
ASMA BINTI ABI BAKAR RA.
Asma’ dikenal sebagai kelompok wanita yang pertama-tama masuk Islam. Ia merupakan muhajirah yang agung, yang mengorbankan harta, raga dan jiwanya hanya untuk Islam. Semua unsur keturunan yang mulia terkumpul dalam pribadinya. Hal itu cukup untuk mengangkat derajatnya ke tempat yang tinggi dan membanggakan. Ayahnya, Abu Bakar Shiddiq adalah sahabat karib yang paling utama bagi Rasulullah semasa beliau hidup, dan khalifah pertama sesudah beliau wafat. Kakeknya, Abu Atiq, ayahnya Abu Bakar. Saudara perempuannya, Aisyah Ummul Mukminin (Istri Rasulullah SAW), seorang wanita suci, bersih, sebagaimana dinyatakan Allah dalam firmanNya. Suaminya, Zubair bin Awwam, seorang tokoh yang sangat mengutamakan ridha Allah dan ridha ibu bapaknya.
Asma’ menikah dengan Zubair bin Awwam, seorang pemuda miskin, tidak mempunyai pelayan yang selalu siap sedia membantu pekerjaannya, tidak mempunyai harta yang dapat melapangkan kehidupan keluarganya, kecuali hanya seekor kuda yang dirawatnya dengan baik.
Sungguh pun begitu Asma’ tidak kecewa. Dia adalah seorang istri yang baik dan setia, serta selalu khidmat kepada suaminya. Jika suaminya sedang sibuk mengemban tugas-tugas yang dibebankan Rasulullah kepadanya, Asma’ tidak segan-segan bekerja keras merawat dan menumbuk biji kurma untuk makanan kuda suaminya.
Pribadi Asma’ dirahmati Allah dengan keistimewaan yang menonjol yang jarang terdapat sekaligus, kecuali dalam pribadi segelintir pria. Dia cantik, hampir sama dengan saudaranya, Aisyah. Dia cerdas, lincah, cekatan, bangsawan dan memiliki otak yang sangat cemerlang.
Kepemurahannya menjadi teladan bagi orang banyak. Anaknya, Abdullah pernah berkata:”Aku belum pernah melihat wanita yang pemurahnya melebihi ibuku, Asma’. Bibiku berlainan. Kalau bibiku, dikumpulkannya lebih dahulu sedikit demi sedikit sesuatu yang akan dinafkahkannya, maka bila sudah terkumpul barulah dibagi-bagikannya kepada orang-orang yang membutuhkannya, lain dengan ibuku, dia tidak pernah menyimpan sesuatu sampai besok.”
Dari segi kecemerlangan berfikirnya, sangat nampak dalam diri putri Abu Bakar ini. Ia senantiasa bertindak penuh perhitungan dan bijaksana. Ketika ayahnya, Abu Bakar Shiddiq membawa seluruh uang simpanannya untuk kepentingan hijrah bersama Rasulullah saw, tidak satu sen pun ditinggalkannya untuk keluarganya. Setelah Abu Quhafah, bapak Abu Bakar atau kakek Asma’, mengetahui kepergian anaknya, dia datang ke rumah Abu Bakar untuk memastikan. Ketika itu Abu Quhafah masih musyrik. Kata Abu Quhafah:”Demi Allah! Tentu bapakmu mengecewakanmu dengan hartanya, disamping dia menyusahkanmu dengan kepergiannya.”
“Tidak kek! Sekali-kali tidak! Bapak banyak meninggali kami uang,” jawab Asma’ menghibur kakeknya. Asma’ pergi mengambil batu-batu kerikil, kemudian dimasukkannya ke kotak, tempat dia biasa menyimpan uang. Sesudah itu ditutupnya kerikil tersebut dengan kain-kain pakaiannya. Kemudian di bawanya si kakek ke tempat simpanan uang tersebut dan diletakkannya tangan kakek di atas kain-kain yang menutup kerikil itu. Kata Asma’ : ”Lihatlah Kek! Kami banyak ditinggali uang oleh Bapak,”padahal kakeknya buta.
“Bagus ..! Bagus ..! Kalian ditinggali banyak uang. Syukurlah..!” kata sang kakek.
Sesungguhnya maksud Asma’, disamping untuk menyenangkan hati kakek supaya tidak susah memikirkan dan memberinya apa-apa lagi. Lebih jauh dari itu, sebenarnya Asma’ tidak mau menerima bantuan orang musyrik, walau itu dari kakeknya sendiri. Hal ini merupakan bukti kuat yang menunjukkan sedemikian besarnya perhatiannya terhadap dakwah dan kepentingan kaum muslimin.
Asma’ binti Abu Bakar diberi julukan oleh Rasulullah sebagai Dzatun Nithâqayn (wanita yang mempunyai dua ikat pinggang). Hal ini terkait dengan peristiwa, ketika tepat di hari Rasulullah SAW hendak berangkat hijrah ke Madinah. Asma’ menyediakan makanan dan minuman untuk perbekalan beliau berdua dengan ayahnya Abu Bakar. Ketika dia hendak mengikat karung makanan dan qirbah (tempat air minum) dia merobek ikat pinggangnya sebagai tali pengikat. Karena itulah Rasulullah saw mendo’akan nya semoga Allah mengganti ikat pinggang Asma’ dengan dua ikat pinggang yang lebih baik dan indah di syurga. Sejak itu Asma’ digelari “Dzatin Nithâqain”.
Berkaitan dengan peristiwa hijrah inipun, sebenarnya ada berbagai hal yang bisa kita teladani, yang menggambarkan bagaimana kekuatan berfikir dan berstrategi yang dimiliki oleh seorang muslimah, tentu saja ini berkaitan dengan aktivitas politiknya yang dihasilkan dari kecemerlangan akal yang dimilikinya, bukan sekedar aktivitasnya mengantarkan makanan saja.
Asma’ mengirim makanan untuk dua orang yang berperan penting bagi umat Islam, Rasulullah dan ayahnya, Abu Bakar agar keduanya tidak kehausan atau kelaparan. Tetapi lebih dari itu, Asma’ juga menyampaikan berita-berita penting tentang rencana-rencana orang-orang Kafir Quraisy terhadap kaum muslimin, yakni ketika suasana sangat genting dimana orang-orang Kafir Quraisy tengah mencari-cari Rasulullah saw untuk dibunuh karena bencinya mereka terhadap dakwah Islam dan orang-orang yang mengemban risalah Islam. Dengan perut yang besar, karena kehamilannya waktu itu, Asma’ mengambil peran yang beresiko tinggi, mengapa ? Karena bila ketahuan, bukan hanya nyawanya yang menjadi taruhan, tetapi lebih dari itu, Abu Bakar dan utusan Allah, Muhammad saw pun akan terancam keselamatannya. Apalagi orang-orang Kafir Quraisy saat itu tengah marah besar karena Muhammad saw berhasil lolos dari kepungan, dan posisinya digantikan oleh Ali bin Abi Thalib. Tetapi dengan sangat cerdik dan penuh perhitungan Asma’ berjalan menuju persembunyian Abu Bakar dan Rasulullah saw di gua Tsur, sambil menggembalakan kambing-kambingnya. Ia berjalan di depan dan kambing-kambingnya berjalan di belakangnya. Dengan cara ini, tidak ada yang bisa mengikuti jejaknya, karena jejak kaki Asma’ terhapus oleh jejak kaki kambing gembalaannya. Apa yang dilakukan Asma’ itu belum tentu mampu dilakukan seorang lelaki pemberanipun, karena hal itu bisa mengundang bahaya, kezhaliman dan keberingasan orang-orang kafir Quraisy. Suatu perbuatan yang membutuhkan pemikiran yang mendalam, keteguhan hati, sekaligus keberanian dan kekuatan iman.
Ternyata permasalahannya tidak berhenti sampai disini saja, setelah Rasulullah saw dan Abu Bakar berhasil keluar dari tempat persembunyiannya dan berhijrah ke Madinah, Asma’ menuturkan, “Kami di datangi beberapa orang Quraisy, di antara mereka adalah Abu Jahal. Mereka bertanya, “Mana ayahmu wahai putri Abu Bakar ?” Dengan diplomatis Asma’ akhirnya menjawab,” Demi Allah, aku tidak tahu di mana sekarang ayahku berada, ”Seketika itu pula Abu Jahal mengangkat tangannya dan menampar pipi Asma’ dengan satu kali tamparan yang membuat anting-antingnya lepas, setelah itu mereka beranjak pergi.
Setelah Rasulullah saw dan Abu Bakar berhasil hijrah ke Madinah, maka giliran Asma’ untuk hijrah ke Madinah, sementara saat itu Ia dalam keadaan hamil tua, mengandung Abdullah bin Zubair. Sekalipun sudah hampir melahirkan, keadaan ini tidak menjadi rintangan baginya untuk menempuh perjalanan jauh dan berbahaya. Akhirnya, setelah sampai di Quba, Asma’ melahirkan bayi yang sangat didambakannya. Sebagai tanda syukur dan gembira, kaum muslimin mengucapkan takbir dan tahlil menyambut kelahiran Abdullah bin Zubair. Itulah bayi yang pertama lahir di Madinah.
Asma’ segera membawa bayinya ke hadapan Rasulullah saw dan meletakkannya di pangkuan beliau. Rasulullah mengambil air ludahnya sedikit, lalu dimasukkannya ke mulut bayi tersebut, itulah makanan yang pertama masuk ke dalam rongga mulut anak itu. Kemudian beliau membaca do’a bagi bayi tersebut.
Sebagai seorang ibu, telah sering pula kita mendengar kisahnya, sosok ibu yang mengerti benar perannya menciptakan generasi yang berkualitas prima, generasi yang menjadikan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya di atas segalanya, apakah itu harta, anak, istri dan sebagainya, generasi yang siap berjuang membela bendera Islam dan kalimah Lâ Ilâha Illallâh, Muhammad Rasûlullâh. Dan generasi seperti ini nampak jelas dalam diri putra Asma’ binti Abu Bakar, yaitu Abdullah bin Zubair. Tentang hal ini kita simak salah satu kisah pertemuan terakhir antara ibu dan anak yang saling menyayangi dan mencintai satu sama lain, semata-mata karena kecintaan keduanya yang tinggi kepada Allah swt dan RasulNya.
Abdullah bin Zubair diangkat menjadi khalifah setelah khalifah Yazid bin Mu’awiyah meninggal. Negeri-negeri Hijaz, Mesir, Iraq, Khurasan dan sebagian besar negeri Syam telah tunduk ke bawah pemerintahannya. Tapi Bani Umayyah tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan tentara yang besar di bawah pimpinan panglima Hajjaj bin Yusuf Ats Tsaqafy untuk menggulingkan khalifah. Abdullah bin Zubair turun ke medan tempur memimpin sendiri tentara yang setia kepadanya. Dia memperlihatkan kebolehannya sebagai panglima perang yang gagah berani dengan taktik dan strategi perang yang brilian.
Tetapi para perwira bawahan dan prajuritnya banyak yang meninggalkannya satu demi satu, membelok ke pihak musuh. Akhirnya dengan jumlah tentara yang tinggal sedikit dia mundur di bawah naungan Ka’bah yang suci dan agung. Beberapa saat sebelum kekalahannya, Abdullah bin Zubair pergi menemui ibundanya yang sudah lanjut usia.
“Assalâmu’alaiki warahmatullâhi wabarakâtuhu, wahai ibunda!” kata Abdullah memberi salam kepada ibunya.
“Wa’alaikas salâm warahmatullâhi wabarakâtuhu, ya Abdullah! Mengapa engkau datang ke sini pada saat begini? Padahal batu-batu besar yang dilontarkan Hajjaj kepada tentaramu menggetarkan seluruh kota Mekkah,” kata ibunya.
“Aku datang hendak bermusyawarah dengan ibu,” jawab Abdullah dengan hormat dan menunjukkan kasih sayangnya.
“Tentang masalah apa?” tanya ibunya khawatir.
“Tentaraku banyak meninggalkanku. Mereka membelot dari padaku ke pihak musuh. Mungkin karena takut kepada Hijjaj atau mungkin juga karena menginginkan sesuatu yang di janjikannya, sehingga anak-anak dan istriku pun berpisah denganku. Sedikit sekali jumlah tentara yang tinggal bersamaku. Mereka itu pun agaknya tidak akan sabar bertahan lebih lama bersamaku. Sementara itu, para utusan Bani Umayyah menawarkan kepadaku apa saja yang kuminta berupa kemewahan dunia asal saja aku bersedia meletakkan senjata dan bersumpah setia mengangkat Abdul Malik bin Marwan menjadi khalifah. Bagaimana pendapat ibu?” Tanya Abdullah.
Asma’ menjawab dengan suara tinggi, ”Terserah kepadamu ya Abdullah! Bukankah engkau sendiri yang tahu dengan dirimu? Bila engkau yakin bahwa engkau mempertahankan yang hak dan mengajak kepada kebenaran, maka teguhkan seperti para prajuritmu yang telah gugur dalam mengibarkan benderamu! Tetapi bila engkau menginginkan kemewahan dunia, sudah tentu engkau seorang anak laki-laki yang pengecut. Berarti engkau mencelakakan diri sendiri dan menjual murah harga kepahlawananmu selama ini, nak!”
Abdullah menundukkan kepala di hadapan ibunya yang kelihatan marah bercampur berbagai perasaan yang tidak pasti wujudnya. Walaupun ibunya sudah tua dan buta, Abdullah yang khalifah dan panglima perang yang gagah berani tidak sanggup melihat wajah ibunya karena sangat hormat dan kasih kepadanya.
“Tetapi aku akan terbunuh hari ini, bu! Kata Abdullah lembut.
“Itu lebih baik bagimu dari pada engkau menyerahkan diri kepada Hajjaj. Akhirnya toh kepalamu akan diinjak-injak juga oleh budak-budak Bani Umayyah dengan mempermainkan janji-janji mereka yang sulit dipercaya,” jawab ibunya tegas dengan nada tinggi.
“Aku tidak takut mati, bu! Tetapi aku khawatir mereka akan mencincang dan merobek-robek jenazahku dengan kejam,” kata Abdullah lagi.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan perbuatan orang hidup sesudah kita mati. Kambing yang sudah disembelih tidak merasa sakit lagi ketika kulitnya dikupas orang,” kata ibunya.
“Semoga ibu diberkati Allah. Begitu pula hendaknya buah pikiran ibu yang selalu terang benderang. Maksud kedatanganku hanya untuk mendengar apa yang telah kudengar dari ibu sebentar ini. Allah Maha Tahu, aku tidak lemah dan tidak terlalu hina. Dia Maha Tahu, aku tidak terpengaruh oleh dunia dan kemewahannya. Murka Allah bagi orang-orang yang menyepelekan segala yang diharamkanNya. Inilah aku, anak ibu! Aku selalu patuh menjalani segala nasihat ibu. Apabila tewas, janganlah ibu menangisiku. Segala urusan kehidupan ibu, serahkan kepada Allah…! Kata Abdullah menguatkan hati ibunya.
“Yang ibu kuatirkan kalau-kalau engkau tewas di jalan yang sesat,” kata Asma’ memperlihatkan keteguhan imannya.
“Percayalah ibu! Anak ibu tidak memiliki pikiran sesat untuk berbuat keji. Anak ibu tidak percaya untuk menyelamatkan diri dengan mengorbankan orang-orang muslim yang baik, atau melakukan kejahatan-kejahatan lain. Anak ibu mengutamakan keridhoan ibu. Aku katakan semua ini di hadapan ibu dari hatiku yang putih bersih. Allah ta’ala menanamkan kesabaran yang dalam di hati sanubari ibu.”
Jawab Asma’ ”Alhamdulillâh…! Segala puji bagi Allah yang telah membuat engkau teguh memegang apa yang disukai-Nya dan yang ibu sukai pula. Mendekatlah kepada ibu, anakku! Ibu ingin mencium baumu dan menyentuhmu. Agaknya inilah saat terakhir bagi ibu untuk menciummu…”
Abdullah menjatuhkan diri ke pangkuan ibunya. Hidung Asma’ beranjak dari kepala, ke muka dan tengkuk Abdullah. Tangannya menyentuh tubuh Abdullah, tetapi tiba-tiba Asma’ menarik kembali tangannya yang keriput seraya bertanya, ”Apa yang engkau pakai, hal Abdullah?”
“Baju besi!” jawab Abdullah.
“Untuk apa pakaian seperti ini dipakai oleh orang yang ingin syahid?” Tanya Asma’.
‘Aku memakainya untuk menyenangkan hati ibu,” jawab Abdullah.
“Tanggalkan baju besi itu! Tanpa baju besi itu engkau lebih memperlihatkan semangat yang tinggi dan keperkasaan. Disamping itu engkau dapat bergerak dengan leluasa, ringan dan lincah. Sebagai gantinya pakailah celana rangkap. Seandainya engkau tewas auratmu tidak mudah terbuka,” kata ibunya dengan penuh kasih sayang.
Abdullah melepas baju besinya, kemudian memakai celana rangkap. Sesudah itu dia pergi ke Masjidil Haram meneruskan pertempuran sambil berpesan kepada ibunya,” jangan bosan mendo’akanku, ibu!”
Asma menadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, ”Wahai Allah! Kasihanilah dia karena shalat yang panjang diselingi tangis di tengah malam buta, ketika orang-orang lain sedang tidur nyenyak. Duhai Allah! Kasihanilah dia yang sering menahan lapar dan haus ketika bertugas jauh dari Madinah atau Mekkah dalam menunaikan ibadah puasa karenaMu. Duhai Allah! Kasihanilah dia yang selalu berbuat kebaikan dan menuntut kasih sayangnya terhadap ibu dan bapaknya. Duhai Allah! Aku serahkan dia ke dalam pemeliharaanMu dan aku ridha dengan apa yang telah Engkau tetapkan baginya dan berilah aku pahala orang-orang yang sabar…!
Sebelum matahari terbenam di sore hari itu, Abdullah bin Zubair syahid menemui Rabbnya. Dia pulang ke rahmat Allah karena mengutamakan ridha Allah. Lebih kurang tujuh belas hari setelah kematian putranya, Asma’ wafat pula menyusul putranya tercinta. Asma’ binti Abu Bakar Shiddiq pulang ke rahmatullah dalam usia seratus tahun. Walapun usianya sudah lanjut, namun giginya masih utuh semuanya, tidak ada yang tanggal satupun. Daya pikirnya tetap kuat dan prima. Begitu pula imannya seperti dikisahkan dari cela-cela kehidupannya yang penuh taqwa. Radhiyalhu’anhuma. Semoga Allah meridhai kedua hambanya. Asma’ dan Abdullah bin Zubair, putranya.
Inilah sebuah teladan yang sangat berharga bagi kita semua, bukan saja keberaniannya, kepatuhannya kepada Allah, suami dan ayahnya, pengorbanannya yang besar atau sikap dermawannya, serta kedalaman berpikirnya, tetapi lebih dari itu kesadaran politik yang dimiliki serta kemampuannya mensinergiskan peran-peran yang harus dilaksanakan oleh seorang muslimah demikian melekat kuat dalam dirinya. Bersama suaminya, Zubair terbentuklah keluarga sakinah mawaddah wa rahmah bukan karena harta yang melimpah ruah, tetapi sebuah keluarga yang selalu diberkahi dan dirahmati oleh Allah swt, karena anggota-anggota keluarganya menjadikan kecintaan kepada Allah swt di atas kecintaan-kecintaan lainnya. Dari keluarga ini lahir seorang syuhada yang gagah berani, yang tidak takut terhadap apapun kecuali kepada Allah swt. Sekalipun demikian, Asma’ tidak mengabaikan peran politiknya. Ia berperan aktif dalam hijrahnya kaum muslimin ke Madinah. Berpindahnya kaum muslimin dari kondisi yang buruk kepada yang baik, sehingga akhirnya tegaklah daulah Islamiyah di Madinah.
(Sumber : Revisi Politik Perempuan, Najmah Saiidah&Husnul Khotimah, Idea Pustaka)
1 komentar:
Subhanallah...begitu mengagumkan perjuangan Asma...
Melecut diri kita selaku muslimah.Mudah2xan kita bisa menjadi pendidik yang lebih baik buat generasi berikutnya...
jazakallah...
Posting Komentar