INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Senin, 05 Oktober 2015

WALIMAH AL-'URSY DALAM TUNTUNAN SYARI'AH

Oleh : Ustadzah Najmah Sa'iidah


Pernikahan, secara syar’i adalah ibadah; dan secara ma’nawi merupakan penyatuan dua potensi fitrah yang berbeda untuk diikat dan dihimpun dalam kebersamaan sebagai wujud kecintaan dan pelaksanaan ketaatan kepada Allah swt dan Rasul-Nya. Pernikahan adalah sebuah amanah langsung dari Allah dan RasulNya, dan setiap amanat menuntut tanggung jawab. Betapa luar biasanya aqad nikah ini, sekalipun dengan ucapan yang sederhana, dengan adanya aqad nikah, perbuatan yang semula diharamkan menjadi halal, perbuatan yang semula bernilai maksiyat, berubah menjadi ibadah. Dalam kaitan nikah ini Allah berfirman:

وَاَخَذْنَ مِنْكُمْ مِيثَاقًا غَلِيظًا

“…. Dan mereka (isteri-isteri) telah mengambil dari kalian penjanjian yang kuat.” (QS. An-Nisa’: 21)

Pernikahan adalah sebuah perjanjian teguh (mitsaqan ghalizha). Jelaslah bahwa pernikahan ini bukan suatu senda gurau karena sejajar dengan perjanjian Allah dengan Bani Israil dan sejajar pula dengan perjanjian Allah dengan para Nabi yang mulia. Dalam perjalanannya Bani Israil gagal menunaikan amanah karena adanya ketidakjujuran dan khianat terhadap amanat, sedangkan para Nabi berhasil dengan izin Allah karena dilandasi sifat kejujuran (shiddiq) dan berlaku benar dalam menu-naikan amanah. Dengan demikian pernikahan itu bisa gagal ataupun berhasil sangat bergantung pada sifat yang melandasi ikatan dan bangunan keluarga berdua.

Penghargaan Islam terhadap ikatan pernikahan amat besar, sehingga ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik ra berkata, “Telah bersabda Rasulullah saw : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi”. (Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim). Karenanya pula, Islam sebagai diin yang sempurna telah mengatur masalah pernikahan dengan sangat rinci, dari mulai memilih pasangan, khitbah, akad nikah maupun setelah akad nikah, kewajiban suami istri, termasuk di dalamnya walimatul ‘ursy. Apa yang dimaksud dengan walimatul ‘ursy dan bagaimana Islam mengatur masalah ini ?

Walimatul ‘Ursy

Kata walimah (الوليمة) diambil dari kata asal walmun (الولم) yang bererti perhimpunan, kerana pasangan suami isteri (pada ketika itu) berkumpul sebagaimana yang dikatakan oleh imam az-Zuhri dan selainnya. Bentuk kata kerjanya adalah awlama (أولم) yang bermakna setiap makanan yang dihidangkan untuk menggambarkan kegembiraan (ketika pernikahan). Dan walimatul urus (ووليمة العرس) adalah sebagai tanda pengumuman (majlis) untuk pernikahan yang menghalalkan hubungan suami isteri dan perpindahan status kepemilikan. (Imam Muhammad bin Ismail ash-Shan’ani, Subulus Salam Syarah Bulughul Maram, 3/153-154)

Menurut Imam Ibnu Qudamah dan Syaikh Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, “Al-Walimah merujuk kepada istilah untuk makanan yang biasa disajikan (dihidangkan) pada upacara (majlis) perkawinan secara khusus.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 15/486 – Maktabah Syamilah. Abu Malik Kamal as-Sayyid Salim, Shahih Fiqhus Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Mazahib al-Arba’ah, 3/182 – Maktabah at-Tauqifiyyah, Cairo). Kalangan mazhab Ahmad dan selainnya menyatakan, bahwa walimah merujuk kepada segala bentuk makanan yang dihidangkan untuk merayakan kegembiraan yang berlangsung. (Ibnu Qudamah, al-Mughni)

Dari penjelasan di atas dapat kita fahami bahwa yang dimaksudkan dengan walimatul ‘ursy itu adalah jamuan makan yang diadakan untuk merayakan pernikahan pasangan pengantin. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas radhiyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata, “Ketika tiba waktu pagi hari setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjadi seorang pengantin dengannya (Zainab bin Jahsy), beliau mengundang masyarakat, lalu mereka dijamu dengan makanan dan setelah itu mereka pun keluar.” (HR Bukhari). Sabda Nabi SAW kepada ‘Abdurrahman bin ‘Auf ketika baru saja menikah, “Laksanakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing.” (Hadis Riwayat al-Bukhari). Anas ra berkata : “Ketika Rasulullah SAW menikahi seorang perempuan, beliau meminta aku supaya mengundang beberapa orang (lelaki) untuk makan.” (HR Bukhari)

Walimatul ‘ursy ini juga merupakan salah satu uslub untuk mengumumkan pernikahan kepada khalayak, agar tidak menimbulkan syubhat (kecurigaan) dari masyarakat yang mengira orang yang sudah melakukan akad nikah tersebut melakukan perbuatan yang tidak dibolehkan syara’. Disamping pernikahan merupakan perbuatan yang haq untuk diumumkan dan layak diketahui masyarakat, juga dapat menjadi perangsang bagi orang-orang yang lebih suka membujang agar segera menikah.

Dalil tentang keharusan untuk menghilangkan yang subhat adalah penjelasan Rasulullah terhadap orang-orang yang mencurigainya tatkala beliau bersama istrinya Shafiyyah bint Huyay; Diriwayatkan dari ’Ali bin Abi al-Husayn (ia menuturkan): ”Bahwa Shafiyyah binti Huyay, salah seorang istri Nabi SAW, telah memberitahu kepadanya, sementara Rasusullah saw sedang melakukan i’tikaf di masjid pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan. Shafiyyah lantas bercakap-cakap dengan Nabi saw beberapa saat pada waktu isya. Setelah itu, Shafiyyah berdiri untuk kembali maka Rasulullah pun berdiri dan mengantarnya. Hingga saat sampai di pintu mesjid dekat tempat tinggal Ummu Salamah, istri Nabi saw, ada orang dari kalangan Anshor melewati mereka. Kedua orang itu pun mengucapkan salam kepada Nabi saw. Mereka kemudian bergegas pergi. Rasulullah saw berseru kepada keduanya: ”Pelan-pelan saja sesungguhnya ini adalah Shafiyyan binti Huyay”. Kedua orang itu pun berkata: ”Mahasuci Allah! Duhai Rasulullah”. Apa yang dikatakan oleh Nabi saw telah membuat keduanya merasa berdosa. Nabi pun bersabda: ”Sesengguhnya syetan menggoda anak Adam melalui peredaran darahnya. Dan aku khawatir, setan akan menyelusupkan prasangka buruk ke dalam hati kalian berdua.” (Muttafaq ’alayhi)

Dari Aisyah RA, bahwa Nabi SAW bersabda: ”Umumkan (syiarkan) nikah ini dan adakanlah di masjid-masjid, dan pukullah untuknya rebana-rebana” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, hadits Hasan)

Mengumumkan (menyiarkan) pernikahan boleh dilaksanakan dengan cara apapun tergantung kemampuan masing-masing, karena hal ini berkaitan dengan masalah teknis (uslub). Yang pasti tujuannya adalah memberi tahu kepada orang disekitar kita, tetangga, kerabat, kenalan, dll, mengenai telah berlangsungnya pernikahan. Jika belum mampu menyelenggarakan undangan makan (walimah), menyiarkan akad bisa dilakukan dengan cara bersilaturrahmi ke kerabat atau kenalan sambil memperkenalkan pasangan, mencetak kartu dan mengirimkannya atau dengan cara lainnya. Hanya saja yang dicontohkan oleh Rasulullah saw adalah mengumumkan akad dengan cara mengundang orang-orang serta meyediakan hidangan untuk para undangan, atau dengan kata lain dengan cara mengadakan walimatul-ursy.

Walimah dalam hal ini tidak dimaksudkan untuk berpesta pora dan bermegah-megahan, tetapi yang ingin dicapai dari walimah tersebut adalah mengumumkan pernikahan dan wujud syukur dari mempelai dan keluarga karena telah menyempurnakan separuh dari agama, terlebih lagi jika mendapatkan istri yang sholihah, sebagaimana dijelaskan dalam hadits Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Tabrani dan Hakim “ Barangsiapa yang diberi rizki oleh Allah seorang istri yang sholeh, sesungguhnya telah ditolong separuh agamanya, dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh lainnya”. Selain itu walimah juga bertujuan untuk memohon do’a dari para undangan, agar pernikahan tersebut mendapat keberkahan dan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah dan rahmah. Walimah juga dapat dianggap sebagai wasilah untuk mensyiarkan hukum-hukum Allah, sebagai satu rangkaian yang menyertai pernikahan dan mempunyai tujuan yang mulia, yaitu beribadah kepada Allah dan mengharapkan ridho Allah SWT.

Walimah Menurut Tuntunan Syari’at

“Imam Ahmad berkata, “Walimah itu hukumnya sunnah”. Menurut jumhur, walimah itu disunnahkan (mandub). Jumhur mengatakan hukumnya sunnah berdasarkan pendapat asy-Syafi’i rahimahullah.” (Subulus Salam, jil. 2). Demikian pula pendapat Ibnu Qudamah rahimahullah: “Tiada perbedaan pendapat di antara ahli ilmu, bahawasanya hukum walimah di dalam majlis perkawinan adalah sunnah dan disyari’atkan (sangat dituntut), bukan wajib.” (Ibnu Qudamah, al-Mughni)

Walimah dilaksanakan dan diselenggarakan oleh Suami. Ini adalah sebagaimana perbuatan yang telah dilakukan Rasulullah SAW dan diikuti oleh para sahabat-sahabatnya yang lain. Dari Anas radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: “Ketika Rasulullah SAW menikahi seorang perempuan, beliau mengutus aku untuk mengundang beberapa orang untuk makan.” (HR Bukhari, Tirmidzi)

Juga dari Anas ra, Abdurrahaman berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku baru saja menikah dengan seorang wanita dengan mahar satu nawat emas (emas sebesar biji kurma)”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Semoga Allah memberkahimu, adakanlah walimah walau pun hanya dengan menyembelih seekor kambing”.” (HR Bukhari, no. 5169). Walau pun begitu, tidak disyaratkan dalam walimah harus dengan menyembelih seekor kambing tetapi ia dilakukan sesuai dengan kemampuan suami. Karena Rasulullah SAW sendiri pernah melaksanakan walimah untuk Shafiyah dengan menyediakan campuran kurma tanpa biji yang dicampur dengan keju dan tepung di atas sumbangan para sahabat yang hadir. (HR Bukhari)

Mengingat pentingnya posisi walimah sebagai bagian dari ibadah kepada Allah SWT dan juga sebagai bukti kecintaan kita kepada Rasulullah SAW, maka dalam pelaksanaannya haruslah sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW, tidak dibolehkan menyimpang dari aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Karenannya Islam telah mengaturnya dengan sedemikian rinci, antara lain :

1. Prosesi walimah haruslah bersih dari hal-hal yang tidak sesuai dengan aturan Islam. Terhindar dari hal-hal yang mengandung kemusyrikan atau khurafat. Di dalam masyarakat kita saat ini terdapat beberapa adat dan kebiasaan dalam melaksanakan rangkaian prosesi pernikahan yang dapat menjerumuskan pelakunya kepada tindakan penyekutuan terhadap Allah SWT. Semua amal yang akan merusak aqidah dan bertentangan dengan Islam harus ditinggalkan. Menyediakan sesajen misalnya agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan, dihiasi dengan ritual tertentu yang merupakan adat suatu daerah yang mengandung makna tertentu, seperti menginjak telur, sawer dan sebagainya. Atau perhitungan calon pengantin apakah jodohnya baik atau buruk, dengan perhitungan weton (tanggal lahir keduanya) atau kebiasaan menentukan hari baik untuk pesta, perhitungan ini dilakukan oleh seorang dukun atau ’orang pintar’. “Barang siapa yang mendatangi dukun atau paranormal dan percaya kepada ucapannya maka ia telah mengkufuri apa yang telah diturunkan oleh Allah kepada Muhammad Saw.” (HR. Abu Daud).

2. Tidak menghadirkan hiburan yang dilarang oleh Allah SWT, terlebih lagi jika disertai minum-minum atau makan yang diharamkan Allah SWT. Sekalipun memang adanya hiburan bukan merupakan suatu yang dilarang, asalkan tidak bertentangan dengan aturan Islam. Dari Amir bin Sa’ad dia berkata: “Saya masuk ke rumah Quradhah bin Ka’ab ketika hari pernikahan Abu Mas’ud Al-Anshori. Tiba-tiba beberapa anak perempuan bernyanyi-nyanyi.” Lalu saya bertanya; bukankah anda berdua adalah shahabat Rasulullahsaw dan pejuang Badar, mengapa ini terjadi di hadapan anda? Maka jawab mereka: “Jika anda suka, maka boleh anda mendengarnya bersama kami, dan jika anda tidak suka maka boleh anda pergi. Karena kami diberi kelonggaran untuk mengadakan hiburan pada acara perkawinan.” (HR. Nasa’I dan Hakim). ‘Aisyah mengiringi Fathimah binti As’ad dengan disertai pula oleh Nabith bin Jabir Al-Anshari pada hari-hari pengantinnya ke rumah suaminya. Lalu Nabi saw bersabda: “Wahai “Aisyah mengapa tidak kamu sertai dengan hiburan? Sesungguhnya orang-orang Anshar senang hiburan.” (HR. Bukhari, Ahmad dll). Hanya saja hiburan ini wajib dijauhkan dari hal-hal yang dilarang, seperti; bercampur baur antara laki-laki dan perempuan (ikhtilath), tarian dan gerakan yang dapat membangkitkan syahwat (pornoaksi), perkatan (syair) yang keji dan kotor yang tidak pantas untuk didengar. Demikian pula penggunaan alat musik, patut diperhatikan lagu atau instrumen yang dihasilkannya, tidak mengandung nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam, seperti musik degung (disertai keyakinan akan keberkahan dari lagu-lagu yang dimainkan), organ tunggal dengan lagi-lagu cinta yang merangsang, dll.

Sebaliknya hiburan yang disajikan selayaknya dapat menggugah para hadirin untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, menggugah semangat untuk berkorban dan berjihad di jalan Allah , atau lagu-lagu yang dapat menumbuhkan kecintaan kepada Allah dan RasulNya, mengingat akan kebesaran dan kenikmatan Allah SWT, seperti halnya irama nasyid. Karena itu walimah tidak hanya digunakan sebagai sarana untuk berkumpul dan memenuhi undangan makan, sekaligus juga dapat memberi nilai tambah terhadap para hadirin untuk menjadi hamba Allah yang lebih bersyukur atas segala kenikmatan yang telah dianugerahkan kepada semuanya, termasuk keberkahan dari acara walimah tersebut.
3. Adanya pengantin, khususnya pengantin perempuan yang berdandan cantik dan dilihat oleh seluruh tamu undangan, termasuk laki-laki. Tindakan ini merupakan pelanggaran terhadap hukum tabarruj (terlebih lagi jika pengantin perempuan tidak menutup aurat). Islam memerintahkan kepada para perempuan untuk menutup aurat dengan sempurna (QS An Nur 31 dan Al Ahzab 59) serta melarang melakukan tabarruj, dengan larangan yang tegas dalam situasi apapun tanpa kecuali. Allah SWT berfirman: ”Janganlah kalian bertabaruj seperti orang-orang jahiliyah yang terdahulu” (TQS. Al-ahzab:33). Rasulullah saw bersabda: ”Siapa saja wanita yang memakai wewangian kemudian melintas di suatu kaum (laki-laki) agar mereka menghirup wangi wanita itu, maka dia adalah pezina (pelacur)”. Dalil-dalil diatas dan banyak lagi dalil yang lainnya secara gamblang menunjukkan larangan bertabaruj, karena itu maka tabarruj hukumnya adalah haram, Keharamannya ini bersifat umum, tidak terkecuali terhadap pengantin dan tamu undangan. Atas dasar ini, setiap perhiasan yang tidak biasa –umumnya dikenakan pengantin-, memoles wajahnya dengan warna-warni tertentu, yang dapat menarik pandangan laki-laki dan dapat menampakkan kecantikan wanita adalah termasuk tindakan tabarruj, jika pengantin perempuan muncul di hadapan pria asing (bukan mahromnya). Tetapi jika pengantin perempuan hanya menampakkan diri terhadap tamu undangan perempuan, tidaklah termasuk tabaruj, dan hanya dikategorikan sebagai berhias dan memakai perhiasan yang hukumnya adalah mubah. Karena itu guna menghindari pelanggaran terhadap hukum tabaruj ini, maka sudah semestinya tamu laki-laki terpisah dengan tamu perempuan secara mutlak.
4. Meminta para tamu undangan untuk mengenakan busana yang syar’i, yang menutup seluruh auratnya. Allah Swt berfirman, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang ( biasa ) nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya.” ( QS. An Nuur [24] : 31 ).
5. Islam melarang penyelenggaraan walimah yang hanya mengundang orang-orang tertentu saja, yaitu hanya mengundang orang kaya dan terhormat dan tidak mengundang para fakir miskin, sekalipun masih termasuk kerabat atau tetangga. Mengenai hal ini Rasulullah SAW menjelaskan di dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: ”Makanan yang paling jelek adalah pesta perkawinan yang tidak mengundang orang yang mau datang kepadanya (miskin), tetapi mengundang orang yang enggan datang kepadanya ((kaya). Barang siapa tidak memperkenankan undangan maka sesungguhnya telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya.” (HR Muslim). Dalam hadits yang lain dikatakan bahwa “Sejelek-jelek makanan ialah makanan walimah yang hanya mengundang orang yang kaya tetapi meninggalkan orang-orang miskin “(HR. Bukhari dari Abu Hurairah ra)
6. Islam melarang kondisi campur baur antara tamu undangan, sehingga memungkinkan terjadinya interaksi (ikhtilat) antara tamu laki-laki dan tamu perempuan yang bukan mahram sambil bersenda gurau dan membicarakan hal-hal yang tidak syar’i. Guna menghindari hal tersebut, maka yang dilakukan adalah memisahkan secara sempurna antara tamu laki-laki dengan tamu perempuan. Sehingga kondisinya adalah pengantin perempuan dengan kerabat dan para tamu yang perempuan, sedangkan pengantin laki-laki dengan kerabat dan tamu laki-laki, dengan tempat makan dan pelaminan yang berbeda. Hal ini bisa dilakukan dengan beberapa uslub, misalnya walimahnya diselenggarakan pada waktu yang berbeda antara yang laki-laki dan perempuan, atau dengan menggunakan dua tempat atau dua gedung yang berbeda, atau bisa juga dengan tempat yang sama tapi dipisah dengan tabir sempurna antara laki-laki dan perempuan, sehingga tidak terjadi pertemuan dalam satu ruangan di antara laki-laki dan perempuan. Berkaitan dengan pemisahan antara laki-laki dan perempuan ini, karena memang pada dasarnya dalam kehidupan masyarakat Islam di masa Rasulullah SAW dan sepanjang kurun sejarah Islam, kehidupan laki-laki dan perempuan terpisah satu dengan lainnya. Dalil-dalil tentang hai ini banyak sekali , diantaranya adalah dari Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa neneknya Malikah pernah mengundang Rasulullah SAW untuk menikmati jamuan makanan yang dibuatnya. Lalu Rasulullah SAW memakannya kemudian berkata: “Berdirilah kamu agar aku mendoakan bagi kamu…” hingga perkataan Anas bin Malik, “Maka berdirilah Rasulullah SAW dan berbarislah aku dan seorang anak yatim di belakang beliau, dan perempuan tua di belakang kami.” Adapun Abu Dawud telah meriwayatkan, Rasulullah Sallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barisan yang terbaik untuk lelaki adalah barisan terdepan, ( yang paling jauh dari barisan perempuan) dan barisan yang paling baik untuk perempuan adalah di barisan belakang, dan yang terburuk adalah di depan (paling dekat dengan barisan lelaki)." [HR Abu Dawud]
Diriwayatkan oleh Aisyah ra, beliau berkata: "Aku selalu bermain dengan teman-temanku dan tatkala Rasulullah masuk, mereka (teman-temanku) akan pergi dan apabila beliau SAW keluar, mereka akan kembali seperti semula” (HR Abu Dawud).
Sedangkan terkait dengan pernikahan atau walimatul ‘ursy, beberapa dalil menjelaskan keterpisahan ini. Dari Aisyah ra berkata: "Rasulullah mengawiniku pada usia tujuh tahun dan kami mengadakan hubungan di usia sembilan tahun dan tatkala aku berpindah ke Madinah, segolongan perempuan mempersiapkan ku untuk majlis perkawinan ku dan tidak pernah sekali-kali mereka maupun aku, bercampur dengan lelaki di dalam rumah yang dipenuhi perempuan. Pihak perempuan menyambutku dan pihak lelaki menyambut Rasulullah dan kemudian kami masuk ke rumah." (HR. Abu Dawud).

“Sesungguhnya Nabi SAW pernah mukim di antara Khaibar dan Madinah selama tiga malam dimana ia mengadakan pesta menjelang berumah tangga dengan Shafiyah , kemudian aku mengundang kaum muslimin untuk menghadiri walimah …..Lalu kaum muslimin bertanya ….. Kemudian tatkala Nabi SAW mendengarnya, ia melangkah ke belakang dan menarik tabir. (HR Bukhari, Muslim dan Ahmad)
7. Penyelenggaraan walimah memudahkan para undangan untuk bisa makan dan minum dengan cara yang Islami. Tidak diperbolehkan makan dan minum dengan berdiri. Hal ini berdasarkan larangan dari Rasulullah Saw. Dari Anas dan Qatadah, Rasulullah Saw bersabda, ”Sesungguhnya beliau melarang seseorang minum sambil berdiri, Qotadah berkata, ”Bagaimana dengan makan?” beliau menjawab: “Itu kebih buruk lagi”. ( HR. Muslim dan Turmidzi ). Hadits yang lain dari Abu Hurairah, Rasulullah Saw bersabda, “Jangan kalian minum sambil berdiri ! Apabila kalian lupa, maka hendaknya ia muntahkan !” ( HR. Muslim ). Maka penyelenggara walimah tidak diperbolehkan mengadakan standing party. Harus disiapkan tempat duduk untuk seluruh tamu yang hadir.
Demikianlah, Islam telah mengatur masalah walimatul ‘ursy ini dengan sedemikian rinci. Aturan ini menjadi panduan bagi umat Islam, sehingga menjadi pernikahan yang penuh dengan rahmat Allah SWT dan keberkahan Allah SWT selalu tercurah bagi pengantin serta anak keturunanya kelak. Tatacara ini telah sangat jelas dan dilandasi dalil-dalil syara’, karenanya kaum muslim wajib terus berupaya untuk mengubah kebiasaan masyarakat yang bertentangan dengan syariat Islam serta mensyiarkan ajaran Islam mengenai penyelenggaraan walimah ini. Walaupun mayoritas masyarakat belum terbiasa dengan tata cara walimah demikian, merasa asing atau aneh, tapi yakinlah lambat laun menjadi terbiasa seiring dengan kegigihan kita dalam mensosialisasikannya. Semoga setiap usaha kita dalam mensyiarkan ajaran Allah Dan RasulNya mendapatkan imbalan yang berlipat ganda disisiNya. Wallahu a’lam bishshawwab.

---------

1 komentar:

Zulfa Balai Sartika mengatakan...

HIS balai sartika memiliki konsep One Stop Wedding Service, dengan konsep One Stop Wedding Service ini lebih memudahkan kak winda kedepannya dalam pemilihan vendor, yang sudah mencakup seluruh kebutuhan kak ina dari mulai :
-Gedung
-Catering
-Dekor
-Rias busana & Make up
-Fotografi
-Entertaiment
-MC
-Upacara Adat
-Wedding car
-Wedding Organizer & Wedding Consultant

Info lebih lanjut bisa hub Zulfa 089611648377 (WA)