INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Selasa, 30 Agustus 2011

KH Drs. Hafidz Abdurrahman, MA: Kesatuan Awal dan Akhir Ramadhan Membutuhkan Khilafah


(Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)

Pengantar:

Alhamdulillah, tahun ini mayoritas kaum Muslim di seluruh dunia—kecuali hanya segelintir orang—mengawali Ramadhan serentak pada hari dan tanggal yang sama. Kita berharap tahun ini kaum Muslim juga mengakhiri Ramadhan dan merayakan Idul Fitri pada hari dan tanggal yang sama. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan pada tahun-tahun yang akan datang, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, sering muncul perbedaan di tengah-tengah kaum Muslim mengenai penentuan awal dan akhir Ramadhan. Mengapa perbedaan itu kerap terjadi? Apa faktor penyebabnya? Adakah ini murni semata-mata alasan fiqhiyah yang ditoleransi? Ataukah ada alasan lain? Mungkinkah perbedaan ini disatukan? Jika mungkin, bagaimana caranya? Itulah beberapa pertanyaan yang diajukan Redaksi kepada Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) KH Hafidz Abdurrahman, MA. Berikut petikan wawancaranya.


Kadang terjadi perbedaan di tengah kaum Muslim tentang penetapan awal dan akhir Ramadhan. Mengapa bisa terjadi perbedaan itu?

Perbedaan dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan ini bisa terjadi karena tiga faktor: faktor astronomi, fikih dan faktor politik. Dari ketiga faktor ini, faktor politiklah sebenarnya yang paling dominan. Sebagai contoh, ketika pemerintah Yaman mengumumkan hilal tanggal 7/12/1999 sehingga 1 Ramadhan jatuh pada tanggal 8/12/1999, pemerintah Arab Saudi tidak mau mengikuti mereka sehingga menetapkan 1 Ramadhan di Arab Saudi jatuh pada tanggal 9/12/1999. Padahal dari segi jarak, Yaman dan Saudi adalah dua wilayah yang berdekatan.

Sebagian bersandar pada perhitungan atau hisab baik hisab astronomis ataupun perhitungan dengan teori lainnya. Apa yang menjadi argumentasi mereka?

Mereka yang berpatokan pada hisab (perhitungan bulan/matahari) bersandar pada sabda Nabi saw. yang menyatakan: Fain ghumma ‘alaykum faqduru lahu (Jika mendung menutupi pandangan kalian maka hitunglah bilangan bulan tersebut) (HR Muslim, an-Nasa’i dan Ibn Majjah). Ibn al-’Arabi menyatakan, bahwa dalam memahami maksud faqduru lahu (hitunglah bilangan bulan tersebut) ada dua pandangan. Pertama: melakukan perhitungan terhadap bulan/matahari. Kedua: menghitung jumlah hari (menggenapkan hitungan hari).

Bagaimana yang lain bersandar pada rukyat, apa yang menjadi argumentasi mereka?

Argumentasi yang bersandar pada rukyat adalah hadis Nabi saw.: Shumu li ru’yatihi wa afthiru li ru’yatihi (Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berhari rayalah kalian karena melihat hilal) (HR Muttafaq ‘Alaih). Bagi mereka, konotasi faqduru lahu (hitunglah bilangan bulan tersebut) juga jelas, bukan melakukan perhitungan bulan/matahari, tetapi menghitung jumlah hari untuk mengenapkan hari bulan tersebut. Sebab, dalam riwayat lain, Nabi saw. Menyatakan: fa akmilu ‘iddata Sya’bana tsalatsina yawm[an] (maka genapkanlah jumlah hari Sya’ban menjadi 30 hari) (HR Bukhari).

Lalu menurut Kiai, mana yang paling kuat?

Dari kedua argumentasi tersebut, yang paling kuat jelas berpuasa dan berhariraya dengan rukyat. Mengapa? Pertama: karena dengan jelas Nabi saw. memerintahkan kita agar berpuasa dan berhari raya dengan merukyat hilal, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadis riwayat al-Bukhari, Muslim dan lain-lain. Kedua: dalam riwayat Muslim yang lain, Nabi saw. menegaskan, bahwa satu bulan itu berjumlah 29 hari. Kemudian baginda melarang kita berpuasa dan berhari raya hingga melihat hilal Ramadhan/Syawal. Hadis yang kedua ini disertai takhshish bi al-ghayah, yaitu hatta tarawhu (hingga kalian melihat hilal). Dengan kata lain, larangan berpuasa dan berhari raya tersebut bersifat umum, berlaku untuk siapapun hingga mereka melihat hilal Ramadhan dan Syawal. Ketiga: jika tarkib (frasa) faqduru lahu (hitunglah bilangan hari) tersebut dianggap mujmal, karena ambigu, antara perintah menghitung dan perintah menyempurnakan jumlah hari, maka adanya riwayat lain yang menyatakan fa akmilu ‘iddata Sya’bana tsalatsina yawm[an] (genapkanlah jumlah hari Sya’ban menjadi 30 hari), telah mengugurkan ke-mujmal-an tersebut. Dengan demikian, konotasi “perintah menghitung” atau hisab tersebut sudah hilang, karena sudah dijelaskan dengan dalil lain. Dalam kaidah ushul dinyatakan, jika ada konotasi yang mujmal dan mubayyan, maka mubayyan-lah yang harus digunakan, sedangkan yang mujmal harus ditinggalkan.

Secara syar’i, apakah boleh ada perbedaan awal dan akhir Ramadhan di tengah kaum Muslim?

Perbedaan seperti ini sebenarnya telah terjadi sejak zaman Nabi saw. Namun, perbedaan ketika itu lebih disebabkan karena faktor keterbatasan sarana komunikasi sehingga hasil rukyat di satu wilayah tidak bisa sampai kepada penduduk di wilayah lain. Padahal belum tentu kedua wilayah yang berbeda tersebut sama-sama bisa melakukan rukyat. Karena itu, Ibn Abbas, sebagaimana dalam riwayat Kuraib, membenarkan adanya perbedaan tersebut. Riwayat yang sama kemudian digunakan oleh Imam as-Syafii untuk membenarkan perbedaan awal dan akhir Ramadhan, karena perbedaan mathla’.

Namun, argumentasi multi-mathla’ ini, selain dalilnya lemah, karena menggunakan pendapat Ibn Abbas, juga tidak relevan dengan fakta saat ini karena keterbatasan sarana informasi dan komunikasi tidak lagi terjadi. Saat ini, jika ada penduduk di satu wilayah berhasil merukyat hilal, maka pada jam yang sama informasi tersebut bisa sampai kepada penduduk di wilayah lain. Karena itu, jika pada zaman seperti ini masih terjadi perbedaan, sebenarnya bukan karena tidak ada informasi hasil rukyat yang sampai kepada mereka, tetapi lebih disebabkan oleh faktor politik. Jika masalahnya adalah masalah politik, maka solusinya harus solusi politik, yang bisa menghentikan perbedaan fikih, astronomi hingga politik.

Apa yang menyebabkan kesatuan awal dan akhir Ramadhan itu sulit diwujudkan saat ini? Apakah karena kendala teknis, politis, ekonomi, perbedaan mazhab atau yang lainnya?

Secara teknis sebenarnya tidak ada kendala. Perbedaan mazhab juga bisa di-tarjih sehingga pendapat yang dipandang lemah dengan mudah bisa ditinggalkan. Namun masalahnya, sekali lagi, bukan itu, melainkan masalah politis, termasuk kepentingan ekonomi di balik perpecahan tersebut, yaitu penjajahan terhadap Dunia Islam.

Bisakah kendala-kendala itu ke depan dihilangkan?


Jelas bisa.

Kalau begitu, bisakah ke depan seluruh kaum Muslim mengawali dan mengakhri Ramadhan secara bersamaan?

Bisa. Karena secara teknis, itu mungkin. Apalagi dengan teknologi satelit, internet dan sebagainya. Tinggal, apakah ada political will yang menyatukan itu, ataukah tidak? Di situlah relevansi Khilafah, yang akan menghilangkan seluruh perbedaan baik fikih, astronomi maupun politik. Saya membayangkan, kalau ada Khilafah, maka menjelang awal Ramadhan, Khalifah dengan sangat serius mempersiapkan upaya pemantauan hilal, sebagaimana yang diperintahkan Rasulullah saw. Khalifah akan mengerahkan ulama, pakar astronomi di berbagai kawasan negeri Khilafah mulai dari Indonesia hingga Spanyol. Teknologi pun dipersiapkan untuk membantu siaran langsung dari berbagai kawasan pemantauan dari seluruh dunia dilakukan, seperti siaran langsung piala dunia. Kemungkinan detik-detik terlihatnya hilal bisa disaksikan oleh kaum Muslim di seluruh dunia.

Setelah hilal terlihat, Khalifah segera mengumumkan masuknya 1 Ramadhan; atau bulan Sya’ban digenapkan 30 hari, kalau belum terlihat. Siaran langsung pidato Khalifah dipancarkan secara langsung oleh televisi ataupun radio Departemen Penerangan dari ibukota negara Khilafah yang akan disaksikan dan didengarkan via satelit oleh hampir 1,5 milyar umat Islam di berbagai penjuru dunia. Dengan kecanggihan sains dan teknologi ini tidak ada kendala untuk menyampaikan pesan penting ini dengan cepat dan akurat di seluruh dunia. Pidato Khalifah ini sekaligus merupakan keputusan politik yang akan mengakhiri perbedaan di kalangan umat Islam, sebagaimana kaidah ushul yang menyatakan: Amru al-Imam yarfa’ al-khilaf (Perintah Imam/Khalifah bisa menghilangkan perbedaan). Seluruh rakyat pun satu kata, taat dan patuh pada instruksi sang Khalifah, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Jadi, apa yang dibutuhkan umat ke depan?

Fakta ini menyadarkan kita, bahwa umat Islam membutuhkan Khilafah. Khilafah adalah institusi tunggal bagi kaum Muslim di seluruh dunia, yang dipimpin oleh seorang khalifah. Khilafahlah satu-satunya institusi yang mempunyai otoritas untuk menyatukan kata umat Islam. Dengan Khilafah, umat Islam di seluruh akan mempunyai satu suara, termasuk dalam menentukan 1 Ramadhan dan 1 Syawal. Sebaliknya, tanpa adanya Khilafah, umat Islam saat ini tetap centang-perenang; tidak bisa satu kata dalam menentukan keputusan mereka.

Mengapa harus Khilafah? Karena sudah terbukti bahwa persatuan apapun yang dibentuk oleh umat Islam, termasuk para penguasa mereka, nyatanya tidak bisa mewujudkan persatuan dan kesatuan yang hakiki. Justru, organisasi-organisasi “persatuan” bentukan mereka ini—seperti OKI, Rabithah al-’Alam al-Islami, atau yang lain—malah meninabobokkan umat Islam dari kewajiban utama mereka, bersatu sebagai satu umat di bawah naungan Khilafah.

Tegasnya, apa yang harus kita lakukan ke depan?

Tidak diragukan lagi, bahwa yang harus dilakukan oleh umat Islam ke depan adalah berjuang sungguh-sungguh untuk sesegera mungkin mengakhiri permasalahan ini, dengan cara menegakkan Khilafah bersama para pejuang yang ikhlas. Hanya itu satu-satunya agenda yang akan bisa menyelamatkan mereka dari perpecahan, dan perbedaan permanen yang tidak pernah berujung ini. []

Kamis, 25 Agustus 2011

Renungan Di Akhir Ramadhan


Ramadhan, ternyata masih banyak menyisakan umat Islam yang tak paham Islam kecuali kulit.
Masih banyak meninggalkan umat Islam yang ragu, takut bahkan benci bicara syari'at kaffah. Masih banyak meninggalkan umat yang antipati terhadap perjuangan penegakkannya sekalipun atas perjuangan tanpa kekerasan. Adakah ini hakekat taqwa yang ingin diraih dari ibadah sepanjang ramadhan?

Ramadhan seharusnya melahirkan taqwa individu dan umat. Adapun taqwa hakekatnya adalah mentaati aturan Allah yang menyangkut seluruh aspek kehidupan manusia bukan hanya aspek ibadah saja. Dengan demikian individu dan umat yang taqwa akan menafikan sistem kehidupan sekularisme yang hari ini menjadi habitat hidup umat Islam. Individu dan umat yang taqwa justru akan terdorong untuk bejuang mewujudkan sistem Islam. Sudahkah Ramadhan kali ini berbuah ketaqwaan?

Selasa, 23 Agustus 2011

KEMBALINYA KHILAFAH BUKAN MIMPI DI SIANG BOLONG


(Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id)

Bagi beberapa kalangan, gagasan bahwa seluruh umat Islam di dunia dapat bersatu dalam satu Negara Islam di bawah bendera Khilafah merupakan omong kosong. Baru-baru ini, beberapa ahli mengemukakan pendapat yang menentang gagasan kemungkinan bersatunya umat Islam di Abad ke-21. Mereka menukil contoh-contoh masa kini tentang ketidakpaduan dan pengelompokan Dunia Islam sebagai bukti-bukti yang mendukung gagasan mereka.

Antropolog Madawi ar-Rasheed yang bermukim di London mengatakan, “Saya kira seisi Jazirah Arab telah terjerumus ke dalam kekerasan sektarian, karena itu menurut saya, tidak mungkin Khilafah dapat terwujud…Kini, pada Abad ke-21 ini, gagasan tersebut hanya impian di siang bolong dari para aktivis Muslim.”

Seorang analis Saudi, Faris bin Houzam mengatakan, “Impian besar mereka ialah untuk mendirikan satu Negara Islam, namun tidak ada satu bukti pun yang dapat menunjukkan bahwa hal tersebut akan terwujud.”

Mubashar Akbar, seorang jurnalis dan penulis asal India, dalam salah satu tulisannya yang dimuat Newsweek mengatakan, “Saya mendengar dari para pengamat bahwa umat Islam hendak menegakkan kembali Khilafah. Gagasan tersebut sungguh konyol.”

Beberapa alasan dalam pendapat yang menentang berdirinya Negara Khilafah dapat kita rangkum sebagai berikut:

Umat Islam sedunia sangat beragam.

Paham Nasionalisme telah berakar kuat.

Perbedaan antara Sunni dan Syi’ah yang terlalu mencolok dan tak mungkin disatukan.

Umat Islam lebih suka hidup di bawah negara-bangsa (nation-state) yang terpisah-pisah.

Amerika tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

1. Umat Islam Sedunia Sangat Beragam

Bahwa Dunia Islam terdiri atas beragam bahasa, makanan, pakaian, dan tradisi-tradisi yang berbeda-beda, ini merupakan kenyataan yang tak terbantahkan. Namun keragaman ini menjadi tidak bermakna apabila kita berbicara tentang ‘Sistem Politik’ yang mengatur negara. Sistem politik tidak memaksa orang untuk memakan makanan yang sama atau berwarna kulit sama. Sistem politik mengurusi masalah aturan ekonomi, politik, dan sosial dalam urusan kemasyarakatan. Dunia Islam saat ini pada umumnya menjalankan sistem politik yang berasal dari Barat, seperti merujuk Konstitusi Perancis, Konstitusi Inggris, Konstitusi Belanda, yang menjadi landasan bagi kebanyakan negeri Muslim setelah kemerdekaan palsu mereka pada Abad ke-20.

Mari kita ambil Irak sebagai contoh. Etnis Kurdi disana menginginkan sebuah Negara Kurdi Merdeka. Namun ternyata masalah di Irak, sebagaimana di Dunia Islam lainnya, bukan berkisar pada masalah etnisitas semata, namun pada sistem pemerintahan yang dijalankan. Saddam Hussein tidak hanya menekan bangsa Kurdi, namun ia secara brutal juga menyiksa dan membunuhi ribuan rakyatnya sendiri, baik yang beretnis Kurdi, Arab, Sunni, ataupun Syi’ah. Bahkan ia tega mengeksekusi dua orang menantunya sendiri!

Budaya dasar bangsa Kurdi adalah Islam. Mereka berbagi budaya Islam yang sama dengan yang dimiliki umat Islam lainnya, baik di Turki, Irak, ataupun di Dunia Islam lainnya. Salahuddin al-Ayyubi adalah salah seorang etnis Kurdi yang terkenal dalam sejarah. Ia tidak hanya dicintai bangsa Kurdi, namun juga oleh seluruh Dunia Islam dari berbagai etnis karena jasa besarnya membebaskan Masjid al-Aqsha di al-Quds, kota suci ketiga dalam ajaran Islam.

Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya orang beriman saling mencintai dan berlaku baik antar sesamanya, perumpamaannya ialah bagaikan satu tubuh, sehingga bila salah satu anggota tubuh disakiti, seluruh tubuh (lainnya) akan ikut merasakan sakit karenanya.” [Bukhari]

Selain itu, adakah aturan dalam syariat yang tidak mungkin diterapkan pada seseorang karena etnisnya? Perhatikan, bagaimana umat Islam di seluruh dunia -yang terdiri atas beragam warna kulit, berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku- sama-sama bias menjalankan shalat lima kali sehari, berpuasa di bulan Ramadhan, memberikan shadaqah, dan melaksanakan ibadah haji ke Makkah. Mereka semua bisa menikah, mendidik anak-anak, berperang untuk mempertahankan tanah-tanahnya dari pendudukan, membayar pajak, mendirikan perusahaan, dan menghukum pelaku tindak pidana. Tidakkah fenomena itu menunjukkan bukti yang amat jelas tentang persatuan Islam, dan kesanggupan Islam untuk menyatukan seluruh pengikutnya?

2. Paham Nasionalisme Terlalu Berakar Kuat

“Coba saja tawarkan seorang Khalifah Pakistan pada orang Bangladesh,” ujar Mubashar Akbar.

Sesungguhnya, seorang Khalifah bukanlah Khalifah Pakistan, atau Khalifah Bangladesh, atau Khalifah Arab. Khalifah ialah seorang Muslim yang menjadi pemimpin Negara Islam. Salah satu kelemahan nasionalisme adalah hanya dapat menyatukan rakyat dari satu bangsa tertentu, dan hanya bersifat temporer, (yaitu bisa menyatukan sebuah bangsa hanya) pada saat mereka menghadapi aggressor atau adanya ancaman bersama. Rakyat suatu bangsa tidak akan mengikuti pemimpin bangsa lain sepanjang mereka memandang negeri asal sang pemimpin. Namun, Khalifah adalah pemimpin yang mewakili kepentingan Islam secara keseluruhan, bukan merepresentasikan kepentingan kelompok etnis, suku, klan, atau bangsa, dan karena itu tidak terikat atau terbiaskan pada suatu suku, keluarga, atau bangsa tertentu. Maka dari itu, Khalifah akan mampu menyatukan umat Islam di seluruh dunia berdasarkan Akidah Islam.

Rasulullah saw bersabda:

“Dengarkan dan patuhilah pemimpin, sekalipun kalian dipimpin oleh seorang budak Habsyi yang kepalanya seperti kismis.” [Bukhari]

Sebagai contoh, baik orang Bangladesh maupun orang Pakistan sama-sama Muslim. Saat terjadi bencana gempa bumi di Pakistan, umat Islam di Bangladesh dan dunia mengirimkan jutaan dolar untuk membantu korban gempa. Mayoritas umat Islam tidak memandang batas buatan yang dibangun oleh penjajah Barat dan dijaga oleh para penguasa korup berdasarkan bendera (atau lambang) bangsa, hari kemerdekaan, dan garis perbatasan palsu. Pada kenyataannya, para pemimpin itulah yang telah menebar kebencian di antara sesama umat Islam. Umat Islam adalah satu kesatuan yang berbagi kebudayaan Islam yang sama. Konsep umat Islam sangat mendalam. Ini juga merupakan masalah besar bagi kekuatan Barat dalam menerapkan kebijakan luar negeri kolonialis karena dukungan terhadap perlawanan atas pendudukan yang mereka lakukan tidak hanya datang dari populasi yang sama, namun dari seluruh Muslim di segala penjuru dunia.

Nasionalisme adalah sebuah konsep kuno yang merasuki Dunia Islam saat terjadinya kemunduran intelektual pada abad ke-19. Di masa sekarang ini, globalisasi memungkinkan meningkatnya volume perjalanan dan komunikasi modern sehingga pesan Islam dapat sampai dengan cepat ke seluruh dunia. Umat mendekati patriotisme, nasionalisme, dan rasisme, akibat kecelakaan sejarah semata.

Rasulullah saw bersabda:

“Barangsiapa yang menyeru kepada ashabiyah (nasionalisme/tribalisme) atau yang berperang deminya, atau mati karenanya, maka ia tidak termasuk golongan kami.” [Abu Dawud]

3. Perbedaan Sektarian

Banyak anggapan bahwa kawasan Syi’ah di Dunia Islam yang terdiri atas Libanon, Suriah, Irak, dan Iran, bersatu untuk memerangi negara lain yang Sunni di kawasan tersebut. Perang saudara yang terjadi di Irak juga digambarkan sebagai konflik antara Sunni dan Syi’ah.

Perpecahan antara Sunni dan Syi’ah telah dibesar-besarkan oleh mereka yang berkuasa di Dunia Islam maupun mereka yang berada di luar Dunia Islam, yang mencoba mengail keuntungan dari situasi tersebut. Pada kenyataannya, tidak pernah ada masalah antara Sunni dan Syi’ah sejak sebelum invasi Amerika Serikat dan koalisinya ke Irak tahun 2003. Kini, sebagai hasil dari pendudukan, terlepas dari asal golongan yang Sunni maupun Syi’ah, beberapa orang saling serang antar sesamanya. Penyebabnya jelas bukan akibat perbedaan antara Sunni dan Syi’ah, namun karena pemerintahan Irak yang dibentuk atas dasar etnis dan sekte. Masing-masing kelompok memiliki milisi sendiri yang kini saling beperang demi kepentingan politik mereka sendiri, bukan demi kepentingan Sunni atau Syi’ah.

Fenomena menarik yang perlu dicermati, kemenangan Hizbullah di Libanon tidak dipandang sebagai kemenangan Syi’ah semata, namun sebagai kemenangan Islam, yang didukung baik oleh Sunni maupun Syi’ah di seluruh dunia. Manakala seorang pemimpin politik memainkan sentimen Sunni dan Syi’ah sebagai kartu truf, berarti ia melakukan itu untuk kepentingan dirinya sendiri. Semua itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam. Upaya memanas-manasi isu sektarian yang dilakukan oleh beberapa negeri Muslim seperti Saudi Arabia, hanyalah contoh dari ketamakan dan keengganan mereka untuk mengutamakan kepentingan Islam dan rakyat mereka sendiri. Karena itu, kita tidak usah kaget apabila mendengar bahwa Saudi akan mempersenjatai milisi Sunni di Irak untuk memerangi Syi’ah apabila Amerika meninggalkan Irak.

Diriwayatkan dari al-Ahnaf bin Qais:

“Saat aku beranjak hendak menolong orang ini (Ali bin Abu Thalib), Abu Bakar menemuiku dan berkata, “Kemana engkau hendak pergi?” Aku jawab, “Aku hendak menolong orang itu.” Ia berkata, “Kembalilah, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah saw bersabda, ‘Apabila dua orang Muslim saling berkelahi dengan pedang mereka dan salah satunya terbunuh karenanya, maka tempat bagi keduanya adalah di dalam neraka.’ Lalu aku berkata, ‘Ya Rasulullah! Aku paham akan hukuman untuk yang membunuh. Tapi bagaimana dengan yang terbunuh? (mengapa ia masuk neraka juga?) Rasulullah saw bersabda, ‘Karena ia pun memiliki nafsu untuk membunuh saudaranya’.”

4. Umat Islam Lebih Suka Hidup di bawah Negara-Bangsa yang Terpisah-pisah

Mubashar Akbar berkata, “Bangsa-bangsa Arab disatukan oleh bahasa, budaya, serta keyakinan yang sama, namun masih saja lebih suka untuk hidup di bawah 22 negara yang berbeda. Mereka tidak mau berbai’at kepada satu Khalifah Arab saja.”

Salah satu survey yang diadakan oleh The Centre for Strategic Studies dari University of Jordan menghapus seluruh klaim tak berdasar yang dibuat tuan Akbar tersebut. Menurut survey yang bertajuk Revisiting the Arab Street: “Tanyakan apakah syariat harus menjadi satu-satunya sumber hukum, salah satu sumber hukum, atau sama sekali menjadi sumber hukum”. Mayoritas umat Islam meyakini bahwa syariat harus menjadi satu-satunya sumber hukum. Dukungan akan hal ini terutama sangat kuat di Yordania, Palestina, dan Mesir, di mana hampir dua-pertiga responden Muslim menyatakan bahwa syariat harus menjadi satu-satunya sumber hukum, sedangkan sepertiga lainnya yakin bahwa syariat setidaknya harus menjadi salah satu sumber hukum.

Aspirasi dan perhatian perempuan Muslim, khususnya, tahun lalu diungkap dalam salah satu jajak pendapat yang dilaporkan dalam New York Times. Perhatian mereka ialah: kurangnya kesatuan antar bangsa-bangsa Muslim, ekstrimisme dengan kekerasan, serta korupsi politik dan ekonomi. Semua permasalahan tersebut hanya dapat dipecahkan oleh Negara Khilafah.

Bukan umat Islam yang menginginkan hidup di bawah 22 negara yang terpisah, namun justru berasal dari para pemimpin mereka yang korup. Para penguasa di Dunia Islam saat ini adalah yang terburuk sepanjang sejarah dunia. Mereka juga adalah orang-orang terkaya di dunia –mendapat kekayaan dengan cara mencurinya dari umat yang mereka pimpin. Apa yang diinginkan umat Islam adalah mengganti mereka semua. Sayangnya, para penguasa tersebut memiliki teman-teman pada skala tinggi yang tinggal di London dan Washington, yang dengan dukungan merekalah para penguasa ini memerintah rakyatnya dengan tangan besi.

Terlepas dari kenyataan tersebut, para penguasa di Dunia Islam sesungguhnya hidup dalam ketakutan. Rakyat mereka mulai tidak takut lagi menghadapi penyiksaan dan penahanan brutal yang mereka lakukan, serta mulai berani bicara terbuka untuk melawan mereka. Berbagai demonstrasi marak terjadi di seluruh Dunia Islam. Mesir, yang secara tradisional merupakan negara yang paling represif di Timur Tengah, memiliki tokoh dari kalangan politisi, praktisi hukum, dan media yang beroposisi pada pemerintahan brutal Husni Mubarak.

Rasulullah saw bersabda:

“Jihad terbaik adalah mengatakan kebenaran di depan penguasa yang zalim.” [Abu Dawud dan Tirmidzi]

5. Amerika Tidak Akan Membiarkan Hal Ini Terjadi

Dalam pidatonya tentang Perang Global Melawan Teror, Presiden AS George W. Bush berkata: “Mereka ingin mendirikan kekuatan politik utopia di seluruh kawasan Timur Tengah yang mereka namakan “Khilafah” –di mana semua diperintah berdasarkan ideologi mereka yang penuh kebencian…saya tidak akan membiarkan ini terjadi – dan juga tidak ada satu Presiden AS pun di masa mendatang yang akan membiarkan hal ini.”

Pernyataan arogan macam ini sama sekali tidak sejalan dengan kenyataan yang terjadi di Dunia Islam. Perang Irak telah menyedot kekuatan perang AS secara besar-besaran. Terlepas dari klaim pasca invasi bahwa hantu Vietnam telah berlalu, Irak sekarang ini telah menjelma menjadi Vietnam kedua bagi AS. Sekitar 100 serdadu AS mati sia-sia tiap bulannya, dan Amerika juga menghadapi perlawanan keras dari seisi penjuru negeri yang menginginkan mereka pergi. Pendudukan di Afghanistan juga tidak berlangsung lebih baik karena ketidakmampuan Amerika untuk mengamankan wilayah yang telah mereka duduki.

Para politisi AS yang lebih memahami situasi daripada Bush dapat melihat jelas betapa terbatasnya kekuatan AS. Pat Buchanan, salah seorang pendiri majalah The American Conservative dan penasehat bagi tiga Presiden AS sebelumnya, Nixon, Ford dan Reagan, berkata, “Apabila aturan Islam adalah gagasan yang disetujui oleh seluruh kekuatan Islam, bagaimana mungkin pasukan terbaik di dunia dapat menghentikannya?”

Tidak diragukan lagi bahwa umat Islam percaya kalau kemenangan (an-nashr) datang dari Allah Swt bukan melalui sejumlah angka atau sumberdaya materi. Bahkan sejumlah kecil umat Islam dapat mengatasi kekuatan superpower yang besar bila mereka berpegang teguh pada tali Allah dan berserah diri kepada-Nya. Kekalahan memalukan Israel dari sekelompok milisi bersenjata Libanon tahun lalu adalah contoh jelas dalam hal ini.

Rasulullah saw bersabda:

“Akan tiba suatu masa di mana umat ini dipermainkan oleh umat-umat lain, seperti makanan di atas meja”. Seseorang lalu bertanya, “Apakah jumlah kami saat itu sangat kecil?” Ia (Rasulullah) menjawab, “Tidak, jumlah kalian sangat banyak saat itu. Namun kalian akan tercerai-berai dan terbagi-bagi bagai makanan diperebutkan di atas meja, dan Allah telah mengambil ketakutan pada kalian dari hati musuh-musuh kalian dan menempatkan wahn di hati kalian.” Seseorang lalu bertanya, “Apa itu wahn?” Rasulullah saw menjawab, “Cinta dunia dan takut mati.” [Abu Dawud]

Sekitar 60 tahun yang lalu, bangsa-bangsa Eropa masih terlibat dalam perang brutal antar sesama mereka. Kini mereka bersatu di bawah bendera Uni Eropa dengan satu mata uang yang sama –sesuatu yang tak terbayangkan beberapa dekade lalu. Bila Uni Eropa dengan nasionalismenya yang kuat, serta perbedaan bahasa, dan tradisi yang berbeda dapat bersatu, mengapa Dunia Islam tidak?

Apakah kemungkinan digantinya para diktator di Dunia Islam oleh Negara Khilafah hanya merupakan fantasi bila ini merepresentasikan harapan dari seluruh umat Islam? Tidak ada pemimpin Muslim di dunia ini yang dipilih oleh rakyat mereka yang dapat memenangkan pemilu secara telak. Mereka umumnya berkuasa melalui sebuah kudeta, seperti yang dilakukan Jenderal Musharraf di Pakistan. Tak peduli betapapun kuatnya pemerintah saat ini mencoba menekan gerakan politik dan kebudayaan Islam, mereka tidak akan pernah mampu memadamkan gagasan ini. Gagasan syariat dan pemerintahan Islam kini semakin mengakar di tengah umat Islam, baik rakyat biasa maupun kalangan berpengaruh. Gagasan ini semakin merasuk di tengah kalangan Angkatan Bersenjata, dan tinggal masalah waktu untuk menanti salah seorang atau beberapa perwira senior di Dunia Islam merasa cukup dengan situasi saat ini dan melakukan tindakan yang benar –dengan menyingkirkan rezim-rezim saat ini, dan menggantinya dengan seorang Khalifah Rasyid yang akan menerapkan Qur’an dan Sunnah dengan benar.

Kalangan berpengaruh dan mereka yang ada dalam Angkatan Bersenjata di Dunia Islam harus memahami bahwa bila mereka memfasilitasi tegaknya kembali pemerintahan Islam melalui penegakan kembali lembaga Khalifah, maka mereka akan segera memperoleh dukungan dari mayoritas umat Islam, yang kemudian akan membantu mereka dengan berbagai cara.

Rasulullah saw bersabda:

“Masa kenabian akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Kemudian akan ada (masa) Khilafah Rasyid (yang mendapat petunjuk) yang berjalan selaras dengan kenabian. Khilafah itu akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Setelah itu akan ada (masanya) banyak pemimpin, dan itu akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Setelah itu akan ada (masa) pemerintahan tirani, dan akan tetap ada di tengah-tengah kalian selama Allah menghendaki, kemudian Allah akan mengambilnya dari tengah-tengah kalian. Kemudian, akan muncullah (masa) Khilafah Rasyid (kembali) yang berjalan selaras dengan kenabian.” Kemudian beliau (Rasulullah) terdiam.” (Musnad Imam Ahmad (v/273)).
Add This!