ADA APA DI BALIK KONTROVERSI POLIGAMI?
Oleh : Husnul Khotimah
Menarik menyimak polemik antara Ayang Utriza NWAY dengan Tiar Anwar Bachtiar mengenai masalah Poligami. Ayang yang katanya mantan santri di Fakultas Syariah Universitas al-Azhar Kairo ini dalam dua tulisannya yakni “Islam, Poligami, dan Perempuan (Kompas, 21/9) dan “Poligami Bukan “Jalan Tuhan”” (Kompas, 6/12) jelas berada di pihak yang tidak setuju dengan praktek poligami, sementara di pihak lain Tiar dalam tulisannya, “Poligami Harus Dilihat Secara Arif” (Kompas, 25/10) berkeyakinan bahwa selain niscaya, poligami adalah sunnah nabi, bahkan dia merupakan “jalan tuhan”.
Pro kontra mengenai masalah poligami, sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru. Bahkan, sebagai sebuah terminologi maupun realitas empiris, poligami telah lama terjebak dalam wilayah perdebatan yang (seolah) tak kunjung usai. Jika dicermati, yang menjadi pemicu sesungguhnya bukan semata terletak pada persoalan legalitas syari’at terhadap praktek poligami, karena –sebagaimana yang juga diakui Ayang-- para mufassirin dan ahli fiqih klasik dari golongan salaf ash-shalih, termasuk keempat imam madzhab fiqih (Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hanafi dan Imam Hambali) mereka tak pernah berbeda pendapat mengenai kebolehan berpoligami. Perdebatan justru seringkali dipicu oleh respon terhadap fakta buruknya praktek poligami yang ditunjukkan oleh kebanyakan pasangan yang berpoligami, serta –sangat mungkin-- didorong (dan dimanfaatkan) oleh kepentingan pihak-pihak tertentu yang selama ini dikenal sebagai kaum liberalis sekuler yang intens menyerukan ide de-ideologisasi Islam dan de-sakralisasi syari’at. Dalam hal ini, isu poligami hanya merupakan salah satu saja dari sekian banyak ajaran syari’at yang menjadi sasaran bidik dan sekaligus sebagai senjata bagi para pejuang anti penerapan syari’at Islam.
Tentu saja, saya tidak bermaksud mengatakan bahwa Ayang dan sebagian yang hingga saat ini masih menolak poligami, sebagai bagian dari kelompok anti syari’at. Saya berhusnuzhan bahwa penolakan tersebut lebih banyak dipicu oleh keinginan yang ikhlash untuk membela Islam dari berbagai tudingan miring yang santer mempertanyakan keberpihakan Islam terhadap masalah keadilan, kesetaraan dan hak asasi manusia. Dalam hal ini, ajaran Islam mengenai poligami –disamping isu-isu lain seperti hijab/jilbab dan khumur, persoalan waris, perwalian, thalaq dan sebagainya—memang sering dituding sebagai ajaran yang diskriminatif terhadap perempuan. Bahkan isu-isu inilah yang kemudian menginspirasi para pejuang hak-hak perempuan dari kalangan muslim untuk menyerukan upaya reinterpretasi/rekonstruksi terhadap nash-nash syari’at yang justru seringkali berujung pada dekonstruksi syari’at Islam.
Hanya saja, persoalannya adalah, tak jarang pembelaan terhadap Islam ini justru menjadikan Islam terposisikan sebagai pihak tertuduh. Dengan demikian, alih-alih membela Islam, kaum muslim dan termasuk orang-orang non muslim akhirnya justru terjauhkan dari ajaran Islam yang benar dan pada saat yang sama terjauhkan dari hikmah tersembunyi yang secara pasti terkandung dalam setiap ajaran syari’ah. Hal ini karena dalam tataran praktisnya, upaya pembelaan seringkali tidak mengarah pada proses penelaahan/analisa obyektif atas keabsahan dalil yang digunakan berdasarkan metodologi penafsiran atau ijtihad yang sahih, melainkan justru sering terjebak pada pendekatan faktais berdasarkan persepsi rasionalitas terhadapnya. Akibatnya, penolakan atau penerimaan terhadap suatu konsep syari’at semata-mata didasarkan pada fakta, bukan berlandaskan pada dalil/nash syar’iy. Kalaupun dalil digunakan, itu hanya sebagai legalitas (cap stempel) atas kesimpulan hukum yang sudah ditetapkan. Padahal fakta (yang sangat interpretatif itu) bukanlah sumber hukum dan tidak layak menjadi sumber hukum, melainkan hanya sebagai obyek penerapan hukum. Sementara yang absah menjadi sumber hukum hanyalah al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma Shahabat dan Qiyas syar’i.
Dalam kasus poligami ini misalnya, Ayang banyak sekali mengutip pemikiran Syeikh Mohammad Abduh yang memang dikenal sebagai ulama anti poligami. Abduh, seperti yang dikutipnya, memang melakukan pendekatan dalil, yakni penelaahan terhadap QS. An-Nisaa ayat 4 yang katanya justru mengandung spirit ajaran anti-poligami jika dihubungkan dengan ayat ke-129. Akan tetapi yang kemudian nampak dominan sebagai hujjah dalam pendapatnya bukanlah interpretasi terhadap nash itu sendiri, karena ternyata beliau masih memberi pengakuan atas kebolehan poligami (entah dengan dalil yang sama atau dalil yang lain) –meski hanya- di masa awal Islam dan dalam kondisi darurat. Yang justru menjadi alasan utama penolakannya terhadap poligami adalah banyaknya fakta buruk poligami yang kemudian dikait-kaitkan dengan kaidah dar’u al-mafaasid muqaddamun ‘alaa jalbi al-mashaalih (menolak mafsadat didahulukan daripada mengambil kemaslahatan). Dengan menggunakan kaidah inilah beliau kemudian menarik hukum keharaman mutlak praktek poligami.
Mengenai metoda tafsir yang digunakan Abduh dalam menarik kesimpulan hukum seperti ini, Dr. Abdul Majid Abdussalam Al-Muhtasib, seorang doktor ahli tafsir (dalam bukunya Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an Kontemporer (Terj.), Pustaka Al-Izzah) menyatakan bahwa Abduh memang termasuk salah seorang intelektual yang cenderung membangun metodologi penafsirannya berdasarkan dominasi rasional, tendensi apologi ilmiah dan kental dengan sikap kompromistik antara Islam dan sivilisasi Barat. Sehingga pendekatan rasio (tafsir ilmiah) seringkali lebih menonjol dibandingkan dengan pendekatan dalil dalam tafsir-tafsirnya. Dan justru cara berpikir Abduh inilah yang kemudian menginspirasi cara berpikir kaum intektual Islam liberalis saat ini, tatkala mereka berhadapan dengan syariat Islam, dimana mereka menggunakan pendekatan-pendekatan rasional lain yang keluar dari kaidah ushul fiqih yang selama ini dikenal dan diakui dalam proses ijtihad dan tajdid syar’i, seperti pendekatan sosio historis, psikologis, dan sebagainya.
Disadari atau tidak, kontroversi seputar masalah poligami ini –dan bahkan isu-isu kontroversi lainnya—pada akhirnya tidak bisa dianggap sederhana. Karena ternyata persoalan ini tidak sekedar menyangkut masalah perbedaan interpretasi atas nash-nash syariat yang pada tataran tertentu memang diniscayakan (yakni sepanjang menyangkut dalil zhanni, yang memungkinkan lahirnya penafsiran berbeda). Akan tetapi persoalannya jauh lebih mendasar, karena ternyata melibatkan aspek paradigmatis, seperti cara pandang terhadap posisi syari’at (termasuk posisi al-Qur’an dan as-Sunnah) dan bagaimana posisi akal di hadapan syari’at. Dalam pemahaman ajaran Islam hal-hal seperti ini termasuk kedalam masalah prinsip (aqidah) yang tidak memberi ruang adanya perbedaan pendapat.
Senyatanyalah bahwa pro kontra poligami bukan hanya sekedar masalah interpretasi. Karena jika hanya menyangkut masalah interpretasi, maka solusinya tentu tinggal melihat interpretasi mana yang kehujjahannya dinilai paling kuat dan paling sesuai dengan kaidah-kaidah penafsiran dan ijtihad yang disepakati. Tentu dengan semata-mata kembali kepada asas ilmu dan keimanan, bukan hawa nafsu. Dan berkenaan dengan penafsiran QS. An-Nisaa ayat 4 tadi misalnya, pendapat Abduh jelas dengan mudah terbantahkan.
Sebagaimana telah dijelaskan di awal, para ulama mufassirin dan ahli fiqih terutama dari kalangan salaf ash-shaleh justru menjadikan ayat ini sebagai hujjah bagi hukum kebolehan (bukan sunnah atau wajib !) berpoligami secara mutlak (tanpa syarat). Tentang masalah ini, Syeikh Taqyuddin an-Nabhani dalam kitabnya an-Nizham al-ijtimaa’iy fii al-Islam telah mendiskusikan secara mendalam mengenai mutlaknya kebolehan poligami ini dengan pendekatan tafsir yang sangat cermat. Beliau menyatakan bahwa sekalipun pada salah satu frasanya ada kalimat “kemudian jika kalian takut tidak akan dapat berlaku adil, kawinilah seorang saja atau kawinilah budak-budak yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat pada tindakan tidak berbuat aniaya”, itu hanya menunjukkan anjuran untuk menikah dengan satu wanita saja pada kondisi khawatir tidak dapat berlaku adil, dan bukan sebagai syarat bagi kebolehan poligami, apalagi sebagai qarinah/indikasi keharaman poligami. Bahkan kemutlakan tersebut diperkuat dengan frasa awal ayat itu sendiri, yakni “nikahilah wanita-wanita (lain) yang kalian sukai, dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat”.
Dalam hal ini, aspek keadilan, menurut beliau merupakan hukum syari’at yang berbeda dengan hukum yang pertama (yakni kebolehan poligami), dan bukan syarat. Hal ini terlihat dari penggunaan kalimat “fa in khiftum an laa ta’diluu” yang menunjukkan sebagai kalimat baru yang sekedar berfungsi sebagai kalam mustanif (kalimat lanjutan, bukan sebagai kalimat syarat) setelah selesainya kalimat “fankihuu maa thaaba lakum min an-nisaa matsna wa tsulaatsa wa rubaa’ “. Jika adil merupakan syarat,, maka kalimatnya tentu harus seperti ini : “fankihuu maa thaaba lakum min an-nisaa matsna wa tsulaatsa wa ruba’a in ‘adaltum” (maka nikahilah wanita-wanita yang kalian sukai dua-dua, tiga-tiga atau empat-empat, jika kalian bisa berlaku adil sebagai kalimat yang satu. Akan tetapi hal yang demikian –menurut an-Nabhani- tidak ada sehingga aspek keadilan bukanlah syarat diperbolehkannya poligami melainkan hukum baru yang berbeda dengannya. Dengan demikian dalam tataran aplikasinya, jika seseorang melakukan poligami yang hukumnya boleh (mubah), maka dia wajib berlaku adil.
Sementara itu, mengenai ayat 129 dari surat an-Nisaa yang disebut-sebut sebagai penguat konklusi mengenai keharaman poligami, maka an-Nabhani berpendapat bahwa ayat tersebut hanya menegaskan mengenai batasan keadilan yang dituntut syara’ untuk mewujudkannya terhadap para pelaku poligami. Beliau menyitir pendapat Ibnu Abbas ra, seorang sahabat yang kredibilitas keilmuannya diakui sendiri oleh Nabi saw, bahwa yang dimaksud dengan keadilan dalam ayat tersebut adalah keadilan yang menyangkut kasih sayang dan syahwat, yang memang berada diluar batas kemampuan manusia, termasuk diri Nabi sendiri, bukan menyangkut hal-hal yang masih mampu diupayakan oleh manusia, seperti pembagian giliran menginap, pemberian kebutuhan hidup dan sebagainya. Dalam aspek-aspek yang bisa dijangkau secara manusiawi inilah seseorang yang hendak melakukan poligami dituntut untuk berlaku adil, bukan pada hal-hal yang manusia tidak menguasainya seperti masalah perasaan dan syahwat.
Adapun menyangkut masalah “poligami sebagai hukum khusus bagi Rasul “ yang disebut-sebut oleh Ayang –mengutip pendapat Abduh-- dengan alasan hanya Rasul yang mampu berbuat adil dan kenyataan bahwa Rasul tidak menceraikan isteri-istrinya setelah ayat ini turun, maka pendapat inipun tidak dapat diterima. Dengan penjelasan tafsir sebelumnya masalah ini langsung terbantahkan. Apalagi pada faktanya, ada persoalan yang berbeda antara hukum poligami yang terkait dengan surat an-Nisaa ayat 4 tadi dengan fakta poligaminya Rasul. Poligami yang kebolehannya dilegalisasi oleh nash tersebut adalah poligami dengan maksimal 4 orang isteri, sementara poligami –yang merupakan khushushiyat Rasul—adalah poligami dengan lebih dari 4 orang isteri. Sebagaimana diketahui, ayat ini turun pada tahun ke 8 H, sementara pada saat itu Rasulullah dalam keadaan memiliki lebih dari empat orang isteri dan beliau tidak menceraikan sebagian dari mereka. Sehingga, yang menjadi kekhususan bagi Rasul adalah beristeri lebih dari empat, sementara kebolehan poligami dengan maksimal 4 orang isteri berlaku bagi kaum muslim yang lainnya.
Dengan penjelasan tersebut, maka jelas bahwa interpretasi Abduh terhadap surat an-Nisaa ayat 4 merupakan dalil yang lemah untuk menolak poligami. Apalagi menurut an-Nabhani, nash-nash yang menyangkut kebolehan poligami ini tidak mengandung illat hukum (illat syar’iy sebagai pembangkit hukum) apapun. Karena tidak mengandung illat hukum, maka perkara ini tidak termasuk ke dalam wilayah ijtihadi yang berarti tidak boleh melahirkan perbedaan pendapat. Ketika pada kenyataannya masih terjadi kontroversi, jelas hal tersebut bukan karena dilandasi semangat ‘ketaatan pada syariat’, melainkan lebih disandarkan pada kepentingan-kepentingan tertentu yang dalam bahasa fiqih sering disebut dengan illat aqli’ yang keberadaan dan kesimpulan hukum yang disandarkan kepadanya tidak bisa dipandang sebagai hukum syari’at.
Adapun hal yang saya maksud dengan persoalan paradigmatik dalam kontroversi mengenai poligami adalah, bahwa penolakan terhadap hukum bolehnya poligami sangat dipengaruhi oleh pandangan penggagasnya mengenai posisi al-Qur’an dan as-Sunnah. Mereka berkeyakinan bahwa al-Qur’an dan as-Sunnah bukan merupakan produk wahyu yang mutlak kebenarannya dan berfungsi sebagai solusi atas problematika manusia dari jaman ke jaman (hudan li an-naas, wa bayyinatin mi al-hudaa wa al-furqan). Mereka menganggap keduanya tak lebih dari sekedar “rekaman” atau bahkan “produk sejarah” yang tak pernah selesai, dan tak bisa dilepaskan dari konteks sosial, budaya, dan politik masyarakat Arab pada masa itu. Oleh karenanya menurut mereka, pembacaan al-Qur’an harus dengan mengambil setting budaya masa itu, sehingga interpretasinya bisa jadi berbeda untuk realitas kekinian.
Berkenaan dengan hal ini, Ayang menyitir pendapat beberapa ulama kontemporer semisal Dr. Yaman Najman, Thaha Husayn, Fazlur Rahman dan Mahmoud Mohamed Thaha yang memang memiliki pandangan serupa mengenai posisi al-Qur’an yang seperti ini. Yakni bahwa al-Qur’an adalah kitab yang terkungkung oleh kekhasan sejarah masa lalu, sehingga yang terpenting bagi mereka bukanlah apa yang termaktub dalam a-Qur’annya sendiri (yang out of date), melainkan apa yang menjadi spiritnya (yang up to date).
Paradigma inilah yang akhirnya memunculkan tuntutan untuk diberikannya ruang bebas bagi siapapun untuk menafsirkan al-Qur’an dengan interpretasi dan perspektif yang diinginkannya, tanpa batas dan aturan yang jelas. Menurut mereka klaim al-Qur’an atas perspektif budaya tertentu (tunggal) --bahkan perspektif budaya dan komunitas jaman Nabi sekalipun—dianggap akan membatasi aplikasinya dan bertentanganan dengan universalitas al-Qur’an. Sebagai contoh, ketika al-Qur’an menyatakan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita, maka itu hanya cocok untuk komunitas Arab yang dulu kaum wanitanya memang sangat bergantung pada laki-laki. Demikian juga poligami, hanya cocok pada masa dulu yang jumlah prianya lebih sedikit karena banyak yang mati akibat peperangan, dan karena saat itu jumlah pemeluk Islam masih sangat sedikit sehingga poligami merupakan alat efektif untuk dakwah Islam. Karena pada saat sekarang kondisinya sudah berbeda, maka menurut mereka kedua hukum tersebut tentu sudah tidak layak dipertahankan lagi.
Dengan perspektif seperti itu, syari’at bagi mereka merupakan hal yang absurd. Menurut mereka tidak ada yang namanya hukum tuhan, yang ada hanyalah interpretasi yang kemudian diklaim sebagai hukum tuhan. Dengan demikian, wajar jika mereka sangat alergi terhadap gagasan “Islam sebagai solusi” dan isu “penegakkan syari’at Islam” yang sekarang kian menyeruak ke permukaan, karena mereka menganggap bahwa gagasan seperti ini sangat kontra produktif dan hanya akan mengembalikan umat Islam pada kehidupan jaman onta yang jauh dari peradaban. Dalam hal ini mereka lupa, bahwa pemikiran Islam yang jernihlah yang dulu telah membawa umat ini pada kejayaannya, dan pada saat yang sama Barat merasakan manfaatnya untuk merintis sebuah kebangkitan. Justru pada saat pemikiran Islam dicampakkan dan syariat Islam dipinggirkan, umat mengalami kejatuhan demi kejatuhan, hingga terpuruk tanpa daya seperti sekarang ini.
Disadari atau tidak, munculnya paradigma semacam ini, sesungguhnya merupakan hasil dari sekulerisasi tersistematis yang dipaksakan di dunia Islam melalui perang pemikiran (ghazwu al-fikri) melawan gagasan Islam Ideologis. Ini nampak dari kentalnya gagasan-gagasan pembaharuan mereka dengan ide-ide semisal relativisme, pluralisme dan liberalisme yang jelas-jelas merupakan turunan sekulerisme. Dengan ide-ide tersebut, mereka memustahilkan adanya kebenaran absolut, termasuk kebe-naran yang ada dalam agama mereka sendiri (Islam). Bahkan mereka intens menyerukan desakralisasi al-Qur’an maupun as-Sunnah, yang ujung-ujungnya mengarah pada deideologisasi Islam melalui semangat ‘pembebasan interpretasi’ akal manusia yang serba relatif, lemah dan sangat subyektif itu !
Terhadap pemikiran semacam ini, kaum muslim tentu harus bersikap kritis dan waspada, karena selain propaganda terhadap penuhanan akal dan hawa nafsu, lebih jauh paradigma seperti ini sudah mengarah pada penolakan terhadap prinsip-prinsip aqidah Islam yang bisa menjatuhkan penganutnya pada kekufuran. Na’udzubiLLaahi min dzaalik ! [][]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar