipandang sebagai milik masyarakat yang digunakan sebagai alat tukar
untuk memperoleh barang dan jasa. Semakin cepat uang berputar dalam
perekonomian, akan semakin baik bagi ekonomi masyarakat. Karena itulah Islam
melarang aktivitas menimbun harta (kanzul
mal) (QS. At-Taubah : 34), yang jika dilihat dari perspektif ekonomi
berarti menimbun mata uang. Pelarangan ini bisa dipahami karena penimbunan mata
uang, misal karena dorongan investasi ribawi dan transaksi spekulatif di bursa
saham yang ‘menggiurkan’, justru akan membuat aktivitas produksi dan transaksi ril
yang dibutuhkan masyarakat akan berkurang, bahkan mandek. Itulah pula kenapa
islam justru mendorong transaksi-transaksi syariah semacam syirkah --dengan berbagai macam variasinya-- di tengah-tengah
masyarakat berdasarkan akhlak Islam dan ruh yang tak lepas dari semangat
beribadah kepada Allah. Islam juga sangat menganjurkan aktivitas khoiriyah semacam zakat, sedekah dan
pinjam-meminjam yang bebas riba yang keseluruhannya berarti menggerakkan
perekonomian umat dan menjamin terjadinya perputaran barang dan jasa secara
merata.
Inilah
ekonomi ril yang menjadi pilar sistem ekonomi Islam. Ekonomi ril jelas tidak
akan memunculkan krisis karena bertumpu pada aktivitas produksi dan transaksi
barang dan jasa yang manfaatnya secara langsung bisa dirasakan oleh seluruh
masyarakat, berupa ketersediaan lapangan pekerjaan atau peluang-peluang usaha,
meratanya tingkat daya beli dan karenanya kesejahteraan masyarakatpun bisa
terus ditingkatkan.
4. Sistem Islam mengatur masalah distribusi dan
kepemilikan harta secara adil dan manusiawi. Islam membagi kepemilikan harta
atas 3; kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Dalam
hal ini negara adalah pihak yang melindungi dan menjaga ketiga jenis
kepemilikan itu sesuai dengan hukum-hukum syara’.
Terkait
dengan kepemilikan umum, Islam mengharamkan penguasaannya oleh individu maupun
oleh negara. Islam justru mewajibkan kepada negara untuk memastikan agar harta
milik umum ini betul-betul bisa dinikmati untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat, dengan cara mengelolanya dengan sebaik-baiknya melalui kegiatan
eksplorasi, penjualan maupun distribusi. Adapun jenis-jenis kepemilikan umum
ini mencakup : (a) harta yang dari sisi
pembentukannya tidak mungkin dimiliki secara individu, seperti laut, danau, sungai,
pulau dan sebagainya. (b) apa saja yang menjadi hajat hidup orang banyak
seperti sumber-sumber energy, hasil tambang dalam jumlah (deposit) tak
terbatas, sarana-prasarana umum, dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan hadits
Rosulullah SAW, beliau bersabda : “Kaum
Muslim berserikat dalam tiga jenis harta, yakni air, padang gembalaan dan api”
(HR. Abu Daud dari Ibnu Abbas). Dengan demikian, apa yang lumrah terjadi dalam
sistem kapitalisme seperti swastanisasi dan privatisasi
jelas-jelas dilarang dalam Islam.
Adapun
kepemilikan individu adalah harta yang pengelolaannya diserahkan kepada
individu pada selain harta milik umum. Kepemilikan jenis ini juga harus
dilindungi oleh negara, sehingga tidak boleh ada seorangpun yang merampasnya,
termasuk negara sekalipun (misal melalui nasionalisasi). Sedangkan kepemilikan
negara yaitu ada pada harta yang hak pengelolaannya ada pada negara/khalifah
sesuai dengan pandangan ijtihadnya (qanun).
Harta ini meliputi, kharaj, fa’I,
barang temuan, dan sebagainya, yang kesemuanya bisa digunakan untuk pembiayaan
pengelolaan negara maupun untuk kepentingan-kepentingan penstabilan ekonomi
negara.[20]
Senyatanya, pengaturan sistem kepemilikan seperti
ini tidak ditemukan dalam sistem ekonomi kapitalis. Dalam konsep kapitalisme
kepemilikan hanya dijelaskan secara global tanpa batasan-batasan. Misalnya
pernyataan John M. Hartwick, bahwa “a
property right is bundle of characteristics that convey certain powers to the
owner of the right. The owner may be an individual, a group of individuals (e.g.,
a firm), or the state (e.g., public lands)”.[21]
Bahkan dalam kapitalisme, adanya prinsip kebebasan kepemilikan memungkinkan apa
yang seharusnya menjadi milik umum justru dikuasai oleh individu. Inilah yang
menyebabkan berbagai ketidakadilan kerap terjadi. Rakyat antri BBM, bahkan
harus membelinya dengan harga yang sangat tinggi. Begitupun dengan listrik,
jalan tol, dan sebagainya. Rakyatpun harus hidup dengan susah payah sekalipun
tanah air mereka kaya raya. Ini karena, kekayaan alam yang sesungguhnya menurut
syara’ adalah milik rakyat dibiarkan oleh negara dikuasai oleh individu dan
kapitalis asing. Bahkan ironisnya, ‘perampokan’ hak milik umum ini justru dilegitimasi
oleh undang-undang (antara lain melalui UU Migas, UU SDA, UU PMA, dan
lain-lain).
Penutup
Persoalan ekonomi yang dihadapi
umat seperti kemiskinan yang berdampak pada pesoalan-persoalan sosial
sesungguhnya bersifat paradigmatic dan sistemik. Karenanya diperlukan
upaya-upaya mendasar untuk melakukan pembaruan sistem ekonomi yang diterapkan
dengan menghadirkan alternatif solusi yang kuat secara konsep dan terbukti
solutif secara empirik.
Sistem ekonomi
Islam adalah satu-satunya solusi untuk menyelesaikan problem ekonomi krusial
yang dihadapi saat ini setelah sistem ekonomi sosialis terlebih dulu ambruk dan
justru sedikit demi sedikit bersinkretis dengan kapitalisme sebagaimana slogan Glasnot dan Perrestroika-nya Mikhael Gorbachev. Persoalannya, bagaimana
menghadirkan sistem ekonomi Islam ini sebagai sesuatu yang dipahami utuh,
mengingat pemikiran-pemikiran Islam saat ini sudah sedemikian terkebiri oleh
sekularisme yang juga telah sedikit demi sedikit merasuk dalam tubuh umat,
serta teracuni oleh gagasan-gagasan kapitalisme yang secara sistematis
ditanamkan dalam benak mereka.
Gagasan-gagasan kembali
pada ekonomi syari’ah sebagaimana yang kerap didengungkan, sesungguhnya bisa
menjadi modal awal untuk menggali kembali kedalaman konsep ekonomi ini hingga
betul-betul bisa dipahami utuh dan terformulasikan dalam bentuk
kebijakan-kebijakan praksis yang akan diterapkan oleh negara. Jangan sampai,
gagasan-gagasan pembaruan ekonomi Islam akhirnya hanya berkutat pada tataran
cabang dengan target individual, kelompok, jangka pendek dan terkesan tambal
sulam atas kebobrokan system yang ada sebagaimana yang terjadi selama ini,
semisal hanya berkutat dalam masalah pengembangan lembaga keuangan syariah dan
pemberdayaan ZISWAF saja. Mengingat –sekali lagi—semrawutnya persoalan ekonomi
yang terjadi sesungguhnya bersifat sistemik dan paradigmatik, sehingga membutuhkan
perubahan sistemik dan paradigmatik pula. Wallahu
a’lam bi ash-Shawwab.[][]
-----------------------
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Badri, Abdul
Aziz. 1990. Hidup Sejahtera dalam Naungan
Islam (Terj.).Jakarta : Gema Insani Press.
Al-Faruqi, Lois
Lamya dan Ismail R. al-Faruqi. 2000. Atlas
Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Terj.). Bandung : Mizan. Cet. Ke-2.
Al-Khalidi,
Mahmud. 2002. Kerusakan dan Bahaya Sistem Ekonomi Kapitalis (Hukm al-Islam di
Ra’sumaliyah). Jakarta : Wahyu Press.
Al-Maliki,
Abdurrahman. 2001. Politik Ekonomi Islam (Terj. Dari As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu
al-Mutsla). Bangil : Al-Izzah.
An-Nabhani,
Taqiyuddin. 1996. Membangun Sistem Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (An-Nizham
al-Iqtishadiy fi al-Islamiy). Surabaya : Risalah Gusti.
Damanhuri, Didin
S. 1996. Ekonomi Politik Alternatif,
Agenda Reformasi Abad 21. Jakarta : CV Muliasari.
Damanhuri, Didin
S. dkk., 1997. Tinjauan Kritis Ideologi
Liberalisme dan Sosialisme. Jakarta : Badan Diklat Depdagri.
Diah
Aryati Prihartini, “Perbandingan Total Kemiskinan
Versi Pemerintah Indonesia dan Bank Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha
Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan” (online resources) diakses dari www.repository.gunadarma.ac.id
pada tanggal 3 Maret 2009.
Ebenstein,
William dan Edwin Fogelman. 1994. Isme-Isme
Dewasa Ini (Terj.). Jakarta : Erlangga. Ed. 9.
“Great
Depression”. The
Free Encyclopedia Wikipedia (online resources), diakses dari www.wikipedia.org
pada tanggal 3 Maret 2009.
Hartwick,
John M, et. Al. 1997. The Economics of
Natural Resource Use. USA : Addison-Wesley.
Second edition.
Karseno, Arif
Ramelan dkk. 1997. Ekonomi Politik Indonesia. Jakarta : Badan Diklat Depdagri.
Matla, Husain.
2005. Antara Ekonomi Budak dan Ekonomi
Orang Merdeka. Semarang : Magnificient Publishing.
Davies, Roy and
Glyn Davies, “The History of Money From
Ancient Time of Present Day” (online resources), diakses dari www.
projects.exeter.ac.uk/RDavies/ pada tanggal 3 Maret 2009.
Todaro, Michael P. 1983. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga (Economic
Development in The Third World) .Jakarta : Ghalia Indonesia. Jilid I.
Todaro, Michael P. 1983. Pembangunan Ekonomi Dunia Ketiga (Economic
Development in The Third World) .Jakarta : Ghalia Indonesia. Jilid II.
Zallum, Abdul Qadim. 1988. Sistem
Keuangan Di Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah). Bogor :
Pustaka Thariqul Izzah.
Online
Resources : http://en.wikipedia.org/wiki/Drogheda
[1] Roy Davies and Glyn Davies, “The History of Money From
Ancient Time of Present Day” (online resources), diakses dari www. projects.exeter.ac.uk/RDavies/ pada tanggal 3 Maret 2009.
[2] Lihat Michael P. Todaro, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, (Economic Development in The Third World) (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 1983), Jilid II, hlm. 47. Lihat juga dalam buku William Ebenstein
dan Edwin Fogelman, Isme-Isme Dewasa Ini
(Terj.) (Jakarta : Erlangga, 1994), Ed. 9, hlm.163 dan 167
[3] Diah Aryati Prihartini, “Perbandingan Total Kemiskinan Versi Pemerintah Indonesia dan Bank
Dunia Dengan Peran Strategis Dari Usaha Mikro Untuk Pengentasan Kemiskinan”
(online resources) diakses dari www.repository.gunadarma.ac.id
pada tanggal 3 Maret 2009.
[4]Seperti ungkapan John D. Rockefeller saat mengomentari crash
yang dialami Wall Street pada tahun 1929 : "These
are days when many are discouraged. In the 93 years of my life, depressions
have come and gone. Prosperity has always returned and will again." (Ini adalah
hari-hari dimana banyak yang kecewa. Dalam 93 tahun hidup saya, depressi datang
dan pergi. Namun kesejahteraan selalu dan akan kembali lagi). Lihat artikel
“Great Depression”, The Free Encyclopedia
Wikipedia (online resources), diakses dari www.wikipedia.org pada tanggal 3
Maret 2009.
[5] Pernyataan Rizal Malarangeng dalam salah satu acara
debat seputar ekonomi kapitalis vs ekonomi syariah bersama Tun Kelana Jaya,
MetroTv beberapa waktu lalu.
[6] Husain Matla, Antara
Ekonomi Budak dan Ekonomi Orang Merdeka (Semarang : Magnificient
Publishing, 2005)
[7]
Didin S. Damanhuri, dkk., Tinjauan Kritis
Ideologi Liberalisme dan Sosialisme (Jakarta : Badan Diklat Depdagri,
1997), hlm.31-32.
[8]
Arif Ramelan Karseno, dkk, Ekonomi
Politik Indonesia (Jakarta : Badan Diklat Depdagri, 1997), hlm. 42.
[9]
Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif Perspektif Islam (An-Nizham al-Iqtishadiy fi al-Islamiy)
(Surabaya : Risalah Gusti, 1996), hlm. 5.
[10]
Ibid, hlm. 9-28. Lihat juga dalam Mahmud al-Khalidi, Kerusakan dan Bahaya Sistem Ekonomi Kapitalis (Hukm al-Islam di
Ra’sumaliyah), (Jakarta : Wahyu Press, 2002), hlm. 7.
[11]
Abdurrahman Al-Maliki, Politik Ekonomi
Islam (Terj. Dari As-Siyasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla) (Bangil :
Al-Izzah, 2001), hlm. 11.
[12] Michael P. Todaro, Pembangunan
Ekonomi Dunia Ketiga (Economic Development in The Third World) (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1983), Jilid I, hlm. 153.
[13] Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan Di Negara Khilafah (Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah)
(Bogor : Pustaka Thariqul Izzah, 1988), Cetakan ke-2, hlm. 225.
[14] Meminjam istilah Didin S. Damanhuri dalam bukunya Ekonomi Politik Alternatif, Agenda Reformasi
Abad 21 (Jakarta : CV Muliasari, 1996), hlm. 166.
[15] Tahun 1845, adalah awal
tahun dimana terjadi kelaparan besar yang melanda Irlandia yang mengakibatkan
lebih dari 1,000,000 orang meninggal. Ketika itu Khilafah Usmani, Sultan
Abdülmecid (Abdul Majid) menyatakan keinginannya untuk mengirimkan 10,000
sterling kepada para petani Irlandia tapi Ratu Victoria meminta Sultan untuk
mengirim hanya 1,000 sterling, karena dia telah mengirim hanya 2,000 sterling. Sultan mengirim
1,000 sterling. Namun secara diam-diam mengirim 3 kapal penuh makanan.
Pengadilan Inggris berusaha untuk memblokir kapal itu, tapi makanan sampai di
pelabuhan Drogheda dan ditinggalkan di sana oleh para Pelaut Usmani.
Dikarenakan peristiwa ini rakyat Irlandia, khususnya mereka yang tinggal dii
Drogheda, menjadi bersahabat dengan orang Turki. Peristiwa ini juga menyebabkan munculnya symbol-simbol
Usmani (source: http://en.wikipedia.org/wiki/Drogheda) Sebuah Blog Osmanli
Traveller telah mengcopy sebuah laporan oleh seorang Pendeta
Kristen yang menulis mengenai Sultan pada saat pengembaraanya. Ditemukan pula Surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika
Serikat atas bantuan pangan yang dikirim khalifah ke Amerika Serikat yang
sedang dilanda kelaparan pasca perang dengan Inggris (abad 18).
[16] Antara lain : Abdul Aziz Al-Badri, Hidup Sejahtera dalam Naungan Islam
(Terj.) (Jakarta : Gema Insani Press, 1990) dan Lois Lamya Al-Faruqi dan Ismail R. al-Faruqi, Atlas
Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (Terj.) (Bandung
: Mizan, 2000), Cet. Ke-2.
[17]
Abdul Qaddim Zallum, op.cit., hlm.
233. Taqiyuddin an-Nabhani, op.cit.,
hlm 302.
[18]
Taqiyuddin an-Nabhani, op.cit., hlm.
298.
[19]
Ibid, hlm. 304.
[20] Abdul Qaddim Zallum, op.cit., hlm. 90-104.
[21] John M, Hartwick, et. Al., The Economics of Natural Resource Use (USA : Addison-Wesley, 1997),
second edition, p. 7.