INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 13 Oktober 2010

MUDIK DAN FENOMENA KTA, APA YANG SALAH?

Oleh : Siti Nafidah Anshory

Menanggapi kian merebaknya pemudik bersepeda motor lebaran tahun ini, Hadi Supeno, Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyatakan bahwa mudik jarak jauh dengan menggunakan sepeda motor adalah tidak manusiawi, berpotensi menjadi kekerasan terhadap anak, dan membahayakan jiwa anak. KPAI bahkan mengeluarkan Press Release bertajuk “Mudik Sepeda Motor Jangan Bawa Anak-anak“ dan meminta pemerintah mengeluarkan larangan tentang mudik bersepeda motor dengan membonceng anak-anak. (www.kpai.go.id).

Pernyataan pimpinan KPAI ini memang bisa dipahami. Fenomena mudik nyatanya selalu diwarnai berbagai persoalan. Saat-saat mudik selalu identik dengan ketidaknyamanan yang tak jarang berakhir dengan kesedihan. Transportasi yang penuh sesak dan mendadak biayanya mahal, kriminalitas yang terus meningkat, kemacetan panjang di berbagai ruas jalan, hingga kecelakaan lalu lintas yang dari tahun ke tahun angkanya cukup fantastis. Tahun 2007 misalnya, darah yang tertumpah karena kecelakaan di jalur mudik tercatat sebanyak 1.875 kasus dengan korban tewas sebanyak 789 orang. Tahun 2008, selama 10 hari mudik Lebaran terjadi 1.368 kecelakaan dan membunuh 865 orang, 724 orang luka berat dan 1.184 orang luka ringan. Kerugian materiil yang ditimbulkannya sekitar Rp4,8 miliar. Tahun 2009, dalam kurun waktu H-7 hingga H+7 Lebaran, terjadi 1.544 kecelakaan; korban tewas 735 orang, luka berat 976, dan luka ringan 567. Kerugian materiil ditaksir mencapai Rp5,6 miliar. Sementara tahun 2010 ini, hingga tanggal 13 September 2010 malam, sudah terjadi kecelakaan 1173 kasus; meninggal dunia 263 orang, luka berat 345 orang dan luka ringan 663 orang dengan total kerugian mencapai Rp 4,63 M. Meski dari tahun ke tahun trennya menurun, tetap saja fakta ini tak bisa diabaikan.

Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, jumlah kecelakaan terbanyak masih menimpa pemudik sepeda motor, dan di antara korbannya adalah anak-anak. Meski demikian, bermudik dengan sepeda motor ironisnya selalu menjadi pilihan banyak orang. Selain biayanya memang jauh lebih murah, mereka berharap bermudik dengan sepeda motor bisa bebas dari ancaman kemacetan parah di jalur-jalur mudik. Tak heran jika pemudik bersepeda motor jumlahnya terus meningkat. Tahun lalu saja, tercatat 3,9 juta sepeda motor di Jakarta digunakan pemudik untuk pulang kampung atau ada kenaikan sekitar 20 persen dibanding tahun sebelumnya. Sementara tahun ini jalur Pantura dan Lintas Sumatera diprediksi telah dipadati oleh 4 juta pemudik bersepeda motor.

Di satu sisi keinginan mudik saat lebaran tentu tak bisa disalahkan. Mudik adalah hak siapapun, kaya ataupun miskin. Terlebih bagi sebagian umat Islam, mudik sudah lebih dari sekedar tradisi. Dengan mudik, silaturrahmi yang berbulan-bulan bahkan ada yang bertahun-tahun terhambat karena jarak dan kondisi, bisa terjalin kembali di hari fitri. Pada momen-momen seperti ini, atas motivasi agama, semua orang terdorong untuk berkumpul, berbagi kebahagiaan dan saling memaafkan; dengan orang tua, handai taulan dan kawan sekampung. Karenanya tak bijak jika mudik diberi pembatasan, termasuk bagi mereka yang terpaksa memilih mudik sekeluarga dengan kendaraan motor karena alasan ekonomi.

Adapun atas realita besarnya resiko mudik bersepeda motor tentu sudah seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah. Jadi jangan hanya memojokkan para pemudik. Terlebih, menjadi kewajiban pemerintah memberi perlindungan pada rakyatnya, bukan cuma anak-anak, tapi juga orang dewasa yang sama-sama terancam jiwanya. Faktor-faktor penyebab kenapa mudik bersepeda motor menjadi pilihan itulah yang seharusnya diselesaikan. Pengelolaan sistem transportasi, termasuk pengadaan sarana transportasi publik yang murah dan memadai sehingga memberi banyak pilihan bagi masyarakat dari berbagai tingkat ekonomi, pembangunan akses jalan yang sebanding dengan peningkatan jumlah kendaraan, peningkatan jaminan keamanan baik secara fisik maupun organik (kualitas jalan, posko-posko kesehatan & keamanan, aparat keamanan, dll) adalah bagian tugas pemerintah sebagai penyelenggara urusan rakyat sekaligus pelayan umat.

Fenomena carut marut saat mudik justru mencerminkan masih abainya pemerintah dalam berbagai urusan rakyat. Dan fenomena ini hanyalah salah satu saja dari sekian banyak persoalan yang membelit masyarakat kita. Tentu saja jika ada pilihan, rakyat ingin merasa aman dan nyaman saat mudik. Tapi ketidakmampuan penguasa mensejahterakan masyarakat per individunya telah membuat tingkat ekonomi mayoritas masyarakat masih berada di level pas-pasan. Akibatnya mereka senantiasa berada pada posisi yang tak memberikan pilihan-pilihan. Begitupun minimnya perhatian pemerintah atas penyediaan sarana-prasarana transportasi yang memadai, buruknya pengelolaan transportasi hingga kemacetan tak lagi hanya menjadi tradisi kota, serta kebijakan energi yang tak memihak rakyat dan membuat biaya transportasi amat mahal serta berefek ganda pada tingginya tingkat harga barang-barang konsumsi, turut memperburuk performa penguasa sebagai pelayan umat. Padahal Nabi Saw bersabda : “Penguasa manusia adalah pengurus; dia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya. [HR. Muslim]. Dan tentu saja, tanggungjawab ini tidak hanya untuk di dunia, tapi juga di akhirat.

Jika melihat potensi yang dimiliki Indonesia, baik sumber daya alam yang melimpah maupun sumberdaya manusia, kondisi seperti ini seharusnya tidak terjadi. Kebijakan ekonomi kapitalisme-liberalisme yang dianut pemerintahlah yang telah menjadikan sebagian besar asset ekonomi strategis milik rakyat diserahkan kepada swasta atau asing, sementara biaya pembangunan bertumpu pada utang luar negeri, termasuk dalam urusan transportasi. Akibatnya, disamping BBM mahal, menggunakan jalan tol sekedar agar sedikit cepat dan nyaman juga harus bayar. Semuanya serba dipajak. Pantaslah jika dikatakan, hubungan penguasa dan rakyat dalam sistem dajjal seperti ini tak lebih dari hubungan penjual dan pembeli. Pemerintah atau negara ‘haram’ campur tangan dalam berbagai hal termasuk yang berkaitan dengan kepentingan rakyat sebagaimana transportasi. Privatisasi menjadi primadona kebijakan ekonomi, sementara program subsidi dianggap sebagai biang penyakit yang harus disingkirkan. Wajar jika angka kemiskinan yang diklaim terus berkurang, realitanya tak sepadan dengan makin banyaknya rakyat yang antri di rumah sakit akibat rendahnya kualitas kesehatan, keluarga-keluarga supermiskin yang memenuhi trotoar-trotoar jalanan, kian banyaknya produk-produk barang bekas yang diminati banyak konsumen, dan lain-lain.

Sistem Kapitalisme liberalisme memang terbukti menjadi biang segala kerusakan. Penerapannya telah membuat pemerintah mengalami disorientasi dan abai terhadap berbagai kepentingan umat. Ini karena, kapitalisme-liberalisme tegak di atas akidah sekularisme yang menafikan peran agama dari kehidupan. Sekularismelah yang telah membuat para penguasa tak merasa berdosa ketika ada hak rakyat yang tak tertunaikan. Sekularismelah yang membuat mereka tak merasa bersalah tatkala ada rakyat tewas atau terluka saat antri untuk mendapatkan angpau lebaran, atau kecelakaan karena jalanan yang rusak akibat pengerjaan yang asal-asalan. Sekularismelah yang membuat mereka tak merasa malu menjadi abdi dalem asing daripada mengabdi untuk rakyatnya sendiri, tak bergeming saat rakyat menangis karena hidup kian sulit akibat harga-harga melambung tinggi. Dan sekularismelah yang telah membuat mereka lupa, bahwa amanah jabatan dan kekuasaan yang mereka lalaikan, akan menjadi sesalan berkepanjangan di akhirat kelak.[]

INDONESIA DALAM ANCAMAN KRISIS PANGAN



Retrospeksi Kebijakan Pemerintah Indonesia di Hari Pangan
Oleh : Siti Nafidah Anshory

Krisis pangan sebetulnya telah menjadi isu global sejak tahun 2007 lalu. Krisis ini diawali dengan terus meningkatnya harga pangan khususnya komoditi biji-bijian di pasar dunia yang dampaknya juga dirasakan di Indonesia. Sebagai contoh, harga beras yang tahun 2005 berkisar Rp.3.100-3.600/kg tiba-tiba melonjak naik hingga 14%, yakni Rp. 4.170-4.780/kg di tahun 2006. Sejak saat itu, harga beras terus meningkat dengan laju kenaikan antara 7,4%-12,36% per bulan, hingga pada bulan Pebruari 2010 harga beras bahkan mencapai Rp 7.409 per kilogram (kg). Selain beras atau biji-bijian, kenaikan ini juga terjadi pada komoditi-komoditi strategis lainnya, seperti minyak goreng, terigu, telur, gula, dan lain-lain.

Turunnya tingkat produksi pangan dunia pasca konversi besar-besaran lahan pertanian pangan ke pertanian sumber energi hijau disebut-sebut sebagai salah satu penyebab terjadinya krisis. Saat itu melonjaknya harga minyak dan gas di pasar internasional yang berujung pada krisis energi global telah memicu persaingan antara produksi pertanian untuk pangan dengan produksi pertanian untuk energi hijau, disamping secara otomatis krisis energi tentu memicu kenaikan harga-harga komoditi pangan itu sendiri. Situasi ini kemudian diperburuk oleh tingginya laju pertambahan penduduk dunia terutama di negara-negara berkembang, serta munculnya isu global warming yang menyebabkan perubahan iklim secara ekstrim dan berbagai becana alam yang berpengaruh terhadap aktivitas pertanian.

Indonesia, meski tak termasuk dalam daftar 22 negara yang dilaporkan FAO per Oktober 2010 sebagai negara yang mengalami krisis pangan, tetap tak bisa dikatakan bebas dari ancaman krisis. Apalagi dua tahun sebelumnya (2008), Indonesia sempat masuk dalam daftar 37 negara yang mengalami krisis pangan bersama beberapa negara di Afrika, Asia dan Amerika Selatan sebagaimana dilaporkan FAO. Sayangnya hingga saat ini Pemerintah masih belum mengambil langkah-langkah strategis untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Pemerintah malah terus berupaya meyakinkan masyarakat bahwa kondisi Indonesia hingga saat ini ‘aman-aman’ saja. Padahal dampak krisis jelas-jelas sangat dirasakan terutama oleh masyarakat menengah ke bawah yang tingkat daya belinya semakin rendah, disamping membuat situasi sosial dan politik di dalam negeri semakin rentan.


Krisis Pangan Cerminan Ketidaktahanan Pangan

Sebagai negara agraris Indonesia tentu tak layak menghadapi ancaman krisis pangan apalagi mengalaminya sebagaimana terjadi dua tahun yang lalu. Potensi alam yang subur dan sangat luas, sumber daya manusia dan hayati yang melimpah, seharusnya menjadikan Indonesia memiliki ketahanan pangan yang tinggi yang dengannya kesejahteraan masyarakat bisa terjamin. Sayangnya yang terjadi justru sebaliknya. Di luar faktor alam yang memang kian tak menentu, kebijakan pangan yang diambil pemerintah dari waktu ke waktu justru kian memperlemah ketahanan pangan yang menjadikan Indonesia sebagai negara yang rentan ancaman krisis.

Di era 80-an, Indonesia memang pernah mengalami masa keemasan dalam produksi pangan hingga berhasil mencapai swasembada, khususnya untuk komoditi beras dan kedelai. Indonesia saat itu, bukan hanya mampu mencukupi kebutuhan dalam negeri dan menyimpan cadangan di gudang-gudang Bulog, bahkan mampu menjadi negara eksportir pangan. Kondisi ini bisa dipahami mengingat perhatian pemerintah saat itu terhadap masalah ketahanan pangan relative tinggi, dimana kelebihan pendapatan negara yang diperoleh dari perdagangan minyak bumi langsung ditransfer untuk memajukan bidang pertanian melalui berbagai program.

Kondisi ini setidaknya bisa bertahan hingga tahun 1993. Menurunnya pendapatan negara dari sektor minyak bumi akibat ‘asingisasi’ sumber-sumber alam membuat pemerintah tak punya dana lebih untuk mensubsidi sektor pertanian sehingga tingkat produksipun mengalami penurunan di tahun-tahun berikutnya. Malah dari hari ke hari, sektor pertanian diperlakukan bak anak tiri. Disamping itu, jebakan berbagai perjanjian internasional membuat pemerintah Indonesia kian kehilangan kedaulatan pangan. Akibatnya, pengambilan keputusan apapun terkait kebijakan pangan, baik menyangkut aspek produksi, distribusi maupun konsumsi tak lagi menjadi hak mutlak rakyat yang direpresentasikan oleh pemerintah, melainkan harus terikat dengan butir-butir kesepakatan internasional yang dibuat oleh negara-negara anggota atas arahan negara-negara adidaya demi kepentingan perusahaan-perusahaan multinasional ‘milik’ mereka.

Dalam konteks global, upaya negara adidaya merebut kedaulatan ekonomi (baca : neoimperialisme) negara dunia ketiga melalui sistem perdagangan bebas memang sudah dimulai sejak IMF dan World Bank menginisiasi pertemuan Bretton Woods pada tahun 1944. Tahun 1948 diciptakanlah General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang secara intensif terus ‘dimatangkan’ melalui berbagai putaran pertemuan dengan fokus bahasan mengenai pengurangan hambatan tariff dan non tariff bea masuk untuk menjamin kelancaran realisasi sistem perdagangan bebas. Adapun yang menyangkut reformasi sistem perdagangan produk pertanian yang berorientasi pasar bebas mulai menjadi fokus pada saat Putaran Uruguay (1986-1994) dimana pada putaran ini The Agreement on Agriculture (AoA) disetujui dan World Trade Organization (WTO) terbentuk (1995). Setidaknya ada 125 negara yang ikut menandatangani. Salah satunya adalah Indonesia yang kemudian meratifikasi kesepakatan ini melalui UU NO. 7/1994.

Program reformasi yang ada dalam AoA berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar untuk produk pertanian melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif. Dengan kata lain, kesepakatan ini menekankan tentang keharusan negara menurunkan dukungannya terhadap sektor pertanian, meningkatkan akses pasar untuk impor pertanian, dan pengurangan subsidi ekspor pertanian yang kesemuanya termasuk prinsip perdagangan pasar bebas. Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special and differential treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.

Sebagai dampak persetujuan ini, produk pertanian Indonesia masuk ke gelanggang pasar internasional menghadapi negara-negara lain yang berdaya saing jauh lebih kuat karena didukung tingkat efisiensi dan penguasaan teknologi tinggi. Dan hasilnya bisa di bayangkan, alih-alih mampu mengekspor produk pangan ke luar negeri, produk dalam negeripun kalah bersaing di negeri sendiri. Wajar jika para petani akhirnya kehilangan gairah berproduksi yang menyebabkan ketersediaan produk pangan terus berkurang, melengkapi persoalan kebijakan distribusi yang selama ini sudah sangat buruk.

Sektor pertanianpun terpukul, dan mayoritas masyarakat hanya menjadi end-user, bukan produser. Sementara itu, perdagangan pangan akhirnya dikuasai perusahaan-perusahaan multinasional bermodal besar. Ironisnya, menghadapi realita berkurangnya stok pangan ini, pihak pemerintah dengan entengnya mengambil kebijakan membuka lebar keran impor hingga pasar dalam negeri dibanjiri produk-produk pangan luar negeri, termasuk beras sebagai komoditas pangan terpenting dan memiliki nilai politis.

Krisis ekonomi yang mengguncang Indonesia tahun 1997/1998 juga turut memperparah kondisi ketahanan dan kedaulatan pangan di Indonesia. Penyerahan solusi krisis kepada IMF yang ditandai dengan penandatanganan LoI (Letter of Intent) oleh pemerintah Indonesia seolah menjadi aksi bunuh diri politik karena ternyata membuat kondisi Indonesia kian dicengkram kekuatan asing. Melalui LoI, Indonesia dipaksa menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti liberalisasi, privatisasi BUMN termasuk BULOG, deregulasi yang mempermudah penguasaan perusahaan besar mengalahkan perusahaan milik rakyat semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, Perpres 36 dan 65/2006, UU No. 18/2003 Tentang Perkebunan, dan yang termutakhir UU No. 25/2007 tentang Penanaman Modal serta pengurangan subsidi. Di bidang pertanian, LoI menyebut secara eksplisit mengenai keharusan pemerintah mengurangi dan meniadakan proteksi, yang membuat insetif petani untuk menanam komoditas pertanian menjadi lenyap. Akibatnya Indonesia menjadi sangat tergantung pada produk impor, hingga nyaris kehilangan kedaulatan pangan dan selanjutnya nyaris kehilangan ketahanan pangannya hingga hari ini.


Membangun Kembali Kedaulatan Pangan

Krisis pangan global yang berlangsung hingga hari ini seharusnya cukup untuk menunjukkan bahwa sistem pasar bebas tidak akan pernah membawa kebaikan bagi umat manusia, termasuk dalam hal pangan. Sistem ini bahkan terbukti telah mencerabut kedaulatan pangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia sehingga negara-negara yang mayoritas muslim ini tak lagi memiliki kemampuan untuk menjaga dan mempertahankan ketahanan pangannya. Inilah yang senyatanya telah menjadikan negara tersebut kian lemah dan harus rela menjadi sapi perah bagi negara-negara kapitalis yang terus berupaya mempertahankan hegemoninya melalui sektor politik dan ekonomi, termasuk perdagangan produk pangan melalui mekanisme pasar bebas.

Sebagai negara yang punya potensi kebangkitan yang sangat besar, Indonesia seharusnya segera mengambil langkah-langkah strategis untuk membalikkan keadaan. Artinya, kita tak boleh tersibukkan oleh langkah-langkah pragmatis untuk menghadapi ancaman krisis pangan semacam penyediaan dana kontingensi, upaya stabilisasi harga melalui operasi pasar yang hanya menguntungkan para spekulan, pasar murah dan penyaluran raskin yang sering salah sasaran, program pengendalian penduduk, rekayasa teknologi, membuka keran impor, dan lain-lain sementara aspek ‘hulu’nya tidak disentuh. Yakni bagaimana membangun kembali kedaulatan pangan yang tentunya sangat erat kaitannya dengan kedaulatan ekonomi dan politik.

Meski tidak mudah, kedaulatan ekonomi dan politik yang menjadi dasar tegaknya kedaulatan pangan hanya mungkin dibangun jika pemerintah Indonesia berani melepaskan diri dari sistem kapitalisme yang mengungkung dunia internasional. Karena sistem inilah yang telah begitu lama mengukuhkan penjajahan negara-negara besar atas negara-negara kecil melalui lembaga-lembaga Internasional yang mereka ciptakan sebagai alatnya. Berbagai krisis yang terjadi pun membuktikan bahwa PBB, IMF, World Bank dan WTO, hakekatnya hanyalah mesin politik negara-negara adidaya untuk mempecundangi negara-negara kecil yang bukan kebetulan mayoritasnya merupakan negeri-negeri kaum muslimin melaui berbagai kesepakatan internasional yang rusak dan merusak itu.

Sebagai satu-satunya alternative, sistem Islam bisa diandalkan untuk menghadapi kekuatan kapitalisme global yang kian hari kian menampakkan borok-boroknya. Sistem ini menjadikan negara/ pemerintahan sebagai alat/institusi politik yang berkewajiban menegakkan hukum-hukum Allah termasuk yang terkait dengan kebijakan ekonomi bidang pertanian, sekaligus menempatkan para penguasa hanyalah sebagai pelayan bagi umat. Dalam sistem Islam, penguasapun diibaratkan sebagai junnah (beteng pelindung) bagi umat yang wajib menjaga mereka dari berbagai bahaya, termasuk ancaman krisis pangan melalui penerapan kebijakan politik dan ekonomi yang kuat dan tegak di atas paradigma yang benar yakni akidah Islam.

Dalam konteks ketahanan pangan, Islam telah menggariskan kebijakan politik ekonomi pertanian yang kuat dan saling bertumpu pada bidang-bidang lainnya termasuk perindustrian. Strategi politik pertanian dan industri yang ditawarkan Islam ini, selain sangat berpihak kepada masyarakat secara umum, juga menjadikan kita bisa terlepas dari cengkeraman dan penguasaan Barat. Hal ini dikarenakan Islam telah menggariskan prinsip-prinsip dasar ekonomi menyangkut masalah kepemilikan, pengelolaan dan distribusi yang bertumpu pada prinsip keadilan hakiki, yang berbeda dengan kapitalisme yang menuhankan prinsip kebebasan. Hal ini didukung oleh adanya prinsip kemandirian politik yang mencegah dan mengharamkan intervensi apalagi penguasaan asing atas umat Islam melalui jalan apapun.

Dalam strategi politik pertanian, berbagai aturan ditetapkan sedemikian rupa yang memungkinkan negara secara berdaulat akan mampu menjamin ketersediaan dan meningkatkan ketahanan pangan melalui proses produksi, baik melalui kebijakan pertanahan, kebijakan untuk peningkatan produktivitas, dan lain-lain. Begitupun diatur masalah distribusi yang memberi jaminan setiap warganegara tercukupi kebutuhannya akan kosumsi pangan secara merata tanpa menutup ruang bagi mereka memperoleh ketinggian kualitas hidup melalui persaingan usaha yang alami dan manusiawi.

Secara rinci, aturan-aturan ini telah lengkap tersedia dalam sistem politik ekonomi Islam. Persoalannya hanya tinggal kemauan semua pihak, baik rakyat maupun penguasa, untuk benar-benar menerapkannya dalam kehidupan, bukan semata karena urgen, tapi karena ini adalah kewajiban. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb. []