MENYELESAIKAN PROBLEM PORNOGRAFI
Oleh : Husnul Khotimah (Ditulis 4/10/2009)
Terciptanya masyarakat bersih tanpa pornografi nampaknya masih jauh dari harapan. Betapa tidak? Rencana pengesahan RUU Pornografi menjadi UU dalam Sidang Paripurna DPR akhir September tahun ini kembali urung dilakukan menyusul kontroversi alot antara pihak yang pro dan yang kontra.
Pihak yang pro nampaknya sudah begitu muak dengan merebaknya pornografi yang berujung pada kerusakan masyarakat. Sedangkan pihak yang kontra menyembunyikan alasan ideologisnya di balik alasan kebebasan dan hak asasi. Pertanyaannya, begitu dilematiskah upaya memberangus pornografi?
Tarik Ulur, Mengapa Terjadi?
Jika dicermati, 4 kali revisi draft RUU APP hingga menjadi RUU Pornografi sama sekali tak pernah mengarah pada perubahan asasi. Faktanya, semua draft ini masih ’tegak’ di atas paradigma yang sama, yakni sekularisme dan pragmatisme. Sementara dari sisi substansi, RUU ini tak memiliki arah yang jelas hingga terus mengalami distorsi dan bahkan cenderung akomodatif terhadap prinsip-prinsip kebebasan. Ini terlihat dari perubahan-perubahan standar definisi serta adanya pasal-pasal pengecualian yang rentan penyalahgunaan. Padahal, persoalan paradigma dan definisi ini merupakan entry point bagi penyusunan UU secara keseluruhan dan bahkan menjadi kunci bagi efektif tidaknya pemberlakuan UU dalam mencegah eksploitasi seksualitas di tengah-tengah masyarakat.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan perjalanan RUU ini mandek dan terdistorsi:
Pertama, penerapan asas sekularisme dan sistem demokrasi oleh negara. Diakui atau tidak, Indonesia adalah negara sekuler yang menafikan peran agama dalam mengatur kehidupan. Kalaupun ada, peran agama dibatasi hanya pada domain privat semisal ritual peribadatan dan sebagian domain kelompok semisal pengaturan masalah perdata (NTCR). Adapun interaksi kemasyarakatan lainnya (poleksosbudhankam), semuanya diatur berdasarkan kehendak rakyat yang direpresentasikan oleh ’wakil-wakil’ mereka di DPR. Berdasarkan kehendak rakyat inilah DPR memproduk berbagai undang-undang yang ’dianggap’ bisa menyelesaikan berbagai problem di tengah kehidupan mereka.
Pada tataran praktis, gagasan sekularisme diimplementasikan oleh sistem demokrasi. Sebagaimana asasnya, sistem ini juga menjadikan ’kedaulatan manusia atau rakyat’ sebagai sesuatu yang diagungkan. Itulah kenapa, konsep demokrasi tidak bisa lepas dari konsep kebebasan, HAM, pluralisme, dan isme rusak lainnya. Bahkan prinsip kebebasan (liberalisme) menjadi ruh bagi keberadaan demokrasi. Konsekuensinya, setiap pilihan, baik menyangkut agama, cara hidup, pendapat maupun terkait kepemilikan, harus diakui dan diakomodir sebagai alternatif pilihan-pilihan tanpa klaim benar dan salah. Adapun untuk keputusan yang mengikat semua orang, termasuk UU, sistem ini mengharuskan tunduk pada ’mekanisme suara mayoritas’, dengan asumsi ”suara mayoritas adalah suara rakyat, dan suara rakyat adalah suara Tuhan”.
Untuk kasus pornografi hal ini nampak jelas. Secara umum masyarakat mengakui pornografi pornoaksi merupakan penyimpangan yang membahayakan, akan tetapi praktek ini ternyata sulit diberantas. Banyaknya perbenturan kepentingan yang lahir dari persepsi yang berbeda tentang manfaat-madharat telah membuat masyarakat larut dalam polemik berkepanjangan mengenai batasan pornografi dan persoalan-persoalan tak substantif lainnya. Ujung-ujungnya, hukum tak berdaya menjerat pelaku pornografi hanya karena begitu multi interpretatifnya kata ’pornografi’.
Kedua, akibat tidak didasarkan pada syariat Islam. Polemik seputar UU pornografi-pornoaksi juga tidak akan pernah terjadi jika semua pihak mau merujuk pada syariat Islam, bukan pada akal. Ini karena, syariat Islam memiliki pandangan yang jelas mengenai pornografi-pornoaksi. Dalam Islam setiap aktivitas yang mengumbar aurat dan syahwat (pornografi-pornoaksi) dipandang sebagai yang pelanggaran terhadap syariat yang harus dicegah. Adapun pertimbangan mengenai dampak, hanyalah sebagai penguat atas urgensi mencegah dan memberangus praktek ini. Karena sejatinya, apa yang dilarang oleh syariat pasti akan mendatangkan kerusakan dan apa yang diperintahkan oleh syariat pasti mendatangkan kebaikan, tidak hanya bagi kelompok tertentu, negeri tertentu, tetapi bagi seluruh umat manusia, muslim-non muslim, di seluruh dunia.
Ketiga, akibat ketidakmandirian negara dari tekanan asing. Tak dipungkiri, bahwa saat ini Indonesia tengah berada di bawah cengkraman asing. Hutang yang menumpuk dan jeratan berbagai perjanjian Internasional telah membuat posisi Indonesia seperti makan buah simalakama. Sampai-sampai bangsa ini tak punya pilihan untuk menentukan arah kebijakan berbagai aspek kehidupannya sendiri karena cengkraman asing sudah masuk hingga ranah legislasi. Keluarnya UU PMA, UU Migas, UU SDA, UU Anti Terorisme, UU PKDRT, dan kini RUU Pornografi yang pro asing dan pro nilai-nilai Barat merupakan bukti adanya penjajahan lewat UU. Targetnya jelas. Selain target ekonomi, mereka juga punya target ideologis yakni membendung bangkitnya kekuatan Islam global.
Pandangan Syariah Islam
Dari penjelasan diatas, jelas bahwa merebaknya pornografi pornoaksi berikut berbagai problem yang menyertainya adalah ekses dari penerapan sistem kapitalisme sekuler yang meniscayakan kebebasan tanpa batas. Selain menafikan peran agama, ideologi ini mengajarkan prinsip-prinsip kehidupan yang rusak dan membawa kerusakan. Kebahagiaan, dimaknai dan diukur hanya dengan ukuran materi, manfaat dan kenikmatan jasadi semata. Sementara nilai-nilai kehidupan, steril dari nilai halal haram. Wajar jika akhirnya kecabulan, aktivitas mengumbar aurat, free sex, aborsi, dan aktivitas amoral lainnya menjadi hal yang biasa. Disisi lain, menguatnya paham individualisme yang juga menjadi ciri masyarakat sekuler membuat berbagai kerusakan ini berlangsung tanpa ada kontrol. Masyarakat cenderung apatis dan kehilangan sense of crisis.
Berbeda halnya dengan sistem Islam yang tegak di atas landasan akidah yang sahih. Sistem ini memiliki seperangkat aturan yang selain lengkap dan solutif, juga mampu mencegah segala bentuk kerusakan dan ketidakadilan. Hal ini dikarenakan, sistem ini lahir dari Dzat Yang Maha Adil dan Sempurna. Sehingga aturan-aturan yang dilahirkannya pun senantiasa sesuai dengan fitrah, memuaskan akal dan menentramkan jiwa manusia, tanpa kecuali.
Sejarah menunjukkan, bahwa tatkala Islam diterapkan secara kaffah dan konsisten, masyarakat Islam dikenal sebagai masyarakat yang sangat bersih dan maju. Kasus-kasus kriminalitas bisa ditekan sedemikian rupa, hingga untuk kasus pencurian yang berakhir dengan penerapan sanksi potong tangan misalnya, dalam kurun waktu 13 abad tercatat hanya 200 kasus saja! Sementara kasus-kasus amoral, termasuk pornografi-pornoaksi nyaris tak pernah terjadi kecuali beberapa kasus saja.
Oleh karenanya, untuk mencegah merebaknya pornografi-pornoaksi tak ada solusi lain selain kembali pada sistem Islam. Sistem ini telah mengatur sedemikian rinci terkait hubungan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, yang dengannya kebersihan dan tujuan-tujuan mulia yang bisa dibangun melalui interaksi keduanya bisa terjaga. Aturan-aturan pergaulan dalam Islam (an-Nidzham al-Ijtimâ’iy fi al-Islâm) ini meliputi:
1. Aturan mengenai batasan aurat dan kewajiban menundukkan pandangan.
Masalah pornografi-pornoaksi sesungguhnya terkait dengan masalah aurat dan memandang aurat. Islam sudah memberi batasan yang sangat jelas tentang kedua hal ini. Aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan. Sementara aurat laki-laki adalah bagian tubuh antara pusar dan lutut. Selain itu Islam juga memerintahkan setiap muslim untuk menundukkan pandangan, yakni larangan melihat apa yang terlarang untuk dilihat (aurat). Bahkan untuk wanita, selain diperintah menggunakan khimar (kerudung), mereka juga diwajibkan memakai jilbab (yakni sejenis pakaian tertentu yang menutupi pakaian sehari-harinya hingga ujung kaki). Allah SWT berfirman :
”Katakanlah kepada para wanita mukmin, hendaklah mereka menahan pandangannya, memelihara kemaluannya dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya (illâ mâ dzahara minhâ)” (QS. An-Nur[24]:31).
”Wahai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-steri orang Mu’min, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnye ke seluruh tubuh mereka ..” (QS. Al-Ahzab[33]:59).
Berdasarkan riwayat yang shahih, Ibnu Abbas, Ibnu Umar dan Aisyah ra. sepakat bahwa yang dimaksud dengn kalimat illâ mâ dzahara minhâ adalah wajah dan kedua telapak tangan sampai pergelangan. Adapun untuk laki-laki, disebutkan dalam HR. Ahmad : ” Sesungguhnya apa yang ada di bawah pusar sampai kedua lutut laki-laki merupakan auratnya”. Dengan demikian, setiap aktivitas menampakkan aurat sebagaimana fakta pornografi-pornoaksi jelas sudah terkatagori pelanggaran terhadap syariat.
2. Larangan eksploitasi seksual : tabarruj; larangan ekspose masalah seksual.
Masalah pornografi-pornoaksi juga terkait dengan aktivitas eksploitasi dan ekspose masalah seksual yang kerap dilakukan dengan cara menampakkan kecantikan di hadapan laki-laki asing atau bukan mahram (tabarruj). Dalam Islam, aktivitas semacam ini termasuk yang diharamkan sebagaimana firman Allah : ”..dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah terdahulu ....” (QS.al-Ahzab[33]:33).
Kemudian dalam hadits diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda : ”Dua golongan di antara penghuni neraka yang belum aku lihat keduanya: suatu kaum yang membawa cambuk seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk memukul orang-orang; perempuan yang berpakaian tetapi telanjang yang cenderung dan mencenderungkan orang lain, rambut mereka seperti punuk unta yang miring” (HR. Muslim).
3. Larangan Berzina dan mendekati zina.
Masalah pornografi-pornoaksi juga biasanya lekat dengan aktivitas mendekati zina bahkan perzinahan itu sendiri. Dalam hal ini, Islam secara tegas melarang aktivitas ini dan memberikan sanksi yang sangat berat pada pelakunya. Firman Allah : ” dan janganlah kalian mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.” (QS.Al-Isra [17]:32). Dengan dalil ini ditarik mafhum, jika mendekati saja haram, apalagi melakukannya. Hal ini diperkuat dengan nash yang memuat jenis sanksi bagi para pelaku zina. Firman Allah : ” dan laki-laki pezina dan perempuan pezina, maka cambuklah dengan 100 kali cambukan”. (QS an-Nur [24]:2). Sanksi ini berlaku bagi pezina ghair muhsan (yakni pemuda/i yang belum menikah). Sementara untuk yang muhshan (pernah menikah) maka hukumannya adalah dirajam hingga meninggal.
4. Masalah Berkholwat
Kholwat adalah aktivitas berdua-duaan antara laki-laki dan wanita di tempat yang tidak memungkinkan bagi orang lain untuk bergabung kecuali dengan izinnya. Aktivitas seperti ini dilarang oleh Islam dengan larangan yang tegas. Rosulullah saw bersabda : ” Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah tidak berkhalwat engan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, karena sesungguhnya yang ketiganya adalah setan” (HR. Ahmad). Hikmah dari aturan ini adalah, masyarakat akan tercegah dari peluang melakukan maksiat, termasuk yang mengarah pada pornografi-pornoaksi.
Pentingnya Penerapan Islam Kâffah oleh Daulah
Demikianlah sebagian aturan Allah yang terkait dengan pergaulan pria wanita, yang jika diterapkan, secara preventif akan meminimalisir munculnya berbagai kemaksiatan di masyarakat, termasuk pornografi-pornoaksi. Hanya saja penerapan aturan sosial ini tidak mungkin efektif kecuali diterapkan aturan-aturan Islam lainnya (poleksosbudhankam) secara utuh oleh negara yang tegak di atas asas Islam. Hal ini karena sistem Islam bersifat sistemis dan tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Dan negaralah yang akan mampu menerapkannya secara ketat dan konsisten, termasuk menerapkan sistem sanksi Islam sebagai metode menjaga tegaknya hukum sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran terhadap syariat (kuratif).
Dengan demikian negara adalah pilar penting bagi tegaknya sistem Islam. Hanya saja, ada pilar lain yang harus tegak, yakni ketakwaan individu dan kontrol yang kuat dari masyarakat. Terlebih, sekalipun diyakini bahwa sistem Islam adalah sistem yang sempurna, aspek penerapannya tidak sesederhana yang dibayangkan, terutama jika direfleksikan pada konteks masyarakat sekarang dimana kesadaran mereka akan ajaran Islam dalam keadaan lemah, baik akibat kesalahan internal maupun akibat serangan pemikiran dan budaya yang menularkan –salah satunya—virus islamophobia yang membuat upaya-upaya penegakkan syariat Islam justru kandas di kaki umat Islam sendiri.
Oleh karenanya, mewujudkan masyarakat yang ideal dan bersih harus dimulai dengan proses penyadaran umat akan ideologi Islam. Dalam hal ini aktivitas dakwah dan budaya amar ma’ruf nahi munkar harus terus dihidupkan agar kebersihan masyarakat senantiasa terjaga. YAKIN, sepanjang jalan perubahan ditempuh dengan cara yang sama ditempuh Rasulullah, maka terwujudnya masyarakat Islam akan menjadi kenyataan, dan cita-cita memberangus pornografi tidak lagi menjadi utopi. Wallâhu a’lam[][]
BOX :
Ada hal menarik di balik alasan penolakan UU Pornografi, yakni kesalahpahaman dan pobhia sebagian kalangan terhadap syariat Islam. Mereka belum memahami bahwa syariat Islam adalah rahmat bagi semua, tak terkecuali non muslim. Hal ini tercermin dalam aturan-aturannya yang berfungsi menjaga akal, menjaga jiwa, menjaga harta, menjaga akidah, menjaga kemuliaan, menjaga generasi dan menjaga negara.
Islam memang mengatur masalah hak-hak dan kewajiban ahlu adz-dzimmah. Yakni kalangan non Muslim yang menjadi warga negara Daulah Islam karena loyalitas dan kesiapan mereka untuk tunduk pada hukum-hukum Islam yang diformalisasi sebagai UU negara. Status ahlu adz-dzimmah ini hakekatnya sama dengan warga negara lainnya dari kalangan Muslim. Mereka sama-sama wajib taat pada khalifah selama tidak bermaksiat dan siap berjuang membela negara. Mereka juga sama-sama berhak mendapatkan jaminan kesejahteraan dan keamanan oleh negara. Bahkan harta, darah dan agama mereka terjaga. Bedanya, mereka hanya diwajibkan membayar jizyah yang jumlahnya sangat kecil dan diwajibkan atas kalangan yang mampu saja sebagai tanda ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam.
Dalam hal yang menyangkut kepentingan umum dan keutuhan masyarakat, seluruh warga negara baik muslim maupun non muslim wajib terikat dengan UU Islam. Sedangkan untuk masalah ritual, maka Islam membiarkan kalangan non Muslim beribadah sesuai dengan keyakinan mereka sepanjang tidak menampakkan syi’ar dan aktivitas yang membahayakan akidah umat Islam. Dalam Islam, memang tidak ada paksaan dalam agama.
Begitupun dengan hal-hal yang berkaitan dengan hukum-hukum perdata (ahwal asy-syakhshiyah), mereka dibiarkan dengan tatacara agama mereka, baik dalam masalah pernikahan, pewarisan dan yang lainnya. Adapun menyangkut masalah pakaian, makanan dan minuman, maka Islam memang mengatur pembatasan-pembatasan. Sepanjang mereka berada dikomunitasnya, mereka dibiarkan menggunakan pakaian, mengkonsumsi makanan dan minuman sesuai ajaran agama mereka. Sementara jika masuk dan berbaur dengan komunitas muslim, maka mereka bertanggungjawab untuk turut menjaga kebersihan masyarakat dengan cara menggunakan pakaian yang menutup aurat dan mengkonsumsi makanan dan minuman yang sesuai syariat Islam yang menjadi undang-undang negara.
Adanya aturan semacam ini tentu tidak bisa dipandang sebagai bentuk diskriminasi dan pemaksaan Islam atas non muslim. Karena konteksnya adalah tentang kewajiban negara melindungi seluruh warganya dari pelanggaran syariat yang akan membawa pada kerusakan masyarakat secara keseluruhan.[][]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar