INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Jumat, 29 Januari 2010

BEBERAPA KRITIK ATAS UU No. 23/2004 TENTANG PKDRT


 
 By Siti Nafidah Anshory


Pengantar

Tanggal 22 September 2004 bisa jadi merupakan tanggal bersejarah bagi kalangan feminis di Indonesia. Setidaknya, satu dari sekian banyak agenda perjuangan mereka yang terkait dengan isu perempuan –yakni upaya pencegahan dan penghapusan (isu) Kekerasan Dalam Rumah Tangga -- akhirnya membuahkan hasil. Pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat untuk mengesahkan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau dikenal dengan UU KDRT.

Hanya saja, seperti yang sudah diduga sebelumnya, pengesahan undang-undang ini akhirnya memang banyak menuai kontroversi. Selain banyak kalangan yang merasa ‘kecolongan’, mereka juga menilai keberadaan UU yang disebut-sebut berharga 6 milyar rupiah dan disponsori penuh oleh The Asia Foundation ini terbangun di atas paradigma yang salah, sehingga wajar jika materi hukumnya pun sarat dengan pasal-pasal bermasalah.


Latar Belakang dan Tujuan disahkannya UU KDRT


Sebagaimana tercantum dalam isi Laporan Organisasi Non Pemerintah tentang Pelaksanaan Aksi Beijing 1995-2005 yang disusun oleh FORUM NGO Indonesia untuk BPFA+10 (Pebruari 2005), sejak tahun 1997-an, kalangan feminis yang tergabung dalam berbagai LSM/NGO memang telah intens melakukan berbagai upaya sosialisasi (baca: propaganda dan tekanan) mengenai urgensitas persoalan KDRT dan keharusan adanya proses legislasi yang mengarah pada upaya pencegahan dan perlindungan terpadu atas kasus-kasus tersebut. Hal ini dilatarbelakangi oleh kian maraknya kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, terutama yang terjadi di lingkup rumahtangga, yang –dalam pandangan mereka-- seringkali disikapi secara salah oleh masyarakat dan kaum perempuan sendiri sebagai kelompok yang rentan menjadi korban. Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat –termasuk perempuan yang menjadi korban— ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat yang selalu mengsub-ordinasi dan memberi pencitraan negatif terhadap perempuan sebagai pihak yang memang ‘layak’ dikorbankan dan dipandang sebatas “alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam”.

Disisi lain, kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang sementara ini ada –-semisal KUHP dan rancangan perubahannya, UU Perkawinan dan rancangan amandemennya, RUU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain— sejak awal memang tidak diset untuk mengakomodir kepentingan perempuan, melainkan hanya diset untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai contoh, sampai saat ini ketentuan hukum yang ada masih memasukkan kasus kekerasan terhadap perempuan –seperti kasus perkosaan, perdagangan perempuan dan kasus pornografisme-- sebagai persoalan kesusilaan, bukan dalam kerangka melindungi intergritas tubuh perempuan yang justru seringkali menjadi korban. Implikasinya, selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam hukum, juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi korban sebagai pelaku kejahatan atau memberi celah untuk mengalami kekerasan berlipat ganda. Wajar jika pada tataran tertentu, hukum-hukum tersebut justru dianggap sebagai pengukuh atas marjinalisasi perempuan, yang meniscayakan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT terus berlangsung tanpa bisa ‘tersentuh’ oleh hukum.

Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga merasa perlu melakukan pembaruan institusional dan hukum yang lebih memihak pada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan sistematis. Pembaruan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma dan tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Sementara pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan, pencegahan dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melalui legalisasi produk hukum yang lebih berperspektif jender. Dalam hal ini, upaya strategis yang pertamakali mereka lakukan adalah mendesak pemerintah untuk membentuk sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan pencegahan dan pemberantasan kekerasan terhadap perempuan, dimana upaya ini membuahkan hasil dengan keluarnya Kepres No. 181 tahun 1998 mengenai dibentuknya Komisi Nasional tentang Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Selanjutnya, Komnas bersama LSM lain menyusun berbagai rencana aksi nasional untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan, termasuk penghapusan kekerasan dalam rumahtangga, melalui penyusunan undang-undang terkait dengan isu-isu tersebut sekaligus melakukan advokasi panjang dan berbagai kampanye untuk mensosialisasikannya ke tengah-tengah masyarakat di berbagai lini, hingga salah satunya yakni RUU KDRT akhirnyal gol menjadi sebuah undang-undang.


Persoalan Paradigmatik di Balik UU KDRT

Jika dipandang sepintas lalu, keberadaan UU KDRT ini memang seolah memberi harapan baru bagi penyelesaian sebagian persoalan perempuan. Disamping karena undang-undang ini memuat berbagai aturan yang mengatur ihwal pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumahtangga, juga mengatur secara spesifik kekerasan yang terjadi dalam rumahtangga, seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi dan seksual dengan unsur-unsur tindak pidana khususnya yang berbeda dengan tindak pidana penganiayaan seperti yang ada dalam KUHP. Selain itu, undang-undang ini juga mengatur ihwal kewajiban bagi aparat penegak hukum, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping atau pembimbing rohani untuk melindungi korban kekerasan agar mereka lebih sensitif dan responsif terhadap kepentingan terciptanya keutuhan dan kerukunan rumahtangga sebagaimana yang diharapkan.

Persoalannya adalah jika dicermati secara mendalam, maka kita akan dapati berbagai celah hukum yang alih-alih memungkinkan undang-undang ini bisa memberi solusi atas persoalan masyarakat, malah keberadaannya bisa jadi akan memunculkan permasalahan baru, bahkan menjadi pelegitimasi atas penyimpangan-penyimpangan moral di tengah masyarakat. Hal ini terkait dengan lemahnya paradigma berpikir/perspektif yang mendasarinya beserta asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang digunakan dalam membangun materi hukumnya.

Sebagaimana diketahui, sejak awal pihak yang paling antusias untuk menggolkan undang-undang ini adalah kalangan feminis yang senantiasa mengklaim ‘perjuangannya’ ini atasnama kepentingan perempuan. Oleh karenanya, wajar jika undang-undang inipun kental dengan paradigma feministik yang sangat mengagungkan ide kesetaraan jender, dimana ide ini senyatanya mengandung banyak kerancuan dan kebohongan karena dibangun di atas asumsi-asumsi yang rusak, rancu dan tidak sesuai dengan realitas. Kentalnya paradigma ini, antara lain nampak pada saat memandang akar masalah KDRT hanya sebatas isu ketimpangan jender, sehingga solusinyapun hanya berputar di sekitar persoalan keharusan membangun keadilan jender. Padahal jika ditelusuri, maraknya kasus KDRT dan persoalan perempuan lainnya, bahkan persoalan yang saat ini membelit masyarakat secara keseluruhan, sesungguhnya bersifat ideologis. Yakni merupakan ekses dari penerapan asas dan system hidup yang salah, yakni system hidup kapitalisme-sekuler yang juga menjadi spirit gagasan kesetaraan jender.

Disamping menyebabkan ketidakmampuan membaca akar, paradigma inipun hanya membangun asumsi-asumsi dan definisi-definisi yang dangkal terkait realita hukum KDRT, seperti mengenai apa yang dimaksud dengan kekerasan dan apa batasannya, apa perbedaan antara ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) dengan kekerasan dalam konteks jarimah (kriminalitas) yang bisa terjadi dimanapun baik di dalam rumah tangga (KDRT) ataupun di luar rumahtangga (KLRT), dan lain-lain. Sehingga --entah disengaja atau tidak—materi hukum yang tertuang dalam UU KDRT banyak mengandung pasal karet yang multi interpretatif –termasuk untuk diinterpretasikan secara salah—, disamping terkesan mendistorsi (atau bahkan menyerang?) legalitas beberapa hukum Islam, terutama terkait dengan relasi antara laki-laki (sebagai suami) dan perempuan (sebagai isteri) dengan segala aturan mengenai hak dan kewajiban keduanya dalam lingkup sebuah keluarga, seperti masalah kepemimpinan suami atas isteri dan anak, hak dan kewajiban ta’dib dari suami atas isteri yang nusyuz, kewajiban isteri untuk taat kepada suami selama tidak memerintahkan maksiat, kebolehan berpoligami, masalah mahar, perwalian, pewarisan, penyunatan perempuan, dan lain lain. Dalam pandangan feministik, praktek-praktek seperti ini dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan, sementara dalam pandangan Islam, semua ini merupakan sebagian aturan yang jika dikaitkan dengan aturan-aturan lainnya akan menjamin terbangunannya keluarga yang kokoh, saling menguatkan, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga inilah yang akan menjadi pilar penyangga masyarakat, sehingga menjadikan masyarakat Islam sebagai masyarakat yang kuat dan berjaya.


Pasal-Pasal Bermasalah dalam UU KDRT dan Kritik Islam Atasnya


Setidaknya ada beberapa pasal bermasalah yang terdapat dalam UU KDRT, di antaranya Pasal 1 Bab I mengenai Ketentuan Umum yang menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumahtangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga”. Sedangkan apa yang dimaksud dengan kekerasan fisik, seksual, psikologis dan penelantaran rumah tangga tersebut diatur dalam Bab III mengenai Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, pasal 6, 7, 8 dan 9, yakni (pasal 6) bahwa kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat; (pasal 7) bahwa kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang; (pasal 8) bahwa kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumahtangga atau terhadap salah seorang dalam lingkup rumahtangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Sementara Pasal 9 ayat 2, menyebutkan bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.

Selanjutnya dalam Bab VIII, mulai pasal 44 sampai 47 diatur mengenai sangsi pidana yang akan dikenakan kepada pelaku tindak KDRT berupa sanksi denda atau kurungan dengan besar dan lama bervariasi. Misalnya saja, kekerasan fisik dikenai denda mulai 5 hingga 45 juta rupiah atau dengan sanksi kurungan mulai dari 4 bulan sampai 15 tahun. Kekerasan psikis, dikenai denda antara 3 hingga 9 juta rupiah atau kurungan selama 4 bulan hingga 3 tahun. Kekerasan seksual (termasuk memaksa isteri) dikenai denda mulai dari 12 juta hingga 300 juta rupiah atau kurungan antara 4 sampai 15 tahun, atau jika menimbulkan luka, gangguan jiwa atau gugurnya janin akan dikurung 5 sampai 20 tahun atau denda 25 juta hingga 500 juta rupiah.

Jika dikaitkan dengan fakta, bahwa hukum Islam membolehkan seorang suami memukul isterinya yang nusyuz atau orangtua memukul anaknya yang sudah berumur 10 tahun manakala tidak mau shalat dengan ketentuan pukulan tersebut adalah dalam rangka ta’dib (mendidik) dan tidak melukai/menyakitkan, maka implementasi hukum tersebut dapat dikenai delik pelanggaran terhadap UU KDRT. Demikian pula dengan hukum poligami yang kebolehannya telah ditetapkan syara’, keharaman seorang isteri menolak ajakan suaminya ketika tidak ada uzur syar’iy atau hak suami melarang isterinya bekerja yang hukumnya boleh bagi perempuan, bisa dianggap melanggar ketentuan UU tersebut karena semuanya terkatagori tindak kekerasan seksual, psikhis dan penelantaran rumahtangga yang bisa dipidanakan dengan ketentuan sanksi seperti telah dijelaskan. Persoalannya, bisakah aturan yang dibuat oleh manusia ’mengalahkan’ hukum yang berasal dari Al-Khaliq?

Adanya upaya untuk menarik kasus kerumahtanggaan -- yang dalam Islam termasuk ahwal asy-syakhshiyah (perkara perdata)-- ke dalam tataran pidana (jârimah) seperti ini sebenarnya bisa berbahaya. Selain akan menggoyahkan dasar-dasar kehidupan pernikahan yang hakekatnya merupakan kehidupan persahabatan dan silaturrahmi dalam kerangka membangun ketaatan kepada Allah, juga akan memunculkan persoalan baru ketika hukum tersebut diterapkan, seperti bagaimana status isteri yang suaminya dipidana 12 tahun karena kasus KDRT atas pengaduan dirinya, apakah cerai atau tidak. Dan jika tidak, bagaimana dengan pelaksanaan hak dan kewajiban keduanya yang satu sama lain masih saling terikat. Kemudian bagaimana pula ketentuannya jika si isteri menyesal telah mengadukan suaminya, sementara tentang hal ini belum diatur ketentuannya dalam undang-undang, dan seterusnya.


Pandangan Islam


Islam memiliki tolok ukur yang jelas mengenai apakah suatu perbuatan termasuk tindak kejahatan (jarimah) yang tercela atau tidak, berikut sanksi-sanksinya. Tolok ukur tersebut adalah hokum syara yang bebas dari perspektif apapun, termasuk jender atau bukan jender. Oleh karenanya, dalam konteks kekerasan, Islam membedakan antara kekerasan yang termasuk dalam katagori tindakan criminal/kejahatan (jarimah) dengan ‘kekerasan’ yang bukan criminal, seperti ‘kekerasan’ dalam kerangka ta’dib (mendidik) yang dilakukan suami atas isteri yang nusyudz atau yang dilakukan orangtua kepada anaknya yang tidak mau sholat ketika sudah berumur 10 tahun.
Terhadap tindak kekerasan yang terkatagori criminal, maka Islam tidak membedakan siapa korban dan siapa pelakunya. Begitu pula tidak membedakan apakah terjadi di lingkup rumahtangga (KDRT) atau di luar rumahtangga (KLRT). Setiap pelanggaran akan dikenai sanksi/uqubat sesuai jenis kejahatan yang dilakukannya.

Dengan membandingkan dua aturan ini, maka kian jelas bahwa kritik atas UU KDRT memang bersifat paradigmatik. UU KDRT tegak diatas asumsi-asumsi bathil yang lahir dari aqidah yang bathil (yakni sekulerisme), yang menafikan hak Allah sebagai Al-Khaliq dalam mengatur kehidupan, sementara Islam tegak di atas keyakinan (bukan asumsi) bahwa hanya Allah sebagai Al-Khaliqlah yang berhak membuat aturan hukum. Selain itu, UU KDRT tidak memberi jaminan atas penyelesaian persoalan masyarakat dengan penyelesaian yang tuntas karena lahir dari keterbatasan akal manusia, sementara Islam dipastikan menjadi solusi tuntas atas seluruh persoalan manusia sehingga akan memberi maslahat bagi kehidupan, tidak terkecuali laki-laki maupun perempuan, karena Islam datang dari Dzat Yang Menciptakan Manusia, Maha Sempurna, Maha Mengetahui, dan Maha Adil.


Khotimah

Pada akhirnya, implementasi UU KDRT memang akan lebih banyak bersinggungan dengan aturan-aturan Islam mengenai keluarga. Sehingga fakta-fakta inilah yang menguatkan konklusi sebahagian pihak yang menganggap, bahwa keberadaan UU KDRT beserta isu-isu yang menyertainya merupakan bagian dari perang pemikiran dan kebudayaan yang dilancarkan pendukung kapitalis-sekuler atas ideology Islam. Dalam hal ini, yang menjadi sasaran bidik adalah hukum-hukum Islam tentang keluarga dan rumahtangga karena pada saat tidak adanya system Islam, keluarga memang menjadi benteng terakhir dalam perjuangan menegakkan syari’at Islam.

Walhasil, kontroversi UU KDRT sebenarnya bukan semata-mata persoalan hukum, tapi lebih bersifat politis/ideologis, sehingga tentu harus dihadapi dengan langkah politis dan ideologis pula. Yakni dengan melakukan upaya penyadaran ke tengah-tengah masyarakat tentang rusaknya berbagai pemikiran yang ditawarkan, disamping secara terus-menerus memberikan gambaran tentang pemikiran Islam ideology yang jernih beserta gambaran penerapannya dalam kehidupan. Dengan cara ini, diharapkan masyarakat akan kian percaya, bahwa Islamlah satu-satunya aturan yang layak diterapkan, dan merekapun siap memperjuangkannya, di samping mereka punya barrier yang kuat untuk menolak setiap propaganda kekufuran. Terlebih-lebih lagi, dipastikan bahwa upaya kelompok sekuleris ini tidak akan berhenti sampai di sini. Bahkan dalam konteks Indonesia, setidaknya untuk jangka dekat mereka sudah menyiapkan berbagai agenda serupa, diantaranya menyiapkan beberapa RUU yang menyangkut kepentingan strategis perempuan, seperti RUU KUHP menggantikan KUHP, Amandemen UU no. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, RUU Pornografi dan Pornoaksi, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Amandemen UU Perkawinan, UU Kewarganegaraan dan Keimigrasian serta RUU Perlindungan Saksi yang kesemuanya memiliki spirit yang sama, yakni spirit sekularisme yang siap menohok Islam.
Wallahu a’lam.


---------------------------

Tidak ada komentar: