Oleh : Siti Nafidah Anshory
Secara kuantitas,
perempuan merupakan separuh masyarakat. Kiprahnya tentu tak bisa
diabaikan atau dipandang sebelah mata. Bahkan sejarah peradaban manapun tak
bisa dilepaskan dari peran perempuan. Peran kodratinya sebagai seorang individu, sebagai
ibu dan pengatur rumahtangga serta sebagai anggota masyarakat memiliki nilai politis tinggi dan strategis dalam membentuk, mewarnai dan melestarikan sebuah
generasi. Wajar jika maju-mundurnya sebuah masyarakat selalu dinisbahkan pada sosok
perempuan. Perempuan memang tiang negara.
Sejarah peradaban Islam pun menunjukkan hal demikian. Di samping Rasul Saw dan para sahabat, peran para shahabiyat radiyallahu ‘anhunna pun sangat besar dalam mengubah masyarakat jahiliyah yang sarat dengan kerusakan menjadi masyarakat Islam yang agung, digdaya dan sejahtera. Ada Bunda Khadijah ra yang menjadi partner sekaligus pendukung utama dakwah Nabi Saw. Ada Sumayyah ra, sosok pribadi yang kuat, isteri dan ibu yang rela menjadi martir dakwah sekaligus menjadi teladan terbaik dalam keteguhan memperjuangkan kebenaran. Ada sosok Asma Binti Abu Bakar ra, perempuan cerdas dan pemberani yang berperan penting dalam keberhasilan hijrah Nabi dan melahirkan generasi mumpuni sekelas Zubair bin Awwam. Ada Asma Binti Ka’ab ra, satu di antara dua perempuan cerdas yang turut dalam peristiwa monumental berupa pembai’atan Nabi di Aqabah dan selalu tampil sebagai representasi kaumnya. Ada Nusaibah Binti Ka’ab ra, perempuan perkasa yang bersama keluarganya berulang kali turut berperang dan menjadi perisai Nabi saat jihad fi sabiilillah. Ada Khaulah Binti Tsa’labah ra sosok perempuan tangguh berkesadaran politik tinggi yang selalu siap mengawal para pemimpin dalam menegakkan hukum Allah melalui keberaniannya melakukan koreksi. Dan tak terhitung lagi sosok-sosok perempuan lain yang berjasa besar dalam perubahan mewujudkan masyarakat Islam dan memelihara eksistensinya hingga umat Islam bisa tampil sebagai entitas masyarakat terbaik (khayru ummah) selama belasan abad.
Tampilnya kekuasaan Islam (Khilafah) yang menebar
rahmat di 2/3 belahan dunia selama belasan abad itu justru membuktikan prestasi
terbaik para ibu yang tak lain adalah kaum perempuan. Saat itu kaum perempuan berhasil
menjadi arsitek terbaik bagi lahirnya generasi mumpuni, generasi mujahid dan
mujtahid penegak peradaban mulia dengan kemajuan materi luar biasa. Sayangnya, hari
ini kita telah kehilangan gambaran sebagai masyarakat terbaik. Kehidupan umat hari
ini seolah kembali sebagaimana gambaran masyarakat jahiliyyah dahulu. Keruntuhan
Khilafah Islam, institusi penegak syariah di tahun 1924 dan penerapan sistem
sekuler yang jauh dari nilai-nilai
Ilahiyah senyatanya telah membawa masyarakat pada kondisi yang jauh dari berkah. Alih-alih menjadi umat
terbaik, umat hari ini justru terperosok dalam berbagai krisis di segenap aspek
kehidupan.
Di tengah kondisi buruk ini, kaum perempuan pun harus
merasakan imbas negatif yang begitu mengerikan. Ide kebebasan yang lahir dari
rahim sekularisme telah membuat mereka nyaris kehilangan kemuliaan. Mereka, dengan
atau tanpa sadar telah menjadi kapstok berjalan yang siap dilecehkan. Kemiskinan
yang terjadi merata akibat penerapan sistem ekonomi sekuler-kapitalis-liberal
yang eksploitatif pun telah memaksa sebagian dari perempuan masuk dalam
perangkap mesin ekonomi yang menghinakan dan terjebak oleh ide kesetaraan yang mengikis naluri keibuan. Pada akhirnya,
keluargapun terancam disfungsi dan masa depan umatpun terancam lost generation.
Tentu saja, kenyataan ini seharusnya menyadarkan umat termasuk
kaum perempuan akan pentingnya aktivitas perubahan. Yakni perubahan dari sistem
sekularistik yang terbukti menjadi biang keburukan kepada sistem Islam yang telah
terbukti menjamin kemuliaan umat, termasuk perempuan. Untuk itu, dibutuhkan
upaya serius dan terarah dalam rangka membangkitkan kesadaran umat akan realitas
Islam sebagai sebuah ideologi. Yakni Islam yang tidak hanya dipahami ritual,
tetapi sebagai solusi seluruh problematika kehidupan, termasuk masalah
perempuan.
Proses penyadaran dimaksud hanya mungkin dilakukan
melalui dakwah pemikiran dan politis sebagaimana dicontohkan Nabi saw. Saat
itu, beliau membina kader-kader dakwahnya yang terdiri dari kalangan laki-laki
dan perempuan dengan aqidah yang mampu menggerakkan semangat ketundukan kepada
hukum-hukum Allah dan memberi keyakinan tentang kemuliaan hidup yang akan mereka
raih dengan Islam. Semangat dan keyakinan inilah yang menjadikan mereka
senantiasa siap menanggung resiko berjuang bersama Nabi, berinteraksi
ditengah-tengah masyarakat seraya menentang sistem yang rusak demi mewujudkan kehidupan yang lebih mulia
disisi Allah, baik di dunia berupa terwujudnya masyarakat Islam maupun di
akhirat sebagai ahli surga. Dengan cara
ini pulalah beliau bersama kader-kadernya tadi, secara ‘ajaib’ berhasil membalik
pola pikir dan pola jiwa masyarakat jahiliyah yang paganistis, mendewakan hawa
nafsu, mengagungkan kemuliaan suku dan hidup tanpa standar halal haram menjadi
masyarakat Islam yang kuat, yang tunduk pada nilai-nilai ukhrowi, menjunjung
kemuliaan akhlak dan siap dipersatukan oleh ikatan yang sama yakni aqidah dan
aturan-aturan Islam.
‘Ala kulli hal, terwujudnya kembali kehidupan Islam memang
merupakan keniscayaan. Terlebih Allah SWT telah memberikan kabar gembira (bisyarah) akan datangnya kembali kehidupan
Islam itu dengan tegaknya Khilafah ‘ala
Minhaj an-Nubuwwah untuk kedua
kalinya. Oleh karenanya, setiap Muslim, baik laki-laki maupun perempuan seharusnya
siap berkontribusi maksimal untuk mewujudkan kabar gembira tadi dalam waktu
secepatnya. Dan sebagai separuh masyarakat, kaum perempuan tentu memiliki kesempatan
besar untuk berperan menjadi agen perubahan, baik dalam posisinya sebagai ibu pencetak
generasi pemimpin, maupun dalam posisinya sebagai guru bagi sesama kaum perempuan,
yang siap mengajak kaumnya turut memproses perubahan dengan menjadi pejuang penegak
syari’ah dan khilafah sebagaimana dirinya.[]SNA[]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar