Pengantar
Di tengah berbagai persoalan yang muncul akhir-akhir ini, barangkali kita masih ingat kasus Kunjungan Kerja
anggota
Baleg (badan legislative) DPR RI ke Turki dan Denmark beberapa waktu lalu yang
sempat menuai kontroversi, terutama ketika di media beredar foto orang-orang yang
diduga anggota Baleg DPR itu sedang
mengikuti canal tour di kopenhagen Denmark. Sebagian masyarakat
mempertanyakan perilaku para pejabat tersebut, mengingat mereka berangkat dalam
rangka mengemban tugas Negara dan tentu saja keberangkatan mereka ini dibiayai
oleh oleh uang Negara yang notabene adalah uang rakyat.
Yang juga menjadi
sorotan adalah, bahwa kunjungan kerja tersebut ternyata hanya bertujuan untuk
studi banding mengenai rencana penggantian logo Palang Merah Indonesia, yang
sebetulnya informasi tentang logo tersebut bisa didapatkan melalui internet.
Wajar jika masyarakat menuding bahwa kunjungan kerja seperti ini hanyalah
akal-akalan anggota Baleg saja agar mereka bisa menikmati pelesiran ke luar
negeri dengan gratis.
Bukan Kasus Baru
Kalau kita cermati,
kasus seperti ini memang bukan sekali ini terjadi. Bukan rahasia lagi jika
kunjungan kerja atau studi banding yang dilakukan para pejabat Negara, bukan
hanya anggota DPR, seringkali kental dengan nuansa pelesiran dan hura-hura. Dari sisi konten atau
tujuan, juga layak dipertanyakan urgensinya. Tak jarang kunjungan kerja atau
studi banding, dilakukan hanya untuk tujuan-tujuan yang tidak penting dan tidak
ada kaitannya dengan kepentingan mensejahterakan rakyat. Bahkan seringkali tak
masuk akal dan sangat menghina kecerdasan public; mengkonfirmasi logo PMI
seperti yang dilakukan anggota Baleg tadi; mempelajari etika bicara, berpakaian
hingga larangan merokok sebagaimana Kunjungan kerja anggota Badan Kehormatan
DPR ke Yunani; Ke Afrika untuk belajar pramuka; Ke Brazil untuk mempelajari RUU
Desa, dll.
Wajar jika ada yang
mengatakan, bahwa pekerjaan yang paling digandrungi DPR dan
para pejabat ialah studi banding atau kunjungan kerja ke luar negeri. Faktanya,
jika kursi DPR saat rapat sering kosong, maka jatah pesawat untuk kunjungan ke
luar negeri dan hotel tempat mereka menginap tak pernah kosong. Jika tugas2
lainnya selalu tak maksimal dilakukan, maka tugas kunker dan studi banding
selalu beres dikerjakan. Dalam tugas paling utama pun anggota DPR
sering mengabaikan. Target legislasi selalu kedodoran. Untuk tahun ini saja,
misalnya, dari 64 RUU yang masuk program legislasi nasional, baru 12 RUU
dibereskan. Lebih mengenaskan lagi, banyak UU yang dihasilkan ternyata berkualitas
rendah. Buktinya gugatan atas UU yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi sering
dikabulkan MK.
Yang lebih menyakitkan adalah soal
pendanaan. Kita tahu, bahwa anggaran untuk membiayai kunker pejabat bukanlah
angka yang sedikit. Forum Independen untuk Transparansi
Anggaran (Fitra) pernah mengungkapkan bahwa anggaran untuk kunjungan kerja
seluruh anggota DPR pada 2012 mencapai lebih dari Rp140 miliar. Ini baru
berbicara anggota DPR saja, belum termasuk anggaran kunker untuk para pejabat
lainnya. Data yang saya dapat tak tanggung-tanggung. Selama setahun, biaya
perjalanan dinas PNS, mencapai angka sekitar Rp 18 triliun. Angka yang tidak
jauh berbeda dengan anggaran subsidi pupuk untuk petani seluruh Indonesia.
Sedangkan anggaran perjalanan dinas luar negeri untuk tingkat menteri mencapai Rp
5 triliun, dll hingga total hampir mencapai Rp. 24 Trilyun.
Dan semua ini, sekali lagi adalah uang rakyat yang alih2 digunakan untuk
kepentingan mensejahterakan rakyat, malah digunakan untuk hal-hal yang tidak
penting bahkan sebagian besar dikorupsi dengan modus melakukan mark up biaya
perjalanan atau dengan melakukan perjalanan fiktif dan disinyalir menyebabkan
kebocoran anggaran Negara mencapai 40 persen.
Setidaknya ada dua hal yang menyebabkan realitas ini kerap terjadi. Pertama, persoalan SDM, yakni kualitas aparatur Negara/pejabat yang lemah baik dari sisi kapabilitas berpikir dan bekerja, etos, maupun kredibilitas moral. Merebaknya budaya hedonis dan materialistic akibat cengkraman sekularisme t telah membuat mereka lupa atas jatidirinya sebagai pengemban amanah rakyat dan pelayan umat. Akibatnya, jabatan yang mereka emban justru mereka gunakan untuk meraih sebesar-besar manfaat.
Kedua, persoalan system. Diakui atau tidak,
Negara ini sesungguhnya menganut system kapitalisme yang tegak di atas asas
sekularisme (pemisahan agama dari Negara). Dalam system kapitalisme Negara memang
tidak disetting sebagai pihak yang bertanggungjawab penuh dalam meri’ayah atau
mengurusi kepentingan rakyat. Hal ini Nampak dalam penerapan system ekonomi
yang liberalistic dan eksploitatif; system kepemimpinan yang lemah, minus
keteladanan, tak amanah dan berparadigma pedagang; politik anggaran yang cenderung
anti rakyat (misalnya, adanya sistem pajak, pengalokasian dana kepentingan
rakyat yang tidak imbang dengan belanja lainnya, penerapan anti subsidi,
dll); serta system sanksi yang tak mampu
membuat para pejabat merasa takut untuk berbuat curang dan khianat terhadap
rakyat, dll.
Termasuk dalam persoalan system adalah
realitas politik Indonesia yang dalam konstelasi politik internasional, masih
terposisi sebagai Negara ketiga, yang cenderung menjadi Negara pengekor bahkan
jajahan Negara adidaya. Posisi inilah yang membuat para pejabat negeri ini
kehilangan kemandirian dan rasa percaya diri, hingga untuk mengatur urusan
rakyat, membuat berbagai kebijakan dan undang2, harus belajar dan meniru Negara
lain. Bahkan dalam perkara2 remeh sekalipun. Itulah kenapa, aktivitas studi
banding yang pendanaannya dibebankan kepada Negara menjadi sesuatu yang
seolah-olah urgen dan menjadi kebutuhan. Dua hal inilah yang menyebabkan ruang bagi praktek
korupsi atau perampokan harta rakyat dengan segala modusnya begitu terbuka
lebar dan marak terjadi, bahkan tak jarang dilakukan secara berjamaah. Termasuk
melalui kegiatan kunjungan kerja/studi banding ke luar negeri, atau kegiatan
perjalanan dinas, yang faktanya tak beda dengan perjalanan wisata bahkan dengan
modus perjalanan fiktif.
Apa
yang terjadi hari ini (sebetulnya) bisa dipastikan tidak perlu ada dan tidak
akan pernah terjadi jika kaum Muslimin hidup dalam system Islam atau naungan
kepemimpinan Islam yang disebut khilafah Islamiyah. Kenapa demikian?
Kalau
dicermati, realitas Negara Islam
(khilafah Islamiyah) sangat jauh berbeda dengan realitas Negara
kapitalistik-sekularistik. Dengan menjadikan ideology Islam sebagai asasnya,
dan hukum2 Allah (syariat Islam) sebagai aturan yang mengatur seluruh aspek
kehidupan masyarakatnya, Negara khilafah telah dan akan menjadi Negara yang
kuat, terdepan dan mandiri, bukan menjadi negara pengekor dan pembebek.
Secara
historispun, telah terbukti bahwa sepanjang belasan abad, Negara khilafah tampil
sebagai pionir dan mercusuar peradaban dunia. Sepanjang masa itu, negara-negara
lainlah yang belajar kepada khilafah bagaimana memajukan diri, dengan
mengirimkan para pemuda mereka untuk menimba ilmu di negeri2 Islam. Mereka
mempelajari pandangan hidup dan aturan hidup Islam, sains dan teknologi dari
ilmuwan2 Islam, seni dan budaya, bahkan bahasa Islam, yakni bahasa Arab.
Sampai-sampai, dengan penuh kesadaran Islam merasuk dalam jiwa2 mereka, menjadi
pandangan hidup mereka dan life style mereka dan karenanyalah Islam tersebar ke
seluruh dunia dan mewujud menjadi rahmatan lil ‘alamin.
Rahasianya
memang terletak pada ajaran Islamnya itu sendiri, dimana Islam bukan sekedar
agama, tapi merupakan system hidup (ideology). Islam bukan hanya mengatur soal
ibadah atau akhlaq saja, tapi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia termasuk
masalah Negara dan kepemimpinan.
Ideologi
Islam telah menjadikan Negara, dalam hal ini kholifah, sebagai pemegang amanah
ri’ayah, yakni mengurus urusan umat, dengan jalan menerapkan seluruh hokum
Islam yang berasal dari al-Khaliq, yakni Allah swt, Sang Maha Pencipta, Yang
Maha Tahu, Maha Sempurna dan Maha Adil. Hukum-hukum Islam ini tertuang dalam
Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma Shahabat serta Qiyas syar’i. Dimana, keempat sumber
hokum ini, ditambah dengan tabbani (legalisasi) hokum yang dilakukan kholifah berdasarkan
keempat sumber hokum tadi, lebih dari cukup untuk menjadi tuntunan bagi
kholifah dan para pejabat di bawahnya dalam mengemban amanah ri’ayah, sehingga
seluruh umat akan merasakan kebahagiaan hidup hakiki di bawah naungan Islam.
Dengan
demikian, dalam pandangan Islam, selain memiliki dimensi duniawiyah (profane),
amanah ri’ayah (kepemimpinan/pengurusan) juga kental dengan dimensi ruhiyah, karena
seorang kholifah dan struktur/aparat di bawahnya diangkat atas nama Allah tidak
lain untuk menjalankan hokum-hukum Allah. Dan kesemuanya akan dipertanggungjawabkan
di hadapan Allah kelak di akhirat. Sebaliknya dalam pandangan
sekularisme kapitalistik, amanah ri’ayah hanya memiliki dimensi duniawiyah semata,
yang dalam realitasnya masih memungkinkan dikamuflase dan tak bisa dituntut.
Bahkan dengan paradigma sekulerisme, kepemimpinan hanya diterjemahkan sebagai
alat meraih kekuasaan dan materi semata.
Bahwa jabatan kepemimpinan memiliki aspek ruhiyah, yakni
mengandung konsekuensi pertanggungjawaban di akhirat, Nampak dari sabda
Rasulullah saw,
“Dia
yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari
kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa
dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)
“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…" ([Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)
“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya
penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya
azab pada hari kiamat”. (HR. Ath-Thabrani)
Dimensi ruhiyyah inilah yang membuat
kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan
Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan/jabatan di dalam Islam tidak dipandang
rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina, atau semata demi
kebanggaan nafsu ammarah sesaat sebagaimana ajaran/perspektif sekulerisme.
Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan diri,
umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya keridhaan Allah di dunia
dan akhirat. Terlebih Rasulullah saw telah
mengingatkan,
“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa
yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan
bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan
pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”.
(HR. Ath-Thabrani)
Inilah rahasia kesuksesan kepemimpinan
dalam Islam yang telah terbukti berhasil menghantarkan umat pada kejayaan
mereka. Para pemimpin/pejabat umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang
diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas
melayani umat sesuai tuntunan syariat dan merasa
cukup dengan tuntunan itu.
Keimanan yang tertancap kuat dalam
jiwa-jiwa mereka pun menjadi pengawasan melekat yang membuat mereka selalu
diliputi rasa takut untuk melakukan penyelewengan, kecurangan bahkan pengabaian
yang merugikan rakyat sekecil apapun, sekaligus membuat mereka terjauhkan dari
sikap rakus terhadap harta, kesukaan pada
kesia-siaan dan kebahagiaan semu. Para
pemimpin Islam justru akan menjadi tauladan dalam semangat berkorban demi umat
sebagaimana tinta sejarah telah mencatat
kisah-kisah kezuhudan, sikap santun, sikap wara dan pengorbanan mereka
atas umat hingga akhirnya sukses menghantarkan umat pada kejayaan mereka;
menjadi umat terbaik (khoyru ummah) di antara manusia.
Tentu saja bisa. Hanya, untuk mewujudkan
kondisi ideal seperti ini, tentu saja harus didukung oleh kesadaran umat agar
merekapun siap menjadi penjaga syariat, dengan melakukan aktivitas amar ma’ruf
nahi munkar termasuk melakukan control dan koreksi pada para pemimpin mereka.
Juga harus didukung oleh penerapan system Islam yang menutup setiap celah
kerusakan dengan diterapkannya seluruh aturan Allah, seperti system ekonomi
yang menjamin kesejahteraan, termasuk di dalamnya system keuangan/anggaran yang
ideal yang jelas pemasukan dan pengeluarannya dan berorientasi pada kepentingan umat, system sanksi yang tegas dan tak
pandang bulu bagi setiap pelanggaran dan para pelakunya, dll. Dengan cara ini
akan tercipta suasana yang kondusif, yakni suasana keimanan yang tinggi di
setiap komponen masyarakat, baik di kalangan pejabat atau rakyat, yang
mendorong mereka untuk berlomba-lomba berbuat kebaikan, dan berkontribusi
maksimal untuk kemajuan masyarakat dan kemuliaan agama mereka.
Wallaahu a’lam bisshawwab.
Wallaahu a’lam bisshawwab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar