INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Selasa, 25 Oktober 2011

HOT NEWS : Satu dari Lima Warga Jawa Barat Terserang Gangguan Jiwa


(Sumber : Kompas.com/Jimmy Hitipeuw | Jumat, 14 Oktober 2011 | 04:16 WIB)

BANDUNG, KOMPAS.com - Data mengejutkan diungkapkan Dr Natalingrum SpKJ MKes dari Direktorat Bina Kesehatan Jiwa Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan. Ia mengatakan, satu dari lima orang di Jawa Barat mengalami gangguan jiwa.
Data mengejutkan tersebut dikatakan Natalingrum pada acara Pertemuan Peningkatan Peran Media Massa Tentang Kesehatan Jiwa di Hotel Grand Seriti Hegarmanah, Kamis (13/10/2011).

"Jawa Barat menjadi provinsi dengan penderita gangguan jiwa tertinggi di Indonesia. Bahkan angka rata-ratanya mencapai 20 persen atau lebih tinggi dari rata-rata nasional," ujarnya.

Angka rata-rata nasional sendiri hanya 11,6 persen. "Dengan data ini bisa dikatakan, ada sekitar 19 juta orang di Jawa Barat mengalami gangguan jiwa. Ini berarti 1 dari 5 orang di Jawa Barat mengalami gangguan kesehatan jiwa," kata Natalingrum.
Untuk menekan angka gangguan kesehatan jiwa ini, kata Natalingrum, puskesma di Indonesia kini harus siap untuk menangani kesehatan jiwa. Daat ini, dari 9 ribuan puskesmas, baru 700 puskesmas sudah melayani pasien kesehatan jiwa.

Namun, Natalingrum buru-buru menegaskan bahwa gangguan jiwa ini jangan lantas diartikan sebagai gangguan jiwa berat, atau gila. Sebab, depresi, stres dan cemas juga termasuk kategori gangguan kesehatan jiwa.

"Mereka yang mengalami gangguan jiwa ini berusia 17 tahun ke atas. Rata-rata mengalami depresi, cemas, dan stres karena berbagai hal. Yang mengalami gangguan jiwa berat tidak banyak," ujarnya.

Natalingrum mengatakan, ada beragam faktor yang menjadi penyebab gangguan jiwa ini. Antara lain faktor ekonomi, pekerjaan, sosial, hingga gangguan kesehatan jiwa yang dipicu karena penyalahgunaan narkoba. "Namun, ada juga yang dipicu faktor genetik. Tapi penyebab terakhir ini hanya bisa terjadi bila faktor gen-nya mengalami gangguan jiwa berat," ujarnya.

Selain hal-hal di atas, gangguan jiwa juga bisa dipicu dari gangguan kesehatan fisik, seperti sakit yang tak kunjung sembuh hingga menjadi beban pikiran si penderita yang berujung pada gangguan kesehatan jiwa.
Ia juga mengatakan, gangguan jiwa memang tidak secara langsung menyebabkan kematian, namun bisa menjadi kronis hingga ada yang memilih mengakhiri hidup.
"Mereka yang mengalami gangguan jiwa akan menjadi tidak produktif, menjadi beban bagi keluarga dan masyarakat," ujarnya.

Ironisnya, gangguan kesehatan jiwa cukup banyak dialami oleh masyarakat ekonomi lemah atau miskin. Dengan alasan tidak ada biaya untuk berobat, akhirnya cukup banyak masyarakat yang memilih keluarganya yang mengalami gangguan jiwa dengan cara dipasung.
"Praktik pemasungan masih cukup banyak ditemukan. Ini juga karena kurangnya informasi kepada masyarakat bahwa gangguan jiwa itu bisa ditangani bila diobati dengan cara dibawa ke rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum yang memiliki layanan gangguan kesehatan jiwa," katanya.
Untuk menekan tingginya angka gangguan kesehatan jiwa serta kasus pemasungan, Kementerian Kesehatan mencanangkan investasi kesehatan jiwa, promosi kesehatan jiwa dan investasi kesehatan masyarakat.

Sumber :
tribunnews

PRESS RELEASE


Dialog Intelektual Aktivis Kampus (Dialektika)
“Peta Politik Pergerakan Mahasiswa: Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?”

Gedung IKA UNPAD, Ahad, 23 Oktober 2011
Lajnah Khusus Mahasiswa Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Jawa Barat


Sejak menjelang jam 8 pagi, Ahad 23 oktober 2011, lebih dari 200 peserta dari berbagai kampus di Bandung berdatangan untuk berpartisipasi dalam Dialog Intelektual Aktivis Kampus(Dialektika), sebuah forum yang digelar oleh Lajnah Khusus Mahasiswa Hizbut Tahrir Indonesia DPD 1 Jawa Barat.Dialektika kali ini mengambil tema “Peta Politik Pergerakan Mahasiswa: Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?”. Forum ini digelar sebagai bentuk tanggung jawab dan kepedulian terhadap kondisi bangsa Indonesia. Forum ini pun adalah perwujudan dari keinginan yang besar untuk mengokohkan peran nyata mahasiswa dalam membawa bangsa ini menuju kondisi yang lebih baik. Bulan Oktober sebagai momen kebangkitan dan pemuda dipilih sebagai momen yang tepat untuk mengusung isu ini.

Peserta hadir dari berbagai kampus: Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Padjadjaran (UNPAD), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Universitas Ilmu Komputer (UNIKOM), Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Universitas Pasundan (UNPAS), Universitas Islam Bandung (UNISBA), Sekolah Tinggi Farmasi Bandung (STFB), Ma’had Al-Imarat, Politeknik Bandung (POLBAN), Institut Teknologi Telkom (ITT), PIKSI Ganesha, Institut Teknologi Nasional (ITENAS), Stikes DHB, Universitas BSI Bandung serta Universitas Kebangsaan. Di awal acara peserta disambut dengan pemutaran film tentang kondisi masyarakat Indonesia dan analisis Hizbut Tahrir terhadap kondisi tersebut serta berbagai aktivitas Hizbut Tahrir untuk menyikapinya dengan menjadikan ideologi Islam sebagai solusi. Acara dibuka secara resmi pada jam 8.53 oleh MC dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an. Selanjutnya sambutan dari ketua pelaksana mengantarkan peserta untuk menguatkan tujuan acara yaitu agar mahasiswa/i menjadi aktor-aktor perubahan dengan bekal kesadaran ideologis serta semangat membara yang tak pernah mati yaitu Islam.

Peserta diajak untuk mengawali diskusi dengan menanggapi film pengantar “Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?” Tanggapan para peserta beragam, namun secara umum mengarah kepada dukungan untuk mengusung revolusi. Gambaran revolusi yang dimaksud adalah Revolusi Islam, sebuah revolusi pemikiran-politis-damai yang terbukti melahirkan sebuah peradaban gemilang.

Pembicara pertama, Dr. Cecep Darmawan., S.Pd., M.Sc (Direktur Direktorat Kemahasiswaan UPI) memulai pembicaraan dengan menyampaikan kondisi pergerakan mahasiswa pasca reformasi yang tidak tentu arah bahkan bisa dikatakan loyo. Dr Cecep menegaskan bahwa kebanyakan mahasiswa saat ini terjebak pada rutinitas yang tidak mendukung pada perannya sebagai agent of change. Kebanyakan mahasiswa kini terjebak dalam pragmatisme. Selain itu, beliau juga menjelaskan mengenai salah satu sebab melemahnya gerakan mahasiswa, yaitu tidak adanya common enemy. Jika melihat karakteristik mahasiswa kini pun dikatakan bahwasanya kebanyakan mahasiswa atau sekitar 80% dari populasi mahasiswa tergolong mahasiswa yang apatis. Jika ada mahasiswa yang aktif pun tidak sedikit yang terjebak sebagai mahasiswa yang melakukan pergerakan selayaknya event organizer, bekerja jika ada imbalan uang dari kegiatan yang dilaksanakan. Tak jarang kegiatan-kegiatan yang diadakan mahasiswa pun miskin akan makna. Akan tetapi, beliau seolah memberi semangat kepada mahasiswa yang idealis yang jumlahnya sangatlah sedikit dengan mengatakan dalam sejarahnya orang-orang idealis yang berjuang melakukan perubahan merupakan kaum minoritas tak berbeda dengan para founding father Negara ini, hanya segelintir orang saja yang mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia. Agar pergerakan mahasiswa menjadi aktif maka pergerakan mahasiswa harus memiliki agenda politis. Jika ingin aksi, maka harus menurunkan dari ideologi agar menjadi solusi. Beliau juga menambahkan bahwa mahasiswa perlu menghindari solusi berupa pemikiran-pemikiran abstrak.

Sementara pembicara kedua, Ustadz Agung Wisnu Wardana (DPP hizbut Tahrir Indonesia) memulai dengan pernyataan bahwa kita harus menerima kenyataan Indonesia memang telah menjadi negara gagal karena kebrobrokan terjadi baik di ranah infrastruktur maupun suprastruktur negara. Selanjutnya Ustadz Agung Wisnu Wardhana menjelaskan time line pergerakan mahasiswa yang turun naik, timbul tenggelam. Hingga sampai pada kesimpulan bahwa pergerakan tersebut bersifat reaktif dan mahasiswa hanya menjadi pemicu perubahan tapi belum menjadi agent of change. Beliau juga menjelaskan bagaimana para aktivis pergerakan yang berada pada posisi top level pada masa penggulingan Soekarno akhirnya menjadi orang-orang yang memegang kedudukan di pemerintahan begitupun di era reformasi, para aktivis yang berada pada posisi top level menjadi bagian dari rezim baru yang mereka dirikan, tetapi mereka tidak berhasil mengubah keadaan menjadi lebih baik malahan ikut terlibat dalam keburukan yang dulu pernah mereka tuntut (saat mahasiswa) agak diakhiri. Beliau mencontohkan tuntutan mahasiswa pengusung reformasi untuk menghapuskan korupsi, tapi justru ketika mereka masuk ke dalam sistem dan menjadi bagian dari pemerintahan malah ikut melakukan korupsi.

Ustadz Agung yang juga merasakan hiruk pikuk reformasi 98 mengatakan bahwa saat itu terjadi perdebatan yang sengit antara kelompok mahasiswa yang pro penggulingan Soeharto dan mahasiswa yang mengusung ide keharusan perubahan sistemik. Ia menjelaskan bahwa pada akhirnya, para mahasiswa dengan berbagai kepentingan kelompoknya masing-masing pada akhirnya melebur menjadi satu dengan tuntutan keresahan yang sama bahwasanya apapun yang terjadi, Soeharto harus dilengserkan karena opini tersebut sudah cukup mendominasi di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi, hal yang menarik untuk diambil pelajaran adalah bagaimana pada akhirnya mahasiswa pun terpecah ketika sudah sampai di gedung DPR/MPR. Mereka kembali kepada kepentingan kelompoknya masing-masing. Hal ini memberikan pelajaran bagi kita bahwasanya pergerakan yang reaktif dan pragmatis tidak akan membawa perubahan yang sebenarnya. Ia akan sangat mudah diarahkan oleh orang-orang yang memiliki kepentingan politik dan memanfaatkan posisi mahasiswa yang dianggap mampu memicu terjadinya perubahan. Oleh karena itu, beliau menekankan bahwa pergerakan mahasiswa harus memiliki visi dan misi yang jelas dan benar. Visi dan misi yang jelas dan benar tersebut adalah Islam. Visi dan misi Islam tersebut akan mampu mengantarkan muslim dan non muslim pada kehidupan berkah dengan jaminan kesejahteraan dengan hukum-hukumnya yang solutif dalam naungan Khilafah.

Enam orang peserta dengan antusias mengajukan pertanyaan juga pernyataan di sesi diskusi. Kedua pembicara memberikan jawaban sekaligus pesan agar mahasiswa bisa mengevaluasi dan mengambil pelajaran dari kelemahan juga kesalahan langkah pergerakan sebelumnya. Pelajaran berharga tersebut adalah bahwa perubahan yang harus dilakukan adalah perubahan total atau revolusi, bukan hanya mengubah personal atau rezim tapi juga mengubah sistemnya secara mendasar dan menyeluruh. Perubahan yang menyeluruh tersebut haruslah dilakukan karena ketika kita menganalisis permasalahan dapatlah diambil sebuah kesimpulan bahwasanya kerusakan yang terjadi bukanlah problem individual yang bisa diselesaikan dengan cara yang reformatif. Kerusakan yang terjadi sudah menjadi fenomena sosial, sehingga yang diperlukan adalah perubahan yang revolutif. Karena ibarat pohon, reformasi hanyalah mencabut daun-daun yang busuk dari pohonnya, sedangkan akarnya yang busuk tetap dibiarkan. Berbeda halnya dengan revolusi, ia mencabut pohon yang rusak tersebut dari akarnya dan menggantinya dengan pohon yang baru.

Sempat disinggung pula mengenai permasalahan antara Islam dan Pancasila. Menyandingkan Pancasila dengan Islam bukanlah membandingkan sesuatu yang setara atau apple to apple karena Pancasila adalah suatu value yang tidak cukup kuat untuk memberikan suatu gambaran yang jelas menggenai sistem pengaturan Negara sehingga pada akhirnya Pancasila tidak jarang hanya dijadikan alat untuk menjegal opini penerapan syariat Islam. Mengapa dikatakan demikian? Ustadz Agung mencontohkan bahwa tidak ada yang mengatakan Soekarno tidak Pancasilais ketika memasukkan ide Nasakom ke dalam Pancasila padahal sila pertama Pancasila dan Komunisme adalah ide yang bertentangan. Begitupun dengan kebijakan di era Soesilo Bambang Yudoyono (SBY), tidak ada yang mengatakan SBY tidak Pancasilais ketika melakukan kebijakan privatisasi berbagai sumber daya alam Indonesia sehingga menyebabkan kekayaan alam yang sejatinya milik rakyat hanya dikuasai oleh segelintir orang yang notabene adalah pihak asing. Akan tetapi, ketika ada sekelompok orang yang mengusung ide penerapan syariat Islam yang notabene merupakan solusi bagi permasalah manusia dikatakan sebagai pihak yang mengancam Pancasila. Oleh karena itu, beliau menegaskan untuk kembali mendudukkan definisi apa yang memang layak diperbandingkan dan mana yang tidak. Beliau mengatakan ketika Islam dilawankan dengan Kapitalisme baru merupakan perbandingan yang setara karena sejatinya sistem yang kini sedang diterapkan di Indonesia adalah kebijakan Kapitalisme Liberal. Oleh karena itu, sangat urgen untuk dilakukan suatu perubahan sistemik yaitu dengan mengganti sistem kapitalisme menjadi sistem Islam dan itulah yang sudah seharusnya menjadi landasan bagi pergerakan mahasiswa.

Acara ditutup dengan kesimpulan bahwa mahasiswa memiliki agenda untuk terus memperdalam Islam sekaligus memperjuangkannya agar tegak di tengah-tengah masyarakat.

Panitia DIALEKTIKA
“Peta Politik Pergerakan Mahasiswa: Mengulang Reformasi atau Mengusung Revolusi?”
Lajnah Khusus Mahasiswa
Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Jawa Barat

Senin, 10 Oktober 2011

Komoditisasi Perempuan dan Borok Kapitalisme


(Catatan atas Kontroversi Kedatangan Miss Universe )
Oleh : Siti Nafidah Anshory


Ketua Muslimah DPD I Hizbut Tahrir Indonesia Jawa Barat

Rencana kedatangan Miss Universe 2011 asal Angola, Leila Lopes ke Kota Bandung pada 11 Oktober 2011 memang layak ditolak semua pihak. Karena meskipun dipandang bisa membawa manfaat untuk menaikan citra positif khususnya bidang pariwisata Kota Bandung di dunia internasional, namun biaya sosial yang harus dikorbankan sesungguhnya jauh lebih besar. Selain berbenturan dengan visi Kota Bandung sebagai Kota Agamis yang anti miras, pornoaksi dan pornografi, membiarkan rencana ini terjadi berarti melegitimasi upaya sistematis pelecehan martabat kaum perempuan sekaligus mengamini gerakan demoralisasi yang dilakukan melalui event ratu-ratuan.

Pada faktanya, event semacam ini hanyalah merupakan alat para kapitalis untuk mencetak kapstok dan etalase berjalan bagi produk industri mereka yang berwujud kaum ‘perempuan’. Adalah Pacific Mills, perusahaan yang pertama menggagas pemilihan Miss Universe dengan tujuan untuk mempromosikan produk pakaian renang Catalina mereka pada tahun 1952. Lalu pada tahun 1996, Donald Trump menariknya ke dalam bisnis hiburan global dengan membeli hak kepemilikan kontes ini dan kemudian menayangkannya melalui stasiun CBS dan pada 2003 beralih ke NBC. Bahkan Trump kemudian memproduksi event serupa bernama ajang Miss USA dan Miss Teen USA dan berhasil meraup keuntungan besar dari bisnisnya.

Hingga saat ini, kontes Miss Universe kadung dipandang sebagai acara yang prestisius dan layak menjadi ajang unjuk gigi negara peserta termasuk Indonesia. Mereka termakan opini bahwa memenangi event semacam ini akan menaikkan martabat bangsa, hingga mereka pun latah membuat event serupa untuk memilih siapa perempuan tercantik yang layak bertarung di level dunia.

Naif memang. Bagaimana bisa martabat bangsa disetarakan dengan wajah cantik dan tubuh seksi perempuan yang dipoles dengan sedikit kelebihan otak (brain) dan pola sikap (behavior), yang faktanya juga dinilai entah dengan standar apa.Apalagi dalam pelaksanaannya, event tersebut selalu identik dengan aksi umbar aurat dan pakaian bikini para pesertanya. Bahkan konon ada sesi ukur buah dada dan (maaf) pemeriksaan alat kelamin para peserta. Nah, bukankah ini merupakan bentuk pelecehan? Dan bukankah ini bentuk komoditisasi perempuan?


Cermin Kebusukan Kapitalisme

Maraknya kontes ratu-ratuan sesungguhnya menggambarkan bagaimana posisi kaum perempuan dalam masyarakat sekuler kapitalistik. Dalam sistem rusak ini, perempuan memang dinilai dengan harga sangat murah dan terhina. Perempuan tak lebih dari benda/komoditas yang diperalat untuk memutar mesin industri kapitalis baik sebagai faktor produksi maupun sebagai objek pasar bagi produk yang dihasilkannya.

Keberadaan tenaga kerja industri di berbagai bidang yang mayoritas berjenis kelamin perempuan membuktikan hal ini. Upah yang murah dan karakter perempuan yang cenderung pasrah menjadi alasan para kapitalis lebih suka menggunakan tenaga mereka. Kemiskinan struktural akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme pun turut memaksa kaum perempuan terjun dalam dunia kerja yang keras tersebut. Padahal di saat sama, mereka tak bisa melepas peran kodrati mereka sebagai istri bagi suami dan ibu bagi anak-anak mereka. Dampaknya bisa dibayangkan. Perempuan terjebak dalam dilemma. Dan kualitas keluarga sebagai basis masyarakat pun menjadi taruhannya.

Hal ini kemudian diperparah dengan diintrodusirnya pemikiran kesetaraan jender di tengah masyarakat yang senyatanya dikembangkan untuk mendukung suksesnya agenda kapitalisme. Bagaimana tidak, selain alasan kebutuhan, pemikiran inilah yang berhasil mendorong kaum perempuan berbondong-bondong masuk dunia kerja dan mengabaikan peran kodrati mereka sebagai ibu dan manajer rumahtangga tanpa perasaan bersalah sedikitpun. Mereka berpikir, dengan berdaya secara ekonomi, martabat mereka menjadi lebih tinggi, terutama di hadapan laki-laki.

Di saat yang sama, kapitalisme juga menumbuh suburkan paham liberalisme dan materialisme di masyarakat. Keberadaan paham-paham inilah yang memudahkan berbagai industri kapitalis yang melibatkan kaum perempuan berkembang pesat, tanpa mengindahkan halal haram, termasuk di dalamnya nilai-nilai moral. Industri prostitusi, trafficking, pornografi pornoaksi dan industri hiburan semacam kontes ratu-ratuan yang merusak akhlak bahkan menjadi sektor ekonomi bayangan yang menjanjikan untung besar, baik bagi para pengusaha maupun bagi negara (sumber pajak).

Paham inipun telah meracuni masyarakat terutama kaum perempuan untuk bersikap konsumtif dan mengutamakan nilai-nilai yang bersifat materi, termasuk ketika mereka memaknai kebahagiaan dengan sesuatu yang jasadi. Wajarlah jika mereka menjadi sasaran empuk iklan-iklan produk kapitalis, mulai dari produk makanan, mode pakaian, produk kosmetik dan produk-produk hiburan semacam film dan lain-lain. Dan tragisnya, tanpa sadar kaum perempuan telah menjadi penopang utama langgengnya hegemoni sistem kapitalis yang rusak dan merusak ini di tengah-tengah umat.


Bahaya Kapitalisme bagi Umat

Paham kapitalisme sejatinya merupakan adik kandung sekularisme yang menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Paham ini diemban negara-negara adidaya dan diwujudkan dalam bentuk sistem hidup kapitalis yang bertumpu pada sektor perekonomian. Sesuai dengan namanya, yang menjadi aktor utama dalam mengeksiskan sistem ini adalah para pemilik modal. Mereka berkolaborasi dengan para penguasa, namun merekalah penguasa sebenarnya, yang menyetir berbagai kebijakan negara agar memberi keuntungan besar sekaligus melanggengkan hegemoni korporasi mereka.

Pada prakteknya, paham kapitalisme identik dengan imperialisme. Bahkan imperialisme menjadi metoda pengembanan paham ini ke seluruh dunia. Inilah yang melatarbelakangi praktek-praktek penjajahan yang terjadi sejak dulu hingga sekarang, baik dalam bentuk penjajahan fisik/militeristik, penjajahan ekonomi, pemikiran, budaya maupun politik.

Selain identik dengan imperialisme, kapitalisme juga identik dengan liberalisme. Paham yang dikembangkan John Lock ini menggambarkan kehidupan sebagai sesuatu yang keras, dimana manusia lahir untuk bersaing satu sama lain secara bebas dalam menguasai asset ekonomi sebagaimana srigala lapar bersaing satu sama lain memperebutkan makanan. Struggle for life. Siapa kuat, dia yang dapat. Si kuat memangsa yang lemah.

Keberadaan paham-paham rusak ini satu sama lain saling mengukuhkan, hingga kapitalisme dan negara-negara pengembannya tampil sebagai monster yang membahayakan., ekspansif dan imperialistik. Dengan modal yang kuat, mereka setir dunia dan mereka beli loyalitas para penguasa negara boneka, hingga dengan mudah, negara-negara lemah ini mereka jadikan sapi perah yang kekayaannya dirampok dan rakyatnya dibiarkan kian miskin dan bodoh.

Pada kondisi ini, kaum perempuan tak luput dari sasaran. Bahkan mereka telah lama dijadikan jalan melanggengkan penjajahan. Caranya dengan menumpulkan potensi mereka sebagai pencetak generasi unggul yang berpotensi melakukan perlawanan, baik melalui penjajahan ekonomi yang memiskinkan, maupun melalui serangan budaya dan pemikiran sebagaimana paham kesetaraan jender yang mengikis fitrah kewanitaan.

Saatnya Meraih Ketinggian Martabat Hakiki

Sebagai bagian dari masyarakat, Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia DPD I Jawa Barat merasa berkewajiban untuk turut memahamkan umat, termasuk kaum perempuan tentang bahaya terselubung di balik hingar bingar event ratu-ratuan yang ternyata hanya menjadi alat para pengemban kapitalisme untuk mengukuhkan hegemoni politik dan ekonomi mereka atas dunia melalui kaum perempuan. Padahal jelas bahwa hegemoni kapitalismelah sumber segala kerusakan, termasuk penghinaan atas harkat dan martabat kaum perempuan.

Untuk itu, terkait kedatangan Miss Universe ke Kota Bandung, Jawa Barat, kami menyerukan kepada semua pihak untuk secara bersama:

1. Menolak perempuan dijadikan komoditas berdasarkan ukuran primitif berupa kemolekan fisik.
2. Menghentikan eksploitasi perempuan dalam bentuk dan dalih apapun, termasuk event ratu-ratuan.
3. Mengarahkan perempuan Indonesia, kembali kepada kemuliaannya sebagai perempuan yang berpegang teguh pada nilai agama, bukan nilai-nilai sekular kapitalistik.
4. Mengarahkan perempuan Indonesia untuk berprestasi di ajang internasional tanpa mengorbankan jati dirinya sebagai umat beragama.
5. Mengarahkan perempuan Indonesia untuk berkarya dalam rangka menjadikan Indonesia sebagai negara yang mandiri, bahkan sebagai negara pertama di dunia. Bukan sebagai negara pengekor yang hanya menjadi pasar bagi kapitalisme global.

Ala kulli hal, patut diingat, bahwa Indonesia adalah negara yang berpotensi menjadi negara pertama, Selain potensi sumber daya alam dan manusianya yang melimpah ruah serta potensi geografis yang strategis, Indonesia juga menyimpan potensi ideologi yang bisa mengancam hegemoni kapitalisme global di masa yang akan datang, yakni ideologiIslam. Itulah kenapa Indonesia selalu menjadi sasaran bidik serangan budaya dan pemikiran, termasuk melalui cara-cara yang dikemas apik sebagaimana agenda kedatangan Miss Universe ini. Jadi waspadalah! [SNA]