INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Sabtu, 24 Desember 2011

MENJADI IBU ADALAH HADIAH TERBAIK



By Siti Nafidah Anshory

Ukhti …..
Banyak yang tak menyadari, bahwa seorang ibu bisa berarti banyak buat sebuah bangsa.
Seorang Ibu, tak hanya ‘bertugas’ melahirkan anak dan membesarkannya saja,
Namun di tangannya, generasi terbaik masa depan disiapkan..

Tak ada guru & sekolah yang mampu menggantikan posisi seorang ibu, seunggul dan sehebat apapun…
Karena seorang Ibu adalah guru dan sekolah sejati bagi anaknya ..
Betapa tidak?
Bukankah setiap fase perjalanan hidup seorang ibu hakekatnya adalah pelajaran terbaik bagi anaknya?

Mari kita lihat dan renungkan ….
Saat ibu shabar menjalani masa mengandung,
sesungguhnya saat itu dia sedang mengajarkan keshabaran pada anaknya.
Saat Ibu berusaha menjaga ketaatan dan memelihara daya juang di masa2 sulit itu,
sejatinya dia sedang tanamkan sikap taat dan smangat berkorban.
Saat ibu menidurkan anak di buaian & ridha menyusuinya hingga sempurna 2 tahun ke depan, sepanjang masa itulah dia ukir rasa aman dan kasih sayang.
Saat ibu shabar melatih berjalan, saat itu dia tanamkan daya juang menghadapi keadaan.
Saat ibu menangani perselisihan, disitulah dia ajarkan nilai keadilan, kejujuran, keterbukaan, empati dan tanggungjawab pada lingkungan dan umat.

Dan lebih dari itu Ukhti ….,
Tauladan ibu dalam keshalehan --termasuk hamasahnya dalam dakwah dan perjuangan Islam--
sesungguhnya merupakan pelajaran terbaik yang membuat anak paham hakekat dirinya, siapa Pencipta Yang Berhak ditaatinya serta misi apa yang diemban sepanjang hidupnya

Bukankah bisa dibayangkan, Ukhti
Jika para Ibu menyadari besarnya arti keberadaan dirinya?
Tentulah pada umat ini akan lahir sosok2 pemimpin yang bermental kuat, berdaya juang, dan memiliki segala sifat baik yang diperlukan sebagai seorang pemimpin,
Dan jika para Ibu mengerti misi besar yang diembannya,
tentu sebaliknya,tak kan lahir para pemimpin bermental lemah, inferior, bengis dan tak bertanggungjawab terhadap rakyat seperti yang terjadi di masa penuh fitnah ini.

Jika demikian halnya Ukhti,
Hingga kapan kita abai atas hadiah terbaik dari Allah ini?
-- MENJADI SEORANG IBU --

Rabu, 07 Desember 2011

LIBERALISASI MENGANCAM KELUARGA MUSLIM


Oleh : Siti Nafidah Anshory

Pengantar

Islam adalah agama yang sempurna dan menyeluruh. Selain mencakup pemikiran dasar mengenai aqidah (aspek ruhiyah/spiritualitas), Islam juga mengatur aspek siyasiyah (dalam arti pengaturan urusan kehidupan manusia), baik dalam masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, hankam, termasuk hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah).

Dalam konteks hukum-hukum keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah), Islam telah menetapkan seperangkat aturan yang begitu agung dan sempurna, baik yang menyangkut masalah perkawinan, waris, nasab, wilayatul abb (perwalian), thalaq, ruju’ dan lain-lain. Semua aturan ini sejalan dengan pandangan Islam yang sangat concern terhadap masalah keluarga dan menempatkannya sebagai bagian penting dalam masyarakat. Bahkan dalam Islam, keluarga bisa diibaratkan sebagai benteng pertahanan terakhir dalam menghadapi berbagai ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang akan merusak dan menghancurkan tatanan masyarakat Islam yang bersih dan tinggi.

Fungsi Keluarga, Tak Hanya Sosial

Dalam pandangan Islam, selain memiliki fungsi sosial, keluarga juga memiliki fungsi politis dan strategis. Secara sosial, keluarga adalah ikatan terkuat yang berfungsi sebagai pranata awal pendidikan primer, dengan ayah dan ibu sebagai sumber pengajaran pertamanya, sekaligus sebagai tempat membangun dan mengembangkan interaksi harmonis untuk meraih ketenangan dan ketentraman hidup satu sama lain. Secara politis dan strategis, keluarga berfungsi sebagai tempat yang paling ideal untuk mencetak generasi unggulan, yakni generasi yang bertakwa, cerdas dan siap memimpin umat membangun peradaban ideal di masa depan, sebagaimana telah terbukti berhasil membangun peradaban ideal umat Islam di masa lalu hingga umat Islam muncul sebagai khoyru ummah.

Karenanya keluarga dalam fungsi-fungsi ini bisa diumpamakan sebagai madrasah, rumahsakit, masjid bahkan camp militer yang siap mencetak pribadi-pribadi mujtahid sekaligus mujahid. Adapun berbagai pembagian peran dan fungsi yang ada di dalamnya, berikut berbagai implikasi pembagian hak dan kewajiban di antara anggota keluarga, dapat dipahami sebagai bentuk kesetaraan, keadilan dan kesempurnaan yang diberikan Islam dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan duniawi dan ukhrawi yang mulia ini. Di sana, tak ada satu peran dan fungsi pun yang dianggap lebih tinggi daripada peran dan fungsi yang lainnya.

Di samping memiliki rincian aturan mengenai hukum-hukum keluarga, Islam juga memiliki seperangkat aturan yang memastikan hukum-hukum di atas tegak secara sempurna, baik yang harus dilaksanakan oleh individu, masyarakat maupun Negara. Secara individu, setiap Muslim dalam perannya masing-masing (sebagai individu, anak, suami atau isteri, ibu atau ayah, sebagai anggota masyarakat) diharuskan memiliki pemahaman yang benar berkaitan dengan seluruh hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga dan wajib terikat dengannya sebagai konsekuensi iman. Sementara masyarakat, wajib melakukan kontrol melalui aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tatkala mendapati penyimpangan dalam pelaksanaan aturan sehingga tercipta lingkungan yang kondusif bagi berjalannya fungsi-fungsi keluarga. Adapun negara berkewajiban memelihara lingkungan yang tepat melalui penetapan berbagai kebijakan publik yang sesuai dengan tuntutan syariat dan penyediaan sarana dan prasarana yang mendukung bagi terwujudnya kondisi tersebut. Misal dengan melegislasi hukum-hukum keluarga Islam, menerapkan kontrol media secara ketat, penerapan system pendidikan yang ideal, kebijakan ekonomi yang menyejahterakan, penegakkan sanksi, dan lain-lain.

Dalam konteks Indonesia, peran Negara ini antara lain diwujudkan melalui diundangkannya materi-materi hukum keluarga, seperti Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dan Kompilasi Hukum Islam yang merupakan hasil kesepakatan para ulama Indonesia dan kemudian diikuti oleh Instruksi Presiden No. 1 tanggal 10 Juni 1991. Sayangnya, disamping aturan-aturan tersebut tidak sepenuhnya mengadopsi hukum-hukum keluarga menurut syari’at Islam, implementasi hukum-hukum tersebut masih belum optimal dan belum didukung oleh kebijakan-kebijakan yang mampu menguatkan berjalannya fungsi-fungsi keluarga sebagaimana yang dikehendaki oleh Islam.

Ancaman Liberalisasi

Banyak fakta yang bisa menguatkan konklusi ini. Penerapan sistem pendidikan yang masih carut-marut, baik menyangkut paradigma, kurikulum, metode pengajaran dan fasilitasi, membuat pendidikan yang sudah berupaya ideal dibangun dalam keluarga tidak sinergi dengan hasil pendidikan di lembaga formal. Demikian juga dengan sistem ekonomi kapitalistik yang diterapkan, membuat kehidupan mayoritas masyarakat –termasuk keluarga-keluarga muslim-- terjebak dalam kemiskinan kultural dan struktural, sekaligus memicu berkembangnya pola kehidupan materialistik yang menghalalkan segala cara. Akibatnya, demi menyelamatkan ekonomi keluarga, para ibu ‘dipaksa’ masuk dalam bursa tenaga kerja murah dengan konsekuensi harus menanggalkan peran strategis mereka sebagai isteri dan ibu pendidik generasi bangsa. Tidak adanya sistem sanksi yang tegas juga membuat pelanggaran hukum, kemaksiatan dan kriminalitas merajalela dan mudah terjadi dimana-mana. Begitu pula dengan sistem budaya liberal yang dibangun, termasuk sikap longgar terhadap tayangan media dan berkembangnya tempat-tempat maksiat, membuat nilai-nilai akhlaq Islam yang ditanamkan dalam keluarga luntur sedikit demi sedikit tersibghah budaya yang rusak dan merusak.

Kondisi ini kemudian dikuatkan oleh berkembangnya pemikiran liberal sebagai bagian dari serangan pemikiran yang dilancarkan pihak asing, termasuk feminisme yang bertentangan secara diametral dengan Islam. Pemikiran-pemikiran semacam ini memandang bahwa hukum-hukum Islam sudah out of date, tidak sejalan dengan perkembangan jaman, bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM, kesetaraan dan lain-lain, dan karenanya harus direinterpretasi, bahkan di dekonstruksi. Dalam konteks hukum keluarga, hukum Islam sering dibenturkan dengan gagasan emansipasi dan gender equality (Keadilan dan Kesetaraan Gender/KKG), yang bagi kalangan liberal, memang menjadi fokus perhatian mereka, disamping isu HAM, pluralisme dan demokrasi.

Gerakan Islam Liberal yang diistilahkan oleh Fyzee sebagai Islam Protestan, sejak awal memang telah dikembangkan untuk ‘menghadirkan’ wajah Islam ‘lain’ yang non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam. Oleh karenanya, Islam Liberal dikenal sangat mendewakan ‘kemodernan’ sehingga Islampun harus disesuaikan dengan kemoderenan. Dalam pandangan mereka, “jika terjadi konflik antara ajaran Islam dengan pencapaian modernitas, maka yang harus dilakukan bukanlah menolak modernitas, tetapi menafsirkan kembali ajaran tersebut”. Artinya, mereka menjadikan fakta sebagai sumber hukum, sementara ajaran Islam menjadi objeknya. Disinilah inti dari sikap dan doktrin Islam Liberal, yakni liberalisasi yang semakna dengan sekularisasi. Adapun keberadaan agenda feminisme sebagai salah satu agenda utama gerakan Islam liberal, disamping agenda politik, toleransi dan kebebasan berekspresi, menunjukkan bahwa keberadaan isu-isu gender yang diusungnya pun memang merupakan bagian dari proyek liberalisasi dan sekularisasi wajah Islam, termasuk di Indonesia.

Bagi kalangan liberal, termasuk feminis di dalamnya, liberalisasi memang merupakan prasyarat mutlak bagi kemajuan. Mereka mengadopsi pemikiran ini dari sejarah peradaban Barat yang menempatkan agama Kristen dan dominasi kekuasaan gereja sebagai sumber kemunduran dan obatnya adalah liberalisasi dan sekularisasi. Sayangnya, kalangan liberalis kemudian secara serampangan melakukan penyamaan premis ini kepada ajaran Islam. Padahal realitasnya, ajaran Islam dan Kristen berbeda, sehingga ‘penyakit’ yang diderita masyarakat Barat dan umat Islam juga sama sekali berbeda, hingga obatnya pun berbeda pula.

Kata ‘liberal’ sendiri berarti kebebasan. Sedangkan liberalisasi diartikan sebagai the act making less strict (upaya menghilangkan kekakuan). Oxford English Dictionary menerangkan bahwa pada awalnya, liberalisme bermaksud bebas dari batasan bersuara atau perilaku, seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, atau lidah yang bebas, dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Kemudian pada 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai diberi maksud yang baik, yaitu bebas dari prasangka dan bersifat toleran. Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah.

Hanya saja, kalangan liberal kemudian memperluas makna kata liberal ini menjadi kebebasan berpikir, yang mereka setarakan dengan konsep (kebebasan) ber-ijtihad. Karenanya, mereka kemudian mengembangkan konsep ijtihad baru yang berbeda metodologinya dengan konsep ijtihad yang dikembangkan para ulama salaf dengan dalih perubahan jaman dan perbedaan tempat. Mereka berpendapat, bahwa memaksa satu generasi untuk mengikuti keseluruhan hasil pemikiran generasi masa lampau (termasuk tafsir) akan mengakibatkan kesulitan, karena sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi kekinian yang terus berubah. Apalagi mereka memandang bahwa masyarakat akan selalu berubah sehingga fatwa-fatwa keagamaanpun harus berubah.

Mereka kemudian merekomendasikan penggunaan tafsir bercorak rasional yang dianggap cocok bagi masyarakat modern. Gagasan tentang HAM, pluralisme, gender dan demokrasi kemudian dipakai sebagai patokannya, bukan nash-nash syari’at itu sendiri. Mereka melakukan perubahan metodologi ijtihad ini secara mendasar, diawali dengan mempertanyakan otentisitas Al-Qur’an sebagai wahyu serta peran dan posisi akal terhadap wahyu (termasuk ide mengenai kewenangan akal publik mengamandemen ketentuan syariat jika ketentuan tersebut bertolak belakang dengan maslahat publik). Selain itu, mereka juga merekonstruksi batasan qath’iy-zhanniy dalam nash syari’at yang berimplikasi pada berubahan wilayah hukum yang boleh diijtihadi dan yang tidak, serta mereinterpretasi masalah maqashid syar’iy, dan lain-lain. Adapun dalam hal tafsir, mereka memperkenalkan pendekatan tafsir yang berbeda dengan pendekatan tafsir ulama salaf, yakni melalui pendekatan sosio-historis, hermeneutik dan sebagainya. Wajar jika produk-produk hukum yang dihasilkannya pun bisa jauh berbeda dengan pemahaman yang sudah ada sebelumnya.

Semua upaya itu memang sejalan dengan prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yang jika dicermati sangat kental dengan semangat sekularisasi dan liberalisasi. Greg Barton, seorang penulis dan pendukung Islam Liberal dalam bukunya Gagasan Islam Liberal di Indonesia menggariskan beberapa prinsip dasar yang dipegang oleh kelompok Islam liberal yaitu: (a) Pentingnya kontekstualisasi ijtihad; (b) Komitmen terhadap rasionalitas dan pembaharuan (agama); (c) Penerimaan terhadap pluralisme sosial dan pluralisme agama-agama; dan (d) Pemisahan agama dari partai politik dan kedudukan negara yang nonsektarian. Jika dikaitkan dengan langkah-langkah implementasi yang mereka lakukan tadi, maka poin (a), (b) dan (c) bisa diartikan liberalisasi, sedangkan poin (d) berarti sekularisasi.

Liberalisasi, Konspiratif dan Strategis!

Jika diukur secara politik, kekuatan kelompok liberal, termasuk kalangan feminis cukup berpengaruh di negeri ini. Sekalipun jumlah pendukungnya sedikit, namun back-up politik asing (lembaga-lembaga Internasional, semacam PBB) dan pendanaan yang kuat dari foundation asing (semisal The Asia Foundation, World Bank dan USAID) membuat loby-loby politik mereka ke tataran kekuasaan dan legislasi cukup kuat. Hal ini terlihat dari berbagai langkah massif yang mereka lakukan dalam rangka mempengaruhi keluarnya berbagai kebijakan publik yang searah dengan pandangan mereka menyangkut liberalisasi dan pembaruan hukum Islam, termasuk hukum-hukum keluarga. Fakta-fakta inilah yang menunjukkan bahwa ada konspirasi asing di balik gerakan liberalisasi dan sekularisasi hukum-hukum Islam.

Selama ini, pengadopsian hukum-hukum Islam tentang keluarga oleh negara memang sering menjadi sasaran kritik. Kalangan feminis dan liberalis sejak lama berpandangan bahwa hukum-hukum yang diberlakukan negara tersebut mengandung banyak persoalan, khususnya jika dikaitkan dengan hak dan martabat kaum perempuan. Selain dianggap mengandung budaya patriarkis yang bias gender, penerapannya oleh Negara dipandang sebagai bentuk legitimasi atas terjadinya ketidakadilan sistemik terhadap perempuan atasnama undang-undang. Dalam Dokumen Nasional Penerapan Hukum Islam di Indonesia yang mereka rilis pada bulan Pebruari 2009 disebutkan, bahwa melalui refleksi beberapa lembaga pengorganisasian perempuan, telah ditemukan adanya indikasi penerapan hukum Islam yang merugikan perempuan. Penerapan hukum Islam yang merugikan perempuan ini antara lain terkait dengan penanganan kasus-kasus poligami, nikah siri, perceraian, waris, pembagian peran suami isteri dalam keluarga, usia nikah, perwalian, pernikahan beda agama, dan lain-lain.

Untuk itu, mereka intens melakukan gerakan sosial dan politik untuk mencapai apa yang mereka sebut sebagai hukum keluarga yang adil dan setara gender, yang hakekatnya merupakan proyek liberalisasi hukum keluarga Islam. Di tingkat grassroot, mereka berupaya menyebarkan gagasan-gagasan gender melalui berbagai media, termasuk mass media (iklan, sinetron/film), buku/novel, seni, dan lain-lain. Juga melalui lembaga kemasyarakatan –termasuk ormas-- yang menjadi jejaring mereka dengan target memunculkan keberanian masyarakat untuk memperoleh ‘keadilan’. Di tingkat ulama (religious leaders), mereka bersinergi dengan entitas yang mereka sebut “ulama will”, yakni ulama yang siap membantu proses-proses mewujudkan hukum yang berkeadilan gender dengan cara memberikan latar belakang pemikiran yang bersifat terobosan-terobosan dan reinterpretasi atas teks al-Qu’ran. Misalnya dengan mengeluarkan fatwa haram poligami, sekaligus ikut mensosialisasikan fatwa-fatwa semacam itu kepada pengikutnya. Adapun di tingkat negara, mereka terus mengupayakan agar lahir kebijakan yang memberi jaminan hukum untuk keadilan bagi perempuan dan mendorong pemerintah untuk melakukan perubahan-perubahan substansi hukum pada kebijakan yang --dalam pandangan mereka-- tidak berkeadilan gender. (Lihat http://www.komnasperempuan.or.id)

Di beberapa negeri Muslim yang lain, pembaruan dalam bidang hukum keluarga memang bukan hal baru. Di Turki, hukum keluarga Islam (fiqh) diganti dengan hukum-hukum Barat. Sementara di Tunisia, Pakistan dan Malaysia, perubahan-perubahan hukum keluarga didasarkan atas upaya pembaruan melalui reinterpretasi atau penafsiran kembali. Setidaknya ada 13 aspek yang mengalami perubahan dalam hukum-hukum (undang-undang) keluarga di negeri-negeri Muslim tersebut, yakni batasan umur minimal boleh kawin, pembatasan peran wali dalam perkawinan, keharusan pencatatan perkawinan, kemampuan ekonomi dalam perkawinan, pembatasan kebolehan poligami, nafkah keluarga, pembatasan hak cerai suami, hak-hak dan kewajiban para pihak karena perceraian, masa kehamilan dan implikasinya, hak wali orang tua, hak waris, wasiat wajibah dan pengelolaan wakaf.

Dengan cara inilah hukum keluarga di dunia muslim mengalami perubahan (baca: liberalisasi) dan coba diterapkan juga di Indonesia. Terlebih dalam konteks Indonesia, hukum-hukum keluarga Islam yang dilegalisasi masih dianggap terlalu teksual dan merujuk pada pemahaman Islam klasik yang Arabik, sekalipun faktanya tidak. Begitupun kebijakan-kebijakan lainnya, dipandang belum mampu mengakomodir kepentingan kaum perempuan. Oleh karenanya kalangan feminis dan liberalis gencar melakukan berbagai mediasi dan advokasi dalam rangka menggolkan berbagai kebijakan publik yang berperspektif gender, termasuk yang nantinya akan menyentuh hukum-hukum keluarga atau secara tidak langsung akan memunculkan tuntutan akan perubahan hukum-hukum Islam tentang keluarga.

Setidaknya ada beberapa RUU menyangkut kepentingan strategis perempuan yang sudah dan sedang diperjuangkan berbagai kelompok feminis/gender di Indonesia. RUU yang sudah gol adalah Amandemen UU Kesehatan, UU PKDRT, UU Kewarganegaraan dan UU Perlindungan Anak. Sedangkan yang belum gol adalah RUU KUHP, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Amandemen UU Perkawinan, RUU Pornografi dan Pornoaksi (dalam hal ini UU Pornografi yang sudah diundangkan dianggap belum adil gender) dan RUU Peradilan Agama. Dalam berbagai undang-undang ini didapati pasal-pasal yang akan menggeser berbagai aturan Islam tentang keluarga, semisal UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam. UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga. Amandemen UU Kesehatan memuat aturan yang ‘bergesekan’ dengan hukum Islam, semisal memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. UU PA memberi kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku.

Yang lebih kontroversial, kalangan feminis juga pernah mengajukan perubahan atas Kompilasi Hukum Islam yang masih dianggap merepresentasikan hukum Islam dengan melaunching Buku Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) pada 4 Oktober 2004 di Jakarta atasnama Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI yang dipimpin Musdah Mulia. Isinya betul-betul merupakan counter terhadap aturan-aturan yang masih menjadi pemahaman mainstream masyarakat Islam, semisal dengan menyatakan bahwa perkawinan bukan ibadah melainkan kontrak biasa, pernikahan beda agama boleh, poligami haram, dan lain-lain. Dikarenakan kontroversial, produk pemikiran yang prosesnya menelan biaya tak sedikit dari bantuan dana asing (The Asia Foundation) ini akhirnya dianulir oleh Menteri Agama saat itu (Maftuh Basuni) dengan keluarnya surat No : MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004.

Tentu saja bukan berarti upaya mereka berhenti. Sampai saat ini, gerakan mewujudkan perubahan hukum-hukum Islam termasuk hukum-hukum keluarga di Indonesia terus berjalan sebagaimana yang bisa dipantau dalam link-link media mereka. Rancangan Amandemen UU Perkawinan dan RUU Peradilan Agama yang siap merubah sendi-sendi keluarga Islam juga sedang terus disosialisasikan untuk segera diundangkan. Hal ini diikuti dengan upaya pengopinian di tengah masyarakat tentang sisi buruk aturan Islam semisal poligami, nikah siri, nikah dini, dan sebagainya melalui berbagai sarana, semisal film, sinetron, infotainment, dan sebagainya.

Gerakan ini juga melintasi batas-batas Negara, dan menjadi agenda bersama jaringan feminisme internasional, sebagaimana diwujudkan –antara lain-- dalam bentuk penyelenggaraan kongres-kongres berskala internasional. Di antaranya Congress on Islamic Feminisme ke-3 di Barcelona pada 24 Oktober 2008 yang membahas “denounced Islamic family laws and other Shariah rules related to the woman and called for a re-interpretation based upon gender equality” dan Kongress Musawah, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara dengan rekomendasi yang mengandung spirit sama dengan CLD KHI, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut'ah.

Khotimah
Jelas, bahwa di balik isu keadilan dan kesetaraan gender tersembunyi bahaya yang mengancam keluarga muslim. Targetnya jelas, yakni konspirasi untuk menghancurkan benteng pertahanan terakhir umat Islam yang darinya terlahir generasi-generasi pemimpin masa depan umat, dengan menjauhkan para muslimah dari Islam dan memporak-porandakan sendi-sendi keluarga Islam. Dengan cara ini, orang-orang kafir dan para anteknya berharap Islam tidak akan pernah bangkit dan Khilafah tidak pernah tegak. Dan karenanya, hegemoni kapitalisme sekuler pun bisa dipertahankan. Jika demikian halnya, akankah kita berdiam diri, wahai muslimah? [SNA]

PERAN GERAKAN MUSLIMAH DALAM KEBANGKITAN UMAT


Oleh : SITI NAFIDAH ANSHORY

Pendahuluan

Membincangkan peran gerakan muslimah dalam kebangkitan umat seakan membuka kembali catatan sejarah panjang perjuangan Islam. Sebagaimana diketahui, sejak Rasulullah saw diutus untuk menyebarluaskan risalah Islam, para muslimah generasi awal telah terlibat secara aktif dalam pergerakan dakwah bersama kaum muslimin lainnya untuk melakukan transformasi sosial, mengubah masyarakat jahiliyah yang paganistik menjadi masyarakat Islam yang Rabbani. Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah; melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah-tengah masyarakat, hingga atas pertolongan Allah akhirnya berhasil membangun masyarakat Islam yang agung di Madinah, yakni masyarakat yang tegak di atas landasan aqidah dan hukum-hukum Islam.

Sejarah mencatat nama-nama besar semisal Sayyidah Khadijah binti Khuwailid ra, Sitti Fathimah Az-Zahra ra., Asma binti Abu Bakar ra., Sumayyah ra., Ummu Habibah binti Abu Sufyan ra., Lubabah binti al-Harits al-Hilaliyah ra., Fathimah binti al-Khaththab ra., Ummu Jamil binti al-Khaththab ra., Ummu Syarik ra., dan lain-lain yang semenjak bersentuhan dengan Islam keseharian mereka hanya dipersembahkan demi kemuliaan Islam. Tak satupun di antara mereka yang mau –meski sejenak-- tertinggal dari satu peristiwapun, apalagi berlepas diri dari tanggungjawab memperjuangkan dienul haq, seberapapun besarnya resiko yang harus mereka hadapi. Sebagian dari mereka ada yang harus kehilangan harta, terpisah dari orang-orang yang dicinta, bahkan rela ketikapun harus kehilangan nyawa. Karenanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang hakiki, yang layak menjadi teladan pergerakan muslimah dari jaman ke jaman.

Di atas pilar-pilar inilah muslimah generasi sesudah mereka membangun kekuatan. Hanya saja yang menjadi target perjuangan mereka tentu bukan lagi menegakkan sistem kehidupan Islam, melainkan bagaimana berupaya mempertahankan eksistensinya agar kemuliaan ummat tetap terjaga. Di masa Khulafaur-Rasyidin dan para khalifah sesudahnya, peran pergerakan muslimah dalam kancah kehidupan, termasuk dalam percaturan politik tercatat demikian besar, baik dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar, muhasabah (koreksi) terhadap penguasa, bahkan dalam aktivitas jihad dan futuhat. Akan tetapi uniknya, pada saat yang sama, merekapun ternyata berhasil mencetak generasi terbaik –generasi mujahid dan mujtahid- yang mampu membangun peradaban Islam yang tinggi, yang mengalahkan peradaban-peradaban lainnya di dunia dalam rentang waktu yang sangat panjang. Tak heran jika umat Islam pada rentang tersebut betul-betul bisa tampil sebagai “khoiru ummah” .

Inilah sekelumit frasa sejarah mengenai keberadaan gerakan muslimah generasi Islam awal. Sebuah gerakan yang sarat nilai-nilai Ilahiyah dan menjadi bagian pergerakan kolektif (jama’ah) Islam. Kiprah nyata mereka ini justru telah menafikan ‘keyakinan’ dan sekaligus ‘kecurigaan’ sebagian kalangan yang berpendapat bahwa Islam sama sekali tak memberi ruang bagi kaum perempuan untuk berkiprah di tengah-tengah umat, turut serta membangun masyarakatnya menuju kebangkitan yang hakiki.

Pasang Surut Gerakan Muslimah

Benar bahwa sepanjang rentang waktu itu, gerakan muslimah tidak selamanya berjalan mulus dan terus eksis ke permukaan. Bahkan sejalan dengan kemunduran ummat, yang berakar pada kian melemahnya apresiasi dan pemahaman mereka terhadap pemikiran-pemikiran Islam yang jernih, baik dari sisi aqidah maupun syari’ahnya, gerakan muslimahpun mulai mengalami pasang surut.

Pada fase tertentu, yakni ketika ‘pemikiran-pemikiran ekstrim’ seputar ‘fitnah kaum wanita’ menjadi mainstream berpikir umat dalam membangun sistem interaksi sosial (an-nidzam al-ijtima’iy) di antara mereka, peran para muslimah mulai terpinggirkan. Muslimah saat itu, bukan saja telah kehilangan kesempatan untuk berkiprah ditengah-tengah umat sesuai dengan batasan-batasan syari’at. Bahkan banyak dari hak dan kewajiban syar’i yang akhirnya tak bisa tertunaikan; mencari ilmu, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, mu’amalah di bidang ekonomi/pengembangan harta, dan lain-lain. Praktis, pergerakan muslimahpun nyaris tak terdengar.

Pada fase ini, gambaran peng-harem-an kaum perempuan di istana-istana para penguasa, ‘pemenjaraan’ mereka di balik burdah dan hijab mutlak, pemingitan mereka di rumah-rumah suaminya, justru kian menyeruak ke permukaan, seolah menjadi ‘budaya baru’ yang terlegitimasi atas nama agama. Fase inilah yang kemudian digambarkan sebagai fase sejarah buruk kaum perempuan muslim, dimana penindasan dan pemenjaraan kaum perempuan tidak hanya berdampak pada kian teralienasinya hak dasar dan peran sosial politik mereka, tetapi lebih jauh ternyata berdampak pada kian terpuruknya kondisi umat dengan lahirnya generasi ‘lemah’ tak berdaya dari rahim-rahim mereka. Akibatnya, sejak saat itu umat Islam terus mengalami kemunduran. Dan tragisnya, penyebab munculnya kondisi buruk ini sedikit demi sedikit mulai dinisbahkan pada Islam. Sehingga jadilah Islam sebagai pihak yang dipersalahkan!

Di sisi lain, ‘kebangkitan dunia Barat’ dengan sekularisme sebagai ruhnya, diakui banyak pihak telah berimbas ke dunia Islam yang sedang sekarat. Dunia Islam mulai melihat peradaban Barat sebagai peradaban yang lebih menjanjikan kemuliaan dan kebangkitan dibandingkan Islam. Ide-ide semisal demokrasi, liberalisme, pluralisme, manfaatisme dan isme-isme sekuleris lainnya tanpa ragu mereka ambil sebagai nyawa baru, bahkan sebagai tuhan-tuhan baru. Sementara dalam konteks keperempuanan, ide feminisme yang juga merupakan derivasi sekulerisme dan di negeri kelahirannya diklaim sebagai spirit bagi ‘bangkitnya kesadaran eksistensial’ kaum perempuan, kemudian diadopsi mentah-mentah oleh sebagian kalangan muslimah yang kadung kecewa dengan agama mereka yang kadung dicap agjaran 'kolot'.

Saat itulah gerakan muslimah kembali menggeliat. Tetapi kali ini gerakan muslimah tampil dengan format dan nafas yang baru, yakni nafas ‘kekufuran’ yang ditawarkan sekularisme. Tanpa tedeng aling-aling, mereka hujat agama sebagai biang ketidakadilan dan kejumudan kaum perempuan, sehingga menurut anggapan mereka agama sudah saatnya didaur ulang atau bahkan dipeti eskan. Lantas jargon ‘pembebasan perempuan’ pun mulai bergaung demikian kencang di dunia Islam, mengalahkan seruan untuk segera menetapi kembali ‘keseimbangan pembagian peran’ yang sesungguhnya ditawarkan Islam namun selama ini terabaikan.

Muslimah di era ini memang telah larut dalam euphoria pembebasan. Ibarat kran yang lepas, muslimah saling berebut kesempatan melepas segala atribut dan pagar pembatas kebebasan. Jilbab, perwalian, pewarisan, institusi perkawinan mulai dipertanyakan. Kesetaraan tanpa bataspun menjadi sebuah impian, sementara peran ‘tradisional’ sebagai isteri dan ibu berubah menjadi hal yang menakutkan. Disinilah sekulerisme memainkan peranan strategisnya: dalam urusan kehidupan agama tak perlu diberi tempat. Karena bagi mereka agama hanyalah layak menjadi sajian ‘pelengkap’ saat ritual perkawinan dan upacara penguburan dilangsungkan!

Bahagiakah mereka? Bisa jadi di awal ya. Akan tetapi pada akhirnya sebagian dari mereka tersentak kaget melihat kenyataan, bahwa feminisme ternyata hanya menjanjikan kebahagiaan maya. Perempuan muslim bukan bertambah mulia, dan umatpun bukan semakin berjaya. Kaum muslimah justru kian kehilangan jati diri, menjadi makhluk asing yang tak bisa membangun harmoni dalam habitat kemanusiaannya sendiri. Sementara umat dan masyarakat nyaris ambruk karena kehilangan pilar penyangga, setelah kaum perempuan mencampakkan tabiat fitrinya sebagai pengayom dan penjaga generasi. Sebuah pengakuan yang jujur, ketika seorang Danielle Crittenden, penulis buku bertajuk “What Our Mothers Didn’t Tell Us: Why Happiness Eludes The Modern Women” (1999) mengungkap hasil dari 10 tahun meneliti fakta kehidupan perempuan modern di Amerika.
Menurutnya, perempuan-perempuan itu ternyata tak pernah bisa meraih kebahagiaan hakiki setelah mereka menenggak racun-racun pemikiran feminisme yang menurutnya tak lebih dari sekedar mitos. Betapa tidak, keberhasilan meraih kesetaraan tanpa batas, ternyata harus mereka bayar dengan merebaknya kasus perceraian, kesendirian dimasa tua, anak-anak bermasalah, persaingan yang melelahkan, yang seluruhnya berarti ‘ketidakbahagiaan’.

Sayang, fakta rusaknya masyarakat dan kejujuran wanita barat akan ‘bullshitnya’ pemikiran feminisme ini tak lantas menyadarkan kaum muslimah di negeri-negeri Islam, bahwa apa yang mereka harap dari gemerlapnya dunia Barat beserta ide yang ditawarkannya hanyalah utopia belaka. Ketikapun muncul kesadaran, mereka tak sampai terhantarkan pada kesimpulan bahwa kebahagiaan hakiki hanya akan terwujud dengan kembalinya mereka pada kehidupan Islam. Pada taraf ini, mereka menganggap bahwa agama sudah terlanjur cacat. Sekulerisme rupa-rupanya sudah demikian kuat tertancap, hingga agama tidak lagi mendapat tempat, dan tolok ukur prestise maupun kebahagiaan pun tidak lagi bersandar pada ukuran-ukuran agama, melainkan bersandar pada hal-hal yang bersifat fisik dan materil. Dengan frame inilah gerakan muslimah terus menggeliat, berubah bentuk, berlari, akan tetapi tetap tanpa arah.

Gerakan Muslimah dan Potret Buram Umat Islam Kini

Ada satu kenyataan yang seharusnya dikritisi dengan akal jernih dan bening hati, bahwa persoalan umat hari ini sesungguhnya bukan sekedar persoalan ketertindasan perempuan. Kemiskinan, ketidakadilan, kekerasan, kebodohan, submission, mal nutrisi, dan seribu satu persoalan lain yang selama ini oleh kalangan feminis diklaim sebagai ‘persoalan perempuan’ senyatanya tidak hanya menjadi ‘milik’ kaum perempuan. Bahkan kita mau jujur mengakui, justru inilah sesungguhnya potret keseluruhan wajah kita --umat Islam—pada hari ini!!!

Tentu saja, kesadaran akan kenyataan seperti ini semestinya tidak hanya dimiliki oleh kaum perempuan, tetapi juga oleh umat Islam secara keseluruhan. Yakni bahwa saat ini, umat memang sedang sakit! Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya perubahan dan kemajuan juga tidak hanya menjadi milik kaum perempuan saja atau laki-laki saja, tetapi menjadi milik semua komponen umat. Sebab jika tidak, maka yang akan terjadi adalah situasi blunder dan jalan ditempat. Masing-masing berkutat menyelesaikan masalahnya sendiri-sendiri, tanpa mau melihat bahwa sesungguhnya ada persoalan besar yang menjadi akar persoalan mereka secara keseluruhan.

Kesalahan kita selama ini, termasuk yang terjadi pada pergerakan muslimah adalah selalu berpikir dan memandang masalah dengan paradigma kacamata kuda –yang ironisnya kacamata itu kita pinjam dari PERADABAN Barat (bukan sekedar karena 'dari Barat')--; parsial, dikotomik, individualistik dan tidak mendasar (tidak ideologis). Ketika melihat apa yang mereka sebut dengan ’persoalan perempuan’ misalnya, mereka selalu melihat dari sudut pandang yang sama: sudut pandang feministik, sudut pandang keperempuanan! bahwa ada masalah disparitas gender disana, bahwa ada dominasi budaya patriarki disana, bahwa hanya perempuan yang harus mengatasi persoalan perempuan, dan sebagainya . Padahal yang sesungguhnya terjadi –sekali lagi—adalah, ini persoalan umat yang harus segera diselesaikan secara bersama-sama. Karena bukankah perempuan dan laki-laki adalah bagian dari ummat?

Dengan demikian, persoalannya sekarang bukan bagaimana agar gerakan perempuan berusaha memberdayakan perempuan, dengan sekedar misalnya mendorong mereka berperan aktif seluas-luasnya di ranah publik, termasuk di dunia politik sehingga terbangun bargaining yang sama kuat antara kaum perempuan dan laki-laki. Bukan pula sekedar berpikir bagaimana mendekonstruksi bangunan budaya (dalam hal ini yang dimaksud adalah agama Islam) yang dianggap terlalu memihak laki-laki hingga membuat kaum perempuan tersubordinasi. Karena ternyata persoalan ketertindasan (perempuan), diskriminasi (perempuan), kemiskinan (perempuan) dan sebagainya bukan sekedar persoalan perempuan versus laki-laki. Persoalan-persoalan tadi ternyata hanyalah merupakan bagian kecil saja dari sedemikian banyak problematika yang dihadapi umat, yang jika ditelusuri ternyata berpangkal pada akar yang sama yakni rusaknya tatanan kehidupan yang diterapkan saat ini, bukan lantaran kultur patriarkat yang mysoginik.

Tatanan hidup yang dimaksud tak lain adalah tatanan hidup sekuleristik yang tegak di atas aqidah sekuler yang senyatanya kini sedang mengungkung kehidupan kaum muslimin dimanapun. Aqidah ini menafikan peran Sang Khaliq dalam pengaturan kehidupan (fashlu ad-diin ‘an al-hayaah) dan pada saat yang sama justru memberikan hak prerogratif pengaturan kehidupan tersebut kepada manusia, sehingga manusia bertindak sebagai rabbul ‘aalamiin. Dari aqidah rusak ini, wajar jika kemudian lahir sistem hidup yang rusak pula; sistem ekonomi kapitalistik, tata sosial individualistic dan rancu, sistem politik opportunistik, sistem pendidikan materialistik, tatanan budaya yang hedonistik, serta aturan-aturan cabang lainnya yang tak kalah rusaknya dan kini terus memunculkan krisis multidimensi berkepanjangan.

Secara fakta, kerusakan ini adalah hal yang niscaya. Bagaimana bisa, manusia yang serba lemah dan terbatas mampu membuat aturan kehidupan yang sempurna tanpa cacat, yang mampu menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi semua orang, sementara tentang hakekat penciptaan dirinyapun mereka tidak tahu? Sedangkan secara aqidah, Allah SWT telah mengingatkan kita, bahwa sepanjang manusia mengingkari hak Rubbubiyah Allah, maka manusia akan terperosok pada kehidupan yang serba sempit lagi hina.
Firman Allah Ta’ala :

“Dan barangsiapa berpaling dari peringatan (syari’at)Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit. Dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta" . (TQS. Thaha[20]:124)

Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya pasti mendapat kehinaan sebagaimana orang-orang yang sebelum mereka telah mendapat kehinaan. Sesungguhnya Kami telah menurunkan bukti-bukti nyata. Dan bagi orang-orang yang kafir ada siksa yang menghinakan “. (TQS. Al-Mujadilah[58] : 5)

Inilah yang dimaksudkan dengan berpikir mendasar yang tidak dimiliki perspektif feministik; berpikir bahwa persoalan kita yang sedemikian banyak, ternyata berakar pada satu soal saja, yakni persoalan ideologis; Ketiadaan sistem Islam. Selama persoalan ini tidak terpecahkan, maka selama itu pula kita akan larut dalam krisis tak berkesudahan.

Dalam kerangka perjuangan mengembalikan sistem kehidupan Islam inilah seharusnya gerakan muslimah bangkit dan bergerak mengambil peran. Yakni dengan cara bersinergi dengan gerakan umat secara keseluruhan untuk melakukan perubahan yang bersifat mendasar. Gerakan muslimah tidak boleh lagi terus berkutat pada persoalan-persoalan cabang (‘persoalan perempuan’), karena selain hanya akan melalaikan umat dalam persoalan-persoalan yang parsial, lebih dari itu justru akan kian mengukuhkan dominasi sistem kufur dalam kehidupan kaum muslimin.

Gerakan Muslimah dan Tantangan Ke-Depan

Memang tidak mudah membangun kembali kepercayaan umat pada keabsahan ideologi Islam sebagai solusi tuntas atas persoalan kekinian. Apalagi hingga saat ini sekularisme masih menjadi mainstream berpikir mayoritas umat yang memang lahir dan terdidik dengan didikan sekuler, sementara pemahaman ummat atas syariat sebatas kulit dan parsial. Tak heran jika, pada sebagian kalangan bahkan muncul sikap phobi dan traumatis terhadap isu penegakan syariat Islam. Atau muncul pula pandangan sinis yang menuding bahwa upaya mengembalikan Islam dalam realitas kekinian hanyalah manifestasi dari bentuk romantisme sejarah yang menunjukkan impotensi dan sikap apologi umat dalam menghadapi dominasi peradaban Barat.

Jika kita tengok kembali ke belakang, apa yang terjadi hari ini sesungguhnya tak jauh berbeda dengan apa yang dialami kaum muslim generasi awal. Mereka --para aktivis gerakan Islam yang terdiri dari kalangan shahabat dan shahabiyat ra-- dengan idealisme yang diembannya menjadi kelompok yang terasing di tengah-tengah masyarakat yang rusak. Akan tetapi dengan keyakinan yang kokoh akan kebenaran aqidah Islam, dan keyakinan yang utuh akan kesempurnaan syari’at Islam yang bersumber dari Dzat Yang Maha Pencipta, Maha Sempurna, Maha Adil dan Maha Mengetahui, mereka terus bergerak membongkar pemikiran yang rusak, membangun kesadaran yang jernih, meski untuk itu mereka harus mengambil resiko berhadapan dengan ‘kekufuran’, hingga akhirnya mereka mampu melenyapkan kekufuran itu dan menggantinya dengan cahaya Islam.

Oleh karenanya, dari merekalah sepatutnya hari ini kita mengambil teladan, apa yang harus dipersiapkan untuk menghadapi tantangan ke depan. Karena seperti yang sudah dijelaskan di awal, merekalah pelopor dan peletak dasar pilar-pilar pergerakan muslimah yang dipenuhi dengan semangat ruhiyyah dan nilai-nilai Ilahiyyah. Mereka radiallahu ‘anhum, adalah generasi terbaik yang dikader dan dibina langsung oleh Rasulullah Saw, suri tauladan terbaik. Sehingga kita melihat bahwa kehidupan mereka juga senafas dengan kehidupan Rasulullah Saw, nafas perjuangan li i'laa’i kalimatillah.

Berkaca dari sejarah itulah maka, kita melihat ada beberapa hal yang harus diluruskan dari gerakan muslimah saat ini:
Pertama, gerakan perempuan (muslimah) harus menjadikan aqidah dan hukum Islam sebagai landasan gerak dan perjuangannya, bukan ide feminisme ataupun ide-ide lainnya yang asumtif dan sekularistik. Harus diyakini, bahwa hanya dengan menjadikan aqidah dan hukum Islamlah gerakan muslimah akan membawa berkah berupa kemuliaan umat yang hakiki dibawah naungan ridha Illahi.

Kedua, pergerakan perempuan (muslimah) harus memiliki visi dan misi yang sama dengan pergerakan kolektif (jama’ah) Islam, yakni bertujuan menegakkan kalimah Allah, dengan cara membina dan menyebarkan pemikiran Islam yang jernih dan utuh (kaaffah) di tengah-tengah umat, terutama di kalangan muslimah lainnya; juga melakukan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik, sehingga kesadaran akan rusaknya sistem kehidupan yang mengungkung mereka saat ini dan keharusan kembali kepada sistem Islam akan tersebar menyeluruh di setiap komponen umat, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian yang menjadi titik tekan perjuangan gerakan perempuan --sebagaimana pergerakan umat secara umum--- ada pada tataran strategis, bukan hanya pada tataran bagaimana memperjuangkan agar perempuan berada pada posisi puncak pengambil kebijakan dengan dalih kesetaraan --karena Islam telah memberi kedudukan yang setara di antara keduanya (QS. 49:13)--, melainkan berupaya agar perpektif Islamlah yang menjadi landasan berpikir bagi para pengambil kebijakan dan pemegang kekuasaan, sehingga dipastikan hanya perspektif inilah yang akan mewarnai setiap interaksi masyarakatnya.

Ketiga,
gerakan perempuan (muslimah) harus menjadi bagian yang bersinergi dengan pergerakan kolektif Islam. Karena sebagaimana diketahui, para aktivis da’wah dimasa Rasulullah Saw, baik laki-laki maupun perempuan, dibina dan bergerak dengan mengikuti tanzhim tertentu yang langsung berada di bawah komando Rasulullah Saw sebagai pemimpin gerakan. Dengan demikian, pergerakan muslimah tidak harus menjadi pergerakan tersendiri yang terpisah dari pergerakan laki-laki, karena hal ini hanya akan menyulitkan koordinasi dan memperlemah kekokohan barisan perjuangan membangkitkan umat. Di samping itu, jika saat ini kita melihat bahwa gerakan-gerakan perempuan yang ada cenderung terpisah dari gerakan umat secara keseluruhan, ini karena mereka memang berangkat dari asumsi-asumsi yang bercorak individualistik, termasuk ketika memandang masalah yang menimpa perempuan sebagai masalah perempuan. Sementara itu, Islam memiliki perspektif yang khas dan universal, dimana setiap permasalahan yang muncul akan dipandang sebagai masalah manusia, tidak dibedakan sebagai masalah laki-laki saja atau perempuan saja yang harus menjadi tanggungjawab seluruh umat, dan harus dipecahkan dengan pemecahan yang sama yakni dengan Islam. Sistem Islam inilah yang akan memberi pemecahan yang holistic, tuntas dan sempurna, serta akan menjamin keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, karena sistem ini berasal dari Dzat yang menciptakan manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang Maha adil dan Maha Sempurna. Dengan perspektif inilah, gerakan perempuan Islam menjadi bagian gerakan kolektif umat yang berjuang untuk mewujudkan sistem ini di tengah-tengah masyarakat.

Keempat, disamping harus memiliki kejelasan fikrah (konsep/pemikiran) dan thariqah (tatacara merealisasikan pemikiran), serta ikatan yang shahih di antara para aktivisnya, pergerakan perempuan (muslimah) --sebagaimana juga pergerakan jama’ah Islam yang menjadi induknya-- harus memiliki wawasan politik global, dalam arti memiliki kesadaran bahwa umat Islam di dunia adalah umat yang satu, dan harus menjadi umat yang satu, baik secara pemikiran maupun secara politis. Sehingga perjuangan pergerakan muslimah tidak boleh terbatasi oleh sekat-sekat imajiner bernama negara, melainkan lebur dalam aktivitas pergerakan muslimah dan umat Islam lainnya yang berjuang di seluruh pelosok bumi mewujudkan satu kepemimpinan politis yang menerapkan Islam atas seluruh umat.

Kelima, gerakan perempuan (muslimah) harus bersifat politis, yakni mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah-tengah masyarakat sesuai aturan Islam. Termasuk ke dalam konteks ini adalah mengarahkan upaya pemberdayaan politik perempuan pada target optimalisasi peran dan fungsi kaum perempuan sebagai pencetak dan penyangga generasi. Dengan demikian arah pemberdayaan tidak semata focus pada optimalisasi peran publik saja (sebagaimana perpektif feministic yang mendikotomiskan sektor publik dan domestik) melainkan mengarah pada upaya optimalisasi seluruh peran perempuan, baik di sektor publik maupun domestik sesuai tuntunan syariah. Pada tataran praktis, hal ini dilakukan dengan cara membina pemikiran dan pola sikap mereka dengan Islam, agar terbentuk muslimah berkepribadian Islam tinggi, disamping mengarahkan mereka agar memiliki kesadaran politik Islam yang juga tinggi. Yakni dengan memahamkan mereka akan hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan pengaturan umat, serta mendorong mereka agar senantiasa mengikuti perkembangan peristiwa politik dalam dan luar negeri mereka, karena kesadaran politik Islam yang dimaksud adalah mereka memahami dan meyakini bahwa pemeliharaan urusan-urusan umat (politik dalam maupun luar negeri) harus diatur dengan syari’at Islam. Dengan cara inilah kaum muslimah dipastikan akan mampu mendidik generasi pemimpin yang berkepribadian Islam mumpuni, cerdas dan berkesadaran politik tinggi. Dan jika ini berhasil, maka bisa dipastikan kepemimpinan dunia akan kembali ke tangan umat Islam, sebagaimana yang dulu pernah terjadi di masa-masa awal kebangkitan Islam, dimana dipastikan pada saat itu, kehidupan yang ideal dan membahagiakan akan dirasakan oleh seluruh umat, tidak hanya kaum laki-laki saja, tapi juga perempuan. Insya Allah []

Wallahu a’lam bi ash-shawwab

--------------------

Jumat, 02 Desember 2011

KELUARGA MUSLIM DALAM ANCAMAN (Mewaspadai Upaya Liberalisasi Keluarga Melalui Ide KKG)

Oleh : Siti Nafidah Anshory

“Mereka ingin memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci. “(Q.s. as-Shaff [61]: 08)

Pengantar

Terwujudnya keluarga ideal atau keluarga Islami tentu merupakan dambaan setiap orang. Siapapun akan berharap rumahtangga yang dibangunnya dipenuhi suasana sakinah mawaddah wa rahmah, dengan pasangan yang shaleh atau shalehah, suami atau isteri yang menyejukan mata dan jiwa, serta anak-anak yang cerdas dan berbakti. Terlebih jika berbagai kebutuhan hidup bisa dicukupi dengan mudah, atau setidaknya tidak sesulit yang kita rasakan saat ini. Tentulah kehidupan yang dijalani akan begitu indah bagaikan di surga dunia.

Sayangnya, mewujudkan keluarga ideal semacam ini bukan sesuatu yang mudah. Sistem sekuler yang mengungkung masyarakat kita saat ini membuat kehidupan serba sempit. Berbagai krisis terus mewarnai kehidupan masyarakat, mulai dari krisis politik yang berujung konflik, krisis ekonomi, krisis moral dan budaya, krisis sosial, dan lain-lain. Hal ini diperparah dengan adanya benturan-benturan nilai akibat berkembangnya pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan Islam.

Kenyataan ini mau tidak mau berdampak pula pada kehidupan keluarga muslim. Jarang ditemui keluarga muslim yang benar-benar bisa menegakkan nilai-nilai Islam. Keluarga Muslim, bahkan ikut terjebak pada kehidupan yang materialistik dan individualistik. Tak sedikit pula keluarga muslim yang turut goyah bahkan terguncang, hingga angka perceraian dan trend single parent terus meningkat. Dampaknya bisa ditebak. Kenakalan anak dan remaja juga menjadi potret buram umat Islam saat ini yang tentu saja akan menjadi ancaman serius bagi nasib umat Islam dan bangsa secara keseluruhan di masa depan.

Kenapa terjadi ?

Setidaknya ada dua faktor penyebab kenapa kondisi di atas bisa terjadi. Pertama, faktor internal umat Islam yang lemah secara akidah sehingga tidak memiliki visi-misi hidup yang jelas. Hal ini diperparah dengan lemahnya pemahaman mereka terhadap aturan-aturan Islam, termasuk tentang konsep pernikahan dan keluarga, fungsi dan aturan-aturan main di dalamnya.

Kedua, faktor eksternal, berupa adanya upaya konspirasi asing untuk menghancurkan umat Islam dan keluarga muslim melalui serangan berbagai pemikiran dan budaya sekuler yang rusak dan merusak, terutama paham liberalisme yang menawarkan kebebasan individu, baik dalam berpendapat, berperilaku, beragama maupun dalam kepemilikan. Paham ini secara langsung telah mengeliminir peran agama dari pengaturan kehidupan manusia, sekaligus menjadikan manusia menjadi Rabbul ’Alamin yang bebas menentukan arah dan cara hidupnya, termasuk yang terkait dengan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga.

Dengan paham ini, umat Islam dikondisikan untuk ’merasa malu’ terikat dengan hukum-hukum Islam. Terlebih, hukum-hukum Islam memang sengaja dipropagandakan oleh musuh-musuh Islam sebagai aturan-aturan yang kolot, anti kemajuan, ekslusif, bias gender dan gambaran-gambaran buruk lainnya. Sebagai gantinya, umat Islam justru menuntut penerapan berbagai aturan yang menjamin kebebasan individu, sekalipun mereka tahu, bahwa aturan-aturan itu bertentangan dengan syari’at agama mereka.

Konspirasi ini secara massif dilakukan ke dunia Islam melalui peran lembaga-lembaga Internasional terutama PBB yang hakekatnya merupakan alat penjajahan Barat. Melalui berbagai event, PBB, atas pesanan negara-negara Barat Kapitalis mengeluarkan berbagai konvensi dan kesepakatan internasional terkait dengan isu HAM, kesetaraan gender, dan lain-lain, semisal Deklarasi Universal HAM, Konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW), Konvensi Internasional tentang hak-hak sipil dan politik, kesepakatan Konferensi Kependudukan (ICPD), MDGs, BPFA dll yang spiritnya sama-sama menuntut kebebasan dan kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Berbagai konvensi dan hasil kesepakatan ini kemudian dipaksa untuk dirativikasi/diadopsi oleh seluruh negara-negara di dunia melalui blow up opini, tekanan politik, syarat bantuan dan lain-lain. Hanya saja, tak sedikit negara-negara di dunia yang dengan sukarela mengadopsi dan menjadikannya sebagai ”kitab suci” atau rujukan bagi peraturan-peraturan publik yang diterapkan atas masyarakatnya, termasuk di dunia Islam.

Lahirlah berbagai UU sekuler yang pro liberal di negeri-negeri tersebut dengan bantuan sponsorship para kapitalis (TAF, USAID, World Bank, dll) dan advokasi dari mereka. Di Indonesia sendiri, lahir UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, UU Kewarganegaraan, UU Pornografi, draft CLD KHI, UU Kesehatan, Rancangan Amandemen UU Perkawinan dan Hukum Materil Peradilan Agama, yang kesemuanya mengandung ruh dan content yang sama persis dengan ’kitab suci’ yang diwahyukan musuh Islam tadi.

Sebagai contoh, pasal 51 ayat 1 DUHAM 1948 berbunyi: Seorang isteri selama dalam ikatan perkawinan mempunyai hak dan tanggung jawab yang sama dengan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan kehidupan perkawinannya. Sedangkan Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik menegaskan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan antara lain memuat tentang hak setiap orang atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama serta perlindungan atas hak-hak tersebut; hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; pengakuan atas hak laki-laki dan perempuan usia kawin untuk melangsungkan perkawinan dan membentuk keluarga, prinsip bahwa perkawinan tidak boleh dilakukan tanpa persetujuan bebas dan sepenuhnya dari para pihak yang hendak melangsungkan perkawinan, dan lain-lain.

Jika dicermati isi deklarasi dan konvensi ini nyaris sama dengan berbagai kebijakan yang sudah diundangkan maupun yang masih berupa draft rancangan UU. Kesemuanya mengandung spirit pembebasan dari aturan Islam, termasuk merombak pola interaksi, peran dan fungsi perempuan sebagaimana diajarkan Islam sekaligus menghapus kepemimpinan suami, yang berujung pada upaya mendesakralisasi lembaga perkawinan sekaligus membuka keran kebebasan atas nama kesetaraan dan HAM. Sebagai contoh, UU PKDRT yang mengkriminalisasi peran suami dalam mendidik Istri atau anak atasnama penghapusan tindak kekerasan, sekaligus mempublikasi persoalan-persoalan privat yang sebenarnya diberikan solusinya oleh Islam.

UU ini juga membuka celah terjadinya disfungsi dan disharmoni peran suami-isteri yang lebih jauh akan menggoyah keutuhan rumahtangga. Begitupun, amandemen UU Kesehatan memuat aturan yang ‘bergesekan’ dengan hukum Islam, semisal mencegah nikah dini, tapi memberi peluang seks bebas dan legalisasi aborsi. Sedangkan UU PA memberi peluang kebebasan pada anak dalam mengeluarkan pendapat dalam segala hal yang pada akhirnya akan mengarah kepada kebebasan dalam berperilaku, termasuk kebebasan beragama.

Di tingkat akar rumput, upaya ini diperkuat dengan gerakan massif seluruh operator lapangan dan event organizer mereka dari kalangan LSM liberal dan LSM gender yang mereka danai dan mereka bina. Sedangkan di level atas, konspirasi juga dilakukan bersama para penguasa yang menjadi antek Barat melalui penerapan sistem sekuler yang selain bertentangan dengan Islam, keberadaaannya justru mengokohkan liberalisasi, semisal dengan menerapkan sistem politik yang opportunistik, sistem ekonomi yang kapitalistik, sistem budaya yang hedonistik, sistem sosial yang individualistik dan lain-lain. Disamping akan melahirkan kerusakan, penerapan sistem sekuler seperti ini, pada saat yang sama justru mengukuhkan hegemoni kapitalisme atas kaum muslimin.

Mengapa konspirasi penghancuran ini dilakukan, tidak lain karena Islam dan umat Islam memiliki potensi ancaman bagi hegemoni peradaban Barat (kapitalisme global). Selain potensi sumberdaya manusia yang sangat besar berikut sumberdaya alamnya yang melimpah, Islam dan umat Islam juga memiliki potensi ideologis yang jika semua potensi ini disatukan akan mampu menandingi sistem kapitalisme global.

Di samping itu, keluarga muslim saat ini masih berfungsi sebagai benteng pertahanan terakhir, yang menjaga sisa-sisa hukum Islam terkait keluarga dan individu, setelah hukum-hukum Islam lainnya menyangkut aspek sosial dan kenegaraan berhasil mereka hancurkan. Terpeliharanya sisa-sisa hukum-hukum Islam oleh keluarga-keluarga Muslim ini pun masih menyimpan potensi besar dalam melahirkan generasi-generasi pejuang yang menjadi harapan umat di masa depan. Inilah yang mereka takutkan. Dari keluarga-keluarga muslim ini, akan lahir sosok muslim militan yang siap menghancurkan hegemoni mereka atas dunia.

Itulah kenapa, mereka sungguh-sungguh berupaya menghancurkan keluarga muslim dengan berbagai cara. Diantaranya, dengan berupaya menjauhkan para muslimah dari cita-cita menjadi ibu atau dari penyempurnaan peran ibu. Secara sistem, diciptakanlah kemiskinan struktural melalui penerapan sistem ekonomi kapitalis yang memaksa para ibu bekerja untuk menutupi kebutuhan keluarga dan karenanya peran ibu tidak bisa optimal. Selain itu, mereka racuni benak para muslimah dengan berbagai pemikiran yang merusak semisal ide emansipasi atau keadilan dan kesetaraan gender dan kebebasan, sehingga para muslimah lebih tertarik mengaktualisasikan diri di ranah publik dan pada saat yang sama merasa rendah diri akan peran-peran domestik mereka. Dampak lanjutannya, lahir generasi tanpa bimbingan dan pengasuhan optimal para ibu.

Cara-cara di atas kemudian diperkuat oleh penyebarluasan tafsir liberal atas nash-nash syariat dengan dalih pembaharuan hukum Islam, yang antara lain dimotori LSM-LSM liberal tadi serta para intelektual dan ulama su’u yang sejatinya adalah antek asing yang bekerja dan dibayar demi kepentingan asing. Sebagaimana yang sudah disebut, kitab suci rujukan mereka pun berasal dari wahyu asing, bukan al-Qur’an dan as-Sunnah, seperti kitab Deklarasi PBB tentang HAM, CEDAW, BPFA, MDGs, dan sebagainya.

Dari tangan mereka inilah lahir berbagai produk pemikiran Islam yang sangat sekuler namun diklaim bertujuan memajukan perempuan dan umat Islam. Salah satu diantaranya tercermin dalam draft CLD KHI yang digagas Pokja Pengarusutamaan Gender Departemen Agama RI pimpinan Musdah Mulia dan dirilis pada 4 Oktober 2004 di Jakarta. Jika dicermati, isi tandingan Kompilasi Hukum Islam ini betul-betul merupakan counter terhadap aturan-aturan yang masih menjadi pemahaman mainstream masyarakat Islam, semisal pasal yang menyatakan bahwa perkawinan bukan ibadah melainkan kontrak biasa, pernikahan beda agama boleh, perempuan boleh menjadi wali, poligami haram, dan lain-lain. Mereka mengklaim, bahwa aturan-aturan seperti inilah yang adil gender dan memuliakan perempuan.

Karena kontroversial, produk pemikiran yang prosesnya menelan biaya tak sedikit dari bantuan dana asing (The Asia Foundation) ini akhirnya dianulir oleh Menteri Agama saat itu (Maftuh Basuni) dengan keluarnya surat No : MA/271/2004, tanggal 12 Oktober 2004. Namun sekalipun upaya ini nampak gagal, semangat liberalisasi dan sekularisasi mereka tetap hidup.

Hingga saat ini mereka terus berjuang untuk menjadikan akidah sekuler yang mereka yakini menjadi akidah yang juga diyakini umat Islam dan keluarga-keluarga kaum muslimin. Gerakan mereka bahkan melintasi batas-batas negara dan menjadi agenda bersama jaringan feminisme internasional. Gerakan ini diwujudkan –antara lain-- dalam bentuk penyelenggaraan kongres-kongres berskala internasional. Terakhir di antaranya, Congress on Islamic Feminisme ke-3 di Barcelona pada 24 Oktober 2008 yang membahas “denounced Islamic family laws and other Shariah rules related to the woman and called for a re-interpretation based upon gender equality” dan Kongress Musawah, pada 13-17 Pebruari 2009 yang dihadiri oleh lebih dari 250 ulama dan pemikir Muslim dari 48 negara. Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan rekomendasi yang mengandung spirit sama dengan CLD KHI, seperti menuntut keadilan dan kesetaraan dalam keluarga Muslim melalui hukum dan kebijakan publik, serta memfokuskan tuntutan “Pembaharuan” Hukum Islam dalam Keluarga Muslim, terkait: umur perkawinan, izin perkawinan, wali perkawinan, saksi untuk perkawinan, poligami, nusyuz, perceraian, dan kawin mut'ah.

Apa yang menjadi tujuan semua konspirasi mereka sesungguhnya sangat jelas, yakni ingin merusak identitas keislaman kaum muslimin, menghapus militansi ideologis mereka dan melemahkan daya juang umat Islam. Dengan cara ini, target besar mereka akan terwujud, yakni menghambat gerakan mengembalikan Khilafah Islamiyah yang memang sudah menggejala di seluruh dunia. Terlebih, sebagaimana prediksi RAND Corporation (lembaga intelejen AS), ada kemungkinan pada tahun 2020 peta politik global disemarakkan dengan bangkitnya kekhilafahan baru. Karenanya, AS sebagai motor kapitalisme global sedini mungkin berupaya memperkecil kemungkinan tersebut dengan berbagai cara.


Apa Yang Harus Dilakukan?

Berdasarkan pencermatan terhadap faktor-faktor penyebab di atas, jelas, bahwa upaya liberalisasi berlangsung secara sangat sistematis, melibatkan berbagai pihak, mulai dari pihak negara-negara kapitalis sebagai konspiratornya, para kapitalis sebagai penyandang dananya, sementara LSM liberal/gender dan pemerintah bertindak sebagai EO-nya. Maka upaya strategis yang harus dilakukan untuk menghadapi berbagai konspirasi asing dalam penghacuran keluarga muslim adalah mengajak umat untuk bersegera meninggalkan sistem liberal sekuler ini, dengan cara melakukan pencerdasan umat dengan Islam kaaffah (ideologis). Targetnya adalah untuk membangun profil muslim/muslimah tangguh yang siap berjuang melakukan perubahan sistem.

Dalam konteks muslimah, pencerdasan diarahkan untuk membangun profil muslimah yang siap mencetak generasi pejuang, menjadi isteri salehah pendamping para pejuang sekaligus yang siap mengajak dan memimpin para muslimah untuk perubahan ke arah Islam. Pada saat yang sama, diupayakan pengokohan fungsi keluarga muslim, agar menjadi keluarga-keluarga yang tegak atas dasar ketaatan kepada Allah, menjadikan syari’at Islam sebagai standar sehingga setiap keluarga muslim mampu berfungsi sebagai mesjid, madrasah, rumahsakit, benteng pelindung dan kamp perjuangan yang siap melahirkan generasi pejuang dan pemimpin umat, yang berkualitas mujtahid sekaligus mujahid. Kesemuanya itu diarahkan untuk mewujudkan masyarakat taat syariat, dimana pemikiran, perasaan dan aturan masyarakatnya diikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, yakni Islam.

Adapun strategi yang dibutuhkan untuk meraih target ini tidak lain adalah dengan menggencarkan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, tak terkecuali muslimah. Hingga Islam dipahami secara utuh sebagai solusi masalah-masalah kehidupan mereka. Dengan cara ini, akan muncul para muslimah tangguh yang memiliki kecerdasan politik tinggi dan siap memperjuangkan Islam secara bersama-sama..

Tentu saja, upaya besar ini mengharuskan adanya sinergi dari semua komponen umat yang sudah sadar, khususnya dari kalangan simpul umat (para tokoh masyarakat), baik di tingkat grass root, hingga tingkat atas. Di tangan merekalah tersimpan potensi perubahan, disamping terbeban tanggungjawab besar membawa umat ini meraih kemuliaan mereka kembali sebagai khoyru ummah.

Sesungguhnya, kewajiban memperjuangkan Islam adalah konsekuensi keimanan yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT kelak. Dan kita semua, tak akan bisa menghindar dari misi mulia ini, kecuali kita siap menghadapNya tanpa hujjah. Semoga, kita semua termasuk yang bisa kembali ke Haribaan-Nya dengan membawa hujjah yang nyata. Hingga di akhirat, kita layak bersanding dengan Rasulullah tercinta dan barisan para pejuang radhiyallaahu 'anhum di sisinya. Amin.[][]

Rabu, 30 November 2011

MERINDUKAN KEPEMIMPINAN ISLAM


(Potongan dari artikel tentang Kesehatan yang kayaknya terlalu puanjaang ...)

Pengantar

Pemerintah boleh berbangga karena secara statistik angka pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun ini (2011) meningkat hingga mencapai angka 6,1-6,5% dan income per kapita juga naik menjadi US $ 3000. Akan tetapi tahukah anda jika pertumbuhan tersebut realitanya lebih banyak diserap golongan menengah ke atas dan hampir tidak menyentuh masyarakat kalangan terbawah?

Ditengarai, 8% pendapatan nasional itu dikuasai hanya oleh beberapa konglomerat saja, sementara sisanya diperebutkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Catatan Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro (26/10/2011) bahkan menyebut, di tahun 2010 kekayaan 40 orang terkaya mencapai Rp 680 triliun, atau setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa paling miskin.

Kenyataannya, hingga saat ini kondisi ekonomi masyarakat memang masih sangat memprihatinkan. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faisal (16/8/2011) menyebutkan, bahwa saat ini ada sekitar 40 persen penduduk Indonesia yang hidup di daerah tertinggal yang meliputi 183 kabupaten. Data statistikpun menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang terkatagori miskin, baik dengan level sangat miskin, miskin, hampir miskin dan hampir tidak miskin yang sewaktu-waktu dengan mudah berubah menjadi kelompok miskin memang masih sangat banyak.

Hingga Maret 2011, dengan standar penghasilan per kapita rata-rata sebesar Rp 233.740 per bulan sebagai pembatas miskin-hampir miskin dan standar Rp. 280.488 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan hampir tidak miskin, serta standar Rp. 350.610 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan tidak miskin (versi BPS), tercatat masih ada sekitar 30,02 juta orang penduduk Indonesia yang terkatagori miskin dan 27,12 juta terkatagori hampir miskin (data lain menyebut 36 juta). Sayangnya, data untuk kelompok sangat miskin dan hampir tidak miskin tidak ditemukan, tetapi ditengarai jumlahnya juga cukup besar. Wajar jika ada yang menengarai bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia sebenarnya terkatagori miskin. Apalagi jika standar yang digunakan dinaikkan dengan yang lebih ‘layak’ dan manusiawi.

Fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebetulnya sama sekali tak berkorelasi dengan membaiknya tingkat pemerataan kesejahteraan rakyat. Bahkan, meski Indonesia negara kaya raya, punya emas, batubara, baja bahkan uranium, punya minyak dan gas alam, punya hutan dan perairan yang sangat luas dengan kandungan hayati yang melimpah ruah, punya kekayaan budaya yang luar biasa, tetap saja negeri ini masih berjalan di belakang. Rakyat kebanyakan tak bisa menikmati hasilnya. Alih-alih bisa menjadi modal mensejahterakan rakyat, kekayaan alam milik mereka yang melimpah ruah itu malah dibiarkan penguasa untuk dirampok dan dieksploitasi oleh para kapitalis lokal dan asing yang bersimbiosis mutualisma dengan kekuasaan mereka. Sementara di saat yang sama, banyak hak-hak rakyat yang tidak mampu diwujudkan penguasa dengan dalih kekurangan dana. Bahkan rakyat harus rela hidup dengan beban pajak yang mencekik yang ditarik pemerintah untuk membiayai APBN, yang (padahal) persentase terbesarnya justru dipakai membayar utang negara dan sebagian lainnya malah masuk ke kantong para pejabat korup dan sudah terpapar penyakit gila proyek akibat pola pikir sekuleristik yang meracuni benak-benak mereka.

Bak tikus mati di lumbung padi. Itulah ibarat yang tepat bagi nasib bangsa ini. Wajar jika Human Development Report tahun 2011 melaporkan bahwa peringkat IPM/HDI Indonesia terus merosot dari tahun-tahun sebelumnya hingga kini berada di level ke 124 dari 187 negara. Pendapatan perkapita masyarakatnya pun, meski diklaim meningkat, tetap saja tergolong rendah sehingga Indonesia masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income countries). Pada 26 Oktober lalu, Bedah editorial Media Indonesia Metrotv bahkan merilis kabar bahwa saat ini Indonesia menempati peringkat ke-5 negara dengan jumlah gelandangan terbanyak di dunia.


Masyarakat Sejahtera (Seharusnya) Bukan Mimpi

Masyarakat Indonesia sesungguhnya bisa menjadi masyarakat yang sejahtera. Hanya saja, untuk mewujudkannya dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan sadar atas posisinya sebagai penanggungjawab atas seluruh urusan rakyat serta dibutuhkan adanya sistem hidup yang tegak diatas asas yang sahih dan memiliki seperangkat aturan yang mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan atas seluruh umat. Pemimpin yang kuat dan sadar akan tanggungjawab kepemimpinannya akan berupaya sekuat tenaga agar seluruh rakyat bisa sejahtera. Pemimpin seperti ini, tentu tak akan rela, apalagi merasa lega jika masih ada satu orang rakyatpun yang tak terpenuhi hak-haknya.

Kepemimpinan seperti ini memang tak akan muncul dalam sistem yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya. Karena sekularisme hanya menjadikan kepemimpinan sebagai urusan yang berdimensi dunia saja. Padahal, dalam pandangan Islam, kepemimpinan memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepemimpinan di hadapan masyarakat. Dimensi ini dalam realitasnya masih memungkinkan dikamuflase dan tak bisa dituntut. Bahkan dengan paradigma sekulerisme, kepemimpinan hanya diterjemahkan sebagai alat meraih kekuasaan dan materi semata. Sementara dimensi ukhrawi (ruhiyyah) ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggugjawabkan peran kepemimpinan ini di hadapan Allah SWT.

Hadits-hadits di bawah ini rasanya cukup untuk menggambarkan sisi ruhiyyah satus dan peran kepemimpinan dalam pandangan Islam, dimana penguasa tidak hanya bertanggungjawab terhadap umat, tetapi juga kepada Allah SWT. Dan pertanggungjawaban itu sangatlah berat. Rasulullah SAW bersabda :

“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)

“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…" ([Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)

“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat”. (HR. Ath-Thabrani)

Dimensi ruhiyyah inilah yang membuat kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan di dalam Islam tidak dipandang rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina atau semata demi kebanggaan nafsu ammarah sesaat sebagaimana ajaran/perspektif sekulerme. Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya keridhaan Allah di dunia dan akhirat.

Inilah rahasia kesuksesan kepemimpinan dalam Islam yang telah terbukti berhasil menghantarkan umat pada kejayaan mereka. Para pemimpin umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas melayani umat sesuai tuntunan syariat. Keimanan yang tertancap kuat dalam jiwa-jiwa mereka pun membuat mereka takut melakukan penyelewengan, kecurangan bahkan pengabaian yang merugikan rakyat sekecil apapun. Dan tinta sejarah telah mencatat kisah-kisah kezuhudan, sikap santun dan pengorbanan mereka atas umat hingga akhirnya sukses menghantarkan umat pada kejayaan mereka; menjadi umat terbaik (khoyru ummah) di antara manusia.

Adapun soal sistem, maka tentu saja kepemimpinan yang ideal tak mungkin berjalan tanpa dukungan sistem yang ideal pula. Adapun sistem yang diterapkan saat ini, yakni sistem kapitalisme telah terbukti tak bisa diharapkan. Selain karena tegak di atas asas yang rusak, yakni sekularisme, sistem ini terbukti hanya melahirkan berbagai aturan hidup yang rusak dan merusak seperti sistem ekonomi yang eksploitatif, ekspansif dan liberalistik, sistem sosial budaya yang permissive dan hedonistik, sistem hukum yang diskrimintif, dan sebagainya.

Sistem yang ideal hanya mungkin berasal dari Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT, yakni sistem Islam. Sistem ini tegak diatas keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai hamba Allah dengan mengemban amanat sebagai pengelola kehidupan dalam rangka beribadah kepadaNya. Dari asas keyakinan ini lahirlah ketundukkan atas aturan hidup yang diturunkanNya, yakni Islam.

Sebagai agama yang berasal dari Allah Sang Maha Pencipta, sejatinya Islam adalah agama yang sempurna. Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (melalui aturan-aturan tentang ibadah dan aqidah), mengatur hubungan manusia dengan dirinya (melalui aturan tentang makanan dan minuman, pakaian serta akhlaq), islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama (melalui aturan tentang urusan muamalah yakni sistem politik, ekonomi, sosial, dll dan sistem sanksi). Semua aturan ini, jika diterapkan secara komprehensif (kaaffah) dipastikan akan menjamin tercapainya kehidupan yang penuh dengan ketentraman dan kesejahteraan (penuh rahmat).

Dalam konteks kesehatan, penerapan hukum Islam baik yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab individu, masyarakat maupun negara secara otomatis akan berdampak pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Kepatuhan individu rakyat untuk memelihara kebersihan dan membiasakan hidup sehat sebagaimana di ajarkan Islam, adanya kontrol masyarakat dan penerapan berbagai aturan masyarakat oleh negara akan menjadi pilar pembangunan kesehatan masyarakat.

Negara dalam hal ini menjadi penanggungjawab berjalannya semua sistem yang ada. Penerapan sistem ekonomi Islam yang anti riba dan mengatur soal kepemilikan secara jelas, antara lain menetapkan kekayaan alam sebagai milik rakyat/umat, menjadi starting point yang memperjelas langkah penguasa untuk menetapkan arah kebijakan pembangunan yang ditujukan semata-mata untuk kepentingan umat. Kekayaan alam yang melimpah ruah tersbut akan betul-betul termanfaatkan sebagai modal untuk mensejahterakan mereka, menjamin ketahanan pangan dan kebutuhan dasar mereka lainnya, termasuk membiayai kebutuhan rakyat atas layanan kesehatan yang maksimal, dan bukan malah dihadiahkan kepada asing.

Sebagai perisai, negara juga akan bertanggungjawab untuk menjaga umat dari semua hal yang akan membahayakan. Tata wilayah dan eksplorasi alam akan dibuat sedemikian rupa didasarkan kesadaran akan tanggungjawab sebagai khalifah fil ardh. Pengawasan akan pangan dan obat dilakukan seketat mungkin sehingga masyarakat terjaga dari kemudharatan. Sistem pendidikan pun akan diterapkan dengan target pencerdasan, bukan hanya dari aspek skill tapi juga kepribadian, sehingga lahir pribadi-pribadi yang istimewa dan bertanggungjawab tidak hanya pada dirinya tapi pada umat secara keseluruhan.

Hal ini akan diperkuat dengan penerapan hukum yang tegas bagi para pelanggar hukum. Segala praktek yang merugikan kepentingan umat termasuk merugikan kesehatan mereka akan diminimalisir. Praktek korupsi dan pencurian harta rakyat, praktek pengrusakan lingkungan yang dilakukan para penguasaha egois, penipuan oleh produsen/pedagang makanan, minuman dan obat-obatan, dan dll akan dibabat habis dengan penerapan sistem sanksi dan kontrol ketat oleh para penegak hukum yang ditugaskan.

Demikianlah, kepemimpinan dan sistem Islam yang tegak di atas landasan ruhiyyah akan menciptakan kehidupan yang penuh berkah dan indah. Sementara kepemimpinan dan sistem kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme hanya bisa menciptakan kehidupan yang serba susah dan jauh dari berkah.

Teladan Ri’ayah Rasulullah dan Generasi Sesudahnya

Rasulullah Saw adalah teladan terbaik, termasuk dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat dan penanggungjawab urusan-urusan mereka. Beliau mengatur seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka dengan penjagaan yang melebihi penjagaan seorang ayah kepada anaknya. Beliau pastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Bahkanpun jika harus mengorbankan dirinya atau mengakhirkan hak-haknya. Suatu ketika Abdullah bin Luhay al-Huzini menjumpai Bilal ra. Dia bertanya : “Wahai Bilal, bagaimana belanja Rasulullah Saw?”. Bilal menjawab, “Beliau tak memiliki apapun. Akulah yang mengurus hal itu sejak Allah SWT mengutus beliau hingga Beliau wafat. Jika beliau melihat seorang manusia Muslim dan Beliau melihatnya tidak memiliki pakaian yang layak, maka Beliau memerintahku. Akupun pergi mencari pinjaman, lalu aku belikan kain wol, kemudian memakaikan kepadanya dan aku memberinya makan …” (HR. Ibnu Hibban).

Beliau selaku pemimpin juga senantiasa melakukan pengawasan dan monitoring agar tak ada penyimpangan yang membahayakan hak masyarakat. Dalam pemenuhan hak masyarakat ini, Rasulullah mencontohkan penguasa berwenang secara langsung memberi keputusan di tempat terjadinya penyimpangan, saat itu juga, tanpa perlu menunggu adanya pengaduan, pun tidak menunggu bertahun-tahun untuk pelaksanaan keputusan. Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah SAW berkeliling di pasar dan berjalan melewati seonggok makanan yang hendak dijual. Beliau memasukan tangannya dan mendapati sebagiannya masih basah. Kemudian beliau bertanya, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Pemilik makanan itu berkata, “Itu terkena hujan, ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Lalu mengapa tidak engkau letakan di atas supaya orang-orang yang melihatnya. Siapa saja yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan kami.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Teladan kepemimpinan Rasulullah Saw seperti ini kemudian diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Mereka tampil sebagai para penguasa yang istiqamah menjalankan hukum-hukum Allah, sungguh-sungguh melaksanakan amanah ri’ayah su’un al-ummah (pengaturan urusan umat), melakukan kontrol atas pelaksanaan ri’ayah itu dan rela berkorban demi kebaikan rakyat mereka hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar bisa diwujudkan.

Kisah Umar dan pejabatnya mungkin bisa dijadikan teladan. Diceritakan, suatu hari Umar ra meminta kepada pegawainya untuk mendata rakyatnya yang terkatagori fakir miskin. Setelah selesai, disodorkanlah data itu. Ternyata dari daftar tersebut ada salah seorang pejabat Umar yang masuk kategori fakir miskin. Kemudian Umar memerintahkan petugasnya untuk segera menyantuni pejabat itu. Namun ketika dia diberi santunan, dia malah mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kemudian istrinya bertanya “siapa yang meninggal suamiku?”. Dia menjawab, “Umar telah memberiku musibah”. Lalu istrinya bertanya lagi, “Kalau begitu bagaimana menghilangkannya?”. Suaminya menjawab, “bagikanlah harta ini kepada fakir miskin yang lain”.

Pejabat Umar ini tentunya bercermin pula pada Umar ra sebagai kholifahnya. Umar pernah memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada salah seorang rakyatnya yang miskin dan membantu mencarikan bidan bagi seorang perempuan yang akan melahirkan di penghujung malam. Umar seringkali berkeliling kampung memperhatikan kondisi rakyat dan menegur dengan keras ketika melihat kecurangan. Pernah juga mengambil harta salah seorang pejabatnya karena khawatir mengandung harta yang tidak halal, bahkan merampas bisnis ternak anaknya ketika diketahui rumput pakannya tercampur rumput dari padang gembalaan milik umum.

Umar pun pernah membuat rumah gandum bagi rakyatnya yang membutuhkan. Beliau membuka Baitul Mal untuk umum, hingga siapapun dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Sebagai penjagaan atas pelaksanaan fungsi kepemimpinan ini, akses pengaduan dan kritik pun dibukanya lebar-lebar, hingga seorang wanita tua bernama Khaulah binti Tsa’labahpun bisa mengkritiknya dengan bebas soal kebijakannya membatasi mahar yang dipandang menyalahi syariat.

Jejak Kesejahteraan Khilafah

Sepanjang sejarah kepemimpinan Islam, umat Islam telah terbukti mampu tampil sebagai pionir peradaban. Para penguasa –lepas dari adanya kekurangan dari sisi pribadi sebagian kecil mereka-- benar-benar telah mampu mewujudkan kesejahteraan atas rakyat warga negara –baik muslim maupun non muslim/ahlu ad-Dzimmah-- dalam taraf yang tidak pernah mungkin bisa diwujudkan oleh para pemimpin penguasa dalam sistem sekuler kapitalis yang cenderung manipulatif, korup dan eksploitatif ini. Saat itu, rakyat benar-benar bisa menikmati layanan yang maksimal dari para penguasa, yang memahami bahwa pelayanan terhadap orang-orang yang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik, melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.

Kesadaran ruhiyyah akan tanggungjawab inilah yang mendorong para penguasa menyediakan hak-hak rakyat dengan hati-hati dan dengan pelayanan terbaik dari kemampuan yang mereka miliki tanpa melihat apakah rakyatnya tahu atau menyadari akan hak-haknya atau tidak, dan apakah mereka memintanya atau tidak. Kesadaran ruhiyyah ini pula yang membuat para penguasa terdorong untuk secara kreatif melakukan berbagai inovasi sekaligus menciptakan suasana dinamis di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah, seperti penerapan sistem pendidikan yang mencerdaskan, sistem ekonomi yang mensejahterakan, sistem politik yang memandirikan dan memartabatkan, sistem hukum yang meminimalisir penyimpangan, sistem sosial yang mendorong kerjasama dalam kebaikan, dan lain-lain.

Sebagai dampaknya, sistem Islamlah yang pertama mengenalkan dan menerapkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Sistem inipun mendorong berbagai inovasi yang memungkinkan layanan umum tersebut bisa diberikan secara optimal. Hal ini terbukti dimana bidang kedokteran dan farmakologi berkembang demikian pesat justru di masa Islam. Di masa ini, fasilitas rumah sakit tersedia cukup banyak dan dikenal demikian lengkap, berikut apotek dan sistem administrasi pelayanan yang serba gratis, cepat, mudah dan profesional. Di masa Abbasiyah misalnya, tersedia banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri yang didirikan di Kairo pada tahun 1283 bahkan mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis.

Di masa itu, Rumah Sakit bergerak pun disediakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh, yakni berupa dokter dan perawat keliling yang menunggang onta sekaligus onta-onta yang mengangkut obat, alat-alat medis dan tenda-tenda perawatan yang bisa dipasang dimanapun. Sistem drainase dan kontrol akan ketersediaan air bersih dibuat sedemikian rupa dan di musim kering para penguasa menyediakan onta-onta pengangkut air yang berkeliling ke kampung-kampung untuk menjamin kebutuhan minum atau irigasi. Pemandian-pemandian umum dibuat dalam jumlah banyak dengan memperhatikan aspek sanitasi dan hukum syara yang lainnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, dan lain-lain. Semua layanan ini diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.

Sayangnya, sejak umat terlepas dari kepemimpinan dan sistem Islam, kemuliaanpun lepas dari diri mereka. Sistem kapitalisme sekuler telah menciptakan ilusi tentang kesejahteraan yang sampai kapanpun tak kan pernah bisa diwujudkan. Alih-alih bisa mewujudkan kesejahteraan, penerimaan umat pada sistem rusak ini justru telah berhasil membawa umat pada jurang kehinaan; menjadi bangsa terjajah lahir dan batin. Lebih dari itu, sistem rusak ini pun telah menciptakan berbagai tipuan yang membius para penguasa Muslim hingga abai bahkan curang terhadap agama dan umatnya sebagaimana yang terjadi saat ini. Benarlah sabda Rasulullah Saw:

“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”. (HR. Ath-Thabrani)

[SNA] -----------

Rabu, 16 November 2011

Nasihat Bagi Para Pengemban Dakwah


SAYYIDINA ALI KW PERNAH BERKATA:

Jangan menjadi seorang yang mengharap kebaikan akhirat tanpa beramal untuknya, dan jangan menunda-nunda tobat dengan memperpanjang angan-angan (untuk bertobat).

Jangan pula menjadi orang yang berbicara tentang dunia dengan ucapan-ucapan seorang zahid yang hatinya tidak tertambat kepadanya, sedangkan dalam kenyataannya ia melakukan perbuatan orang-orang yang sangat menginginkannya. Bila diberi sebagian darinya tidak pernah ia merasa kenyang. Dan bila diberi sedikit, ia tidak merasa puas.

Ia tidak mampu mensyukuri apa yang dikaruniakan kepadanya, namun selalu menghendaki tambahan dari yang masih tersisa. Melarang orang lain berbuat dosa, tapi ia sendiri tidak berhenti melakukan dosa; dan menyuruh orang lain berbuat kebaikan, tapi ia sendiri tidak mengerjakannya. Ia –katanya—mencintai orang-orang saleh, tetapi tidak meniru amal mreka; dan membenci orang-orang yang berbuat maksiat, tapi ia sendiri salah seorang dari mereka. Ia takut mati disebabkan banyak dosa-dosanya, tetapi tidak menahan diri darinya.

Bila jatuh sakit, ia menyesali dirinya, tetapi bila telah kembali sehat, ia merasa aman berbuat sia-sia. Ia berbangga hati bila beroleh afiat, tetapi segera berputus asa jika mendapat cobaan. Bila ditimpa musibah, ia berdoa (karena) terpaksa, tetapi bila beroleh kemakmuran, ia berpaling dengan angkuhnya.

Nafsunya mengalahkannya dalam hal yang masih diragukannya, tetapi ia tak mampu mengalahkan nafsunya dalam hal yang telah diyakininya.

Ia merisaukan dosa orang lain meskipun lebih kecil daripada dosanya sendiri; dan mengharap baginya pahala yang lebih besar daripada nilai perbuatannya sendiri. Bila merasa cukup kaya, segera ia berbesar hati dan merasa sombong. Akan tetapi bila jatuh miskin, segera berputu asa dan merasa hina.

Bermalas-malasan bila mengerjakan kebaikan, tetapi merengek melewati batas bila memohon sesuatu.

Bila tergoda oleh sesuatu yang membangkitkan syahwat nafsunya, ia segera mendahulukan maksiat dan mengundurkan tobat. Dan bila bencana menimpa, hampir-hampir ia keluar dari berbagai ikatan agamanya.

Sangat pandai memperingatkan oranglain (dari perbuatan buruk), tetapi ia sendiri tidak meninggalkannya. Berlebih-lebihan dalam menasihati orang lain (dalam hal yang baik), tapi ia sendiri tak mengerjakannya.

Amat banyak ucapannya, namun sedikit skali amal baiknya. Bersaing memperebutkan sesuatu yang fana, tapi sangat mudah melepaskan yang baka. Yang benar-benar menguntungkan justru dianggapnya memberatkan, tetapi yang sesungguhnya merugikan dianggapnya menguntungkan. Ia takut mati, tapi tak segera menggunakan kesempatan yang tinggal sedikit.

Ia lebih suka bersenang-senang bersama orang-orang kaya daripada berzikir bersama-sama orang miskin. Selalu memenangkan dirinya atas orang lain dan tidak pernah mengalahkan dirinya sendiri demi kepentingan orang lain. Ia membimbing orang lain, tapi menyesatkan dirinya sendiri.

Maka ia pun ditaati, tapi ia sendiri selalu menentang Tuhannya. Mengambil haknya sendiri sepenuhnya, tapi ia tak memenuhi kewajibannya. Takut kepada makhluk. tapi tidak menghiraukan Tuhannya. Tak segan ia melawanNya dengan mengganggu makhluknya…………

(Mutiara Nahjul Balaghah [Terj.], hal 37)

Sabtu, 12 November 2011

INDONESIA SEHAT (SEHARUSNYA) BUKAN MIMPI


Mempertanyakan Paradigma Pembangunan Kesehatan Nasional, Retrospeksi di Hari Kesehatan Nasional ke-47
Oleh : Siti Nafidah Anshory


Indonesia Cinta Sehat. Demikian tema peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-47 Tahun 2011 yang jatuh pada hari ini, 12 Nopember. Dengan tema ini diharapkan, semangat, kepedulian, komitmen dan gerakan nyata pembangunan kesehatan yang harus diperjuangkan oleh seluruh komponen bangsa bisa terus ditingkatkan.

Tak dipungkiri, bahwa sehat merupakan salah satu hak dasar manusia yang sekaligus menentukan kualitas sumberdaya manusia. Bahkan dalam konteks pembangunan, faktor kesehatan, disamping pendidikan dan ekonomi,menjadi salah satu ukuran penentu Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index), yang selanjutnya dipakai sebagai salah satu indikator keberhasilan pembangunan secara keseluruhan.

Menelisik Realitas

Meski sehat merupakan hak semua orang, realitas hari ini menunjukkan, bahwa keadaan sehat –jiwa dan raga-- masih menjadi mimpi bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, termasuk masyarakat di Jawa Barat. Masih tingginya kasus gizi buruk dan gizi kurang, tingginya angka kematian bayi (AKB) dan angka kematian ibu (AKI), makin banyaknya pengidap penyakit menular semisal TBC, dan inveksi semacam HIV/AIDS, masih merebaknya kasus malaria dan diare, serta meningkatnya kasus penyakit tak menular termasuk sakit kejiwaan, membuktikan bahwa derajat kesehatan masyarakat terbilang masih sangat rendah.

Tahun 2010 saja, di Indonesia masih terdapat sekitar 4,9 persen penderita gizi buruk dan 20 persen anak penderita gizi kurang. Hal ini sejalan dengan hasil riset International Food Policy Research 2010 yang menunjukkan Global Hunger Index Indonesia tahun 2010 masuk dalam kategori 'serius' yang berada di bawah level 'mengkhawatirkan' dan 'sangat mengkhawatirkan'. Sementara di Jawa Barat sendiri, tercatat masih ada 15 ribu dari 3,7 juta anak yang mengalami gizi buruk dan 400 ribu yang terkatagori gizi kurang.

Di tahun yang sama, Indonesia menduduki ranking ke-5 negara dengan jumlah penderita TB tertinggi di dunia. Sementara Jawa Barat tercatat sebagai daerah dengan pengidap TBC tertinggi di Indonesia. Jumlah penderita TB di Indonesia diperkirakan 235 per 100.000 penduduk (data resmi Dirjen PPPL, Kemenkes, 2011), dan 35.000-nya ada di Jawa Barat. Angka ini, ditengarai jauh lebih kecil dari yang sebenarnya, mengingat cara penyebaran penyakit TB terjadi begitu cepat. Netty Heryawan pernah mengatakan, setidaknya ada 1 orang penduduk yang terpapar TB per menitnya. Sementara situs tbindonesia.or.id menyebut, di Indonesia kasus TB bertambah ¼ juta kasus baru setiap tahun. Kemudian tiap tahun ada sekitar 140.000 kematian terjadi disebabkan oleh TB, dan sebagian besar penderitanya ada di usia produktif (15-55 tahun).

Tingginya AKI dan AKB juga masih menjadi PR besar pembangunan kesehatan di Indonesia, termasuk Jawa Barat ke depan. Data resmi terakhir (SDKI, 2007) menyebut AKI di Indonesia masih 228 per 100.000 dari kelahiran hidup (KH). Sementara pada periode yang sama, Angka kematian Balita masih 44 per 1.000 KH, Angka kematian bayi 34 per 1.000 KH dan angka kematian neonatal per 1.000 KH. Adapun Jawa Barat termasuk satu dari lima daerah penyumbang AKI dan AKB paling banyak di Indonesia.

Kasus HIV/AIDS juga tak kalah memprihatinkan. Hingga 30 September 2010, secara kumulatif jumlah kasus AIDS yang dilaporkan sebanyak 22.726 kasus tersebar di 32 provinsi. Kasus tertinggi didominasi usia produktif yaitu usia 20-29 tahun (47,8%), diikuti kelompok umur 30-39 tahun (30,9%), dan kelompok umur 40-49 (9,1%). Dari jumlah itu, 4.250 kasus atau 18,7% diantaranya meninggal dunia. Sementara kasus terbanyak dilaporkan dari Provinsi DKI Jakarta, diikuti Jawa Barat, Jawa Timur, Papua, Bali, Kalimantan Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Riau. Data ini terus bertambah dengan jumlah pertambahan yang mencapai ribuan tiap triwulannya.

Untuk kasus malaria, pada faktanya Indonesia pun masih termasuk salah satu negara yang beresiko malaria, karena sampai 2007 masih terdapat 396 kabupaten (80 persen) endemis malaria. Pada 2008 terdapat 1,62 juta kasus malaria klinis dan 2009 menjadi 1,14 juta kasus. Selain itu jumlah penderita positif malaria (hasil pemeriksaan mikroskop terdapat kuman malaria) pada 2008 ada 266 ribu kasus dan masih 199 ribu kasus pada 2009. Sekalipun pada beberapa periode ke depan beberapa wilayah seperti Jawa (termasuk Jabar) ditargetkan mencapai eliminasi malaria, namun banyaknya kendala yang dihadapi membuat beberapa pihak meragukan pencapaian target ini.

Di luar penyakit menular, permasalahan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat juga nampak dari merebaknya berbagai kasus penyakit tak menular seperti kanker, jantung, hipertensi/stroke, dll, termasuk juga kasus penyakit kejiwaan. Khusus mengenai kasus sakit jiwa, data mengejutkan diungkapkan Dr Natalingrum SpKJ MKes dari Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Ia mengatakan, satu dari lima orang di Jawa Barat mengalami gangguan jiwa ,mulai dari taraf ringan (cemas), sedang (stress dan depresi), hingga gangguan jiwa berat. Beliau juga mengatakan, bahwa Jawa Barat menjadi provinsi dengan penderita gangguan jiwa tertinggi di Indonesia. Bahkan angka rata-ratanya mencapai 20 persen atau lebih tinggi dari rata-rata nasional yang ‘hanya’ mencapai 11,6 persen. Data mengejutkan tersebut dikatakan Natalingrum pada acara Pertemuan Peningkatan Peran Media Massa Tentang Kesehatan Jiwa di Hotel Grand Seriti Hegarmanah, Kamis (13/10/2011).

Apa Yang Salah ?

Fakta-fakta di atas sesungguhnya hanyalah secuil persoalan yang menggambarkan masih buruknya kondisi kesehatan masyarakat Indonesia secara umum dan Jawa Barat secara khusus. Apalagi, banyak kalangan yang tidak percaya bahwa angka-angka statistik di atas menunjukkan fakta sebenarnya. Mereka lebih yakin, bahwa sebagaimana fenomena puncak gunung es kondisi ril yang dihadapi masyarakat sesungguhnya jauh lebih buruk dari itu. Terutama ketika belakangan ini, tubuh-tubuh kering dan keriput anak-anak penderita gizi buruk, keluarga-keluarga yang terpaksa makan nasi aking/tiwul dan kasus-kasus miris lainnya kembali sering menghiasi media-media massa kita, bahkan bermunculan di sekeliling kita.

Ironisnya, pemerintah selalu mengklaim bahwa penurunan angka persentase kasus dari tahun ke tahun menunjukkan pembangunan kesehatan sudah berhasil mencapai targetnya sehingga derajat kesehatan masyarakat pun diklaim terus membaik. Fakta ini menunjukkan bahwa bagi pemerintah, ‘angka-angka’ statistik seolah lebih penting daripada realitas sebenarnya. Sehingga untuk kasus gizi buruk misalnya, persentase 4,9 penderita gizi buruk yang sama dengan 1,39 juta balita Indonesia seperti tak dihiraukan. Padahal, jika pemerintah konsisten menggunakan perspektif HAM dalam pembangunan kesehatan sebagaimana termaktub dalam UU No. 36 tahun 2009 yang menyebut bahwa setiap orang berhak atas kesehatan, maka pembiaran negara sehingga menyebabkan lebih dari 1 juta balitanya mengalami gizi buruk, sudah merupakan pelanggaran HAM, karena dalam prinsip HAM, 1 korban pembiaran negara saja, sudah disebut sebagai sebuah pelanggaran HAM.

Terlebih, apa yang selama ini disebut dengan target pembangunan, termasuk pembangunan kesehatan yang dijadikan acuan oleh pemerintah, semisal capaian angka-angka standar MDGs yang minimalis itu, seringkali malah menjadi penghambat bagi pemerintah untuk melakukan berbagai upaya lebih dari apa yang sebenarnya bisa dilakukan dan malah mendorong pemerintah untuk tak maksimal dalam mengerahkan segala sumberdaya yang sebenarnya dimiliki. Buktinya, meski secara normatif, UU RI No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanatkan bahwa setiap orang berhak atas kesehatan sebagaimana sudah disebutkan, dan menjadikan pemerintah sebagai penanggungjawab untuk mewujudkannya, namun realita yang terjadi masih jauh panggang dari api. Betapa banyak kelompok masyarakat yang masih kesulitan memperoleh akses atas sumberdaya di bidang kesehatan, termasuk untuk memperoleh layanan yang aman, bermutu dan terjangkau, juga untuk mendapatkan lingkungan yang sehat serta untuk mendapatkan informasi dan edukasi tentang kesehatan yang seimbang dan bertanggungjawab sebagaimana juga diamanatkan dalam undang-undang.

Bahwa pemerintah sudah melakukan berbagai hal untuk meningkatkan derajat kesehatan rakyat memang tak bisa dinafikan. Namun keterbatasan anggaran, sering menjadi alasan pemerintah tak maksimal urusi persoalan kesehatan rakyat. Memang, meski UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan telah mengamanatkan pengalokasian anggaran kesehatan 5 persen dari total APBN, realisasinya masih jauh dari itu. Anggaran Kementerian Kesehatan pada 2010 hanya mencapai Rp 20,8 triliun atau lebih dari 2 persen dari total APBN. Tahun 2011, anggaran naik menjadi Rp 26,2 triliun atau hampir 3 persen dari APBN 2011. Padahal, angka 5 persen yang diamanatkan dalam UU kesehatan itupun sebenarnya hanya memenuhi standar minimal anggaran kesehatan yang ditetapkan WHO, yakni 5-15 persen dari total APBN.

Selain soal uang, paradigma pembangunan kesehatan juga tidak jelas. Paradigma kuratif yang bersifat pragmatis justru sangat dominan sehingga membuat upaya pembangunan di bidang kesehatan menjadi tidak efektif dan berjangka pendek, bahkan terkesan ‘mengatasi masalah dengan masalah’. Program Pemberian Makanan Tambahan, vitamin A dan tablet besi bagi bumil, taburia dan iodisasi garam yang berlangsung selama periode tertentu dan tidak sepanjang waktu untuk mengatasi gizi buruk misalnya; atau program kondomisasi dan pemberian Anti Retroviral Treatment (ARV) untuk menanggulangi kasus HIV/AIDS; pemberian kelambu, penyemprotan dan pemberian obat untuk penanggulangan malaria yang semuanya focus pada upaya-upaya kuratif, tentu tak akan bisa mengeliminasi terjadinya kasus-kasus tersebut dalam jangka panjang. Begitupun dengan program layanan kesehatan gratis bagi rakyat miskin –termasuk pengobatan gratis bagi penderita TB--, jampersal, dll, yang realitanya baru dinikmati sebagian kecil rakyat miskin di perkotaan saja dan diperburuk dengan kebijakan desentralisasi. Layanan ini pun jelas hanya focus pada aspek kuratif saja. Itupun dengan fasilitas layanan kesehatan yang sulit diakses (misal karena butuh biaya transportasi besar dan prosedur yang berbelit-belit) serta dengan kualitas layanan dan pengobatan yang seadanya.

Selain kental paradigma kuratif, pembangunan kesehatan juga kental dengan paradigma sektoral, dimana masalah kesehatan hanya dipandang sebagai masalah kesehatan, khususnya bagaimana cara mengobati. Padahal faktanya, kondisi sehat dipengaruhi banyak factor, antara lain kondisi ekonomi, pendidikan, kualitas lingkungan, keamanan, dan lain-lain. Kondisi ekonomi yang kurang, pendidikan yang rendah, kualitas lingkungan dan keamanan yang buruk tentu akan berdampak pada rendahnya kualitas kesehatan masyarakat.

Kenyataannya, hingga saat ini kondisi ekonomi masyarakat masih sangat memprihatinkan. Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal, Helmy Faisal (16/8/2011) menyebutkan, bahwa saat ini ada sekitar 40 persen penduduk Indonesia yang hidup di daerah tertinggal yang meliputi 183 kabupaten. Data statistikpun menunjukkan bahwa jumlah penduduk yang terkatagori miskin, baik dengan level sangat miskin, miskin, hampir miskin dan hampir tidak miskin yang sewaktu-waktu dengan mudah berubah menjadi kelompok miskin memang masih sangat banyak.

Hingga Maret 2011, dengan standar penghasilan per kapita rata-rata sebesar Rp 233.740 per bulan sebagai pembatas miskin-hampir miskin dan standar Rp. 280.488 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan hampir tidak miskin, serta standar Rp. 350.610 untuk membedakan kelompok hampir miskin dengan tidak miskin (versi BPS), tercatat masih ada sekitar 30,02 juta orang penduduk Indonesia yang terkatagori miskin dan 27,12 juta terkatagori hampir miskin (data lain menyebut 36 juta). Sayangnya, data untuk kelompok sangat miskin dan hampir tidak miskin tidak ditemukan, tetapi ditengarai jumlahnya juga cukup besar. Wajar jika ada yang menengarai bahwa lebih dari separuh penduduk Indonesia sebenarnya terkatagori miskin. Apalagi jika standar yang digunakan dinaikkan dengan yang lebih ‘layak’ dan manusiawi. Adapun untuk Jawa Barat, hingga Maret 2011 ditemukan ada sekitar 11,27 persen yang terkatagori miskin (standar Rp. 220.098 per kapita per bulan).

Dengan kondisi ekonomi yang sedemikian, tentu akan berdampak pada aspek kehidupan yang lainnya. Setidaknya hal itu berarti, ada separuh masyarakat Indonesia yang akan mengalami kesulitan untuk mengakses pendidikan yang memadai untuk meningkatkan kesadaran mereka akan pentingnya kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup secara keseluruhan. Demikian pula, ada separuh masyarakat Indonesia yang terhalang untuk mendapatkan asupan gizi memadai yang dibutuhkan untuk membangun tubuh yang sehat dan kuat serta untuk memperoleh layanan kesehatan yang berkualitas. Dan karena kemiskinan juga selalu identik dengan kualitas lingkungan, sanitasi dan tempat tinggal yang serba kumuh dan tidak sehat serta ketersediaan air bersih yang kurang memadai, maka itu berarti ada separuh masyarakat Indonesia yang terpaksa hidup di lingkungan yang buruk dan fasilitas yang tak menunjang bagi kesehatan mereka. Data statistik sendiri mencatat, ada 68% rumah di Indonesia terkatagori tidak layak.

Karena masalah kesehatan demikian kompleks dan bukan sekedar masalah individual, maka jelas bahwa pembangunan bidang kesehatan tak bisa dipisahkan dari kebijakan pembangunan sektor lainnya. Dan semuanya membutuhkan paradigma pembangunan yang sahih serta sistem yang tepat dan terintegrasi, juga tanggungjawab dan political will yang baik dari pemerintah sebagai pihak penyelenggara negara.

Dengan kata lain, pembangunan kesehatan harus dipandang sebagai bagian dari pembangunan sistem secara keseluruhan yang semestinya ditujukan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat yang sejahtera, lahir dan batin dalam setiap aspek kehidupan mereka secara merata. Karena ketika masalah kesehatan hanya dipandang sebagai masalah kesehatan dan ditanggungjawabi institusi kesehatan saja, yang terjadi adalah ‘ketidakberdayaan’, diskriminasi dan misskordinasi antar sektora dan antar daerah.

Ambil contoh, Kemenkes menyebutkan bahwa di bidang sanitasi lembaganya telah berhasil menggerakkan masyarakat di 2.510 desa untuk melaksanakan program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat di tahun 2010. Padahal jumlah desa di Indonesia ada sekitar 75 ribu desa. Lantas bagaimana dengan nasib 72.490 desa lainnya? Kemudian secara nasional, jumlah Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) juga diklaim terus meningkat. Akan tetapi nyatanya, secara rasio antara FPK dengan jumlah penduduk masih sangat jauh. Begitu pula, sebaran FPK di semua wilayah dan aksesibilitas masyarakat terutama penduduk miskin di daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan terhadap FPK tersebut masih terbatas, antara lain akibat kondisi jalan yang buruk, transportasi dan listrik yang mahal dan belum memadai, juga ketersediaan sarana, obat dan SDM di fasilitas layanan kesehatan yang belum mencukupi baik dari sisi jenis, harga, kualitas maupun kuantitas. Dan ini lagi-lagi diperburuk oleh kebijakan desentralisasi (otda) yang membuka ruang ketidakadilan lebih besar.

Kapitalisme-Sekularisme, Biang Persoalan Kesehatan

Dari sini terlihat, bahwa masalah di bidang kesehatan juga menyangkut kebijakan pembangunan di bidang lainnya; ekonomi, lingkungan, infrastruktur (PU), transportasi, energi dan pendidikan sebagai penyedia SDM kesehatan, hukum, dll. Persoalannya, dengan paradigma pembangunan yang serba kapitalistik dan sekularistik yang diterapkan pemerintah selama ini, maka masyarakat yang sejahtera, termasuk di bidang kesehatan akan sulit diwujudkan. Penerapan sistem ekonomi liberal sebagai derivate kapitalisme dan sekularisme yang hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi malah memunculkan gap yang makin lebar antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Dan hal ini merupakan ciri khas sistem ekonomi kapitalisme.

Pada tahun 2011 misalnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia diklaim mencapai 6,1-6,5% dan income per kapita juga naik menjadi US $ 3000. Akan tetapi pertumbuhan tersebut realitanya lebih banyak diserap golongan menengah ke atas dan hampir tidak menyentuh masyarakat kalangan terbawah. Bahkan ditengarai, 8% pendapatan nasional dikuasi hanya oleh beberapa konglomerat saja, sementara sisanya diperebutkan oleh ratusan juta penduduk Indonesia. Catatan Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa, Setyo Budiantoro (26/10/2011) juga menyebut, di tahun 2010 kekayaan 40 orang terkaya mencapai Rp 680 triliun, atau setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa paling miskin.

Fakta-fakta ini menunjukkan, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi sama sekali tak berkorelasi dengan membaiknya tingkat pemerataan kesejahteraan rakyat. Bahkan, meski Indonesia negara kaya raya, punya emas, baja bahkan uranium, punya minyak dan gas alam, punya hutan dan perairan yang sangat luas, punya kekayaan budaya yang luar biasa, tetap saja masih berjalan di belakang. Rakyat kebanyakan tak bisa menikmati hasilnya. Alih-alih bisa menjadi modal mensejahterakan rakyat, kekayaan alam milik mereka yang melimpah ruah itu malah dibiarkan dirampok dan dieksploitasi oleh para kapitalis lokal dan kapitalis asing. Sementara rakyat harus rela hidup dengan beban pajak yang mencekik yang ditarik pemerintah untuk membiayai APBN dan sebagiannya malah masuk ke kantong para pejabat yang mayoritas sudah terpapar budaya korup dan penyakit gila proyek akibat pola pikir sekuleristik.

Bak tikus mati di lumbung padi. Demikianlah nasib bangsa ini. Wajar jika Human Development Report tahun 2011 melaporkan bahwa peringkat IPM/HDI Indonesia terus merosot dari tahun-tahun sebelumnya hingga kini berada di level ke 124 dari 187 negara. Pendapatan perkapita masyarakatnya pun, meski diklaim meningkat, tetap saja tergolong rendah sehingga Indonesia masuk dalam kelompok negara berpendapatan menengah bawah (lower middle income countries). Pada 26 Oktober lalu, Bedah editorial Media Indonesia Metrotv bahkan merilis kabar bahwa saat ini Indonesia menempati peringkat ke-5 negara dengan jumlah gelandangan terbanyak di dunia.

Disamping kemiskinan, penerapan sistem kapitalisme sekularisme juga berdampak buruk pada kualitas lingkungan sebagai salah satu faktor yang berpengaruh bagi kesehatan. Orientasi meraih keuntungan sebanyak mungkin sebagai karakter dasar sistem kapitalisme telah membuat kebijakan pembangunan yang diterapkan minus dari kesadaran ruhiyah manusia sebagai pengelola kehidupan dan minus dari rasa tanggungjawab mereka pada Sang Pencipta Kehidupan. Akibatnya, kebijakan industrialisasi, liberalisasi dan privatisasi yang diterapkan nyaris tanpa batas justru menjadi jalan bagi para pengusaha rakus, terutama yang tergabung dalam korporasi internasional untuk mengeruk harta kekayaan milik rakyat termasuk berbagai sumber daya alam, bahkan sumber-sumber air mereka dan menyisakan dampak buruk berjangka panjang buat anak cucu bangsa termasuk terhadap kesehatan mereka.

Betapa hari inipun kita sudah merasakan dampaknya. Air bersih kian sulit didapat akibat sumber-sumber air pegunungan dikuasai swasta dan dijadikan komoditas ekonomi, sementara air tanah berkurang akibat alam dieksploitasi tanpa upaya konservasi dan rehabilitasi serta akibat tata wilayah yang nyata-nyata tak terintegrasi. Udara kian tercemar berbagai gas beracun yang berasal dari kendaraan dan asap paberik. Sungai-sungai pun hampir seluruhnya tercemar oleh limbah industri dan terkonversi menjadi tempat menampung jutaan kubik sampah rumahtangga yang di waktu musim hujan berakibat banjir dimana-mana. Mirisnya, ini terjadi karena pengelolaan negara yang tidak jelas, baik dari sisi asas maupun cabangnya. Bahkan pada banyak kasus, negara menjadi pelegitimasi atas penghancuran lingkungan secara sistematis dengan penerapan undang-undang semisal UU PMA, UU MIGAS, UU SDA, dll yang hanya menguntungkan pihak pengusaha daripada rakyatnya dan melegitimasi mereka mengeksploitasi alam seenak perutnya. Dan dalam kapitalisme hal yang demikian adalah niscaya. Karena penguasa-pengusaha memang bersimbiosis mutualisma.

Selain soal kemiskinan dan lingkungan, kentalnya paradigma kapitalistik juga nampak dalam membangun hubungan rakyat dengan penguasa sebagai hubungan antara pembeli dan penjual, termasuk di bidang kesehatan yang sejatinya menjadi hak rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Penggunaan konsep anggaran berbasis kinerja dalam kebijakan pembangunan bidang kesehatan adalah salah satu buktinya.

Hal ini terungkap dari pernyataan Menkes Endang Sri Rahayu sendiri yang menyebut bahwa sejak tahun 2010 pemerintah mulai menggunakan konsep anggaran berbasis kinerja, dimana setiap rupiah yang dianggarkan harus menghasilkan suatu output/outcome tertentu. Karenanya, jika kita teliti rincian APBN TA 2011, maka sector kesehatan ternyata memang masuk dalam item sumber pendapatan negara, yakni di bidang jasa yang antara lain meliputi pendapatan rumahsakit dan instansi kesehatan lainnya (18,26 M), pendapatan registrasi dokter dan dokter gigi (47 M) serta pendapatan badan jasa layanan umum seperti pendapatan penyediaan jasa pelayanan rumah sakit sebesar 3,9 T lebih. Ini artinya, alih-alih menerapkan kebijakan yang memberi kemudahan bahkan layanan kesahatan gratis bagi masyarakat, pemerintah --ibarat pedagang-- justru telah menjadikan sector kesehatan yang sejatinya merupakan hak rakyat sebagai sarana mengeruk keuntungan, termasuk melalui pungutan pajak atas rumahsakit komersial (swasta) dan perusahaan obat.

Wajar jika kesan mahal dan mewah masih melekat dengan dunia layanan kesehatan di Indonesia. Dan wajar pula jika pemerintah tak merasa gerah dengan kapitalisasi sector kesehatan yang dilakukan oleh para pengusaha termasuk yang terjadi di bidang obat/farmasi serta kapitalisasi yang terjadi di dunia pendidikan sebagai penyedia SDM kesehatan, sekalipun sebagai dampaknya, makin banyak kelompok masyarakat yang tak terjangkau program layanan kesehatan gratis tadi, yang mau tak harus menerima kenyataan betapa mahal dan sulitnya mendapatkan hak atas layanan kesehatan yang memadai. Itulah kenapa, bagi mayoritas bangsa ini, kondisi sehat hingga kini masih menjadi mimpi dan sampai kapanpun akan terus menjadi mimpi.

Indonesia Sehat, (Seharusnya) Bukan Mimpi

Masyarakat Indonesia sesungguhnya bisa menjadi masyarakat yang sejahtera dan memiliki derajat kesehatan yang tinggi. Hanya saja, untuk mewujudkannya dibutuhkan kepemimpinan yang kuat dan sadar atas posisinya sebagai penanggungjawab atas seluruh urusan rakyat serta dibutuhkan adanya sistem hidup yang tegak diatas asas yang sahih dan memiliki seperangkat aturan yang mampu menjamin terwujudnya kesejahteraan atas seluruh umat. Pemimpin yang kuat dan sadar akan tanggungjawab kepemimpinannya akan berupaya sekuat tenaga agar seluruh rakyat bisa sejahtera. Pemimpin seperti ini, tentu tak akan rela, apalagi merasa lega jika masih ada satu orang rakyatpun yang tak terpenuhi hak-haknya.

Kepemimpinan seperti ini memang tak akan muncul dalam sistem yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya. Karena sekularisme hanya menjadikan kepemimpinan sebagai urusan yang berdimensi dunia saja. Padahal, dalam pandangan Islam, kepemimpinan memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepemimpinan di hadapan masyarakat. Dimensi ini dalam realitasnya masih memungkinkan dikamuflase dan tak bisa dituntut. Bahkan dengan paradigma sekulerisme, kepemimpinan hanya diterjemahkan sebagai alat meraih kekuasaan dan materi semata. Sementara dimensi ukhrawi (ruhiyyah) ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggugjawabkan peran kepemimpinan ini di hadapan Allah SWT.

Hadits-hadits di bawah ini rasanya cukup untuk menggambarkan sisi ruhiyyah satus dan peran kepemimpinan dalam pandangan Islam, dimana penguasa tidak hanya bertanggungjawab terhadap umat, tetapi juga kepada Allah SWT. Dan pertanggungjawaban itu sangatlah berat. Rasulullah SAW bersabda :

“Dia yang berkuasa atas lebih dari sepuluh orang akan membawa belenggu pada hari kiamat sampai keadilan melonggarkan rantainya atau tindakan tiraninya membawa dia kepada kehancuran.” (HR. Tirmidzi)

“Siapa pun yang mengepalai salah satu urusan kaum muslimin dan tetap menjauhkan diri dari mereka dan tidak membayar dengan perhatian pada kebutuhan dan kemiskinan mereka, Allah akan tetap jauh dari dirinya pada hari kiamat…" ([Abu Dawud, Ibnu Majah, Al-Hakim)

“Jabatan (kedudukan) pada permulaannya penyesalan, pada pertengahannya kesengsaraan (kekesalan hati) dan pada akhirnya azab pada hari kiamat”. (HR. Ath-Thabrani)

Dimensi ruhiyyah inilah yang membuat kepemimpinan/kekuasaan menjadi sesuatu yang agung dan sakral dalam pandangan Islam. Nilai kepemimpinan/kekuasaan di dalam Islam tidak dipandang rendah hanya sebagai alat mencari dunia yang fana lagi hina atau semata demi kebanggaan nafsu ammarah sesaat sebagaimana ajaran/perspektif sekulerme. Kepemimpinan/kekuasaan justru menjadi jalan ketaatan untuk meraih kemuliaan umat dan agama yang akan berujung pada diperolehnya keridhaan Allah di dunia dan akhirat.

Inilah rahasia kesuksesan kepemimpinan dalam Islam yang telah terbukti berhasil menghantarkan umat pada kejayaan mereka. Para pemimpin umat ini benar-benar menyadari amanah berat yang diembannya dan membuat mereka terdorong untuk bersungguh-sungguh melaksanakan tugas melayani umat sesuai tuntunan syariat. Keimanan yang tertancap kuat dalam jiwa-jiwa mereka pun membuat mereka takut melakukan penyelewengan, kecurangan bahkan pengabaian yang merugikan rakyat sekecil apapun. Dan tinta sejarah telah mencatat kisah-kisah kezuhudan, sikap santun dan pengorbanan mereka atas umat hingga akhirnya sukses menghantarkan umat pada kejayaan mereka; menjadi umat terbaik (khoyru ummah) di antara manusia.

Adapun soal sistem, maka tentu saja kepemimpinan yang ideal tak mungkin berjalan tanpa dukungan sistem yang ideal pula. Adapun sistem yang diterapkan saat ini, yakni sistem kapitalisme telah terbukti tak bisa diharapkan. Selain karena tegak di atas asas yang rusak, yakni sekularisme, sistem ini terbukti hanya melahirkan berbagai aturan hidup yang rusak dan merusak seperti sistem ekonomi yang eksploitatif, ekspansif dan liberalistik, sistem sosial budaya yang permissive dan hedonistik, sistem hukum yang diskrimintif, dan sebagainya.

Sistem yang ideal hanya mungkin berasal dari Dzat yang Maha Sempurna, Allah SWT, yakni sistem Islam. Sistem ini tegak diatas keyakinan bahwa manusia diciptakan sebagai hamba Allah dengan mengemban amanat sebagai pengelola kehidupan dalam rangka beribadah kepadaNya. Dari asas keyakinan ini lahirlah ketundukkan atas aturan hidup yang diturunkanNya, yakni Islam.

Sebagai agama yang berasal dari Allah Sang Maha Pencipta, sejatinya Islam adalah agama yang sempurna. Selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya (melalui aturan-aturan tentang ibadah dan aqidah), mengatur hubungan manusia dengan dirinya (melalui aturan tentang makanan dan minuman, pakaian serta akhlaq), islam juga mengatur hubungan manusia dengan sesama (melalui aturan tentang urusan muamalah yakni sistem politik, ekonomi, sosial, dll dan sistem sanksi). Semua aturan ini, jika diterapkan secara komprehensif (kaaffah) dipastikan akan menjamin tercapainya kehidupan yang penuh dengan ketentraman dan kesejahteraan (penuh rahmat).

Dalam konteks kesehatan, penerapan hukum Islam baik yang pelaksanaannya menjadi tanggungjawab individu, masyarakat maupun negara secara otomatis akan berdampak pada meningkatnya derajat kesehatan masyarakat. Kepatuhan individu rakyat untuk memelihara kebersihan dan membiasakan hidup sehat sebagaimana di ajarkan Islam, adanya kontrol masyarakat dan penerapan berbagai aturan masyarakat oleh negara akan menjadi pilar pembangunan kesehatan masyarakat.

Negara dalam hal ini menjadi penanggungjawab berjalannya semua sistem yang ada. Penerapan sistem ekonomi Islam yang anti riba dan mengatur soal kepemilikan secara jelas, antara lain menetapkan kekayaan alam sebagai milik rakyat/umat, menjadi starting point yang memperjelas langkah penguasa untuk menetapkan arah kebijakan pembangunan yang ditujukan semata-mata untuk kepentingan umat. Kekayaan alam yang melimpah ruah tersbut akan betul-betul termanfaatkan sebagai modal untuk mensejahterakan mereka, menjamin ketahanan pangan dan kebutuhan dasar mereka lainnya, termasuk membiayai kebutuhan rakyat atas layanan kesehatan yang maksimal, dan bukan malah dihadiahkan kepada asing.

Sebagai perisai, negara juga akan bertanggungjawab untuk menjaga umat dari semua hal yang akan membahayakan. Tata wilayah dan eksplorasi alam akan dibuat sedemikian rupa didasarkan kesadaran akan tanggungjawab sebagai khalifah fil ardh. Pengawasan akan pangan dan obat dilakukan seketat mungkin sehingga masyarakat terjaga dari kemudharatan. Sistem pendidikan pun akan diterapkan dengan target pencerdasan, bukan hanya dari aspek skill tapi juga kepribadian, sehingga lahir pribadi-pribadi yang istimewa dan bertanggungjawab tidak hanya pada dirinya tapi pada umat secara keseluruhan.

Hal ini akan diperkuat dengan penerapan hukum yang tegas bagi para pelanggar hukum. Segala praktek yang merugikan kepentingan umat termasuk merugikan kesehatan mereka akan diminimalisir. Praktek korupsi dan pencurian harta rakyat, praktek pengrusakan lingkungan yang dilakukan para penguasaha egois, penipuan oleh produsen/pedagang makanan, minuman dan obat-obatan, dan dll akan dibabat habis dengan penerapan sistem sanksi dan kontrol ketat oleh para penegak hukum yang ditugaskan.

Demikianlah, kepemimpinan dan sistem Islam yang tegak di atas landasan ruhiyyah akan menciptakan kehidupan yang penuh berkah dan indah. Sementara kepemimpinan dan sistem kapitalisme yang lahir dari rahim sekularisme hanya bisa menciptakan kehidupan yang serba susah dan jauh dari berkah.

Teladan Ri’ayah Rasulullah dan Generasi Sesudahnya

Rasulullah Saw adalah teladan terbaik, termasuk dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat dan penanggungjawab urusan-urusan mereka. Beliau mengatur seluruh urusan rakyat dan menjaga mereka dengan penjagaan yang melebihi penjagaan seorang ayah kepada anaknya. Beliau pastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya, sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, keamanan, dan lain-lain. Bahkanpun jika harus mengorbankan dirinya atau mengakhirkan hak-haknya. Suatu ketika Abdullah bin Luhay al-Huzini menjumpai Bilal ra. Dia bertanya : “Wahai Bilal, bagaimana belanja Rasulullah Saw?”. Bilal menjawab, “Beliau tak memiliki apapun. Akulah yang mengurus hal itu sejak Allah SWT mengutus beliau hingga Beliau wafat. Jika beliau melihat seorang manusia Muslim dan Beliau melihatnya tidak memiliki pakaian yang layak, maka Beliau memerintahku. Akupun pergi mencari pinjaman, lalu aku belikan kain wol, kemudian memakaikan kepadanya dan aku memberinya makan …” (HR. Ibnu Hibban).

Beliau selaku pemimpin juga senantiasa melakukan pengawasan dan monitoring agar tak ada penyimpangan yang membahayakan hak masyarakat. Dalam pemenuhan hak masyarakat ini, Rasulullah mencontohkan penguasa berwenang secara langsung memberi keputusan di tempat terjadinya penyimpangan, saat itu juga, tanpa perlu menunggu adanya pengaduan, pun tidak menunggu bertahun-tahun untuk pelaksanaan keputusan. Dikisahkan, suatu ketika Rasulullah SAW berkeliling di pasar dan berjalan melewati seonggok makanan yang hendak dijual. Beliau memasukan tangannya dan mendapati sebagiannya masih basah. Kemudian beliau bertanya, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Pemilik makanan itu berkata, “Itu terkena hujan, ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Lalu mengapa tidak engkau letakan di atas supaya orang-orang yang melihatnya. Siapa saja yang menipu maka ia tidak termasuk dari golongan kami.” (HR Muslim dari Abu Hurairah).

Teladan kepemimpinan Rasulullah Saw seperti ini kemudian diikuti oleh para khalifah sesudahnya. Mereka tampil sebagai para penguasa yang istiqamah menjalankan hukum-hukum Allah, sungguh-sungguh melaksanakan amanah ri’ayah su’un al-ummah (pengaturan urusan umat), melakukan kontrol atas pelaksanaan ri’ayah itu dan rela berkorban demi kebaikan rakyat mereka hingga kesejahteraan masyarakat benar-benar bisa diwujudkan.

Kisah Umar dan pejabatnya mungkin bisa dijadikan teladan. Diceritakan, suatu hari Umar ra meminta kepada pegawainya untuk mendata rakyatnya yang terkatagori fakir miskin. Setelah selesai, disodorkanlah data itu. Ternyata dari daftar tersebut ada salah seorang pejabat Umar yang masuk kategori fakir miskin. Kemudian Umar memerintahkan petugasnya untuk segera menyantuni pejabat itu. Namun ketika dia diberi santunan, dia malah mengucapkan innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Kemudian istrinya bertanya “siapa yang meninggal suamiku?”. Dia menjawab, “Umar telah memberiku musibah”. Lalu istrinya bertanya lagi, “Kalau begitu bagaimana menghilangkannya?”. Suaminya menjawab, “bagikanlah harta ini kepada fakir miskin yang lain”.

Pejabat Umar ini tentunya bercermin pula pada Umar ra sebagai kholifahnya. Umar pernah memanggul gandum sendiri untuk diberikan kepada salah seorang rakyatnya yang miskin dan membantu mencarikan bidan bagi seorang perempuan yang akan melahirkan di penghujung malam. Umar seringkali berkeliling kampung memperhatikan kondisi rakyat dan menegur dengan keras ketika melihat kecurangan. Pernah juga mengambil harta salah seorang pejabatnya karena khawatir mengandung harta yang tidak halal, bahkan merampas bisnis ternak anaknya ketika diketahui rumput pakannya tercampur rumput dari padang gembalaan milik umum.

Umar pun pernah membuat rumah gandum bagi rakyatnya yang membutuhkan. Beliau membuka Baitul Mal untuk umum, hingga siapapun dengan mudah memperoleh kebutuhan-kebutuhan mendasarnya. Sebagai penjagaan atas pelaksanaan fungsi kepemimpinan ini, akses pengaduan dan kritik pun dibukanya lebar-lebar, hingga seorang wanita tua bernama Khaulah binti Tsa’labahpun bisa mengkritiknya dengan bebas soal kebijakannya membatasi mahar yang dipandang menyalahi syariat.

Jejak Kesejahteraan Khilafah

Sepanjang sejarah kepemimpinan Islam, umat Islam telah terbukti mampu tampil sebagai pionir peradaban. Para penguasa –lepas dari adanya kekurangan dari sisi pribadi sebagian kecil mereka-- benar-benar telah mampu mewujudkan kesejahteraan atas rakyat warga negara –baik muslim maupun non muslim/ahlu ad-Dzimmah-- dalam taraf yang tidak pernah mungkin bisa diwujudkan oleh para pemimpin penguasa dalam sistem sekuler kapitalis yang cenderung manipulatif, korup dan eksploitatif ini. Saat itu, rakyat benar-benar bisa menikmati layanan yang maksimal dari para penguasa, yang memahami bahwa pelayanan terhadap orang-orang yang di bawah otoritas negara tidak dinilai berdasarkan anggaran tahunan atau aspirasi politik, melainkan didasarkan pada hak-hak yang diberikan oleh Allah SWT kepada mereka.

Kesadaran ruhiyyah akan tanggungjawab inilah yang mendorong para penguasa menyediakan hak-hak rakyat dengan hati-hati dan dengan pelayanan terbaik dari kemampuan yang mereka miliki tanpa melihat apakah rakyatnya tahu atau menyadari akan hak-haknya atau tidak, dan apakah mereka memintanya atau tidak. Kesadaran ruhiyyah ini pula yang membuat para penguasa terdorong untuk secara kreatif melakukan berbagai inovasi sekaligus menciptakan suasana dinamis di tengah-tengah masyarakat, sejalan dengan penerapan aturan Islam secara kaffah, seperti penerapan sistem pendidikan yang mencerdaskan, sistem ekonomi yang mensejahterakan, sistem politik yang memandirikan dan memartabatkan, sistem hukum yang meminimalisir penyimpangan, sistem sosial yang mendorong kerjasama dalam kebaikan, dan lain-lain.

Sebagai dampaknya, sistem Islamlah yang pertama mengenalkan dan menerapkan layanan kesehatan dan pendidikan gratis. Sistem inipun mendorong berbagai inovasi yang memungkinkan layanan umum tersebut bisa diberikan secara optimal. Hal ini terbukti dimana bidang kedokteran dan farmakologi berkembang demikian pesat justru di masa Islam. Di masa ini, fasilitas rumah sakit tersedia cukup banyak dan dikenal demikian lengkap, berikut apotek dan sistem administrasi pelayanan yang serba gratis, cepat, mudah dan profesional. Di masa Abbasiyah misalnya, tersedia banyak rumah sakit kelas satu dan dokter di beberapa kota: Baghdad, Damaskus, Kairo, Yerusalem, Alexandria, Cordova, Samarkand dan banyak lagi. Kota Baghdad sendiri memiliki enam puluh rumah sakit dengan pasien rawat inap dan pasien rawat jalan dan memiliki lebih dari 1.000 dokter. Rumah sakit umum seperti Bimaristan al-Mansuri yang didirikan di Kairo pada tahun 1283 bahkan mampu mengakomodasi 8.000 pasien. Ada dua petugas untuk setiap pasien yang melakukan segala sesuatu untuk diri pasien agar mendapatkan kenyamanan dan kemudahan dan setiap pasien mendapat ruang tidur dan tempat makan sendiri. Para pasien baik rawat inap maupun rawat jalan di beri makanan dan obat-obatan secara gratis.

Di masa itu, Rumah Sakit bergerak pun disediakan untuk menjangkau daerah-daerah yang jauh, yakni berupa dokter dan perawat keliling yang menunggang onta sekaligus onta-onta yang mengangkut obat, alat-alat medis dan tenda-tenda perawatan yang bisa dipasang dimanapun. Sistem drainase dan kontrol akan ketersediaan air bersih dibuat sedemikian rupa dan di musim kering para penguasa menyediakan onta-onta pengangkut air yang berkeliling ke kampung-kampung untuk menjamin kebutuhan minum atau irigasi. Pemandian-pemandian umum dibuat dalam jumlah banyak dengan memperhatikan aspek sanitasi dan hukum syara yang lainnya. Demikian pula dengan sekolah-sekolah, perpustakaan umum, dan lain-lain. Semua layanan ini diberikan secara cuma-cuma karena kebijakan ekonomi Islam memungkinkan bagi negara mendapatkan anggaran pendapatan yang melimpah ruah, terutama dari pengelolaan kepemilikan umum seperti kekayaan alam maupun kepemilikan negara.

Sayangnya, sejak umat terlepas dari kepemimpinan dan sistem Islam, kemuliaanpun lepas dari diri mereka. Sistem kapitalisme sekuler telah menciptakan ilusi tentang kesejahteraan yang sampai kapanpun tak kan pernah bisa diwujudkan. Alih-alih bisa mewujudkan kesejahteraan, penerimaan umat pada sistem rusak ini justru telah berhasil membawa umat pada jurang kehinaan; menjadi bangsa terjajah lahir dan batin. Lebih dari itu, sistem rusak ini pun telah menciptakan berbagai tipuan yang membius para penguasa Muslim hingga abai bahkan curang terhadap agama dan umatnya sebagaimana yang terjadi saat ini. Benarlah sabda Rasulullah Saw:

“Akan datang sesudahku penguasa-penguasa yang memerintahmu. Di atas mimbar mereka memberi petunjuk dan ajaran dengan bijaksana, tetapi bila telah turun mimbar mereka melakukan tipu daya dan pencurian. Hati mereka lebih busuk dari bangkai”. (HR. Ath-Thabrani)

[SNA] -----------