By : Siti Nafidah Anshory (Husnul Khotimah)
Pengantar
Pacaran merupakan kata yang tidak asing lagi di kalangan muda mudi. Umumnya orang yang mendengar kata ini akan segera membayangkan beberapa aktivitas tertentu yang merefleksikan rasa cinta kasih di antara seorang laki-laki dan perempuan, mulai dari jalan bareng, apel mingguan, berpegangan tangan/berpelukan, hingga aktivitas-aktivitas lain yang lebih dari itu. Selain karena alasan iseng atau trend, sebagian menganggap, bahwa pacaran merupakan jalan yang harus ditempuh sebelum seseorang memasuki gerbang pernikahan. Mereka berdalih, bahwa saat pacaran itulah seseorang akan mengenal segala hal yang berkaitan dengan pribadi calon pasangannya kelak, sehingga ketika mereka memutuskan untuk menikah sudah dipastikan bahwa mereka merupakan pasangan yang cocok. Oleh karenanya wajar jika masyarakat memandang ‘biasa’ terhadap aktivitas pacaran, bahkan mendukungnya. “Ya, Asalkan tahu batas-batasnya saja”, begitu kata mereka.
Pacaran Islami, bagaimana ?
Selain kelompok-kelompok di atas, ada juga sebagian masyarakat yang memandang bahwa aktivitas pacaran adalah aktivitas yang terlarang, kecuali kalau pacarannya Islami. Hanya saja, bagaimana batasan pacaran yang Islami tersebut tidak pernah jelas. Mereka hanya mendeskripsikan bentuk pacaran Islami ini sebatas hubungan khusus antara seorang laki-laki muslim dengan wanita muslim yang diwujudkan dalam bentuk, misalnya, ngobrol-ngobrol berdua (termasuk rayu-merayu) tapi duduknya berjauhan, tidak saling bersentuhan tapi cukup saling berpandangan, bepergian berdua asal dengan izin orang tua, dan sebagainya.
Tentang pendapat ini, jelas ada semacam upaya pemaksaan untuk mengkompromikan apa yang mereka anggap sebagai aturan Islam dengan aktivitas pacaran yang selama ini mereka pandang buruk. Sehingga, yang terjadi sebenarnya hanyalah pelegalisasian dan labelisasi terhadap aktivitas pacaran tadi, agar seolah-olah tidak melanggar aturan agama.
Hal ini memang sangat mungkin terjadi, karena masyarakat kaum muslimin saat ini tengah hidup dalam kungkungan sistem yang sangat sekular, dimana nilai-nilai kemanfaatan dan materialisme demikian dominan. Dalam hal ini, fakta menunjukkan, bahwa Islam hanya tertinggal dalam perasaan saja. Sementara, pemikiran-pemikiran yang menuntun perilaku mereka jauh dari pemikiran-pemikiran Islam. Oleh karenanya, wajar jika mereka tak memiliki standar yang baku tentang aturan kehidupan, termasuk dalam hal bagaimana memenuhi naluri mempertahankan jenis yang salah satunya terwujud dalam bentuk ketertarikan terhadap lawan jenis ini. Atau bisa jadi juga karena minimnya pemahaman mereka tentang aturan pergaulan pria dan wanita dalam Islam (An-Nidzam al-Ijtima’iy), sehingga apa yang mereka sebut sebagai pacaran Islami tadi mereka anggap memang benar-benar sesuai dengan Islam. Padahal, jelas bahwa Islam memiliki aturan yang pasti mengenai bagaimana bentuk hubungan antara pria dan wanita, termasuk bagimana pandangan Islam terhadap aktivitas-aktivitas yang dimungkinkan terjadi saat seseorang melakukan pacaran Islami tadi, di antaranya :
Mengenai percampurbauran dan interaksi tanpa hajat syar’i :
Islam mengharamkan percampur bauran dan interaksi antara jamaah laki-laki dengan jamaah perempuan, sebagaimana Islam telah memisahkan shaf-shaf wanita dan pria di dalam shalat. Adapun hubungan tolong-menolong antara pria dan wanita hanya boleh dilakukan dalam bentuk hubungan umum, seperti kegiatan mu’amalah, dimana mereka bertemu dan berkumpul jika terdapat keperluan hidup sebatas yang dibolehkan oleh syara’, seperti berjual beli, sekolah, ibadah haji dan sebagainya.
Mengenai khalwat :
Khalwat adalah bersepi-sepinya seorang laki-laki dan perempuan yang tidak ada mahram bagi wanita tadi dan keduanya jauh dari pantauan orang lain. Aktivitas ini jelas-jelas diharamkan oleh Allah SWT melalui lisan Rasulullah Saw dalam haditsnya :
“Janganlah salah seorang di antara kalian berkhalwat/bersepi-sepi dengan seorang wanita, tanpa wanita itu disertai mahramnya” (HR. Muslim)
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka tidak boleh seseorang berkhal-wat dengan seorang wanita yang tidak ada bersama wanita itu mahramnya” (HR. Muslim)
Mengenai pandangan yang disertai syahwat :
Allah SWT dengan tegas melarang aktivitas memandang lawan jenis jika tidak ada hajat syar’I (alasan yang dibenarkan syara). Hal ini sejalan dengan perintah menundukkan pandangan yang tercantum dalam QS. An-Nur : 30-31 :
“Katakanlah kepada laki-laki yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara farjinya. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman : “Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara farjinya ……….”
Dalan nash ayat tersebut terdapat kata “min absharihim” dan “min absharihinna”, yang berarti menundukkan sebagian pandangan, yakni pada hal-hal yang diharamkan, yaitu :
1) Memandang aurat lawan jenis
2) Memandang lawan jenis dengan disertai syahwat, yang diperkuat dengan hadits :
Dari Jabir bin Abdillah, dia berkata : “Aku bertanya kepada Rasulullah mengenai pandangan tiba-tiba. Lalu beliau bersabda : “Palingkan pandanganmu !” (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Rasulullah bersabda : “Ya Ali, janganlah kau ikuti pandangan dengan pandangan. Maka pandangan yang pertama untukmu, sedangkan yang kedua bukan untukmu”. (HR. Ahmad dan Tirmidzi)
Mengenai rayu-merayu :
Allah SWT telah melarang seseorang berbicara dengan cara merangsang/penuh rayuan : “….. jika kamu bertaqwa, maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginan orang yang ada penyakit dalam hatinya. Dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab :32)
Dan lain-lain.
Dengan memperhatikan hal-hal di atas, maka jelas bahwa apa yang disebut dengan pacaran Islami ternyata tidak sesuai dengan aturan-aturan Islam. Apalagi jika diperhatikan lebih jauh, sesungguhnya seluruh aktivitas yang dimungkinkan terjadi pada pacaran Islami tadi (berdua-duaan, berpandang-pandangan, dsb) sudah terkatagori aktivitas mendekati zina. Padahal Allah SWT dengan tegas melarang siapapun untuk mendekati zina.
Hanya saja, bisa jadi kemudian muncul pertanyaan, bagaimana Islam memecahkan masalah ini ? bukankah ketertarikan pada lawan jenis itu termasuk fitrah ?
Jawabannya adalah : betul, bahwa naluri untuk tertarik kepada lawan jenis adalah hal yang fitri. Akan tetapi Islam sebagai sebuah sistem hidup telah memberikan solusi untuk memenuhinya. Sehingga kemunculan naluri ini tidak boleh diumbar, melainkan harus diarahkan kepada hal-hal yang benar. Hal ini tentu terkait dengan pencapaian tujuan diciptakannya naluri ini, yang tidak lain adalah untuk melestarikan keturunan, dimana untuk meraih tujuan tersebut, ternyata Islam pun telah memberikan solusinya, yakni hanya melalui jalan PERNIKAHAN, dan bukan melalui hubungan-hubungan khusus di luar pernikahan, termasuk aktivitas pacaran tadi.
Hanya masalahnya, pada kondisi tertentu tidak semua orang mampu melakukan pernikahan. Padahal pada saat yang sama naluri tadi seringkali muncul menuntut pemenuhan. Nah, bagaimana Islam memecahkan masalah ini ?
Patut diketahui, bahwa secara faktual karakteristik naluri ini berbeda dengan potensi hidup lain yang dimiliki manusia, yakni yang berupa kebutuhan fisik, seperti halnya kebutuhan akan makan, minum dan buang hajat. Kebutuhan fisik pemenuhannya harus segera, dengan dorongan/rangsangan yang sifatnya internal (terkait dengan proses metabolisme tubuh). Sementara, naluri dorongannya bersifat eksternal dan tidak serta-merta harus dipenuhi. Dengan kata lain, dorongan yang muncul dari naluri sesungguhnya bisa dialihkan atau dikendalikan sedemikian rupa. Sehingga pada saat seseorang belum mampu menikah, dia tidak lantas harus menjerumuskan diri pada aktivitas yang diharamkan oleh Islam hanya karena alasan harus memenuhi naluri yang muncul pada saat itu.
Dalam hal ini, SHAUM adalah merupakan salah satu jalan yang diberikan Islam, sebagaimana tercantum dalam sebuah hadits : “Hai sekalian pemuda,barangsiapa yang mampu di antara kalian, maka menikahlah. Sesungguhnya menikah itu akan menundukkan pandanganmu dan memelihara farjimu. Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka bershaumlah. Sesungguhnya shaum itu merupakan perisai” (HR. Bukhari-Muslim)
Selain itu, banyak hal yang bisa dilakukan untuk mengalihkan dorongan naluri tadi, seperti mengisi waktu dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat, menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa memunculkan rangsangan (seperti bacaan atau film), dan lain-lain. Lebih dari itu, yang terpenting adalah berupaya untuk senantiasa menumbuhkan suasana iman dalam dirinya dengan meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT.
Ta’aruf, Khitbah dan Tunangan
Berkenaan dengan adanya pengharaman atas aktivitas pacaran, termasuk yang Islami tadi, maka bisa jadi muncul kebingungan pada sebagian kaum muslimin tentang bagaimana cara menuju gerbang pernikahan, bagaimana seorang pria dan wanita bisa saling mengenal, dan sebagainya. Hal ini karena mereka beranggapan, bahwa aktivitas pacaran merupakan satu-satunya jalan untuk menuju pernikahan. Dan bahwa pernikahan tidak mungkin berhasil jika tanpa didahului dengan proses pacaran.
Dalam hal ini, ada beberapa cara ma’ruf dan terjaga yang bisa dilakukan agar seorang pria bisa berkenalan dengan seorang wanita. Diantaranya :
Melalui kerabat dekat
Melalui teman dekat si wanita (tentu dengan memperhatikan hukum syara yang lain)
Datang langsung kepada orangtua si wanita
Sedangkan proses lanjutan setelah itu, maka Islam hanya mengenal apa yang disebut dengan proses KHITBAH, yakni pihak laki-laki menyampaikan niatnya untuk menikahi seorang wanita, dengan konsekuensi jika wanita tadi telah menerima (dengan sepengetahuan walinya) maka dia tidak diperkenankan untuk menerima pinangan dari yang lain, kecuali jika pinangan yang pertama telah putus. Diriwayatkan dari Abu Hurairah ra., bahwa Nabi Saw pernah bersabda : “Tidak boleh seorang pria melamar seorang wanita yang telah dilamar oleh saudaranya sampai ia menikahinya atau meninggalkannya”
Juga, perlu ditekankan di sini, bahwa terjadinya proses khitbah antara seorang pria dengan wanita tidak lantas mengubah aturan hubungan pergaulan di antara keduanya. Hal ini berbeda dengan fakta proses TUNANGAN yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin saat ini, dimana proses ini dipahami sebagai “SETENGAH PERNIKAHAN”. Sehingga dua orang pasangan yang sudah bertunangan bebas berinteraksi/bergaul, dan para orangtua pun menganggap hal ini sebagai sesuatu yang wajar.
Dengan demikian, ketika sudah terjadi proses khitbah, maka mereka sesungguhnya masih terikat dengan aturan pergaulan yang sama dengan ketika proses itu belum terjadi, seperti tidak boleh khalwat atau bepergian berdua, keharusan menutup aurat dan berjilbab bagi wanita, tidak boleh bertabarruj, dan sebagainya. Hanya saja syara memang telah mengecualikan beberapa hal, seperti dibolehkannya (tidak harus) seorang pria yang hendak melamar untuk tidak menundukkan pandangan dan sekaligus ‘melihat’ wanita yang hendak dilamarnya lebih dari sekedar yang bukan aurat, dimana dengan hal tersebut akan lebih mendorong pria tadi untuk segera menikahi wanita tersebut. Dalam hal ini, untuk “aktivitas melihat” tadi tidak disyaratkan adanya izin si wanita, hanya saja harus dengan sepengetahuan wali si wanita dan tidak dengan cara berkhalwat. Adapun setelah proses khitbah itu terjadi, maka hukumnya kembali ke asal. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits :
Diriwayatkan oleh Jabir ra, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, “Jika salah seorang diantara kalian hendak meminang seorang wanita, sementara dia mampu untuk melihat apa yang mendorongnya untuk menikahi wanita tadi, hendaklah ia melakukannya”. Jabir kemudian berkata, “Aku lantas meminang seorang wanita yang sebelumnya secara sembunyi-sembunyi aku lihat hingga aku memandang apa yang mendorongku untuk menikahinya. Kemudian akupun menikahinya”.
Selain itu, proses ta’aruf sebenarnya bisa dilakukan setelah proses khitbah terjadi. Hanya saja, konteks ta’aruf disini adalah ditujukan untuk mengetahui hal-hal penting seperti mengenai visi ke depan rumah tangga mereka, interaksi pemikiran/penyamaan persepsi dan lain-lain, dimana hal tersebut memang harus diketahui keduanya sebelum pernikahan dilangsungkan. Jadi bukan sekedar untuk saling mengetahui hobi dan warna kesukaan masing-masing, atau sekedar untuk having fun. Itupun tetap dilakukan dengan memperhatikan aturan pergaulan yang sudah ditetapkan oleh syara tadi.
Khatimah
Dengan memperhatikan hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, kita akan melihat bagaimana penjagaan syari’at Islam terhadap kesucian masyarakatnya. Sehingga jika aturan-aturan ini ditegakkan, maka manusia akan mampu menjalani kehidupan ini dan meraih kebahagiaan hakiki yang diinginkannya dengan cara yang bersih dan ma’ruf. Sementara di sisi lain, fakta kerusakan pergaulan sosial yang tengah terjadi saat ini beserta akibat-akibatnya pun tidak akan pernah muncul.
Hanya saja, rendahnya pemahaman kaum muslimin terhadap aturan-aturan Islam, khususnya yang berkaitan dengan aturan pergaulan menjadi kendala bagi diterapkannya aturan-aturan tersebut. Oleh karenanya, diharuskan adanya upaya da’wah kepada mereka melalui da’wah yang benar (ilal Islam), dengan cara hikmah (argumentatif), mauidzah hasanah (nasihat yang baik) dan dengan upaya dialog.
Di samping itu, tradisi amar ma’ruf nahi munkar harus kembali dihidupkan pada diri seluruh kaum muslimin, sehingga suasana keimanan di tengah-tengah masyarakat menjadi lebih kental dan menjadi alat kontrol yang efektif untuk mencegah kerusakan yang lebih parah. Tentu hal ini harus pula didukung oleh penegakan sistem yang kuat oleh Negara (melalui penerapan Syariat Islam), yang akan menjadi penjaga bagi pelaksanaan aturan-aturan tadi di tengah-tengah masyarakatnya.
Wallahu Muwwafiq ila aqwami ath-Thariq.
2 komentar:
assalamu'alaikum
mau nanya kalau seumpama khitbah dengan langsung mendatangi rumah calon istri dibolehkan atau tidak
Assalamualaikum,, mau nanya gimana hukumnya jika kita ingin bertunangan tetapi kita belum siap untuk menikah, dan kita bertunangan hanya untuk mengikat satu sama lain minimal satu tahun bertunangan..
mohon solusinya ini penting bagi saya
Posting Komentar