INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 20 April 2011

IDE KKG DAN PROYEK MELANGGENGKAN HEGEMONI KAPITALISME

Oleh : Siti Nafidah Anshory

Demikianlah, kami jadikan untuk setiap nabi ada musuh. Yaitu setan dari jenis manusia dan jin yag menyebarkan perkataan-perkataan indah dengan tujuan untuk menipu. (TQS. Al-an’am : 112)

Mengurai Nasib Perempuan Hari Ini

Proporsi jumlah perempuan sebenarnya lebih dari setengah populasi dunia. Namun di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, kondisi kaum perempuan masih belum bisa dikatakan sejahtera. Berbagai persoalan terus membelit kehidupan mereka hingga membuat kondisi mereka terpuruk dan jauh dari kemuliaan.

Secara ekonomi, kehidupan sebagian besar kaum perempuan, demikian lekat dengan kemiskinan. Inilah yang memaksa mereka harus tampil sebagai super woman yang siap menanggung beban ganda; menjadi ibu dan isteri di satu sisi dan pencari nafkah di sisi yang lain. Mirisnya, kemiskinan yang selama ini mereka alami membuat mereka sulit mengakses layanan pendidikan dan kesehatan bermutu, hingga kualitas SDM perempuan pun menjadi sangat rendah. Wajar jika pekerjaan yang bisa mereka akses hanyalah pekerjaan stereotype yang tak menjanjikan, dengan tingkat upah rendah dan rawan diskriminasi, kekerasan dan eksploitasi.

Berbondong-bondongnya jutaan TKI perempuan ke luar negeri dan jutaan buruh perempuan yang menghabiskan waktu harian bahkan separuh umurnya di pabrik-pabrik atau di jalan-jalan adalah bukti nyata betapa kehidupan perempuan jauh dari ideal. Kemiskinan memaksa mereka rela berlelah-lelah mencari nafkah dengan segala resiko berat yang harus dihadapi, termasuk mengorbankan nyawa dan harga diri. Merekapun harus rela meninggalkan peran fitrah sebagai perempuan; kehilangan peluang membina keluarga ideal berikut kesempatan emas menikmati keajaiban fase tumbuh kembang anak secara sempurna.

Fakta ini kemudian diperburuk dengan kondisi sosial budaya yang mereduksi kesadaran ruhiyah kaum perempuan yang sebagian besar diantaranya berstatus muslimah. Kehidupan sekularistik dan meterialistik sedikit demi sedikit memupus rasa bersalah dan rasa tidak nyaman tatkala mereka mengabaikan kewajiban dan di saat sama ‘menjerumuskan’ diri dalam kemaksiatan. Tak heran jika ada sebagian muslimah yang gelap mata. Menterjemahkan sedikitnya harta sebagai penderitaan. Sehingga demi rupiah, mereka lantas bersengaja terlibat dalam bisnis gelap bernama pornografi-pornoaksi dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mengeksploitasi seksualitas perempuan. Wajar jika jumlah PSK terus bertambah. Dan praktek perdagangan perempuan pun terus merebak. Alhasil, penyebaran penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS pun terus berlangsung tanpa terkendali. Dan korbannya, lagi-lagi yang terbanyak adalah perempuan.

Perempuan di Tengah Jebakan Ide KKG

Atas carut-marutnya kondisi perempuan, kalangan feminis tetap bersikukuh dengan teori, bahwa biang keladi persoalan ini adalah ketimpangan gender yang dikonstruksi oleh budaya dan agama. Karena itu mereka gencar menawarkan gagasan perubahan budaya dan agama demi mewujudkan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sebagai solusi masalah mereka. Dengan gagasan ini, kaum perempuan didoktrin untuk berpikir, bahwa budaya dan agamalah yang bertanggungjawab atas penderitaan mereka. Dan karenanya mereka harus membebaskan diri dari kungkungan keduanya dan mengalihkan loyalitas pada sekularisme yang mengharamkan keterlibatan agama dalam mengatur kehidupan dan memberi kebebasan untuk melakukan dan meraih apa saja tanpa harus terhalang batasan-batasan syariat.

Lantas, atasnama pemberdayaan politik dan ekonomi, kaum perempuanpun didorong membuka lebar-lebar dinding sekat rumah mereka yang mereka pandang hanya menjadi penghalang kemajuan. Harga diri mereka merasa lebih terangkat ketika bisa lebih banyak berkiprah di ranah publik dan bisa menghasilkan materi sebanyak mungkin. Sebaliknya, kebanggaan sebagai ibu sedikit demi sedikit terhapus sejalan dengan kian jauhnya mereka dari cara pandang dan sistem hidup yang dipenuhi nilai-nilai Ilahiyyah.

Ironisnya, tak sedikit muslimah yang tergiur dengan gagasan KKG ini. Terlebih gagasan ini telah diangkat sebagai isu global dan diaruskan penerapannya di level negara melalui berbagai konferensi Internasional atas inisiatif badan dunia PBB. Tahun 1975, diselenggarakan Konferensi Wanita di Meksiko. Dan saat itu dicanangkan sebagai Tahun Perempuan Internasional demi “Kesetaraan, Pembangunan dan Perdamaian” untuk menandai bangkitnya ‘kesadaran’ dunia akan pentingnya posisi perempuan dengan fokus pada upaya meningkatkan produktivitas kerja mereka. Lima tahun berikutnya, diselenggarakan Konferensi wanita di Kopenhagen (1980) yang difokuskan pada upaya meningkatkan peran dan kontribusi perempuan sebagai subjek pembangunan. Pada konferensi ini juga disepakati sebuah konvensi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan (CEDAW) yang dianggap fenomenal dan menjadi semacam ‘kitab suci’ bagi kalangan feminis hingga hari ini.

Di tahun 1985, diselenggarakan Konferensi Wanita di Nairobi yang memantapkan tujuan ditetapkannya Tahun Internasional Perempuan seraya memperluas lingkup implementasinya melalui pembahasan strategi memajukan perempuan. Pada Konferensi Wanita di Viena (1990) dibentuklah Komisi PBB untuk Kedudukan Perempuan (commission on status of women) yang secara khusus bertugas memantau, mengevaluasi dan membuat program peningkatan status perempuan. Adapun dalam Konferensi Kependudukan di Kairo (1994) dibahas mengenai peran perempuan dalam menyelesaikan masalah kependudukan. Lahirlah konsep kesehatan reproduksi yang menekankan soal hak perempuan atas kehidupan seksual dan kehamilan yang ‘aman’ dan ‘diinginkan’. Selanjutnya pada Konferensi Wanita di Beijing (1995), isu-isu perempuan dibahas secara lebih spesifik, mencakup 12 bidang kritis menyangkut perempuan, yakni masalah kemiskinan, pendidikan dan pelatihan, kesehatan, kekerasan, konflik bersenjata, masalah ekonomi, kekuasaan dan pengambilan keputusan, mekanisme institusional untuk kemajuan perempuan, hak asasi perempuan, media, masalah lingkungan serta soal anak perempuan. Sebagai hasilnya, lahirlah Beijing Plattform for Action (BPFA) yang berisi komitmen negara-negara peserta untuk bersama-sama melakukan upaya memperbaiki nasib perempuan terkait 12 bidang kritis tersebut dengan standar pencapaian tertentu yang disepakati bersama.

Yang paling mutakhir, KTT Millenium di New York City (2000) juga mengangkat isu KKG, sekalipun yang menjadi isu sentral adalah eliminasi kemiskinan. Pada KTT ini, 189 negara peserta menandatangani deklarasi yang berisi 8 poin proyek bersama sasaran pembangunan yang harus dicapai negara-negara peserta sebelum tahun 2015. Di antaranya, penghapusan kemiskinan dan kelaparan ekstrim (dengan standar penghasilan di bawah 1,25 USD/hari), pemerataan pendidikan dasar, persamaan gender dan pemberdayaan perempuan, perlawanan terhadap penyakit khususnya HIV AIDS dan malaria, penurunan angka kematian anak, dan peningkatan kesehatan ibu. Hasil deklarasi ini kemudiaN menjadi acuan negara peserta di dunia dalam melaksanakan berbagai program pembangunan, dimana kaum perempuan bukan hanya diposisikan sebagai objek pembangunan saja, melainkan diajak menjadi subjek dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan dan pembangunan di seluruh dunia.

Seperti inilah, ide KKG terus massif diarus-utamakan, hingga masyarakat dunia pun percaya bahwa kebebasan dan kemandirian perempuan yang menjadi ikon perjuangan para pengusung KKG akan mampu membawa mereka pada kemajuan. Padahal faktanya, gagasan inilah yang nyata-nyata bertanggungjawab atas kerusakan masyarakat Barat akibat hilangnya harmoni kehidupan dan rusaknya pola relasi antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Gagasan ini pula yang menciptakan hubungan laki-laki dan perempuan sarat dengan rasa dendam dan persaingan, hingga perempuan begitu iri dengan apapun yang bisa dilakukan dan dicapai laki-laki, dan begitu terobsesi untuk ‘merebut’ semua lahan termasuk lahan-lahan yang telah Allah tetapkan hanya untuk laki-laki.

Kondisi ini tentu saja membuat kita miris. Karena tidak bisa dibayangkan bagaimana nasib umat ini nanti, jika saat ini kaum muslimah merasa jijik dengan ajaran agamanya dan justru bangga menjadi pengusung ide-ide kufur yang bertentangan dengan Islam? Bagaimana pula wajah generasi umat ini ke depan, jika hari ini para muslimah merasa alergi dengan peran keibuan, lembaga perkawinan dan aturan-aturan Islam yang memuliakan? Hari ini saja, berbagai kerusakan akibat merebaknya pemikiran-pemikiran kufur tadi sudah sedemikian mengerikan. Di negeri-negeri pengusung KKG, pergaulan bebas nyaris menjadi budaya. Praktek aborsi, MBA, perceraian dan single parentpun menjadi hal biasa. Tingkat kriminalitas, termasuk pelecehan dan kekerasan seksual meningkat sedemikian rupa, hingga tercatat di Amerika 1 dari 3 perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dan tiap menit terjadi kasus perkosaan. Begitupun anak dan remaja mereka sudah akrab dengan hedonisme, seks bebas dan narkoba hingga dunia Barat kini terancam kehilangan generasi masa depan berkualitas.

Di negeri-negeri Muslim yang bangga dengan hobi mengekor Barat, kondisinya pun tak jauh beda. Bahkan yang lebih mengerikan, gagasan-gagasan semacam ini telah mengarah pada deideologisasi Islam yang tidak hanya berbahaya dari sisi aqidah karena berarti kian mengukuhkan aqidah sekularisme yang kufur, tapi juga berbahaya karena akan menjauhkan umat dari kemuliaan hidup yang secara pasti hanya akan diperoleh manakala Islam diterapkan dalam kehidupan secara purna dan utuh. Jika demikian halnya, lantas apa yang sebenarnya dicari oleh para Muslimah dan umat di negeri-negeri kaum muslimin? Kenapa masih percaya bahwa KKG-lah solusi permasalahan mereka?

Kapitalisme : Penyebab Perempuan Tak Sejahtera

Jika mau jujur berpikir, apa yang disebut sebagai persoalan perempuan sebenarnya adalah persoalan kita semua, masyarakat dunia secara keseluruhan. Terkait kemiskinan, hari ini saja, angka kemiskinan ekstrim di tingkat dunia masih 25% dari populasi yang mencapai 6,88 milyar jiwa. Sementara di Indonesia jumlah penduduk miskin masih ada sekitar 13,33% versi BPS (standar Rp. 211.000/kap/bln) dan 47% versi Bank Dunia (standar 2USD/kap/hari). Di saat yang sama, jumlah orang yang kelaparan dan pengidap gizi buruk di level dunia justru makin besar, mendekati angka 1 milyar orang atau rata-rata 16% penduduk di negara-negara berkembang.

Dua per tiga jumlah orang kelaparan itu terdapat di tujuh negara: Bangladesh, Cina, Kongo, Ethiopia, India, Indonesia dan Pakistan, sementara 40%-nya terdapat di Cina dan India. Bahkan catatan UNESCAP pada pertemuan MDGs September 2010 lalu menyebut, bahwa angka kemiskinan, gizi buruk, pengangguran dan penduduk yang kesulitan akan akses sanitasi yang baik di Asia Pasifik dengan penduduk lebih dari separuh populasi dunia (baca: laki-laki dan perempuan), diprediksi akan terus bertambah pada 2015 mendatang, menyusul ancaman krisis pangan akibat pemanasan global yang melanda dunia. Bayangkan, catatan ini belum menyebut bagaimana nasib masyarakat di luar Asia Pasifik yang tentunya tak semua bisa lolos dari jebakan kemiskinan.

Sejalan dengan kemiskinan, berbagai ketimpangan, baik di bidang ekonomi maupun sosial yang berdampak pada merebaknya praktek diskriminasi, marginalisasi dan kekerasan juga terjadi dimana-mana. Dan korbannya ternyata bukan hanya kaum perempuan tapi juga laki-laki. Faktanya, hanya segelintir orang yang bisa mengakses faktor-faktor ekonomi yang dibutuhkan untuk memperoleh taraf kehidupan yang layak. Hanya sedikit pula masyarakat dunia yang bisa mengakses layanan pendidikan dan kesehatan bermutu yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas hidup yang memungkinkan bagi mereka berkontribusi maksimal dalam membangun peradaban.

Realitas ini merupakan hal yang wajar jika dikaitkan dengan situasi global yang tengah didominasi sistem kapitalisme. Sistem yang tegak diatas asas sekularisme-liberalisme ini memang memiliki watak imperialistic dan eksploitatif. Dan ini tercermin dalam berbagai aturan hidup bebas yang dilahirkannya. Di bidang politik, kapitalisme menciptakan situasi dimana yang kuat akan menindas yang lemah. Paradigma hubungan rakyat-penguasa yang dibangun olehnya tak lebih sebagai hubungan penjual dengan pembeli, dan negara diminimalisir perannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Begitupun di bidang sosial dan budaya, kapitalisme telah menjadikan kemanfaatan dan kebebasan sebagai “agama yang dipuja”.

Di bidang ekonomi, lahir perilaku menghalalkan segala cara, watak culas dan mementingkan diri sendiri. Hal ini terwujud dalam berbagai paket kebijakan neoliberal yang memunculkan ketidakadilan di berbagai level. Muncullah ketimpangan yang terus melebar antara negara kaya dan negara miskin di level dunia. Bahkan kapitalisme berhasil mendistribusikan kemiskinan hampir ke seluruh negara di dunia. Di level Indonesia, penerapan sistem inipun telah berhasil menciptakan gap sosial yang lebar antara si kaya dan si miskin dan memelihara kemiskinan itu sendiri tanpa memandang apakah korbannya laki-laki ataupun perempuan.

Berbagai data perkembangan dunia sepuluh tahun terakhir memang menunjukkan bahwa penerapan sistem kapitalisme-neoliberal oleh negara-negara adidaya atas ‘bantuan’ lembaga-lembaga internasional telah berhasil mengglobalkan kemiskinan daripada kemakmuran. Dan ini tentu bertolakbelakang dengan target berbagai perjanjian internasional maupun deklarasi semisal MDGs dan KKG yang digembar-gemborkan negara-negara adidaya melalui badan dunia PBB untuk mengentaskan kemiskinan dunia, termasuk kemiskinan dan peningkatan status perempuan.

Tengok saja! Kebijakan pasar bebas yang menjadi senjata andalan sistem kapitalisme yang diterapkan sejak pertemuan Bretton Woods 1944 dan terus dikukuhkan hingga sekarang melalui berbagai perjanjian internasional, nyatanya telah menjadi alat imperialisme baru negara-negara kapitalis. Ironisnya negara-negara inilah yang justru menjadi penggagas dan motor program-program PBB terkait perempuan dan upaya pengentasan kemiskinan dunia ala MDGs. Hasilnya, kekayaan negara-negara dunia ketiga dikuras habis dan kedaulatan mereka dirampas, hingga milyaran rakyatnya, baik laki-laki maupun perempuan, hidup di bawah garis kemiskinan dan di saat sama, mereka berhasil membuat 54% pendapatan dunia justru masuk ke hanya 10% kantung orang-orang terkaya di negara-negara mereka.

Begitupun, jebakan krisis ekonomi yang ‘dikelola’ AS dan resep debt swap/jebakan utang yang mematikan ala IMF juga telah memaksa negara-negara lemah korban krisis itu menanggung beban utang ribawi yang luar biasa besar. Sementara di saat yang sama, sumber-sumber alam dan berbagai asset strategis yang mereka miliki harus rela dikuasai kapitalis asing akibat resep IMF yang mewajibkan pasiennya melakukan program-program anti rakyat semacam privatisasi, pencabutan subsidi, deregulasi dan liberalisasi. Ironisnya, pendonor lembaga rentenir IMF juga adalah negara-negara kapitalis yang menggagas dan menjadi motor program-program PBB semacam MDGs dan pengarusutamaan ide KKG.

Untuk kasus Indonesia, kebijakan ekonomi kapitalistik yang pro neoliberalisme dan di setir kepentingan asing semacam IMF pun jelas tidak bisa diharapkan akan mampu mengentaskan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan yang digembar-gemborkan PBB melalui program pengarusutamaan KKG dan proyek MDGs. Bagaimana bisa angka kemiskinan dan kelaparan diturunkan jika pembangunan ekonomi sektor ril mandeg akibat kebijakan pasar bebas dan privatisasi asset-aset strategis milik rakyat? Bagaimana bisa, kualitas pendidikan, kesehatan dan daya dukung lingkungan bagi rakyat termasuk kaum perempuan ditingkatkan, sementara akses terhadap fasilitas pendidikan dan kesehatan kian mahal akibat program privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan dan kesehatan, termasuk bidang farmasi? Bagaimana bisa semua itu diwujudkan, sementara tanggungjawab sosial negara kian hilang akibat kebijakan anti rakyat semacam penghapusan subsidi? Bagaimana bisa, kesejahteraan rakyat ditingkatkan dan karenanya kemiskinan –termasuk yang menimpa kaum perempuan-- dihapuskan jika sumber pendapatan negara hanya mengandalkan pajak dari rakyat dan hutang luar negeri sementara kekayaan yang melimpah ruah habis dihadiahkan kepada asing melalui berbagai perjanjian yang dilegalisasi undang-undang? Jika demikian halnya, memberantas kemiskinan dan menciptakan kesejahteraan laki-laki dan perempuan dengan berbagai deklarasi, termasuk melalui program-program KKG dan MDGs, memang cuma mimpi.

KKG dan Proyek Melanggengkan Kapitalisme

Atas realita bahwa sistem kapitalistik dan neoliberal ini disetir dan dijalankan secara global oleh pemerintah negara-negara adidaya dengan menggunakan alat lembaga-lembaga internasional semacam PBB (yang justru menggagas berbagai perjanjian iternasional dan deklarasi semacam KKG dan MDGs) dan diinisiasi oleh lembaga-lembaga finansial global semacam World Bank, IMF, ADB (yang justru menjadi donatur program-program implementasi program-program PBB termasuk KKG dan MDGs), wajar jika muncul kecurigaan bahwa berbagai perjanjian, deklarasi dan program aksi semacam KKG dan MDGs sejatinya hanyalah “mantel ideologi bagi kepentingan neoliberalisme”. Pengarus utamaan KKG misalnya, ditengarai mejadi alat penghancuran masyarakat Islam yang –diakui atau tidak—masih potensial menjadi tantangan bagi langgengnya hegemoni Barat di masa depan. Sedangkan proyek MDGs ditengarai hanya menjadi alat negara adidaya untuk melempar tanggungjawab atas dampak busuk kapitalisme yang mereka ekspor ke seluruh dunia sekaligus menjadi alat untuk membuai negara-negara kaya tapi lemah dengan apa yang disebut “keberhasilan pencapaian target pembangunan millennium” dengan membuat standar-standar yang sangat minimalis yang membuat mereka mabuk dan lupa atas penjajahan terselubung yang tengah menimpa dan menghinakan mereka selama ini.

Sebagai ideologi, kapitalisme tentu berkepentigan menjaga eksistensi hegemoninya atas dunia. Itulah kenapa, negara penganut kapitalisme semacam Amerika dan negara adidaya lainnya menerapkan khiththah/strategi politik luar negeri yang bersifat agresif dan imperialistik. Pasalnya, pasca runtuhnya kekuatan ideologi sosialisme di tahun 90-an, Islam –sekalipun belum diusung oleh negara-- menjadi satu-satunya penghalang atas obsesi mereka. Itulah kenapa mereka terus berupaya menghalangi kebangkitan Islam dalam wujud institusi negara dengan berbagai cara, termasuk penjajahan lewat perempuan.

Secara fakta, banyak hal yang bisa membuktikan betapa imperialis kapitalis telah secara sengaja 'memanfaatkan' kalangan perempuan (muslim) untuk memuluskan jalannya skenario besar mereka menghancurkan Islam melalui penghancuran institusi masyarakat Islam. Mereka sadar betul bahwa ada korelasi positif antara penghancuran masyarakat dengan penghancuran kaum perempuan, karena perempuan merupakan separuh masyarakat dan berfungsi sebagai pilar penyangga masyarakat. Disisi lain, merekapun melihat bahwa upaya menjauhkan umat dari ideologi Islam masih belum berhasil sepenuhnya.

Selama ini, mereka memang telah berhasil menjauhkan umat dari aturan-aturan Islam menyangkut masalah politik, ekonomi, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Akan tetapi masih ada sisa-sisa pemikiran Islam yang hingga kini tetap dikukuhi masyarakat, tetapi dianggap mengandung potensi bahaya bagi hegemoni mereka di masa depan. Yakni hukum-hukum yang menyangkut keluarga, yang pada saat ini menjadi satu-satunya benteng terakhir pertahanan umat Islam setelah benteng utamanya, yakni Daulah Khilafah Islam dihancur-leburkan.

Dalam kerangka penghancuran keluarga muslim inilah perempuan muslim dimanfaatkan. Dimana seperti dahulu mereka menghancurkan Daulah Khilafah Islam, merekapun menggunakan upaya peracunan pemikiran untuk menanamkan aqidah sekuler di benak-benak perempuan muslim sebagai strategi utamanya (seperti ide kebebasan, HAM, dll). Targetnya adalah, ’membebaskan’ mereka dari ’kungkungan’ peran-peran keibuan, atau setidaknya menghilangkan aspek strategis-politis peran keibuan, dengan cara menggambarkan peran tersebut sebagai peran tidak penting, menjijikkan dan merupakan simbol ketertindasan yang layak disingkirkan. Dalam konteks keluarga, target mereka adalah merobohkan pola interaksi islami yang ada di dalamnya, sehingga keluarga tidak bisa lagi berfungsi sebagai pemelihara ikatan aqidah umat sekaligus camp ideal bagi berlangsungnya pendidikan generasi, sehingga akhirnya harapan bangkitnya kembali peradaban Islam yang gemilang di masa depan bisa dihapuskan.

Adapun cara yang mereka tempuh adalah dengan memanfaatkan banyaknya kenyataan buruk yang menimpa perempuan (muslim) hari ini, seperti keterkungkungan, kemiskinan, ketertinggalan, ketertindasan, dan sebagainya sebagai alat untuk masuk ke jantung perhatian umat. Dengan dalih peduli terhadap nasib perempuan, mereka jual paket 'kemajuan perempuan Barat' dengan ide KKGnya yang rusak dan asumtif itu untuk dijadikan patron ideal bagi kemajuan perempuan muslim, sekaligus pada saat yang sama melakukan berbagai ’uji kritis’ terhadap aturan-aturan Islam yang dianggap mengukuhkan ketidakadilan terhadap perempuan, seperti masalah perwalian, nasab, pakaian, waris, kepemimpinan, nafkah dan sebagainya. Tak lupa pula mereka tawarkan paket-paket tambahan berupa 'program bantuan', berikut kucuran dana yang sangat besar untuk merekonstruksi kondisi perempuan di dunia ketiga itu (baca : dunia Islam) dengan memanfaatkan lembaga-lembaga dunia semacam PBB sebagai event organizernya, serta forum-forum internasional yang memang menjadi perpanjangan tangan bagi kepentingan mereka. Selanjutnya, atasnama pemberdayaan ekonomi perempuan, kesehatan reproduksi perempuan, peningkatan partisipasi politik perempuan, dan program-program ’bermadu’ lainnya, mereka suntikkan pemikiran-pemikiran beracun untuk membius kaum perempuan hingga lupa pada jatidirinya sebagai muslimah, serta lupa pada komitmennya terhadap keluarga dan tugas mempersiapkan generasi. Sehingga kemudian, gagasan-gagasan seputar ’kemandirian dan pembebasan perempuan’ serta isu-isu gender lain ala Baratpun menjadi topik-topik hangat yang diperbincangkan perempuan-perempuan muslimah di berbagai forum diskusi, seminar-seminar, pengajian-pengajian, bahkan obrolan-obrolan kecil ibu-ibu perumahan.

’Prestasi’ ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari peran ’agen misi’ dari kalangan gerakan-gerakan perempuan (feminis) muslim yang berjejaring dengan berbagai LSM komprador lain, yang sengaja disponsori foundation kapitalis untuk 'berjuang' pada tataran praktis dengan mindframe dan jobdes yang mereka inginkan. Yakni mindframe dan jobdes feministik dan liberalis yang jauh dari Islam, bahkan tak sedikit yang melawan Islam! Itulah kenapa, hari ini kita bisa melihat, betapa para feminis muslim dan kaum liberalis yang tergabung dalam LSM-LSM tadi –-baik secara lembaga, maupun melalui individu-individu yang mereka blow-up ketokohannya-- sangat gigih menyerukan gagasan-gagasan liberal atasnama pembebasan perempuan, yang hakekatnya menyerukan pembebasan dari mindframe Islam lewat apa yang mereka namakan gagasan reinterpretasi dan rekonstruksi ajaran Islam. Disamping itu, merekapun intens melakukan mainstreaming (pengarus utamaan) opini feministik dan liberalis ini di semua lini hingga ke level bawah --termasuk melalui kurikulum pendidikan maupun melalui berbagai kebijakan publik seperti Undang-Undang berperspektif gender dan anti syari’at-- untuk kian menguatkan opini bahwa ide KKG adalah solusi, sementara Islam adalah pengukuh atas keterbelakangan perempuan, sehingga sudah saatnya dipermak, dicampakkan atau dipeti-eskan. Dalam konteks Indonesia, kasus digulirkannya Counter Legal Drafting KHI yang sempat memicu kontroversi, disahkannya UU No. 23/2004 tentang KDRT, disahkannya UU Kewarganegaraan dan Perlindungan Anak yang memuat materi kontradiktif dengan syari’at, serta Inpres No. 9/2000 tentang Pengarus Utamaan Gender Dalam Pembangunan Nasional --termasuk rencana pengesahan UU Kesehatan Reproduksi dalam waktu dekat yang salah satu itemnya memuat isu legalisasi aborsi dan UU gender lainnya-- merupakan bukti 'keberhasilan' upaya mereka meraih target ini.

Hanya saja, jika dicermati serangan imperialis kapitalis ini sebenarnya tidak hanya memiliki satu target. Selain target politis-ideologis berupa pencegahan tampilnya kekuatan Islam ideologi, serangan AS ini juga memiliki target ekonomi sebagaimana watak aslinya sebagai negara pengemban kapitalisme. Dalam hal ini kaum perempuan muslim yang telah --dimiskinkan lahir batin-- sengaja dimanfaatkan sebagai objek eksploitasi kapitalisme global, dimana dengan peracunan pemikiran tadi plus melalui serangan budaya yang dilancarkan secara intens lewat majalah-majalah, koran-koran, televisi, internet, film-film hingga penyelenggaraan event ratu-ratuan, yang senyatanya memang mereka (para kapitalis) monopoli, kaum muslimah digiring untuk menyukai bahkan mempertuhankan hedonisme. Dengan cara ini pula, mereka berupaya membangun imej tentang kiblat lifestyle baru dan global yang layak diadopsi perempuan muslim modern. Yang padahal, pada saat yang sama mereka sedang menciptakan kapstok-kapstok berjalan dan sekaligus pasar raksasa bagi kepentingan marketing produk-produk mereka dimana perempuan-perempuan muslimah menjadi sasarannya.
Sayangnya, sebagian muslimahpun terjebak dalam kebahagiaan dan kesejahteraan semu yang disuguhkan kapitalisme, yang sejatinya dibuat untuk menutup penderitaan dan kemiskinan hakiki yang diciptakannya.

Kaum Perempuan dan Umat Islam Seharusnya Bisa Sejahtera

Sebagai umat pinilih, tak semestinya umat Islam di seluruh dunia termasuk Indonesia menjadi umat yang miskin, terjajah dan hidup jauh dari kesejahteraan. Umat Islam memiliki potensi ideologis, yakni ajaran Islam yang sempurna dan siap menjawab tantangan jaman. Umat Islam pun memiliki modal untuk mewujudkan kesejahteraan. Selain potensi sumberdaya manusia yang melimpah dan berkualitas, umat Islampun dianugerahi sumber kekayaan alam yang melimpah ruah, baik berupa hutan, laut, sungai dengan segala isinya, bahan tambang berupa mineral, minyak, gas bumi, dll. Hal ini diperkuat dengan kondisi geografis yang sangat strategis dan berpotensi untuk membangun bargaining kuat di antara bangsa-bangsa lain di dunia.

Untuk Indonesia saja, di tahun 2009 Badan Geologi merilis data, bahwa masih terdapat cadangan batubara 104.760 juta ton, emas 4.250 ton, tembaga 68.960 ribu ton, timah 650.135 ton dan nikel 1.878 juta ton dalam perut buminya. Sayangnya, amanah Allah berupa kekayaan alam milik rakyat ini tak dikelola secara baik oleh para penguasa Indonesia dari masa ke masa. Konsistensi mereka pada kebijakan ekonomi liberal kapitalistik telah menyebabkan sebagian besar kekayaan itu jatuh ke tangan asing. Jebakan kesepakatan internasional, hutang luar negeri dan rekayasa krisis ekonomi ala Yahudi berikut penyelesaian masalah mereka pada resep IMF telah membuat pemerintah kita tunduk pada kemauan asing.

Akibatnya? Ladang minyak bumi Indonesia hampir 90 persen dikuasai asing. Begitupun SDA yang lain. Salah satunya, PT. Freeport-McMoRan pengelola tambang emas asal Amerika mendapat izin gratis untuk mengeksploitasi pertambangan emas di Ertsberg dan Grasberg Papua melalui perjanjian Kontrak Karya yang sejak tahun 1967 terus diperpanjang hingga saat ini. Tiap hari, perusahaan ini ditengarai berhasil menambang 102.000 gr emas (bayangkan, harga emas 24 karat sekitar Rp. 400 ribu/gr) berikut ‘bonus’ berupa tembaga dan uranium. Jika dihitung, emas kita yang sudah mereka rampok berjumlah 102.000grX43thX365 hari. Padahal emas yang mereka keruk ini bisa menjadikan kita memiliki cadangan devisa yang berlimpah tanpa harus mengorbankan rakyat terutama kaum perempuan mereka untuk jadi TKI. Belum lagi perusahaan-perusahaan asing lainnya, yang dengan cara sama mereka mendapat legalisasi merampok kekayaan kita. Ada Exxon Mobil, Shell, British Petroleum, Total S.A., Chevron Corp. dll yang di tahun 2009, semuanya diperkirakan mengelola kekayaan alam Indonesia dengan nilai 1.655 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 17.000 triliun/tahun = 17 kali lipat dari APBN Indonesia tahun 2009 yang hanya mencapai rp 1.037 triliun.

Tentu saja semua kekayaan ini, seharusnya bisa menjadi modal penguasa untuk membangun negara adidaya dan mesejahterakan rakyatnya, dengan memenuhi hak dasar mereka, baik sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dll secara mudah, murah bahkan gratis. Dengan demikian, keluarga-keluarga di negeri muslim termasuk Indonesia, akan menikmati hidup dengan mudah dan merasakan ketentraman yang sesungguhnya. Para bapak, beroleh kemudahan mencari nafkah karena lapangan pekerjaan tersedia dengan mudah. Kebutuhan para Ibu dan anak-anakpun akan terjamin, sehingga tugas mulia mencetak generasi berkualitas akan berlangsung secara sempurna.

Sayangnya, ini tak terjadi. Perselingkuhan para penguasa dengan pihak asing dan kapitalis, membuat mereka lebih rela menjadi kacung asing dan menjalankan kebijakan-kebijakan anti rakyat, seperti program liberalisasi, privatisasi BUMN, pencabutan subsidi, dan membuat berbagai regulasi yang menguntungkan asing/kapitalis ketimbang rakyat banyak, semisal UU No. 1/1967 tentang PMA, UU No. 4/2004 tentang Sumber Daya Air, UU Migas, dll. Dan sayangnya, hal ini terjadi tidak hanya di Indonesia saja, tapi juga di negeri-negeri kaum muslimin yang lainnya.

Islam Satu-Satunya Harapan Perempuan & Umat Keseluruhan

Mempertahankan kapitalisme sebagai sistem hidup dan membiarkan para penjaganya tetap berkuasa tentu bukanlah pilihan logis. Jika ini terjadi, jangan harap berbagai permasalahan perempuan yang akarnya adalah kemiskinan ini bisa diselesaikan dengan tuntas. Kaum perempuanpun akan tetap terhinakan dan menjadi korban kebusukan kapitalisme sebagaimana juga laki-laki. Mereka akan selalu berada dalam kondisi dilematis dalam menjalankan peran-peran mereka. Padahal, Allah SWT telah tetapkan kedudukan mereka dalam posisi yang mulia sebagai ummu wa Rabbatul Bait, ibu dan pengatur rumahtangga, penyangga kemuliaan generasi umat dan arsitek peradaban Islam di masa depan.

Terlebih persoalan yang diklaim sebagai persoala perempuan hanyalah sebagian kecil dari dampak penerapan sistem kapitalisme ini. Di dalam negeri, jutaan buruh menjerit karena upah yang tak sepadan dengan kebutuhan hidup mereka. Uang rakyat, malah digunakan foya-foya oleh para pejabat korup mereka, sementara itu, para penguasa berasyik masyuk dengan pemimpin para penjajah dan berkonspirasi menambah penderitaan rakyat dengan menandatangani berbagai nota kesepakatan yang mengokohkan penjajahan kapitalisme atas negeri mereka. Pada saat yang sama, para penguasa itupun membiarkan rakyatnya berjalan sendirian, menderita dan menangis sendirian dan meninabobokan mereka dengan janji-janji kosong yang tak lebih hanya untuk pencitraan semata.

Sudah saatnya umat negeri ini sadar, bahwa jalan terbaik adalah kembali ke jalan Islam. Jalan yang menjanjikan kemuliaan manusia sebagai individu maupun umat, melalui penerapan aturan Islam secara kaffah dalam wadah Khilafah Islamiyah. Aturan-aturan Islam inilah yang akan menyelesaikan berbagai persoalan manusia secara adil dan menyeluruh, termasuk masalah kemiskinan berikut dampak turunannya. Dalam sistem ini, para penguasa dan rakyat akan saling menjaga dan mengukuhkan dalam melaksanakan ketaatan demi meraih keridhaan Allah. Tak ada pihak yang dirugikan, termasuk kaum perempuan.[]SNA[]

1 komentar:

insidewinme mengatakan...

Ketika Rasulullah Saw. menantang berbagai keyakinan bathil dan pemikiran rusak kaum musyrikin Mekkah dengan Islam, Beliau dan para Sahabat ra. menghadapi kesukaran dari tangan-tangan kuffar. Tapi Beliau menjalani berbagai kesulitan itu dengan keteguhan dan meneruskan pekerjaannya.