INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Selasa, 04 Agustus 2009

AFKAR : ALIRAN PEMIKIRAN ISLAM (1)


MENGENAL ALIRAN WAHHABI DAN SALAFI RADIKAL
Makalah
Oleh :SITI NAFIDAH (DITULIS 30/12/2008)


Pendahuluan
Aliran Wahabi atau Wahhabiyah adalah sebuah aliran pemikiran Islam yang muncul di sekitar jazirah Arab pada abad 12 H. Aliran ini muncul sebagai reaksi atas maraknya penyimpangan aqidah dan bid’ah di tengah-tengah masyarakat muslim saat itu, seperti kultus individu dan pengkeramatan tempat-tempat bersejarah atau kuburan-kuburan. Nama aliran ini dinisbatkan kepada nama pendirinya, yakni Muhammad bin Abdul Wahhab Al-Masyrafi At-Tamimi an-Najdi yang hidup antara tahun 1115-1206 H atau tahun 1703-1791 M .(1)
Aliran ini juga sering disebut dengan aliran salafi atau salafiyah, yakni aliran yang mengidentifikasikan pemikiran mereka dengan pemikiran kaum salaf (2) , khususnya Imam Hambali (3H) dan pengikut mazhabnya seperti Syaikh al-Islam Ibn Taimiyyah (7 H) dan Muhammad Ibnul-Qayyim al-Jauziyah (8H) (3). Meski bersandar pada aliran pemikiran salafiyah, Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah (4) mengkatagorikannya sebagai aliran politik modern karena aliran ini muncul di masa-masa kemunduran dan kebekuan pemikiran di dunia Islam akibat fanatisme madzhab dan pengkultusan. Menurut beliau, aliran dakwah inilah yang memecah kebekuan tadi dengan menyerang secara keras wujud kejumudan berpikir tersebut. Adapun caranya adalah dengan menyerukan dibukanya kembali pintu ijtihad yang sejak lama tertutup pasca jatuhnya Baghdad pada 656 H.(5) Sementara itu, suami-isteri al-Faruqi 6) menyebut gerakan Wahhabi sebagai gerakan antisufi pertama dimana sufisme dianggap merupakan salahsatu gejala yang merusak kesehatan masyarakat Muslim sejak jatuhnya Baghdad ke tangan kaum Tatar pada 655H/1257M.
Adapun inti dakwah Wahhabiyyah adalah menyerukan agar akidah Islam dikembalikan kepada asalnya yang murni dengan menekankan pada pemurnian arti tauhid dari syirik dengan segala manifestasinyA. (7) Dalam bahasa Stoddard (8), inti dakwah Wahhabiyah ini disebut impian Wahhabi, yakni pemurnian kembali dunia Islam. Sementara Ahmad Kusairi menyebutnya dengan istilah revivalisme Islam, yakni paham yang ingin mengajak umat Islam agar kembali pada ajaran agama yang sebenarnya, artinya bebas dari takhayul maupun bid’ah.(9)
Kajian terhadap pemikiran wahhabi menjadi menarik, karena sejak awal kemunculannya aliran ini sangat kontroversial. Bahkan sebagian kalangan menganggapnya sebagai gerakan radikal (10), sekalipun secara konsep aliran ini menolak radikalisme yang mereka istilahkan dengan ghuluw (melampaui batas) atau ifrath (keterlaluan) sebagaimana gerakan Abdullah bin Saba’ dimasa Kekhalifahan Utsman bin Affan ra. dan gerakan Khawarij dan Haruriyah di masa Ali bin Abi Thalib ra.(11) Hanya saja, memang banyak pemikiran-pemikiran yang dikembangkan pendirinya dianggap out of the track (baca: bertentangan dengan mainstream keagamaan yang ada saat itu). Terlebih metode penyebarannya menggunakan cara kekerasan (senjata dan politik), non kompromistik bahkan cenderung menegasikan paham-paham atau madzhab-madzhab Islam lainnya, sampai sampai kelompok wahhabi atau salafi sering disebut sebagai jamaah anti jamaah. Oleh karenanya, wajar jika banyak analisis mengenai perkembangan pemikiran ini yang tidak hanya meninjaunya dari segi ide atau pemikiran-pemikiran yang dikembangkannya saja, akan tetapi juga melihatnya dari sisi politik.

Sejarah Kemunculan Dan Gagasan-Gagasan Yang Dibawanya
Muhammad bin Abdul Wahhab dilahirkan di Desa Uyaynah dekat kota Riyadh. Beliau mendapat pendidikan agama dari ayahnya sendiri (Syaikh Abdul Wahhab) dan menimba ilmu dari beberapa syaikh dan ulama besar semisal Syaikh Muhammad Hayat as-Sindi (wafat 1165H) penulis Hasyi’ah Shahih Bukhari, Syaikh Muhammad Sulaiman al-Kurdi dan kakaknya sendiri, Syaikh Sulaiman bin Abdul Wahhab yang kesemuanya berlatar belakang Ahlussunnah wal Jama’ah (12), yakni mereka yang berpegang dan mengikuti tuntunan/manhaj Nabi Saw.(13) Beliau juga diketahui banyak melakukan perjalanan untuk menimba ilmu. Tercatat beberapa tempat yang beliau kunjungi antara lain kota Mekkah, Madinah, Basrah, Baghdad dan Maushil.(14)
Sejak muda, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab dikenal banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah. Ia memempelajari karya-karya Ibnu Taimiyyah yang bermadzhab Hambali, mengagumi pandangan-pandangannya dan mengamalkannya. Selanjutnya pemikiran-pemikiran inilah yang menjadi dasar pandangan-pandangan yang dikembangkannya di kemudian hari. Sebagian ahli bahkan menyebut bahwa Wahhabiyah datang guna menghidupkan kembali madzhab Ibnu Taimiyyah (15) akan tetapi dalam bentuk yang lebih keras lagi jika dibandingkan dengan apa yang diamalkan Ibnu Taimiyyah sendiri.(16) Berkaitan dengan ini, dalam buku WAMY disebut, bahwa gerakan Salafiyah (Wahhabiyah) bisa juga disebut “La madzhabiyah” dalam ushul, dan bermadzhab Hambali dalam furu’, meski fatwa-fatwanya tidak selalu terikat dengan madzhab tersebut jika ditemukan pendapat yang lebih rajih.(17) Dalam prakteknya, mereka memang banyak ‘menertibkan’ berbagai hal yang bersifat amaliyah yang sebelumnya tidak pernah disinggung oleh Ibnu Taimiyah.
Syeikh Abdul Qoddim Zallum (18) juga menyebut, bahwa ia yang semula bermadzhab Hambali, kemudian berijtihad dalam sebagian masalah, sehingga menjadikan kaum muslimin yang mengikuti madzhab lain berbeda pendapat dengannya dalam sejumlah perkara. Kemudian ia menyerukan pendapatnya tersebut dan berupaya menerapkannya seraya menyerang pendapat lainnya dengan keras. Akibatnya, ia menghadapi perlawanan dan bantahan yang bertubi-tubi dari berbagai ulama (termasuk kakaknya sendiri )(19), maupun pemimpin dan tokoh masyarakat yang beranggapan bahwa pendapat-pendapatnya tersebut bertentangan dengan apa yang mereka pahami dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah.
Beberapa contoh pemikiran dan dakwah Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang dianggap kontroversial dan radikal antara lain :
1. Ia berpendapat bahwa berziarah ke makam Rasulullah merupakan perbuatan yang haram dan mendatangkan dosa. Ia lebih jauh berpendapat bahwa barangsiapa berziarah ke makam Rasulullah mereka tidak boleh mengqashar shalatnya saat dalam perjalanan karena tujuan perjalanannya adalah untuk berbuat dosa. Ia mensandarkan pendapatnya ini pada hadits Rasulullah saw : “Janganlah bersusah payah melakukan perjalanan kecuali ke tiga masjid: mesjidku ini, Mesjidil Haram dan Mesjid al-Aqsha” (HR. Bukhari Muslim dari Abu Hurairah) Ia memahami hadits ini bahwa Rasulullah melarang bersusah payah melakukan perjalanan ke tempat lain selain tiga mesjid tersebut, termasuk berziarah ke makam beliau saw. Sementara madzhab-madzhab yang lain menganggap bahwa subyek hadits tersebut terkait dengan ziarah ke masjid-masjid, sementara berziarah ke makam Rasul tergolong perbuatan mandub didasarkan pada hadits: “Dahulu aku melarang kalian berziarah. Maka sekarang berziarahlah” (HR. Muslim, Ibnu Majah, Malik, Ahmad dan Turmudzi dari Buraidah).(20)
2. Ia tidak cukup dengan menetapkan ibadah sebagaimana yang ditetapkan Islam di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah menurut pandangan Ibnu Taimiyyah, tapi juga menghendaki supaya tradisipun tidak boleh keluar dari lingkup Islam sebagaimana persepsinya. Oleh karenanya ia mengharamkan rokok, kopi, musik/qasidah, membuat kubah-kubah mesjid, fotografi makhluk hidup dan sebagainya.(21)
3. Ia memperluas pengertian bid’ah mulai dari aktivitas-aktivitas yang dianggap ibadah mandub oleh sebagian kalangan Ahlus-Sunnah, seperti membaca tawashul, membaca alQur’an dengan qira’ah fuqaha, membaca kitab shalawat Dalailul Khairat yang dianggap terlalu memuju-muji Rasulullah saw, mengkaji “sifat duapuluh” sebagaimana ajaran Asy’ari, mengamalkan thariqat, peringatan Maulid dan lain-lain hingga kepada hal-hal yang tidak menyangkut ibadah, seperti memasang kain penutup Raudhah, membuat kubah mesjid, dan lain-lain .(22)
4. Yang paling memunculkan perbenturan adalah gerakannya yang --sebagaimana diajarkan Ibnu Taymiyah-- berlawanan dengan mainstream pemikiran masa itu yang cenderung didominasi oleh metode berpikir filsafatis (mantiqi) seperti aliran pemikiran Asy’ariyah/maturidiyah dan Mu’tazilah serta gerakan tasawwuf yang dianggap terlalu mengagungkan perasaan dan khayalan dalam beragama.(23) Pada saat yang sama, Wahhabi juga menyerang budaya taklid kepada madzhab (termasuk dalam hal furu’) sebagaimana juga gagasan Ibnu Taymiyah.
5. Ia melakukan pendekatan dakwah dengan kekerasan dan senjata yang dipandang wajib dalam rangka menegakkan Sunnah dan memusnahkan bid’ah. Ini terlihat dari gerakannya yang monumental; menghancurkan kuburan para shahabat Nabi serta situs-situs sejarah Nabi dengan alasan mencegah pemujaan terhadap tempat-tempat tersebut.(24)

Wahhabi Berubah Menjadi Gerakan Politik
Pendapat-pendapat serta sikap-sikapnya yang keras terhadap pendapat/madzhab lain semakin menajam dan membuatnya diusir dari negerinya. Pada tahun 1740 ia meminta perlindungan kepada Muhammad bin Sa’ud, pemimpin Bani Anzah yang mendapat kepemimpinan dari Syaikh Uyainah dan tinggal di ad-Di’riyyah. Muhammad bin Abdul Wahhab mendapat sambutan hangat di Di’riyyah, dan menyebarluaskan pahamnya kepada penduduk wilayah tersebut termasuk kepada keluarga Sa’ud. Pada tahun 1747, Amir Muhammad (Sa’ud) menyatakan persetujuan, penerimaan dan dukungan terhadap pendapat dan pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab. Dengan aliansi ini, gerakan Wahhabi didirikan dan muncul dengan bentuk dakwah dan pemerintahan. Muhammad bin Abdul Wahhab mulai mendakwahkan dan mengajarkan hukum-hukumnya. Sementara itu, Muhammad bin Sa’ud menerapkan hukum-hukum tersebut terhadap orang-orang yang berada di bawah perintahnya . (25)
Gerakan wahhabi mulai menyebarluaskan pengaruhnya ke daerah-daerah dan kabilah-kabilah lain dalam dua aspek, yakni dakwah dan pemerintahan. Imarah Muhammad bin Saud mulai bertambah luas, bahkan hingga daerah asal Muhammad bin Abdul Wahhab yang sebelumnya pernah mengusirnya. Semua terjadi nyaris tanpa perlawanan berarti. Menurut Kusairi , gabungan antara keduanya memang telah menjadi sebuah gerakan reformasi militan yang kelak berhasil menundukkan sebagian besar wilayah Arabia. Suku-suku Arabia ditaklukkan dan disatukan atas nama egalitarianisme Islam dan para ksatria-dai Wahhabi menyebut diri mereka sebagai al-Ikhwan (persaudaraan). (26)
Pada perkembangan selanjutnya, gerakan Wahhabi dan perluasan imarah Muhammad bin Saud sempat mengalami stagnasi, sekalipun imarah dilanjutkan oleh anaknya, yakni Abdul Aziz (Ibn Sa’ud) sejak Muhammad bin Sa’ud meninggal pada tahun 1765. Baru pada tahun 1788, gerakan Wahhabi mulai muncul lagi dengan metode baru dalam menyebarluaskan madzhabnya hingga makin dikenal tidak hanya di jazirah arab, tapi dikenal luas hingga ke seluruh wilayah Negara Islam (Khilafah Islamiyah) dan Negara-negara lain. Gerakan ini mulai menimbulkan kegoncangan dan kekhawatiran di wilayah-wilayah sekitarnya, bakan kekhawatiran dan kegoncangan di seluruh wilayah Negara Islam karena dianggap mengancam keutuhan wilayah Daulah Khilafah Islam yang saat itu berpusat di Turki. Terlebih, pada tahun 1787, Abdul Aziz mendirikan satu Dewan Imarah dan menetapkan system kepemimpinan turun-temurun dengan legitimasi pimpinan Wahhabi yang lepas dari struktur pemerintahan Daulah Utsmani. Demikian pula dengan kepemimpinan gerakan Wahhabi ditentukan hanya untuk keturunan keluarga Muhammad bin Abdul Wahhab. Kedua kepemimpinan ini kemudian melanjutkan aktivitasnya untuk memperluas wilayah penaklukan melalui gerakan bersenjata. Satu demi satu wilayah Negara Islam dikuasai. Kuwait berhasil diduduki tahun 1788, dan seterusnya hingga kepemimpinan terus bergulir kepada keturunan mereka. Demikianlah pada masa-masa selanjutnya amir-amir Saudi (Dinasti Sa’ud) menganut madzhab Wahhabi sebagai alat politik untuk menyerang Daulah Utsmaniyah (Negara Khilafah) dan mendirikan Negara dalam negara, sekaligus memprovokasi perang madzhab di antara kaum muslimin dalam wilayah Daulah Khilafah . (27)
Beberapa analis mengungkap aspek politis lain terkait gerakan wahhabi dan kolaborasinya dengan gerakan Imarat Muhammad as-Sa’udi, yakni adanya peran Inggeris dalam menyokong kedua kekuatan ini untuk menghadapi kekuatan Daulah Utsmani. Analisis politik seperti ini antara lain disampaikan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Konspirasi Barat Meruntuhkan Khilafah Islamiyah (28) dan KH. Siradjuddin Abbas dalam bukunya I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah.(29) Dalam buku Konspirasi disebutkan, bahwa Inggeris telah berupaya melemahkan Negara Islam (Daulah Khilafah Islamiyah) yang berpusat di Turki dengan berbagai cara, diantaranya berkonspirasi dengan negara-negara Kristen Eropa lain untuk memecahbelah persatuan umat dan wilayah Islam yang meliputi hampir 2/3 dunia dengan menyebarkan paham nasionalisme melalui gerakan missionarisme dan melalui gerakan politik (invasi secara langsung) di wilayah-wilayah Khilafah yang jauh dari pusat. Inggeris juga menggunakan berbagai taktik, diantaranya dengan menghasut para penguasa wilayah atau kekuatan-kekuatan oposisi potensial yang ada di wilayah seperti halnya Muhammad bin Sa’ud yang disandingkan dengan Gerakan Wahhabi. Disebutkan, bahwa gerakan wahhabi diorganisasi untuk mendirikan suatu kelompok masyarakat di dalam Negara Islam yang tujuannya adalah merampas wilayah khilafah dengan maksud agar mereka dapat mengatur wilayah tersebut sesuai dengan madzhab yang mereka anut dan menghilangkan madzhab yang lain dengan kekerasan. Mereka menyerang Kuwait dan mendudukinya pada tahun 1788, kemudian bergerak ke Utara sampai akhirnya mereka mengepung Baghdad. Mereka berupaya merampas Karbala dan makam Hussain ra untuk menghancurkan dan melarang kaum muslimin untuk mengunjunginya. Pada tahun 1803 mereka menyerang Makkah dan mendudukinya. Pada musim semi tahun 1804, Madinah jatuh ke tangan mereka. Mereka menghancurkan kubah besar yang digunakan untuk menaungi makam Rasulullah saw dan mempreteli seluruh batu perhiasan dan ornament-ornamennya yang sangat berharga. Kemudian merampas wilayah Hijaz, menuju Syam (Hims), menyerang Damaskus untuk kedua kali (1810), Najaf dan terus ke Halab (Aleppo).(30)
Dikatakan, keberhasilan Dinasti Sa’ud mengembangkan pengaruhnya ini tidak lepas dari bantuan Inggeris dengan bantuan senjata dan dana yang dipasok melalui India. Mereka bekerjasama untuk memerangi pemerintahan Khilafah Islamiyah. Sekitar tahun 1792-1810 dengan bantuan Inggeris mereka berhasil menguasai beberapa wilayah Damaskus. Hal ni membuat Khilafah Islamiyah harus mengirim pasukannya untuk memadamkan pemberontakan (bughot). Fase pertama, pemberontakan ini berhasil diredam setelah pasukan Khilafah berhasil merebut kota ad-Dir’iyah. Namun beberapa tahun kemudian, Dinasti Sa’ud di bawah pimpinan Abdul Aziz bin Abdurrahman berupaya membangun kembali kekuatannya. Apalagi pada saat itu Daulah Khilafah Islamiyah semakin melemah akibat rongrongan Inggeris dan sekutunya melalui serangan pemikiran, budaya dan politik. Pada tahun 1902 Abdul Aziz menyerang dan merebut kota Riyadh dengan membunuh wali khalifah (Gubernur Khilafah ar-Rasyid). Pasukan Aziz terus melakukan penaklukan dan membunuh pendukung khilafah dengan bantuan Inggeris. (31)
Bahwa gerakan politik wahhabi ini diprovokasi dan didukung oleh Inggeris, juga disebut oleh George Lenczowsky.(32) Dia menyebut bahwa keluarga Saud sebenarnya adalah agen Inggeris dimana mereka diketahui bersahabat dengan Harry St. John Pilby, seorang Agen Inggeris ahli Arab yang tinggal di Nejed sejak 1917 dan dijuluki “Bintang Baru dalam Cakrawala Arab”. Inggeris memanfaatkan mereka secara politis dengan maksud untuk melawan Negara Islam dan berperang dengan madzhab-madzhab lainnya untuk mendorong timbulnya kegoncangan politik melalui perang madzhab dalam Daulah Utsmaniyah. Hanya saja, menurut Abdul Qoddim Zallum, para pengikut madzhab Wahhabi tidak menyadari masalah ini, namun Amir Saudi dan pengikutnya Saudi sadar sepenuhnya. Hal ini disebabkan hubungan yang terjadi bukanlah antara Inggeris dengan Muhammad bin Abdul Wahhab –Mujtahid pendiri madzhab Wahhabi—namun antara Inggeris dengan Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud dan dilanjutkan oleh keturunan Sa’ud.
Tentu saja, tidak semua pihak sependapat dengan analisis ini. Dr. ali Muhammad Ash-Shalabi (33) melihat kolaborasi Muhammad bin abdul Wahhab dengan Muhammad bin Sa’ud bukan dalam kerangka kepentingan politis, melainkan semata dakwah. Hal ini –menurutnya-- terlihat dari cara dakwah yang dilakukan awalnya bersifat damai dan lemah lembut. Adapun perubahan terjadi justru setelah gerakan ini mendapat penerimaan yang sangat keras dan pendustaan dari masyarakat dan penguasa, sehingga menurut kelompok ini, tidak ada cara lain untuk menghadapinya kecuali memasuki fase jihad dan melakukan perubahan kemungkaran dengan menggunakan kekuatan. Disinilah peran penting Muhammad bin Sa’ud sebagai pemimpin wilayah Dir’iyyah dalam memobilisasi kekuatan bersenjata dan melakukan peperangan untuk meluaskan pengaruhnya hingga berhasil menguasai seluruh jazirah Arab, bahkan wilayah Selatan Irak, sekaligus mengukuhkan kekuasaan pemerintahannya di sana.
Dalam bukunya, beliaupun sekaligus menolak tudingan mengenai adanya Inggeris di belakang gerakan Wahhabi dalam kerangka melawan pemerintahan khilafah. Beliau bahkan menyebut tudingan ini sebagai fitnah yang disebar oleh para syaikh ahli bid’ah dan khurafat atas bantuan Inggeris dan Perancis untuk melawan dakwah Tauhid dan –dalam target Inggeris-Prancis—untuk memecahbelah kekuatan Islam.(34)
Alhasil, lepas dari perbedaan pandangan mengenai hal ini, gerakan Wahhabi telah terbukti menjadi inti kekuatan yang menyokong tegaknya benih kekuasaan politik Dinasti Sa’ud hingga sekarang (pasca proklamasi kemerdekaan Saudi Arabiya pada 1 September 1932). Dimana dalam hal ini, dinasti tersebut telah berhasil mempolitisasi pemahaman Wahhabi untuk mendukung kekuatan politiknya dengan jalan mengumumkan dukungannya dan mengadopsi penuh ide Wahhabi sebagai ide/pemahaman agama resmi negara. KH. Sirajuddin Abbas juga menulis : Muhammad bin Abdul Wahhab membutuhkan seorang penguasa untuk menolong penyiaran fahamnya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud membutuhkan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideology yang keras demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya. (35)
Oleh karenanya, penulis sepakat dengan pendapat bahwa Wahhabi atau gerakan salafiyah memang bukan sekedar aliran keagamaan, melainkan juga telah menjadi aliran politik. Bahkan kolaborasi keduanya sering dianggap sebagai contoh yang hampir sempurna untuk membuktikan ketidakterpisahan agama dari politik .

Dakwah Salafi Hari ini, Penyebaran dan Kawasan-Kawasan Pengaruhnya
Aqidah Wahhabi/Salafiyah telah tersebar di kawasan Nejd bersamaan dengan perluasan wilayah pemerintahan Saudi Arabia, termasuk Mekkah dan Madinah. Adapun di luar wilayah tersebut, aqidah ini tersebar melalui orang-orang yang bersentuhan dengan ide-ide ini tatkala mereka melaksanakan ibadah haji .(37)
Diakui, bahwa dakwah salafi ini telah membawa pengaruh yang cukup besar terhadap munculnya berbagai gerakan ishlah (reformasi) di dunia Islam lainnya, seperti gerakan Mahdiyah, Sanusiyah, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Mesir (38) dan gerakan-gerakan lainnya di India (39). Menurut catatan HAMKA (40) di Indonesia sendiri, khususnya di tanah Jawa, pengaruh gerakan ini mulai masuk pada tahun 1788 pada jaman pemerintahan Paku Buwono IV dengan kedatangan para guru agama dari negeri Arab yang menyebarkan dakwah Salafi dengan membersihkan syirik dan bid’ah. Dakwah ini mendapat sambutan baik dari masyarakat dan juga Pangeran Paku Buwono IV karena ajaran ini sangat anti penjajahan. Hanya saja, karena penyebaran dakwah ini makin meluas, pemerintah kolonial Belanda memaksa Paku Buwono IV menyerahkan orang-orang Arab tersebut dan mengusir mereka ke negerinya (41). Sebelumnya Sultan Iskandar Muda di Aceh Raya dengan kekuasaannya menggalang para ulama dan hulubalangnya untuk mengadakan pemurnian pemahaman umat Islam dari segenap kotoran syirik dan berbagai khurafat serta menegakkan pemahaman para Sahabat Nabi terhadap al-Qur’an dan al-Hadits. Sayangnya, gerakan tajdid ini sempat melemah sepeninggal beliau, akan tetapi kemudian menguat lagi pasca kedatangan 3 orang ulama Aceh yang sempat bermukim di Mekkah yang didukung para ulama setempat termasuk Imam Bonjol, sekalipun harus berhadapan dengan kaum adat yang bekerjasama dengan pemerintah colonial.
Dalam perkembangannya, dakwah Salafi (aliran Wahhabi) banyak mengalami pasang surut. Namun setidaknya di Indonesia dakwah ini telah mempengaruhi kelahiran berbagai organisasi pergerakan yang concern pada upaya tajdid, semisal Muhammadiyah (1912) dan PERSIS (1920), sekalipun kalangan yang mengklaim paling Salafi menganggap pemikiran keduanya sudah terpengaruh oleh pemahaman Aqlaniyah Mu’tazilah yang (mereka anggap) sesat. Dan sebagaimana kita ketahui, kedua organisasi ini memiliki pengaruh yang cukup luas dengan basis massa yang cukup kuat. Namun demikian, bukan berarti selain dua organisasi tersebut tidak ada lagi organisasi yang mengusung dakwah Salafi dalam pengertian dakwah yang mengedepankan pemurnian agama dan mengembalikan standarisasi pemahaman umat kepada al-Qur’an dan Hadits. Masih banyak jamaah-jamaah Islam yang ada di tengah-tengah masyarakat yang hakekatnya layak menyandang ahli Salaf atau Ahl Sunnah wal Jama’ah. Salah satunya gerakan Salafi sendiri atau yang sering menyebut diri dengan ASWJA yang kini banyak berkembang di kampus-kampus di Indonesia. Gerakan ini sempat mencuat pada saat terjadinya kasus Ambon dengan seruan jihadnya di bawah komando Lasykar Jihad. Sementara saat ini kegiatan mereka dikenal focus pada penanaman tsaqafah Islam dengan merujuk pada pendapat-pendapat Ulama Timur Tengah yang diklaim sebagai Ulama Salaf dan mujaddid masa kini seperti halnya Al-Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dan al-Imam Muhammad Nashiruddin al-Albani.

Penutup
Lepas dari pro-kontra terhadap gagasan dan manhaj dakwah Wahhabi atau Salafi yang dianggap radikal, ada beberapa hal yang bisa dipandang sebagai kontribusi positif gerakan ini terhadap perkembangan aliran pemikiran di dalam Islam, di antaranya :
1. Aliran dakwah ini dianggap sebagai pelopor gerakan pemikiran yang anti sikap jumud dan taklid dalam beragama dengan cara menyerukan dibukanya kembali pintu ijtihad yang sejak lama tertutup.
2. Berperan besar dalam mengembangkan dan menggerakan semangat kritik dan koreksi ilmiah terhadap berbagai penyimpangan pemahaman dan pengamalan agama di kalangan umat Islam.
3. Berpengaruh besar terhadap bangkitnya gerakan ishlah di dunia Islam, termasuk yang menginspirasi perjuangan anti kolonialisme di dunia Islam.
4. Beberapa ulama Salafi Kontemporer diantaranya As-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali (Ahli Hadits dari Makkah), dikenal sebagai ulama yan membangkitkan kembali penerapan ilmu Jarh wat Ta’dil, yakni ilmu kritik dan oto kritik serta ilmu untuk menilai ulama terpercaya dalam kedudukannya sebagai narasumber ilmu-ilmu keislaman terhadap segenap tokoh yang mengajarkan ilmu agama ini.
-----

FOOTNOTE
1. Imam Muhammad Abu Zahrah, Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam ( Jakarta : Logos, 1996), hlm.250
2. Salaf adalah istilah yang diperuntukkan bagi imam-imam terdahulu dari tiga generasi pertama yang diberkahi Allah Swt, yakni generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Setiap orang yang beriltizam kepada aqidah, fiqih dan ushul imam-imam, ia dapat dinisbatkan kepada mereka (salaf) meskipun tempat dan jamannya berjauhan. Lihat Muhammad Abdul Hadi al-Mishri, Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf/Ahlussunnah wal jama’ah, ma’alimu al-inthilaqoh al-kubro, Terj. (Jakarta : GIP, 1992), hlm. 79.
3. WAMY, Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya), Terj. (Jakarta : Al Islahi Press), Jilid 1-2, hlm. 233.
4. Imam Muhammad Abu Zahrah, op. cit. hlm. 249.
5. WAMY, op. cit. hlm. 230.
6. Isma’il L. Al-Faruqi dan Lois Lamiya Al-Faruqi, Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (The Cultural Atlas of Islam, terj.), (Bandung : Mizan, 2000), Cet. II, hlm. 336
7. Ibid, hlm. 227
8. Lothrop Stoddard, Dunia Baru Islam (The New World of Islam, Terj.), (Jakarta : Panitia dari Kementerian Kesedjahteraan RI, 1966), hlm. 79.
9. Ahmad Kusairi, Perjumpaan Islam dengan Modernitas, www.idea., 12 Januari 2006.
10. Secara semantic, radikalisme adalah paham/aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan social dan politik dengan cara kekerasan atau drastic (KUBI, Balai Pustaka, 1995). Dalam Van Hoeve, Ensiklopedi Indonesia, (Jakarta : Ikhtiar Baru, 1884), disebut bahwa radikalisme adalah semua aliran politik yang para pengikutnya menghendaki konsekuensi yang ekstrim, setidak-tidaknya konsekuensi yang paling jauh dari pengejawantahan ideology yang mereka anut. Sedangkan dalam Pius A. Partanto, Kamus Istilah Populer dijelaskan, bahwa radikalisme ialah paham politik kenegaraan yang menghendaki adanya perubahan dan perombakan besar sebagai jalan mencapai taraf kemajuan.
11. Lihat tulisan Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib sebagai representasi jama’ah salafiy di Indonesia berjudul Radikalisme, Reaksi Balik Aksi Islamophobia, Majalah Salafy, Edisi 41, 2002, hlm. 2.
12. Siradjuddin Abbas, I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah (Jakarta : Pustaka Tarbiyah, 1989), cet. Ke-15, hlm. 310.
13. Ibn Manzhur, Lisan al-“Arab, Dar al-Fikr, Beirut, tt, XIII/226 dalam Arief B. Iskandar, Ulama Ahlus Sunnah Mewajibkan Khilafah (Bogor: Afkar, 2007), hlm. 22. Majalah As-sunnah edisi 10/Th.1 memuat tulisan Muhammad bin Abdullah Al-Wuhaibi (wahhabi/salafy)) mengenai Ahlussunnah wal jamaah. Menurut analisis beliau dari berbagai referensi , ahlussunnah wal Jamaah merupakan Istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab As-Salafus Shalih dalam i'tiqad. Beliau menolak penisbatan istilah ini pada kelompok semisal asy’ariyah atau Maturidiah sebagaimana klaim beberapa ulama dari kalangan tersebut (semisal az-Zubaidi, al-Ayji dan Hasan Ayyub dalam kitab-kitab mereka) yang menurutnya justru telah menyimpang dari manhaj Rasul.
14. WAMY, op. cit. hlm. 227
15. Hubungan pemikiran antara Abdul Wahhab dengan Ibnu Taymiyah antara lain dapat dibaca dalam tulisan Pir Mohammad Mollazehi, Salafi Tendencies in Pakistan, www. Iranview, Monday, 09 June 2008 : “Ibn Teimiyeh is a famous Islamic figure who was an ardent foe of logic and mysticism. Such people usually are not deep thinkers and most of them are fighting ideas whose nature is not even clear to them. Some simplistic persons, who are not familiar with logical sciences, mysticism and theosophy, consider him an independent thinker who was opposed to imitation and a staunch enemy of innovation in religion. They have described him as a social reformer and reviver of religion; one who recommended people to go back to Quran and fight Greek philosophy and Aristotle’s ideas. This clearly shows the impact of Ibn Teimiyeh in the world of Islam. Major coordinates which differentiated Salafi thought of Ibn Teimiyeh from Shiism and which were later reconstructed by Muhammad ibn Abdul Wahhab in the 12th century after Hegira, have caused Salafi thought to be antagonist to Shiism in many aspects. If we accepted that the original differences resulted from different interpretations of Islamic jurisprudence, not that politics is involved, Salafi thought is, in fact, a return to the past and its followers maintain that the past contains everything that is needed to solve the present problems “
16. Lihat Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah, op. cit. hlm. 251.
17. WAMY, op.cit. hlm. 230.
18. Abdul Qodim Zallum, Konspirasi Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Telaah Politik Menjelang Runtuhnya Negara Islam (Kaifa Hudimat al-Khilafah,Terj.), (Bangil Jatim : Al-Izzah, , 2001), hlm. 6.
19. Lihat KH. Siradjuddin Abbas, Iop. Cit. hlm. 310.
20. Abdul Qodim Zallum, op. cit, hlm. 7.
21. Lihat Prof. Dr. Imam Muhammad Abu Zahrah, op. cit. hlm. 251 dan Siradjuddin Abbas, op. cit. hlm. 313.
22. Siradjuddin Abbas, op. cit. hlm.313
23. Ibnu Taimiyah telah menulis berbagai kritik terhadap ide-ide Asy’ariyah dan Mutakallimin (ahli filsafat) dalam kitab-kitab yang besar dan berjilid-jilid, yang menjelaskan tentang kesesatan Jahmiyah dan pembongkaran dasar-dasar bid’ah halamiyah (filsafat). Termasuk menulis khusus untuk al-ghazali dan al-Amidi dalam buku berjudul“ Dar’u Ta’arudil Aql wan Naql” dan untuk kelompok Syi’ah dalam buku berjudul “Minhajus Sunnah Nabawiyah fi Naqdi Kalamisy Syi’atil Qadariyah” . (Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah”, Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI/1423H/2002M, www. forumindonesia
24. Siradjuddin Abbas, op. cit. hlm. 313.
25. Abdul Qoddim Zallum, op. cit. hlm. 10.
26. Ahmad Kusairi, “Perjumaan Islam dengan Modernitas”, www.idea., 12 Januari 2006.
27. Abdul Qodim Zallum, op. cit. hlm. 11 dan Farid Wadjdi, “Arab Saudi dan Pengkhianatan Keluarga Sa’ud”, Majalah Al-Wa’ie 27, Bogor, hlm. 57
28. Abdul Qadim Zallum, op. cit. hlm. 5.
29. Sirajuddin Abbas, op. cit. hlm. 311.
30. Abdul Qoddim Zallum, op. cit. hlm. 5.
31. Farid Wadjdi, op. cit. hlm. 56.
32. George Lenczowsky, Timur Tengah di Tengah Kancah Dunia, h. 351 dalam Farid Wadjdi, op. cit.
33. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah (Terj.) (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2004) , Cet. Ke-2, hlm. 469-476.
34. Ibid, hlm. 472
35. Sirajuddin Abbas, op. cit. lmh. 311.
36. Lihat Dale F. Eicleman dan James Piscatori, Ekspresi Politik Muslim (Bandung : Mizan, 1998), hlm.75
37. WAMY, op. cit. hlm. 233.
38. Sebagian kalangan menolak menganggap Al-Afghani dan Abduh sebagai bagian dari pembawa estafeta dakwah salafi karena kedudukannya yang diketahui sebagai Anggota Freemasonry yang mendukung kolonialisme Inggeris dan sekaligus mengusung gagasan liberal. Lihat Salafy No. 40, 2001, h. 4 dan Ali Muhammad ash-Shalabi, op. cit. hlm. 562-563.
39. ibid.
40. Al-Ustadz Ja’far Umar Thalib, “Pasang Surut Perjuangan Menegakkan Syari’at Islam”, ,Majalah Salafy 40, 2001, h. 3.
41. HAMKA, Dari Perbendaharaan Lama, Pustaka Panjimas, 1982, h. 264-265 dalam tulisan Ustadz. Ja’far Umar Thalib, op. cit.



DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Siradjuddin. 1989. I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah. Jakarta : Pustaka Tarbiyah. Cet. Ke-5.
Abdul Hadi al-Mishri, Muhammad. 1992. Manhaj dan Aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah Menurut Pemahaman Ulama Salaf/Ahlussunnah wal jama’ah, ma’alimu al-inthilaqoh al-kubro. Jakarta : GIP.
Abu Zahrah, Imam Muhammad. 1996. Aliran Politik dan Aqidah dalam Islam. Jakarta : Logos.
Al-Faruqi, Isma’il L. dan Lois Lamiya. 2000. Atlas Budaya Islam, Menjelajah Khazanah Peradaban Gemilang (The Cultural Atlas of Islam). Bandung : Mizan.
Al-Halabi, Syaikh Ali bin Hasan bin Ali Bin Abdul Hamid. 2002. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun VI, www. forumindonesia
Al-Wuhaibi, Muhammad Bin Abdullah. Majalah As-sunnah edisi 10/Th.1
Ash-Shalabi, Ali Muhammad. 2004. Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Ustmaniyah (Terj.) . Jakarta : Pustaka al-Kautsar. Cet. Ke-2.
Eicleman, Dale F. dan Piscatori, James . 1998. Ekspresi Politik Muslim. Bandung : Mizan.
Iskandar, Arief B.. 2007. Ulama Ahlus Sunnah Mewajibkan Khilafah. Bogor: Afkar.
KUBI, 1995. Jakarta : Balai Pustaka
Kusairi, Ahmad. 12 Januari 2006. Perjumpaan Islam dengan Modernitas. www.idea
Mollazehi, Pir Mohammad. Monday, 09 June 2008. Salafi Tendencies in Pakistan. www. Iranview.
Partanto, Pius A., Kamus Istilah Populer.
Stoddard, Lothrop. 1966. Dunia Baru Islam (The New World of Islam. Jakarta : Panitia dari Kementerian Kesedjahteraan RI.
Umar Thalib, Al-Ustadz Ja’far. 2001. Pasang Surut Perjuangan Menegakkan Syari’at Islam. Majalah Salafy nomor 40.
Umar Thalib, Al-Ustadz Ja’far. 2002. Radikalisme, Reaksi Balik Aksi Islamophobia. Majalah Salafy, Edisi 41.
Wadjdi, Farid. 2001. Arab Saudi dan Pengkhianatan Keluarga Sa’ud. Bogor : Majalah Al-Wa’ie 27.
WAMY. ---. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya). Jakarta : Al Islahi Press.
Zallum, Abdul Qodim. 2001. Konspirasi Meruntuhkan Khilafah Islamiyah, Telaah Politik Menjelang Runtuhnya Negara Islam (Kaifa Hudimat al-Khilafah). Bangil Jatim : Al-Izzah.

---------

2 komentar:

Ayin mahmud mengatakan...

Setau sya si wahhab itu jg pernah belajar di Inggris

Unknown mengatakan...

Mohon maaf saudariku yg semoga kita semua mendapatkan ampunan dari Nya, Aamiin..
Setahu ana yg dha'if ini, Syaikhul Islam Muhammad Ibnu Abdul Wahhab tidak pernah mengharamkan berziarah ke makam Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam, namun yg dilarang adalah "berziarah dgn tujuan meminta di kuburan Nabi". Dan sebenarnya ada beberapa tuduhan dari orang-orang yg tidak senang dengan dakwahnya Syaikh sehingga membuat banyak kedustaan atas nama Syaikh. Semoga kita dijauhkan dari mencela para Ulama tanpa Ilmu, karena kita akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah pada hari Kiamat nanti oleh Yang Maha Perkasa. Wallohu a'lam. Mohon maaf jika terdapat hal yg tidak berkenan di hati.