INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Kamis, 25 Agustus 2016

Lingkungan dan Keluarga Ramah Anak, antara Cita & Utopia

Oleh : Siti Nafidah Anshory Senin, 11/8 Puncak Peringatan Hari Anak Nasional digelar Pemerintah di Kota Bogor. Tema yang diangkat pada perayaan tahun ini adalah “Wujudkan Lingkungan dan Keluarga Ramah Anak”. Tema ini dianggap relevan dengan berbagai persoalan yang dihadapi sekitar 82 juta anak Indonesia hari ini. Selain soal masih minimnya jaminan pemenuhan hak dan perlindungan bagi anak seperti pengasuhan, pendidikan dan kesehatan, anak-anak Indonesia juga tengah menghadapi ancaman serius berupa maraknya dekadensi moral dan tindak kekerasan yang dilakukan bahkan oleh orang terdekat dan di lingkungan yang seharusnya menjadi tempat perlindungan terbaik bagi anak, seperti sekolah dan keluarga. Tamparan Buat Kita Sebagaimana diketahui, hingga tahun 2015, berbagai kasus dekadensi moral dan kekerasan terhadap anak (KTA) trendnya terus meningkat, mulai dari penyalahgunaan napza, sex bebas, prostitusi anak, penelantaran, penculikan, trafficking, kekerasan fisik, maupun kekerasan seksual yang tak jarang berujung pada kematian. Terkait kasus KTA misalnya, KPAI mencatat sepanjang Januari-Juli 2015 sudah terjadi lebih dari 6000 kasus. Padahal sepanjang tahun 2010 “hanya” terjadi 171 kasus. Di Jawa Barat termasuk di kota Bandung ternyata tak kalah memprihatinkan. Untuk kasus kekerasan, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jabar menemukan dari Januari hingga juli 2015 saja, sudah ada 55 kasus KTA. Padahal sepanjang tahun 2014 lalu “hanya” terjadi 57 kasus. Mencuatnya kasus prostitusi anak di kota Bandung akhir-akhir ini pun (seharusnya) cukup menjadi tamparan keras bagi kita semua. Terlebih di tahun 2010, hasil penelitian BKKBN menemukan bahwa 47% anak remaja di kota Bandung sudah tidak perawan lagi. Kemunculan kasus-kasus tersebut setidaknya bisa menggambarkan realitas bahwa jaminan kesejahteraan berupa perlindungan dan pemenuhan hak anak di Indonesia masih menjadi mimpi besar. Terlebih itu yang tercatat saja. Sementara yang terjadi sebenarnya, ditengarai jauh lebih banyak lagi. Hal ini pun diakui oleh Koordinator Eksekutif Satgas Perlindungan Anak Ilma Sovriyanti yang mengatakan, Indonesia memiliki tumpukan kasus yang menggunung terkait persoalan anak. Padahal menurutnya, tidak ada negara yang membiarkan bertumpuknya kasus yang menjadikan anak sebagai korban. Lantas, mengapa negara seolah mandul dalam menjamin hak anak dan memberi perlindungan pada mereka? Padahal semua memahami bahwa kehadiran anak dan generasi yang berkualitas sangat menentukan masa depan bangsa. Konsekuensi Negara Sekuler Sebagaimana tema HAN tahun sebelumnya, tema HAN tahun inipun begitu indah. Namun bisakah Pemerintah merealisasikannya dalam kenyataan? Faktanya, lingkungan dan kebanyakan keluarga saat ini memang tak lagi ramah anak. Penerapan sistem sekuler yang menafikan peran agama dan menumbuh-suburkan budaya liberal-materialistik oleh negara menjadikan keduanya kian mengalami disfungsi akut, bahkan menjadi monster yang dengan kejam merampas masa depan anak. Dalam sistem destruktif yang diterapkan negara seperti ini, kebebasan dan materi menjadi asas dalam pengaturan seluruh aspek kehidupan masyarakat. Di bidang politik pemerintahan, lahir sistem demokrasi yang mengagungkan kebebasan, sarat konflik kepentingan dan seringkali menjadi alat legitimasi bagi lahirnya kebijakan pro kapitalis yang justru kontraproduktif dengan missi penyelamatan generasi dan peningkatan ketahanan keluarga. Di bidang ekonomi, sekulerisme melahirkan sistem ekonomi kapitalis-neolib yang memandulkan peran negara sebagai pengurus umat bahkan menjadikannya tak lebih dari pedagang dan penjaga kepentingan asing. Potret kemiskinan dan gap sosial memicu kriminalitas dan bisnis kotor. Di saat sama fungsi keluarga tereduksi menjadi sebatas fungsi ekonomi hingga pola relasi di dalamnya berubah, strukturnya terguncang dan akhirnya menyeret kaum perempuan dan anak dalam situasi dilematis, bahkan rentan menjadi korban kekerasan. Di bidang sosial-budaya, sistem sekuler menjadi lahan subur merebaknya budaya hedon dan permissif, karena sistem ini menjadikan moral sebagai urusan privat dan melarang negara mencampurinya. Wajar jika negara asyik dengan proyek pembangunan fisik dan simbolik, yang terkadang justru memfasilitasi kemaksiatan. Wajar juga jika akhirnya kasus-kasus semacam pergaulan bebas, pornografi dan pornoaksi sangat sulit diberantas dan akhirnya memapar anak-anak kita, karena negara memang tak harus mengurusnya. Adapun di bidang hukum, sistem sekuler meniscayakan lahirnya produk hukum dan aparat yang lemah karena sistem ini menyerahkan pembuatannya pada akal manusia yang terbatas dan standar benar-salah yang berbeda-beda. Sehingga alih-alih mampu mencegah terjadinya kemaksiatan/kriminalitas lainnya, produk hukum sekuler malah sering dijadikan alat melegalisasi kesalahan. Saatnya Berubah! ‘Ala kulli hal, sebenarnya sangat mudah untuk memahami bahwa dengan paradigma negara sekuler yang terbukti destruktif tadi, maka menciptakan lingkungan dan keluarga ramah anak hanya akan menjadi slogan semata. Dan berharap negara akan memfungsikan dirinya sebagai pengurus dan pelindung anak-anak bangsapun hanyalah utopia. Masalahnya, versus bagi negara sekuler adalah negara yang memformalisasi syari’at atau dikenal dengan Khilafah. Sejarahpun mencatat kesuksesan Khilafah melindungi dan menjamin kesejahteraan serta hak-hak anak generasi penerus umat. Sistem politik, ekonomi, sosial dan hukumnya berpadu menjaga dan menjamin tumbuh-kembang generasi emas yang kuat, produktif dan bertaqwa. Hanya, tak dipungkiri jika masih banyak yang alergi bahkan antipati dengan gagasan “formalisasi syariat” atau konsep Khilafah. Selain karena ada kesalahpahaman, juga karena gagasan ini dianggap radikal dan melawan arus global kapitalisme yang –tentu saja-- berkepentingan untuk mempertahankan hegemoninya dengan cara mencegah munculnya kekuatan baru yang sangat potensial diemban oleh Khilafah Islam yang akan datang. Di sinilah urgensi aktifitas dakwah Islam ideologis yang intinya memaparkan berbagai konsep Islam dalam menyelesaikan seluruh problem kehidupan, dengan pendekatan yang ilmiah, komparatif dan apa adanya. Makin dipelajari, akan makin nampak bahwa Islam adalah jawaban atas ketidakmampuan sistem sekuler dalam mengatasi seluruh persoalan, baik di bidang politik, ekonomi, sosial, maupun hukum. Termasuk mengatasi persoalan anak yang sejatinya hanya salah satu persoalan dari sekian banyak persoalan akibat penerapan sistem sekuler. Masalahnya, maukah bangsa ini jujur mengakui bahwa ada masalah besar dengan sistem negara sekuler dan beranikah mereka berpikir out of the box soal perubahan dengan Islam dan khilafah? ----------

Tidak ada komentar: