INSPIRING QUR'AN :

وَسَارِعُواْ إِلَى مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ

"Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhan-mu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertaqwa" (TQS. Ali-Imran : 133)

Rabu, 22 Juli 2009

MAR'AH : Konsep Diri

KONSEP DIRI SEORANG MUSLIMAH
Oleh :   Husnul Khotimah

Pendahuluan

Tidak dapat dipungkiri, bahwa pada saat ini kita sedang hidup di dalam masyarakat yang sangat kapitalistik, dimana ide sekularisme dan materialisme telah demikian merasuki seluruh sendi-sendi kehidupan, tanpa kecuali.   Dengan semangat ini, tolok ukur kehidupan tidak lagi jelas, karena hanya bersandar pada asas manfaat yang senantiasa berubah dan sangat subyektif.  Sementara itu, aturan-aturan yang dibangun untuk menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapi ternyata juga tidak mampu memberikan penyelesaian secara tuntas.  Bahkan cenderung memunculkan persoalan baru yang lebih rumit, yang pada akhirnya justru makin menjerumuskan manusia ke jurang kehinaan dan kesengsaraan.

Sayangnya, sebagian besar dari mereka tidak juga menyadari, bahwa kehidupan yang mereka bangun, selain sangat rusak dan rapuh,  sesungguhnya juga menyimpan bahaya yang sangat besar. Dan bahwa, jalan hidup yang mereka tempuh ini tidak akan pernah menyampaikan mereka kepada kebahagiaan yang langgeng dan hakiki.  Hal ini karena, dengan materialisme, mereka lebih suka mengejar kenikmatan jasadi yang bersifat sesaat dibandingkan dengan ‘bersusah payah’ mentafakuri makna hidup yang sesungguhnya.  Padahal hanya  dengan cara itu mereka akan sampai pada kesadaran hakiki tentang eksistensi mereka di dunia ini, yang dengan kesadaran ini akan melahirkan ketundukkan mutlak kepada Al-Khaliq Al-Mudabbir, sebagai sumber kebahagiaan yang langgeng dan hakiki.  Rupa-rupanya,  memang benar, bahwa manusia  bisa lebih sesat dari binatang ternak, manakala potensi akal yang Dia berikan untuk memahami hakekat keberadaan diri mereka di dunia, terkalahkan oleh hawa nafsu yang juga dimiliki binatang.  Naudzubillaah.

Dimana Posisi Muslimah ?

Jika dicermati, kondisi mengenaskan tadi kini sudah menjadi bagian hidup kaum muslimin, dimanapun mereka berada. Sampai-sampai, tak satupun negeri Islam yang mampu memberikan gambaran tentang bagaimana uniknya ‘masyarakat Islam’ yang oleh Allah dianugerahi predikat ‘khoiru ummah’.   Bahkan, berbagai gambaran buruk justru telah menjadi bagian inhern masyarakat kaum muslimin, sehingga wajar jika ketinggian Islam tak lagi nampak, dan tak lagi membuat manusia ‘berbondong-bondong’ masuk ke dalam Islam.Kondisi ini tak pelak juga di hadapi oleh muslimah, sehingga tak jarang membuat sebagian dari mereka gamang dan ‘saru’ tentang jalan hidup yang harus ditempuh. 

Faktanya,  kita lihat kehidupan yang ditampilkan sebagian dari mereka tak ubahnya seperti kehidupan para wanita kafir, yang memaknai hidup secara dangkal dan menafikan adanya hisab dan pembalasan.  Para muslimah ini, berpikir dan bersikap sebagaimana berpikir dan bersikapnya para wanita kafir, seraya menganggap, bahwa apa yang mereka lakukan merupakan keharusan/tuntutan modernisasi dan renaissance peradaban modern.  Sementara itu, nilai-nilai Islam tak lagi nampak menghiasi cara berpikir dan bersikap mereka.  Bahkan, mereka cenderung merasa ‘tak bernilai’ manakala mereka harus membungkus aurat mereka dengan pakaian yang dituntut syara.  Kalaupun sebagian dari mereka memaksakan diri menunjukkan ciri kemuslimahannya dengan menutup aurat,  tak jarang mereka lupa untuk menghiasi pola pikir dan pola sikapnya juga dengan Islam. 

Ada fakta menarik, bahwa di negeri yang mayoritas kaum muslimin ini, kasus aborsi yang dilakukan oleh remaja mencapai angka 750 ribu kasus per tahun (Republika, 27 Pebruari 2000).  Dan di Surabaya, disinyalir 6 dari 10 remaja puteri pernah melakukan hubungan seks di luar nikah (Republika, 16 Pebruari 2000).   Pada kasus-kasus seperti ini,  bisa dipastikan, bahwa sebagian besar pelakunya adalah muslimah. Dan tentu saja, fakta-fakta ini, bukanlah fakta yang jauh dari kehidupan kita sehari-hari.  Bahkan, bisa jadi kita menemukan fakta itu di antara keluarga kita, tetangga kita, dan di antara teman-teman kita. 

Ini semua menunjukkan, bahwa sebagian muslimah telah kehilangan rasa malu dan kesucian, yang sesungguhnya merupakan buah dari iman.Lantas kenapa kondisi ini bisa terjadi, sementara mereka masih enggan melepaskan keislaman mereka ? Dan bagaimana bisa, keberadaan aqidah Islam pada diri-diri mereka, ternyata tidak sanggup untuk menjadi benteng yang membatasi dan menunjukki jalan hidup mereka, sehingga tidak menyimpang dari tuntutan aturannya ?

Pentingnya Memantapkan Kembali Pemahaman Tentang Aqidah

Dari uraian sebelumnya, kita bisa menarik kesimpulan, bahwa inti permasalahannya terletak pada aqidah kaum muslimin (termasuk muslimah) yang sangat lemah.  Kelemahan aqidah inilah yang sesungguhnya menjadi penyebab munculnya berbagai bencana yang dihadapi kaum muslimin, mulai dari lepasnya keterikatan terhadap hukum-hukum Islam yang  sempurna dan memberikan solusi tuntas, ketidakberdayaan menghadapi hukum-hukum kufur dan dominasi orang-orang kafir atas mereka, termasuk kehinaan dan kenistaan akibat sibuk mengejar kesenangan duniawi dengan melupakan Allah SWT.  Dengan kata lain, keberadaan aqidah Islam pada diri-diri mereka tidak lagi mampu menjadi pendorong untuk senantiasa mengikatkan diri pada hukum syara’ dalam setiap aktivitas mereka.  Bahkan tidak mampu membakar semangat untuk memper-juangkannya, sehingga Islam bisa kembali eksis dan membuktikan ketinggiannya di tengah mabda’-mabda’ (ideologi) yang lain. 

Hal ini tentu sangat berbeda jauh dengan apa yang kita dapati pada diri para shahabat dan para shahabiyat r.a serta generasi kaum muslimin terdahulu, dimana mereka benar-benar memahami, bahwa keberadaan mereka didunia hanyalah untuk Islam dan untuk merealisasikannya dalam kehidupan.  Sehingga corak kehidupan yang dibangunpun menunjukkan sosok masyarakat yang agung dan cemerlang.

Oleh karena itu, merupakan keharusan untuk membangkitkan, memantapkan dan menghidupkan kembali aqidah ini pada diri kaum muslimin, tanpa kecuali, sebab aqidah merupakan kunci dari segala problematika.  Karena pada hakekatnya, aqidah merupakan cara pandang seseorang tentang kehidupan, yang dengan cara pandang itu dia akan membangun segala pemikirannya tentang kehidupan sekaligus menjadi sandaran bagi setiap perilakunya tatkala memenuhi tuntutan naluri dan kebutuhan fisik yang muncul dalam dirinya.Oleh karena itu, bukan hal yang sia-sia apabila Al-Qur’an selama 13 tahun di Makkah selalu terfokus pada masalah aqidah seraya menanamkan ide-idenya, seperti konsep Tauhid, qadla Allah (rizki dan ajal), kehidupan akhirat, keberadaan para malaikat, dan sebagainya.  Dan pada periode Madinah, sekalipun perhatian Al-Qur’an telah terfokus pada penerapan hukum-hukum syara, namun ayat-ayat yang diturunkan selalu mengingatkan kaum muslimin terhadap aqidah serta mengkaitkan hukum-hukum yang diturunkan tersebut dengan iman (aqidah). 

Salah satu contoh adalah firman Allah SWT dalam QS. An-Nisa :65, yang artinya :“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu pemutus dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasakan keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” 

Contoh-contoh lain bisa diperhatikan QS. Ali Imran : 100 dan 200, An-Nisa : 29 dan Al-Mujadilah : 22,  serta ratusan ayat dan ratusan hadits yang senantiasa mengkaitkan penjelasan tentang suatu ide, hukum, pemecahan, perintah dan larangan dengan aqidah.  Sehingga hal ini mendorong manusia mu’min untuk meyakini dan melaksanakan tuntutan nash.Jalan inilah yang juga harus ditempuh untuk menjadikan masyarakat menerima aqidah, komitmen terhadapnya dan sekaligus mengikatkan diri pada hukum-hukumnya.  Sehingga dengan keyakinan yang kuat akan adanya balasan di akhirat, dengan keberadaan rasa takut sekaligus cinta kepada Allah serta kepasrahan yang dalam untuk diatur oleh-Nya, akan menjadikan pandangan mereka kembali mengarah ke langit.  Akan tetapi bukan dalam pengertian zuhud yang sempit, karena aqidah Islam sesungguhnya merupakan aqidah ruhiyyah, sekaligus juga merupakan aqidah siyasiyah.

Hanya saja untuk membangkitkan semangat aqidah ini dibutuhkan penjelasan tentang mafhum pokok yang mendasar dalam aqidah Islam, yakni mafhum ‘ubudiyyah yang lahir dari mafhum uluhiyyah.  Tatkala Allah SWT berfirman : “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyaat :56), sesungguhnya menunjukkan, bahwa yang dimaksud dengan kalimah pertama syahadat , laa ilaaha illaLLah  adalah laa ma’buda illaLLah.  Artinya mengesakan Allah dalam penghambaan, pengibadahan dan pensucian.

Apabila seorang muslim telah memahami pengertian ini, maka akan menjadikannya sangat berhati-hati dalam segala hal yang berkaitan dengan pengaturan urusan kehidupannya, sehingga ia akan menolak untuk mentaati selain Allah, menolak mengikuti atau ikut menyerukan aturan, pemikiran dan gaya hidup yang bukan dari Allah, bahkan dia akan siap berkorban demi ketaatannya kepada Allah.  Dengan kata lain, keberadaan mafhum ketuhanan yang benar akan melahirkan ketundukan pada hukum Allah semata, sebagaimana mafhum yang tercermin dalam QS. An-Nisa : 60 dan  65.
Selain itu, dia juga memahami, bahwa kehidupan dan kematian ini telah Allah SWT ciptakan untuk menguji siapa diantara manusia yang terbaik amalnya (Lih. QS Al-Mulk).  Konsep IHSANUL AMAL ini menunjukkan keharusan dipenuhinya 2 prasyarat, berupa keikhlasan dan kesesuaian dengan hukum syara.  Sehingga, tatkala seseorang memahami dengan benar mafhum pokok tauhid yang mengharuskannya terikat dengan aturan-aturan Allah SWT, dan memahami, bahwa suatu perbuatan akan dinilai sebagai amal sholeh jika dilakukan dengan ikhlas dan sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya, maka dia akan berusaha untuk memahami seluruh hukum syara’.  Artinya dia akan senantiasa terdorong untuk menuntut ilmu, menyebarluaskannya dan sekaligus berupaya mengeksiskannya melalui aktivitas da’wah. 

Khatimah  

Mewujudkan konsep diri seorang muslim/ah yang ideal memang bukanlah merupakan hal yang mudah, tapi juga bukan merupakan hal yang mustahil.  Hal ini karena, harus diyakini bahwa Islam adalah din yang sangat manusiawi.  Dan ajaran-ajaran Islam datang untuk diterapkan oleh manusia.  Laa yukallifullaahu nafsan illaa wus’ahaa.   

Yang jelas, pertama kali dia harus memahami makna kehidupan ini sesungguhnya melalui proses tafakur terhadap segala yang ada, dengan semangat pencarian dan sikap hanif, sampai dia menemukan kebenaran aqidah Islam, yang mengajarkan, bahwa segala yang ada sesungguhnya berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah.  Dan bahwa Allah SWT bukan hanya sebagai Pencipta tapi juga Pengatur kehidupan, sehingga hakekatnya manusia dituntut untuk menjadikan aturan-aturan Allah saja sebagai jalan hidupnya.  Karena dia meyakini bahwa aktivitas apapun yang dilakukan akan dia dapati balasannya pada hari berbangkit nanti. 

Dengan kata lain, seorang muslim/ah, akan senantiasa menjadikan aqidah Islamiyahnya sebagai pijakan dalam berpikir dan bertindak, dengan tetap memahami, bahwa aqidah Islam merupakan aqidah ruhiyyah dan aqidah siyasiyah.  Sehingga dia tidak akan tergiur oleh bujuk rayu pemikiran dan gaya hidup asing yang diwarnai oleh materi dan manfaat sesaat, dengan menganggapnya sebagai tipu daya yang akan membawa kepada jurang kesengsaraan dan kesesatan, dunia dan akhirat.  Dan yang menjadi tujuan akhir dari seluruh aktivitas yang dilakukannya, tidak lain adalah meraih keridhaan Allah.  

Inilah makna kebahagiaan hakiki bagi seorang muslim/ah. Jika saja kaum muslimin memiliki pemahaman yang sama, kebangkitan Islam tentu bukan lagi menjadi sebuah harapan.  Oleh karena itu, haruslah ada upaya bersama dan terus menerus, untuk membenahi aqidah kaum muslimin melalui aktivitas da’wah yang terstruktur dengan mengikuti pola yang dilakukan oleh Rasulullah Saw, sebagai qudwah dan uswah kita sepanjang masa. Untuk itu, kitapun dituntut mengetahui lebih banyak tentang tsaqafah Islam, mengamalkannya dan menyebarluaskannya.  Karena tugas da’wah ini, juga ada di pundak kita. 

Wallaahu a’lam bish-shawab.

Tidak ada komentar: