By Siti Nafidah Anshory
Sahabat hati ……….
Tak terasa saat ini kita sudah berada di hari-hari penghujung bulan suci
Ramadhan.
Biasanya di saat seperti ini,
gembira dan sedih bersatu membuncah ruah dalam diri
setiap orang yang beriman.
Gembira… karena akan bertemu dengan hari kemenangan
setelah sebulan penuh berjuang jalani ketaatan.
Sedih … karena tak lama lagi, kita akan meninggalkan
bulan yang begitu sarat kemuliaan dan pujian.
Tapi di penghujung Ramadhan
Kitapun terbiasa melihat banyak ironi
Mesjid dan mushalla sedikit demi sedikit kembali
beranjak sepi
Sementara mall-mall penuh sesak dengan orang yang bergembira
hendak berpisah dengan ramadhan
Di 10 hari terakhir yang seharusnya menjadi puncak
aktivitas ramadhan
Sebagian besar umat Islam justru larut dalam aktivitas
tak bermakna apa-apa
Ironi akan lebih Nampak lagi saat
tiba idul fitri
Idul fitri yang sejatinya kembali
pada fitrah keimanan,
dimaknai dengan kembali pada
kebebasan,
Idul fitri yang sejatinya saat untuk
memulai pertaubatan
Dimaknai sebagai lampu hijau untuk
kembali melakukan kemaksiatan
Perubahan positif dan suasana
religi yang terjadi di bulan ramadhan,
ternyata berlangsung hanya sesaat
saja…,
Sementara pasca ramadhan,
semuanya kembali pada kebiasaan
lama, pada habbits semula.
Aurat yang tertutup saat bulan ramadhan,
Kembali terbuka lebar nyaris
telanjang
Tayangan-tayangan media yang
bernuansa religi pun
Kembali sarat pornografi dan
kesia-siaan.
Tempat-tempat hiburan yang pada
saat ramadhan ditutup,
Kembali terbuka dan ramai dikunjungi
banyak orang
Tak ayal, ramadhan hanyalah
dijadikan sebagai bulan skorsing maksiyat sementara,
Karena masyarakat kita, kadung
beriman pada aqidah sekularisme yang meminggirkan peran agama
Di masyarakat seperti ini, Agama
hanya boleh eksis saat ramadhan saja
Sementara di luar ramadhan,
biarlah hawa nafsu yang menjadi kendalinya
Dengan demikian halnya,
Meski sejatinya Ramadhan adalah
jalan menuju taqwa
Namun semua itu hanyalah jargon
semata
Inilah Ironi Ramadhan dan idul
fitri di negeri sekuleris kapitalis
Negeri yang hanya berbasa-basi
menghormati bulan suci,
namun membiarkan 11 bulan lainnya
terkotori
Negeri yang mengaku berketuhanan,
Namun menjadikan hukum Allah
sebagai permainan dan olok-olok saja
Sungguh kita butuh penjaga agar
Ramadhan bisa benar-benar menjadi jalan taqwa
Dan Penjaga itu, tidak lain adalah
pemimpin yang siap menjadikan Allah dan RasulNya sebagai penuntunnya
Pemimpin yang siap menerapkan
hukum-hukum Allah secara kaffah dalam kehidupan nyata
Yang dengan semua hokum itu,
fitrah kemanusiaan sebagai hamba Allah tetap terjaga
Dan dunia inipun akan terhindar
dari kerusakan dan bencana [SNA]
--------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar